pinkcages

Pernah berpikir bahwa alam semesta mungkin tidak setua kelihatannya?

Seseorang pernah bilang ke gue kalau dari segala ketidakmungkinan, tidak ada yang menyatakan bahwa waktu yang kita lalui kemarin benar-benar nyata. Jadi, bukan tidak mungkin kalau sejatinya alam semesta dan kenangan-kenangan yang kita simpan itu baru tercipta Kamis lalu.

pulang ke kotamu... ada setangkup haru dalam rindu...

Gue melihat ke arah perempuan di samping gue.

Satu, dua, tiga. Tiga kali dia berkedip sebelum menguap. Ngantuk?

Abila ketawa, lutut kami saling bersentuhan, “Dikit.” jawabnya dan gue baru sadar mengucapkan pertanyaan barusan.

Di tengah-tengah pelataran parkir bentara budaya kota ini, dengan langit Senin malam yang terlihat sama seperti waktu pertama kali kami ke sini beberapa tahun silam, kami duduk bersila bersama puluhan orang lainnya.

Gue mau enggak mau kepikiran lagi soal Konspirasi Kamis Lalu yang suka Arjuna omongin sampai mulut dia keluar busa: “Tergantung lu percaya atau enggak sih, tapi intinya enggak ada bukti riil bahwa hari kemarin itu nyata, jadi bukan enggak mungkin alam semesta diciptakan kamis lalu, karena enggak ada jarak nyata antara miliaran tahun yang lalu atau sedetik yang lalu.”

Sok iye emang tuh anak.

masih seperti dulu... tiap sudut menyapaku bersahabat...

Gue tersenyum kecut dalam hati ketika di samping gue, perempuan itu masih nampak begitu antusias menonton rendisi jazz dari lagu lawas KLA Project yang dibawakan oleh seorang pemuda secara impromptu di panggung. Dua tangannya memegang gelas seng berisi cokelat hangat sementara gelas seng gue sendiri yang tadinya berisi kopi sudah tergeletak kosong di antara kedua kaki kami. Gue enggan membayangkan rasanya melihat caranya membombardir minuman itu dengan gula tadi.

Lagi, rasanya seperti deja vu. Meskipun ini jelas bukan pertama kalinya gue pergi ke sini sama dia.

Mata gue mengikuti gerakan tiba-tiba jarinya menyelipkan anak rambut yang bandel ke belakang telinga dan ada sesuatu di kepala gue yang bilang gue seharusnya mengusap pelan puncak kepalanya. Gue mengulurkan tangan–tapi urung ketika dia dan penonton yang lain tiba-tiba tergelak karena kesalahan minor di panggung.

musisi jalanan mulai beraksi... seiring laraku kehilanganmu...

merintih sendiri... ditelan deru kotamu...

Kemudian lagu itu dilanjutkan lagi.

“Ga?”

Dia tiba-tiba menoleh ke arah gue yang lagi merenung sambil memandangi mukanya, membuat gue sedikit terkesiap dan otomatis menaikkan kedua alis penuh tanya.

“Hm?”

Abila kemudian mencodongkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya seakan mau membisikkan sesuatu–dan laiknya auto-pilot, guepun segera merendahkan tubuh gue ke arahnya tanpa sadar. Tepat saat ia justru mengalihkan fokusnya ke wajah gue, “Eh, kamu gak apa?” tanya gadis itu dengan dahi berkerut-kerut.

“Kenapa emang?”

“Pucat banget, Ga.”

Gue cuma berkedip sebagaimana dahinya masih berkerut-kerut. Yang gue pikirkan saat ini hanyalah betapa gue ingin mengibu-jari keningnya itu agar ia berhenti mengerutkannya sedemikian rupa.

“Kamu mau pulang?” sambungnya.

Pulang ke lo, gue hampir bilang. Lagi-lagi urung. Kemudian seperti tersadar, gue cuma menggeleng, mengalihkan pandangan.

“Lo dingin enggak?” kata gue setelah beberapa detik cuma mendengarkan pertanyaan terlontar dari perempuan itu.

“Kok aku? Kamu tuh, pucat banget. Dingin?”

Melihat raut wajahnya yang berubah cemas, gue mengusap tengkuk gue tanpa sadar. Entah mengapa malam ini memang dingin.

“Sini deh sini” ujar Abila pada akhirnya, lebih dulu bergeser mendekat sebelum gue bisa bilang apapun, lantas tanpa gue duga-duga mengulurkan tangannya guna mengusap punggung gue naik-turun.

Tanpa sadar gue telah menahan napas menyadari betapa kecilnya jarak di antara kami dan gue bersumpah kalau dia bermaksud membuat gue merasa lebih hangat, yang gue rasakan justru sebaliknya.

“Udah anget?” tanyanya.

Hampir-hampir gue mentertawakan diri gue sendiri.

“Ini deket-deket lu gini nih yang bikin anget” gumam gue goblok. Abila mendengus kecil, meninju lengan atas gue pelan lantas kembali pada pertunjukan musik di depan–membuat gue lega sekaligus kecewa.

Tapi kemudian inilah yang gue lakukan: memperhatikan wajahnya. Karena di saat-saat kayak ginilah gue bisa melihat Abila yang paling lepas. Di saat dia ikut bernyanyi dengan tangan yang terangkat naik ke atas dan senyum lebar yang enggak henti-hentinya tergambar di wajahnya. Di saat-saat kayak ginilah Abila terlihat paling magnetis.

Paling Abila.

Gue selalu takjub setiap kali melihat wajahnya yang kaya akan ekspresi itu. Rasanya seperti menyaksikan sebuah kaleidoskop yang terus-menerus berubah warna dan rona–bagaimana sesekali alisnya bertaut, lalu matanya mengerling ke arah gue jenaka sebelum kemudian terpejam untuk menghayati lagu yang dinyanyikannya.

Dan senyum itu.

Senyum yang bisa bikin gue gila setiap kali mencoba menerka maksudnya: kadang polos, kadang lugu, kadang juga ingin tahu, tapi sesekali menyimpan sesuatu yang enggak bisa gue baca dengan mudah.

Gue masih memperhatikannya dengan seksama waktu tiba-tiba satu persatu penonton mulai berdiri untuk menghayati penampilan entah yang kesekian malam ini. Dari jarak kami, gue bisa melihat matanya yang berkilat senang dan ketika kemudian gue menangkap gerakan kepalanya yang berputar ke arah gue dengan bibir setengah terbuka entah untuk mengatakan apa–gue sudah lebih dulu merunduk untuk mendaratkan ciuman di bibir perempuan itu.

Sedetik, gue enggak bisa memikirkan atau menyimpulkan apapun seolah gue sedang mengalami amnesia parsial. Yang gue rasakan cuma sebelah tangan gue yang merangkum wajahnya pelan-pelan seolah dia akan hancur kalau gue menggenggamnya terlalu erat.

Shit.

Shit.

Shit shit shit shit shit.

Gue menelan ludah. Separuh kewarasan gue yang masih tersisa membuat gue berkutik dan menyudahi tautan kami.

Yang gue dapati kemudian adalah Abila yang tengah memandang gue balik enggak percaya. Sama seperti gue, napasnya sedikit berkejaran karena tindakan gue barusan.

Gue masih berusaha membaca kedua matanya yang juga tengah memandang gue penuh telisik, mencari-cari entah apa. Kemudian riuh tepuk tangan penonton lebih dulu membuyarkan gue. Begitupun Abila, yang kini telah berdiri dan tanpa bisa gue cegah lagi mendahului gue menyeberangi lapangan parkir ini ke pintu keluar.

No.

Not again.

Not me losing you again.

Kusuka gayamu, tingkahmu, senyummu
Tapi kumalu 'tuk katakan padanya
(Mau Tapi Malu, Gita Gutawa)

Aku masih ingat pertama kali bertemu Adimas waktu ospek jurusan karena ia yang memang lumayan mencolok waktu itu. That, and the fact that he's been in the same class as me since what, like freshman days?

Makanya, kalau ada yang bertanya apakah aku kenal sama Adimas Reza Sinatria anak Broadcasting 2016 jawabannya: aku memang kenal.

Then again, who doesn't? I mean he has always kind of been 'the thing'. Pertama, karena penampilan fisiknya yang bisa dibilang lebih superior dibanding anak-anak lain dengan tinggi badan dan wajahnya. Dan kedua, karena dia yang juga jago nyanyi sama main gitar.

Simpel ya? Tapi formula yang kelihatannya sederhana itu aja udah lebih dari cukup untuk bikin dia segera menjadi bahan perbincangan anak-anak perempuan di jurusan kami. Seperti bagaimana cewek-cewek di kelompok ospek yang sama denganku setiap hari kerjanya cuma cekikikan kalau berpapasan sama Dimas yang seingatku selama masa-masa itu didandani culun sekali, dengan kemeja putih berdasi dan celana bahan berwarna hitam serta jas almamater universitas kami-yang entah bagaimana enggak membuat penampilannya kurang suatu apapun anehnya.

Menurut teman-temanku juga, dia udah masuk akun Ganteng Kampus seminggu sebelum kegiatan ospek kami dimulai. Iya, akun yang kerjaannya nge-repost feeds instagram cowok-cowok yang memenuhi kriteria untuk dapat titel “anak gaul” atau “anak hits” atau apalah itu, aku enggak terlalu ngeh. Aku lagi uninstall Instagram soalnya.

Tapi kalau ngomongin Adimasnya sendiri aku setuju ya. Dia memang ganteng. Aku enggak akan mengelak untuk fakta yang satu itu (atau lebih tepatnya, enggak akan bisa). Adimas tinggi, mancung, dan kentara sekali mudah bergaul sama orang. Dan walaupun anak-anak kuliahan jauh berbeda daripada waktu aku masih SMA dulu, aku masih bisa melihat pengaruh yang ia punya terhadap orang-orang di sekitarnya selama kami sekelas sewaktu semester satu. Terus, karena suaranya yang 11-12 sama Vidi Aldiano tadi, dia juga jadi sering banget diminta mengisi acara jurusan kami.

Tapi selebihnya aku sama sekali tidak pernah tahu apa-apa soal dia, aku enggak tertarik ngomongin dia kayak anak-anak kelasku soalnya. Simply, karena aku merasa tidak ada yang istimewa dengan cowok itu.

I mean, what's all the fuss about, really? Cowok ganteng isn't new at all, right? Dunia udah selalu dipenuhi oleh cowok-cowok ganteng sejak dulu. Adipati Dolken, for instance? Joe Taslim? Fedi Nuril? See? There is nothing so special about being fine-looking. Pada akhirnya menjadi ganteng cuma salah satu kelebihan dari Tuhan Yang Maha Esa. Dan sebagaimana semua orang punya kelebihan, mereka juga datang dengan kekurangan. (Walaupun di kasus Adimas aku hampir enggak menemukan kekurangan itu sih. Tapi siapa tahu dia kalau kentut, kentutnya bau banget? Atau kalau makan nasi padang, nasinya dikecapin? There has got to be one right?)

Anyway intinya adalah, i just don't get the hype about FISIP's it boy itu.

Sampai hari ini.

Hari dimana aku duduk di kursi penumpang di dalam mobilnya yang pendinginnya menyala tapi entah kenapa bikin aku merasa gerah.

Aku juga enggak pernah kepikiran sama sekali kalau suatu saat dia akan menawarkan tumpangannya ke aku. dengan 'suatu saat' itu menjadi hari ini. Waktu aku lagi kesal karena perlakuan enggak mengenakkan dari teman-teman sekelompokku. I mean it's not even a big deal, tapi enggak tahu kenapa rasanya aku kesal sekali. I am so used to people treating me like i am less than but even now i still don't like it. It feels i don't know mean? I'll save the story for later though. Soalnya sekarang cowok yang kini duduk di kursi pengemudi di sampingku ini sedang menatapku lekat, seolah-olah dia berusaha membaca isi pikiranku yang sejujurnya udah enggak karuan sejak tadi tiba-tiba dia ngomong kalau...

“Lo cantik Anjani.”

Aku langsung menoleh ke arah Adimas setengah terkejut, meski sedetik kemudian aku cuma malah lebih terkejut karena menemukan Adimas yang juga turut bergeming dan untuk beberapa detik cuma balas memandangiku. Jujur, ini orang memang ganteng banget sih. Kayak... for no reasons at all gitu lho? I mean how did the world even come up with those eyes? And his smile? And that nose. Kayak kok bisa ya Tuhan kepikiran bikin bentukan dia sedemikian rupa?

Wait what...

Oke oke, fokus Anjani Puspita Sari, fokus. You said it yourself, there's nothing so special about him other than a pretty face. No reasons to get all nervous.

Mungkin dia cuma nyindir aku yang lagi ingusan begini sementara dianya masih wangi dan kemejaan rapi kali? Iya. Pasti begitu. Ish, padahal kalau itu sih aku juga udah sadar diri tanpa perlu dia bilang begitu.

Lucky him, aku lagi enggak mood ya buat gontok-gontokan sama siapapun karena efek dari kejadian tadi. Makanya aku enggak ngomong apapun dan hanya menatap cowok di depanku ini lama.

Eh, bentar bentar. Ini sejak kapan coba tubuh Dimas jadi begitu condong ke arahku?

Dia mengulurkan tangannya pula?

Pelan saja.

Ke wajahku.

Aku berniat menepisnya, tapi separuh diriku penasaran setengah mati sama apa yang akan dilakukannya dan jadilah aku hanya bergeming ketika ternyata ibu jarinya hanya mengusap pipiku dengan sentuhan yang samar. Amat, sangat samar hingga nyaris tidak terasa. Seolah dia tidak pernah ada di sana.

“Lo cantik waktu lo serius nyiapin presentasi, atau waktu lo seneng ujian lisan lo lancar, atau waktu lo kepanasan nungguin go-ride lo dateng.”

Now, is it just me or his pupils just quadripled in size?

Hiks. Tapi ini apa sih maksudnya Ya Tuhan?!

“Lo cantik Jan, and if they can't see it it's their loss.

Mamah, Anjani mau pulang.

Mungkin cowok ganteng memang selalu begini? Walaupun aku enggak tahu juga sih karena aku enggak pernah kenal sama banyak cowok ganteng (Enggak pernah kenal banyak cowok huhuhu). Tapi karenanya aku memutuskan lebih baik aku cepat-cepat berterimakasih sama Adimas saja atas tumpangannya dan pergi sesegera mungkin dari sana. Bukan apa-apa, aku hanya merasa sedikit asing sama sikapnya tiba-tiba. And him being the hottest person i ever laid eyes upon doesn't help at all.

Untung Adimas hanya mengiyakan pamitku. Hanya saja walaupun udah terbaring di atas kasur kesayanganku di kamar dengan sheet mask korea punya Kak Ana yang dia beli di e-commerce dan ia simpan di kulkas untuk stok setiap _weekend _menempel di mukaku, aku enggak kunjung merem juga. Next thing i know, aku malah mikirin cowok itu lagi meski jelas-jelas enggak banyak yang aku tahu tentangnya.

But that's the problem. aku dan Adimas tidak pernah benar-benar saling mengenal kecuali karena kami pernah satu kelas, itu juga di tahun pertama kami. Aku mengenal Adimas sebagai Adimas Reza Sinatria yang entah, enggak banyak yang kuingat soal dia selain nomor induk mahasiswanya atas-bawahan dengan milikku.

Yang paling aku ingat tentang Adimas sebenarnya adalah lagu yang dia nyanyikan waktu aku pertama melihatnya menyanyi di acara jurusan. Waktu itu pertengahan semester 1, dan anak-anak HIMA jurusan kami mengadakan konser amal untuk korban bencana di Sulawesi. Memang cuma konser kecil-kecilan begitu sih, yang cuma melibatkan band-band dari kalangan mahasiswa kampus juga dan Adimas hanya secara kebetulan jadi salah satu yang turut menyumbangkan suaranya.

Adimas cuma duduk di sebuah kursi di panggung kecil di lobi fakultas kami yang tetap minim dekorasi, memangku gitar yang di lengannya terdapat sebuah stiker entah bunga apa yang enggak tahu kenapa begitu menarik perhatianku. Menyanyikan sebuah lagu keluaran 2000an yang lumayan familiar di kupingku.

Kau yang di sana siapa dirinya... Buatku terpana... Kesan pertama sungguh mempesona... Ingin mengenalnya...

Di kepalaku ada suka yang menggila Sudikah kamu mengenalku mendekatiku aku

Aku ingat sekali aku yang baru saja selesai kelas dan lagi berjalan keluar jadi terhenti demi melihat ke arahnya yang masih asyik memetik gitar. Sejujurnya aku tidak menyangka akan menjumpainya dalam keadaan seperti itu.

Aku yang selalu punya sejuta cara... Cara tuk merayu... Tapi yang terjadi aku seperti ini... Ku bingung sendiri...

Di kepalaku ada suka yang menggila... Sudikah kamu mengenalku mendekatiku aku...

No because i remember thinking he looks best that day. Bukan, bukan karena wajahnya ya, kalau itu sih mau dipakai loncat kodok sama dia juga aku berani taruhan dia tetap ganteng. Tapi lebih karena auranya ketika bernyanyi. I don't know. I guess there's something about him playing that guitar. Tatapan matanya, senyum di wajahnya, rasanya seperti baru saat itu aku benar-benar memperhatikannya. Aku ingat mata kami yang bertemu sepersekian detik dan entah apakah ini hanya perasaanku saja, tapi seperti sepasang mata cemerlangnya melembut.

“Lo cantik Anjani.”

Ha.. haha.. maybe i am better off sleeping no?

Kebanyakan mikirin cowok itu enggak sehat buat aku kayaknya. Lagian besok aku ada kelas pagi juga. Sayang juga nanti bisa-bisa sheet mask-nya enggak ngefek kalau aku enggak tidur-tidur.

Well i just wish i don't dream about a certain heartthrobe though.

Just... no dream about a certain campus heartthrobe please...

Biarkan ku memelukmu
Tanpa memelukmu
Mengagumimu dari jauh
(Mengagumi Dari Jauh, Tulus)

Jauh sebelum kita jadian, gue pernah secara impulsif bilang ke Anjani kalau dia cantik.

“Lo cantik, Anjani.”

Iya, persis seperti barusan. Di depan pelataran rumahnya. Di dalam mobil gue yang pendinginnya masih menyala tapi entah kenapa suasananya bikin gue gerah. Sementara Anjani masih berusaha menenangkan dirinya di samping gue.

“With and without all your makeup.”

Anjani diam seribu bahasa mendengar pengakuan tiba-tiba gue dan gue enggak bisa membaca raut wajahnya. Tapi gue menemukan diri gue yang kewalahan untuk berhenti dengan dia sedekat ini sekarang. Maka itu, gue melepaskan tangan gue dari kemudi dan berbalik untuk menatapnya.

Dia tetap bergeming.

See? Dia memang selalu seperti ini. Selalu bikin gue merasa enggak ada apa-apanya. Karena Adimas Effect yang biasa dialami orang-orang sepertinya enggak akan pernah mempan sama dia dan alih-alih terlihat salah tingkah, dua matanya malah mengamati gerakan gue lekat.

For your information, sebelumnya gue menemukannya tengah menangis di parkiran belakang gedung fakultas kami yang gue tahu biasa menjadi titik penjemputannya setiap kali ia memesan ojek online untuk pulang. Dimana gue biasanya hanya bisa memperhatikannya saja dari jauh-cara dia memakai helmnya dengan lucu, dan cara dia memegang tali totebag-nya erat di jok belakang motor milik siapapun driver yang hari itu cukup beruntung untuk menerima pesanannya dan mengantar dia pulang.

Tetapi hari itu lain. Hari itu rupanya gue yang harus menggantikan para driver ojol menunaikan tugasnya karena dia udah bikin gue khawatir setengah mati sehingga tanpa berpikir dua kali menawarkan diri untuk mengantarnya pulang waktu melihatnya berjongkok di samping kendaraan bermotor yang berjejer di parkiran, sembari masih berurai air mata.

Tawaran yang untungnya juga dia iyakan, meski gue yakin dia ingat nama gue saja enggak. Karena percaya enggak percaya, walaupun nama gue udah enggak asing lagi di telinga mahasiswa-mahasiswa terutama cewek-cewek di fakultas gue, di mata seorang Anjani gue mungkin enggak lebih dari sekadar orang yang nomor induk mahasiswanya berdekatan dengan miliknya. Itu juga kalau dia ingat nama gue atas-bawahan sama dia di daftar hadir kelas kami.

Menurut tebakan gue juga, sebenarnya dia cuma mau gue antar pulang karena dia malu kalau ditanyain sama abang ojolnya kenapa nangis.

Iya, gue dan Anjani memang telah menjadi teman sekelas selama dua semester belakangan ini. Tapi selama itu juga gue menyembunyikan perasaan gue yang sebenarnya karena gue yang udah terbiasa mengamati dia dari jauh.

Bukannya apa-apa. It's just that she's really something else.

Anjani itu aneh. Kalau biasanya cewek-cewek lain akan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga saat berbicara dengan gue atau melemparkan kode-kode agar gue mengantar mereka pulang setiap kali kebetulan mereka sekelompok sama gue, Anjani enggak sama sekali. Oke, sebagai catatan gue bukannya bilang kalau cewek-cewek yang enggak suka sama gue itu aneh ya. Tapi gue juga enggak se-oblivious itu. Gue tahu pengaruh yang gue punya terhadap cewek-cewek di sekitar gue hanya karena penampilan fisik gue. Gue juga enggak akan munafik dengan bilang kalau gue enggak menikmati semua perhatian dan perlakuan yang gue dapatkan hanya karena alasan dangkal tersebut.

Tapi lalu Anjani happened. That pretty thing. Dan untuk pertama kalinya gue merasakan bagaimana rasanya menjadi begitu tidak signifikan.

Sejujurnya awalnya gue kesal juga sama cewek ini. Bagaimana dia akan menyapa Danish yang notabene teman dekat gue setiap kami berpapasan di sekitar kampus, tapi sama sekali enggak pernah menyebut-nyebut nama gue. Padahal siapapun yang menyapa Danish pantang enggak menyapa gue, bahkan teman-teman Danish yang enggak kenal gue sekalipun. Malah banyakan yang menyapa Danish biar bisa kenalan sama gue, tuh.

Kecuali Anjani tentu saja.

Here we are now anyway. Dengan ia yang tengah menatap gue penuh selidik seperti sekarang, dan dengan gue yang tengah menimbang-nimbang kalau-kalau gue boleh mengusap air mata di pipinya karena man, she is crying. And as much as i think she looks pretty now, i don't like what i am seeing.

Pelan, gue mengulurkan tangan, dan ketika ia tidak menepis sentuhan gue, gue usapkan ujung ibu jari gue di pipinya lembut. Hal yang membuat rasanya jantung gue berhenti barang sekejap, entah karena gue harus melihatnya menangis seperti ini di hadapan gue atau karena dia secantik itu dilihat dari dekat. Atau dua-duanya-gue enggak tega sama dia, tapi juga heran ada cewek yang terlihat secantik ini dengan eyeliner luntur.

“Lo cantik waktu lo serius nyiapin presentasi, atau waktu lo seneng ujian lisan lo lancar, atau waktu lo kepanasan nungguin go-ride lo dateng.” gue masih melanjutkan, membenarkan posisi duduk gue sebelum menundukkan kepala untuk menyejajarkan wajah kami dan mengusap lagi air matanya pelan.

Anjani memang enggak pernah bercerita alasan kenapa dia menangis secara langsung ke gue, tapi rasanya gue tahu begitu saja. Dari cara cewek-cewek tukang gosip yang kebetulan sekelompok sama dia memperlakukan dia dengan ketus sepanjang diskusi di kelas tadi. Dari cara dahinya berkerut tidak nyaman, dan dari caranya berusaha menyembunyikannya. Aneh emang, tapi rasanya gue tahu dia memang selalu seperti ini meskipun kami jarang sekali bicara satu sama lain. Seolah gue kenal dia. Dan gue tahu hal-hal seperti tadi bisa melukainya.

“Lo cantik Anjani, and if they can't see it it's their loss.

Untuk yang satu ini, gue enggak tahu darimana gue mendapatkan keberanian mengatakannya pada perempuan di samping gue ini. Tapi mungkin setelah sekian lama gue cuma mau jujur. Sama dia. Sama diri gue sendiri. Dan sama apa yang gue rasakan selama ini, setiap kali melihatnya mengobrol dan ketawa-tawa sama teman-temannya di lobi selagi menunggu kelas kami dimulai. Atau setiap kali dia menunggu pesanan go-ride-nya di parkiran belakang gedung fakultas kami. Setiap mata kami bertemu. Di lobi, di tengah-tengah kelas, di koridor, di kantin, dan dia mengalihkannya dalam sekejap.

“Lo selalu cantik.” gue menyimpulkan seutas senyum, dan memberanikan diri menatapnya. Gue, yang selama ini enggak perlu berpikir dua kali sebelum melancarkan aksi PDKT ke cewek tapi harus memutar otak hanya untuk menanyakan kepada cewek di hadapan gue ini kapan dan dimana kita akan mulai mengerjakan tugas waktu kami kebetulan sekelompok. Gue, yang enggak pernah harus bersusah payah mencari topik pembicaraan tapi mencari-cari alasan cuma agar bisa mengobrol dengannya di kelas dengan cara memintanya mengisikan daya baterai ponsel gue karena dia duduk di sebelah stop kontak (padahal jelas-jelas baterai gue masih 80%). Gue, yang repot-repot bertukar tempat duduk sama Danish saat pembagian kelompok agar gue satu kelompok dengannya. Gue, yang cuma bisa mengaguminya dari jauh.

Anjani diam sedikit lebih lama sebelum membalas tatapan gue dan menyandang totebag di pangkuannya, air mata di pipinya sudah mengering, “Thank you for the ride...”

Just the ride?

Gue bertanya tapi bibir gue terkatup rapat ketika ia membuka pintu mobil gue dan berhenti sebentar guna menoleh ke arah gue, “and for everything.”

And for everything.

Alis gue naik.

She's really something else, isn't she?

“Anytime.” Gue hanya bisa berusaha bersikap biasa di depannya.

“Gue masuk dulu... Adimas.” gumamnya lagi.

Dan begitu saja, Anjani lalu cepat-cepat keluar dari mobil gue tanpa mengatakan apapun lagi, nyaris seperti terburu-buru. Meninggalkan gue yang telah berubah menjadi kembang api sejak dia menyebutkan nama gue untuk yang pertama kali tapi gue harap, bukan yang terakhir.

Danish penasaran setengah mati, berapa waktu yang dibutuhkan untuk seseorang sembuh dari patah hati?

Apakah setelah sebulan semuanya bisa menjadi baik-baik aja? Dua bulan? Enam?

Berapa lama sampai hati seseorang berhenti bercekit ketika ia mengingat pahit yang dirasa dan alasan dari rasa sakitnya? 1 kali 24 jam? Atau 100 kali 24 jam?

Lalu apakah di dunia ini semua hati akan merasakan patah?

Kalau iya, then this world sucks. Big time. Walaupun Danish tahu dalam hati memang begitu adanya. Bahkan anak kecil saja pasti mengerti rasanya patah hati, contohnya saat ibunya menolak membelikan mainan atau es krim yang mereka mau sampai mereka tantrum. Mungkin, kecuali psikopat atau serial killer yang kasus-kasusnya suka dia tonton di Buzzfeed Unsolved sama Netflix documentary kalau lagi malming terus dia gabut kali ya?

Iya gabut. Maklum, malmingnya Danish sama kayak malam-malamnya yang lain soalnya, hanya minus di tugas-tugas kuliah yang biasanya udah ia selesaikan secepatnya. Tapi anyway, rasa-rasanya Danish bisa dengan pede menyebutkan kalau enggak mungkin ada seorang pun yang lolos dari kemungkinan hatinya remuk oleh berbagai alasan, entah itu putus atau gagal cinta, atau harapannya enggak terkabul dan lain-lain.

Untuknya sendiri, alasan itu datang dalam bentuk pesan singkat yang ia terima kurang dari 24 jam lalu. 13 jam, kalau menurut time stamp di layar ponselnya yang masih menampilkan jendela percakapannya dengan... seseorang.

“Nish!”

Suara langkah kaki di depan pintu kamarnya adalah Adimas, teman seatapnya di rumah indekos yang ia tinggali sejak menjadi mahasiswa meskipun sebetulnya rumah keluarganya sama kampusnya masih satu kota. Menurut dugaannya, sebentar lagi temannya itu akan ribut mengetuk pintu kamarnya untuk mengajaknya membeli menu sarapan kesukaannya. Yaitu...

“Lo mau beli nasi kuning enggak? Keburu abis entar.” Tanya Adimas dari luar kamarnya.

Tuh kan. Danish membenamkan mukanya di bantal.

Tapi berarti dia betul-betul lagi patah hati nih? Batin Danish lagi pahit ketika ia menyadari bahkan bayangan satu porsi nasi kuning dengan lauk kering tempe dan suwiran telur dadar kesukaannya tidak bisa membuatnya ceria lagi.

“Gue skip.” balasnya tanpa repot-repot membukakan pintu.

Adimas seketika menghentikan aksinya mengetuk pintu kamar Danish, “Yakin lo? Lo kelas jam berapa?” tanyanya memastikan.

“Ada entar, gue masih nugas.”

Nugas apaan anjir. Jelas-jelas dia lagi telentang menatap langit-langit kamarnya yang gordennya bahkan belum terbuka dalam keadaan bau dan nyaris tanpa busana.

Ckckck, Danish Arfa Rasydan, mengenaskan banget lo...

“Ya udah gue duluan nih ya?” masih Adimas dengan agenda nasi kuningnya, yang sebetulnya juga Danish sukai sebanyak rasa suka (atau cinta?) Adimas ke nasi kuning.

“Iye.” balasnya, diiringi kepergian Adimas.

Diliriknya layar ponselnya yang sudah mati. Bahkan tanpa perlu membuka kunci layarnya Danish tahu apa yang terpampang di sana. Jendela percakapan yang terakhir ia buka, dan yang telah ia pandangi semalaman. Bunyinya tak jauh-jauh dari:

Daniiiiish

Not sure if i should tell you this but guess what?

Danish tersengal sedikit, dalam hati masih aja membalas pesan itu pelan walaupun dia udah tahu kelanjutannya apa. Pemuda itu berhenti menggulung layar ponselnya dan kalimat itu masih terpampang di sana. Nyalang menatapnya.

Cuma dua kata.

gue jadian!

Cuma dua kata itu saja. Dua kata saja namun sudah lebih dari cukup untuk hatinya melebur sudah.


Waktu pertama menyadari kehadiran perempuan itu di hari pertama mereka sekelas, Danish ingat ia sedang mengobrol dengan beberapa mahasiswa lain selain dirinya, ala mahasiswa baru yang lagi asyik-asyiknya membaur dengan teman sekelasnya.

Cewek berponi di hadapannya namanya Kinan, cewek di sebelahnya Rara, keduanya diketahuinya merupakan teman sekelasnya tak kurang dari beberapa menit lalu. Hanya ada satu cowok yang Danish udah kenal bahkan sebelum dia mengenalkan dirinya.

Adimas, teman satu kosnya yang juga telah melewati seminggu asam garam masa orientasi bersamanya, yang sedari tadi tidak banyak bicara selain tersenyum ramah ke cewek-cewek yang mengajaknya bicara dan menjawab seperlunya aja.

Baper deh tuh cewek-cewek pasti, Danish berdecak dalam hati. Adimas emang udah terkenal sejak masa orientasi gara-gara masuk @gantengkampus sih.

“Lo ngekos Dim?” Kinan bertanya dengan senyum manisnya. Danish memperhatikan senyum yang sama sejak tadi juga terpasang di wajah Rara. Sementara Adimas lebih banyak mendengarkan dan menanggapi seperlunya setiap kali mereka menanyakan Frequently Asked Questions-nya para maba. Semacam dia lulusan SMA mana, asli mana dan lain-lain yang Danish tahu sebetulnya modus saja.

Danish? Danish cuma sesekali menimpali dengan lelucon yang membuat baik Rara maupun Kinan tertawa. Tapi lalu saat itulah gadis itu membelah lobi yang lagi ramai-ramainya dan sesak-sesaknya.

“Permisi.” suaranya pelan, dan senyumnya tipis, bahu mereka bersentuhan sesaat karena sesaknya koridor yang dipenuhi mahasiswa-mahasiswa baru dengan antusiasme masing-masing, tapi cewek itu enggak melakukan apa-apa selain melewatinya. Hanya penampilannya yang lumayan berani rupanya enggak cuma mencuri perhatiannya. Sapuan lipstik dan pemulas mata di hari pertama kuliah serta rambut hitam dengan highlight berwarna merah.

“Siapa sih?” Kinan berbisik kepadanya dan Adimas yang lagi ngobrol sama dia, tapi Adimas enggak menjawab, mengedikkan bahunya acuh sembari mengarahkan pandangannya ke arah cewek nyentrik tadi.

“Lucu.” Danish cuma bergumam pelan, mengungkapkan impresi pertama yang ia dapatkan dari gadis itu. Kaus berwarna hitam, celana jins, serta rambutnya yang dibiarkan begitu saja tergerai.

“Ih! Apaan, eyeliner-nya tebal banget begitu!” Tukas Rara, atau mungkin Kinan. Danish tidak tahu karena dia keburu melengos lebih dulu. Males deh dia meladeni cewek-cewek tukang gosip itu. Makanya diikutinya gadis dengan ujung-ujung rambut kemerahan yang tengah mendongak menatap pamflet-pamflet di majalah dinding itu dengan ekor mata sebelum Danish memutuskan meninggalkan Adimas serta cewek-cewek tadi.

“Lagi nyari UKM?” Sapa Danish.

“Hah? Eh enggak hahaha.” eh, ketawa. “ngelihatin ini aja biar enggak kelihatan nyasar banget gue.”

Lucu ih ketawanya. Kontrari sama penampilannya yang meninggalkan beribu kesan, ekspresi wajahnya melembut ketika ia ketawa. “Untung lo nyapa gue duluan. Gue enggak bisa nyapa orang duluan.”

“Introvert much, huh?”

“Pft yeah, first time with one, Mr. Extrovert?”

“Tahu darimana gue extrovert?”

“Itu tadi, gue lewat pas lo ngobrol sama teman-teman lo ramean.”

“Mereka bukan teman gue.” Danish berdecak, “Kecuali cowok yang tinggi itu tuh. Sekosan sama gue.”

“Lagian,” Danish memegang kedua tali ranselnya erat untuk membenarkan posisi tasnya dengan senyum dikulum, “Lo pasti tahu juga kan introvert sama extrovert enggak ada kaitannya sama seberisik apa orangnya?”

Alis perempuan itu menukik naik tapi diiringi ujung-ujung bibirnya yang tergerak juga.

“Danish.” Danish mengulurkan tangannya kaku. Gadis itu tertawa lagi. “Guess i am just more on the talkative side of the spectrum.”

Untuk sesaat gadis itu cuma menatapnya jenaka, namun begitu sebuah tangan menjabat miliknya.

“Nice to meet you, Danish, the loud introvert.”

Hari itu, Danish pikir dia baru aja kenalan sama cewek paling keren satu kampus.


Tiga kali 24 jam setelah patah hati Danish, Danish udah mulai masuk kuliah lagi. Cukup sehari aja dia bolos dan menghabiskan satu hari yang kelabu itu penuh dengan nyanyi-nyanyi 'kau hancurkan hatiku.. hancurkan lagi..' di bawah kucuran pancuran kamar mandinya setelah seharian menunda mandi dan sarapan, dengan dua hari sisanya yang kebetulan memang hari libur. Tapi pokoknya Danish pikir patah hati rupanya bukan keahliannya. Maka itu, Danish memilih memfokuskan dirinya di kegiatan kampus. Belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya dengan giat bahkan walaupun dunianya masih kehilangan warna.

Tujuh kali 24 jam setelah patah hatinya, Danish memilih membagi separuh perhatian dirinya di organisasi kampus.

“Nish?”

Satu colekan mendarat di bahu.

“Niiiiish?”

Dua.

“NIIIIIIISH!”

Yang ketiga berubah menjadi geplakan.

“Eh hah? Kenapa Sya?” Gagap Danish.

Kenalin. Ini Keisya, jabatannya sekretaris bidang pengembangan anggota di BEM kampus, organisasi yang dia ikuti secara impulsif semester kemarin tapi sekarang jadi fokus utamanya demi mengalihkan semua energi sakit hatinya.

“Lo tuh FISIP kan ya?” Keisya menelengkan kepalanya untuk menemukan mata Danish yang lagi menunduk. Kalau kalian pikir karena patah hatinya Danish akan tiba-tiba jatuh cinta sama mahasiswi paling cantik di fakultas kedokteran itu, kalian salah ya. Danish enggak berminat nikung Bang Dafi soalnya, mahasiswa teknik slash pacar dua tahunnya Keisya yang udah berkali-kali ia temui secara langsung setiap kali dia ngejemput Keisya dengan motor gedenya usai rapat di parkiran. Ngeri cuy. Lengannya aja kayak mesin penggiling.

Ya lagian selain itu juga, Keisya udah lebih kayak mom friend-nya sih, yang selalu bawelin dia sama anak-anak lain buat makan kalau mereka belum makan dan segera ngerjain tugas-tugas kenegaraan mereka kalau belum.

Atau, Danish aja yang udah enggak bisa jatuh cinta lagi ya? Sejak..

No no no no no. Enggak. Enggak boleh kayak begini. Jangan sekarang, Nish. Jangan sekarang di ruang BEM dimana lo telah dengan sengaja kabur buat menghindari semua tetek bengek sama anak-anak jurusan, lo malah mikirin dia lagi. Jangan sekarang. Jangan nanti-nanti. Jangan pernah.

“Iyeee, kenape?” Kalau Danish tiba-tiba terkesan nyolot, itu bukan salah Keisya.

“Adik gue juga di FISIP loh, baru masuk tahun ini, Ilkom.”

Mendengarnya, Danish enggak jadi ngocol, “Lah, gua juga Ilkom Sya?”

“Oh yaaaa?” Pekik Keisya senang, “Gue kenalin mau ya?”

“Boleh sih.”

“Adik sepupu gue sih tapi! Kasihan tahu belum ada temannya dia Niiiiish, anaknya bawel sebenarnya tapi kalau awal-awal gini pemalu banget.”

Di otak Danish, sepupu Keisya pastilah cowok weeaboo slash gamer pendiam yang lebih suka menyendiri daripada bersosialisasi, sukanya pakai jaket ponco hitam-hitam dan punya harddisk yang isinya anime semua. Bukan, bukannya stereotip, Danish lebih tepat dibilang berharap. Lumayan, ada teman ngobrolin Shingeki No Kyojin selain Adimas, karena teman sekosnya itu juga lagi sibuk sama kegiatannya di BEM jurusan. Mana bentar lagi musim 2-nya keluar kan tuh. Sedap. Enggak sabar dia mendapatkan jawaban dari mana asal mula titan itu berasal.

Sayangnya yang Danish tidak tahu, adik Keisya.. perempuan. Namanya Syifa. Mereka akhirnya bertemu seminggu setelah Keisya bilang mau mengenalkannya ke adik sepupunya di kantin fakultasnya, fakultas kedokteran. Tempat yang cukup menyenangkan karena Danish jadi tidak perlu melihat seseorang dengan pacar barunya.

“Syif siniiiii.” panggil Keisya. “Nih. Kenal gak?” Tembak Keisya langsung.

Danish ketawa garing aja, semacam sangsi ada yang akan mengenalnya. Ya habis dia memang enggak aktif di jurusan, beda sama Adimas.

“Oh iya.” Syifa terlihat tertegun untuk sesaat. Tapi tangannya terulur perlahan. Tuh benar kan, Syifa enggak kenal dia. Terlihat dari dahi Syifa yang mengerut dan senyumnya yang berubah malu.

“Syifa, Kak.”

“Danish.”

Tentu saja, Keisya akan menimpali dengan, “Danish tuh temennya itu lho Syif.. siapa sih ck kating kamu yang sering masuk @gantengkampus itu.. Dimas? Adimas Reza?”

Seketika rautnya menemukan pemahaman, “Oh iya iya, kenal! Kak Dimas.. yang suaranya bagus itu ya?”

Danish terkekeh kecil. Ckckck.. Adimas dan reputasinya.

Bahkan anak baru aja udah pada kenal dia ya? Ya lagian siapa juga yang enggak kenal pujaan hati satu FISIP. Pasti gara-gara disuruh nyanyi lagi kemarin pas ospek jurusan dah tuh. Danish bisa mendengar Adimas latihan pakai gitarnya setiap malam soalnya, lewat tembok tipis yang membatasi kamar mereka yang bersebelahan. Maka itu, walaupun udah mulai jarang ketemu karena kesibukan masing-masing, Danish tahu Adimas masih ada di muka bumi. Enggak tiba-tiba hilang begitu saja, yang mana adalah salah satu ketakutannya setiap kali ia tidak bertemu teman kosnya itu bahkan walau cuma sehari aja. Iya, iya Danish lebay. Tapi Adimas memang udah kayak Hatake Kakashi to his Uchiha Obito. Sayang aja Obitonya lagi sakit hati cintanya ditolak sama (sebut saja) Rin. See? Danish bahkan masih enggak sanggup menyebut namanya aja.

“Kak Danish suka anime?” Pertanyaan Syifa menarik ia kembali ke kantin fakultas kedokteran yang masih sepi seperti beberapa detik lalu. Danish secara spontan mengerenyitkan dahinya sebagai bentuk perhatian, tapi secepat itu juga menyadari kedua mata Syifa terarah sama gantungan tasnya yang berbentuk perisai bunga mawar lengkap dengan durinya.

Oh... Danish baru mau nyeletuk 'lah lo tahu Syif?' waktu Keisya menimpali lebih dulu dengan: “Dia mah wibu kayak loooo Syif.” tukas perempuan itu yang sekarang sibuk mengunyah bakso bakarnya.

“Hah Kak Danish lagi nonton apa aja???”

Lah iya wibu beneran. Ketaker dari antusiasmenya.

“Sekarang sih ini aja.”

“Keren banget sih, dia menang kodansha manga award for reasons emang ya.” Syifa masih mengamati emblem berbentuk perisai mawar gantungan kuncinya itu, “Kak Danish paling suka sama pasukan penjaga ya?”

Danish cuma mengangguk ringan, menyentuh emblem tersebut.

“Paling keren sih kata gue, lambangnya juga tuh mawar ada durinya. Tahu enggak Syif artinya apa?”

“Apa kak?”

“Artinya kalau lo berani memetik, lo harus berani terluka juga.”

Danish tersenyum pahit. Kayaknya, dia agak ngawang pas ngomong gitu. Soalnya dia enggak sadar Syifa merhatiin dia super serius. Tapi tentu aja Keisya langsung menimpali.

“Cielah kenapa lo enggak bikin jurusan baru aja Nish? Program studi per-anime-an dan ke-manga-an oleh sensei Danish? Ha? Daripada tiap kuliah madooool mulu sama tipsen.”

Ya, pertanyaan yang bagus dari Keisya. Sepertinya cewek ini belum pernah merasakan rasanya dicipratin sisa es teh pakai sedotan. Haiyaaaaa!!!

“Danish!!!!!!”

Nah kan. Dari teriakannya, pasti baru kali ini dia dicipratin es teh begitu. Danish baru mau ketawa puas waktu kedua tangan Keisya tiba-tiba udah di kepalanya. Baru kemudian Danish tahu, kalau jambakan Keisya kayaknya lebih ngeri dari serangan titan colossal.


Persis seperti kata Keisya (kepala Danish masih nyut-nyutan), Syifa ternyata enggak sepemalu awalnya. Setelah berkenalan sama dia beberapa hari yang lalu, setiap bertemu gadis itu di area sekitar kampus, yang terjadi adalah dua hal ini:

  1. Syifa memanggil namanya (lengkap dengan lambaian tangan yang gesturnya tidak bisa dibilang kecil)
  2. Syifa pasti akan menghampirinya untuk mengajaknya mengobrol, atau kadang berjalan bersamanya sampai ke tempat parkir.

Kadang Danish suka salah tingkah karena enggak jarang tindakan gadis itu cukup untuk mencuri perhatian orang-orang di sekitar mereka, termasuk teman-teman Danish yang rasa-rasanya emang bertebaran di setiap penjuru kampus.

“Wiiiiih jagoan gue niiih, tumben lo kagak rapat? Cewek lo mana?” Tanya Harris, enggak tahu juga kenapa itu anak teknik nongkrongnya bisa sampai sini. Enggak mau tahu juga. Kalau Adimas idola jurusan, Harris mah raja kampus. Raja kelayapan di sekitar kampus maksudnya. Taruhan itu anak bolos kelas lagi demi nongkrong di sini bareng dia dan Adimas. FYI, Harris ini satu kos sama mereka. Tapi dia selalu merasa kurang cocok sama teman-teman jurusannya. Makanya dia lebih suka ngintilin dia sama Adimas. Danish enggak apa-apa sih, demi alek kagak ngapa-ngapa, tapi harusnya Harris mikir lah anjing. Masa diintilin sampai ke sini padahal gedungnya ujung-ujungan.

“Ngapain lu di sini?” Sinis Danish ke Harris.

“Sadis.”

Iyalah. Patah hati emang sadis. Soalnya patah hatinya lah yang udah menyebabkan ia menjauh dari teman-temannya tiga minggu belakangan. Tapi Harris enggak boleh tahu kalau sebetulnya diam-diam Danish kangen dikata-katain Harris.

“Lo punya cewek, Nish? Pantesan tiap hari lo ngelayap” Adimas ketawa.

“Enak aja, gue ngelayap ke sekre noh, kerja.”

“Kerja.” cibir Harris, “Madol kali lu?”

“Itu mah elu setan!”

Sayang sebelum Danish bisa ngejambak Harris, tiba-tiba HP Adimas bunyi, yang langsung disambut wajah sumringah sahabatnya itu.

“Cabut ya.” Adimas menyandang tasnya bahkan tanpa mengalihkan tatapannya dari ponselnya.

“Kemana lo?”

Adimas enggak menjawabnya, melainkan cuma tercengir ganteng sembari menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan nama 'Si Cantik' dengan emoji hati yang sontak membuat mereka seketika berdecak karena kecewa.

“See you bro.” Adimas menepuk pundaknya dua kali, kemudian menggestur ke arah yang lain sebelum berlari keluar area taman.

Danish cuma menghela nafas sebelum mendudukkan pantatnya. Semuanya aja punya pacar kecuali dia.


Beberapa hari yang lalu, Danish baru menemukan fakta kalau Hasyifa Febrianti ternyata ngekos enggak jauh dari kosannya. Hal itu berawal waktu dia kehabisan bensin di sekitar kompleks kosnya, jadilah dia terpaksa beli bensin eceran yang dijual di pinggir jalan.

Danish lagi duduk-duduk di jok motornya, sembari menunggu Ibu-ibu penjual bensin itu mengambilkan kembaliannya, waktu kemudian ia mendengar suara 'pspspsps' kecil. Iya, suara 'pspspsps'. Suara yang lazim digunakan manusia saat berbicara sama kucing. Danish menoleh ke kanan, kiri, depan, belakang. Enggak ada siapapun. Ia kemudian turun dari joknya dan mengintip sedikit di balik rak berisi botol-botol bensin eceran. Lalu tak jauh dari sana, tepat di undak-undakan sebuah warung tak jauh dari tempat ia membeli bensin, Danish melihat seekor anak kucing kecil sedang mengeong di bawah kedua kaki yang berjongkok. Kucing kecil itu menjilati tangan mungil. Tapi wajah sumringah si empunya tangan lebih menarik perhatian Danish sehingga ia tidak bisa menahan diri buat ngomong, “Lah, Syif?”

Kayaknya Syifa juga terlihat sama kagetnya dengannya. Soalnya mukanya cengo banget pas ngomong, “Loh, Kak Danish?”

Digendongnya anak kucing kecil itu dengan mudah di kedua tangannya sebelum memutuskan menghampiri motor Danish yang hanya berjarak beberapa meter.

“Kak Danish ngapain?” Syifa akhirnya memasang senyum cerah default-nya, sementara Danish masih belum pulih betul dari keterkejutannya. Diperhatikannya Syifa yang cuma memakai setelan rumahan anak-anak kos putri, yakni celana training, kaus, luaran kardigan, serta kresek hitam berisi entah apa yang melingkar di tangannya. Danish menebak-nebak kalau isinya belanjaan warung. Enggak, maksudnya Danish juga suka beli hal-hal di warung kayak sampo, sabun, dll. kalau stok belanja bulanannya habis di tengah bulan. Maksudnya Danish lucu aja melihat Syifa dalam keadaan seperti itu. Maksudnya, ya, gitu deh...

“Oh, keabisan bensin ya?” Syifa manggut-manggut. Tapi sebelum Danish bisa menimpali, Syifa beralih ke kucing di gendongannya yang ia timang selayaknya bayi, “Ternyata kakaknya keabisan bensin, Pus.” lalu kucing itu balas mengeong, seolah menimpalinya. Danish sampai terpana.

Gemes banget..

Kucingnya. Ia dengan cepat meralat pemikirannya sendiri. Kucingnya.

“Lo belanja apaan tuh?” Tanya Danish, enggak buru-buru beranjak sehabis si Ibu menyerahkan uang pecahan 5000-an kembaliannya dan ia berterimakasih.

“Nih, beli telor buat makan.”

“Kos lo dimana emang?”

“Muterin blok ini aja Kak. Kak Danish ngekos dimana?”

“Deketan juga. Lo jalan?”

“Iya.”

“Bareng gue aja?”

Danish enggak tahu, kenapa tiba-tiba dia nawarin Syifa buat mengantarnya pulang. Danish cuma berdoa Syifa enggak baper, atau mikir yang aneh-aneh. Soalnya dia juga enggak berniat yang aneh-aneh, cuma ingin aja. Yang Danish tahu, kalau lagi sama Syifa, rasanya Danish lupa sama dunianya yang lagi monokrom. Dan Danish suka perasaan itu. Syifa sama tingkahnya selalu berhasil bikin dia lupa sama hal-hal yang ingin dia lupakan. Untung kayaknya Syifa enggak berpikir apa-apa. Dia cuma tersenyum senang, “Boleh.”

“Itu mengnya lo tinggalin?”

“Iya, ini emang mengnya ibu warung hehe. Dah meng!” Mengnya didadahin.

Gemes banget (2).

Tapi begitulah, Syifa kemudian duduk di jok belakang Danish. Baik ia maupun gadis itu memilih melewati beberapa menit dalam hening. Sampai waktu Danish hampir sampai ke kosan yang Syifa maksud, gadis itu membuka suaranya.

“Eh kak, bentar lagi ada festival anime sama manga anak-anak Sastra Jepang kan ya.” Syifa melarikan pandangannya sewaktu tatapan mereka bertemu di spion, “Kak Danish mau dateng enggak?”

Perasaan Danish aja, atau suara Syifa makin kecil dan pegangannya ke besi belakang motornya itu untuk sedetik semakin mengerat? Seolah dia butuh sesuatu untuk dicengkeram sedemikian kuatnya guna menahannya agar tidak goyah. Danish menelan senyumnya, jangan-jangan Syifa baper sama dia?

Enggak ah, enggak mungkin. Syifa kan ceweknya Levi Ackerman. Mana mungkin baper sama Danish Ackerman. Tapi lagi-lagi yang Danish tahu, kalau lagi sama Syifa, rasanya dunianya kembali berwarna. Dan Danish suka dunianya yang seperti itu. Makanya, tepat ketika ia memelankan laju motornya sebelum menanjak melewati polisi tidur dan membuat Syifa sedikit kaget sehingga tanpa sengaja mencengkeram jaketnya karena terlalu tiba-tiba, Danish menjawab saja sebagaimana yang dia inginkan.

“Boleh tuh Syif.”

Danish pikir, wajah Syifa dari spion sudah semerah tomat nasgor yang tadi dimakannya di kantin FK. Danish pikir juga, mungkin enggak masalah kalau Syifa emang baper sama dia. Maksudnya kan, biar nanti dia yang tanggung jawab begitu.


Ralat, kayaknya malah Danish yang baper sama Syifa deh.

Selain di malam festival dia dandan cantik banget dengan dress putih dengan aksen pita biru di lehernya dan totebag hitam polos karena katanya dia lagi cosplay jadi Meiko Honma (minus totebag polosnya tentu aja), dia juga pegangan ke Danish pas bonceng. Soalnya hari ini dia duduk menyamping, enggak kayak Sabtu kemarin waktu dia ketemu cewek itu siang-siang practically pakai piama. Suasana festival jejepangan yang sesak penuh orang-orang juga enggak membantu pemikiran Danish kalau mereka lagi daato. Alias nge-date. Alias kencan.

Lo halu Nish.

Kayaknya Danish emang halu. Tapi semesta lebih halu lagi. Soalnya di tengah-tengah menonton penampilan live sebuah band, yang Danish enggak tahu namanya, yang lagi menyanyikan ending-nya Zoku Natsume Yuujinchou yang judulnya—ehem—aishiteru, tiba-tiba hujan turun begitu saja. Membuat semua pengunjung yang kebanyakan mahasiswa berhamburan keluar dari lapangan olahraga kampus mereka, termasuk Danish sama Syifa, yang segera merapat ke stand takoyaki.

Hey, although i want to understand

there are still too many things i could not comprehend

that is why while these two bodies that would never become one

i would embrace them with all my might

Danish enggak berkedip. Hanya ketawa-tawa menatap Syifa yang juga tengah tergelak geli sehabis menembus tirai hujan bersamanya. Hanya ketika Syifa menatapnya balik, matanya begitu lain dan mereka telah sama-sama berhenti tertawa.

with only your presence the world would evolve

the monotonous scenery will even burst into a fountain of colors

before we've realized it

our separated hands are held together as we are walking side by side

Lagu itu masih berlanjut. Dan kayaknya baik Danish maupun Syifa sama-sama sadar ada yang berbeda di antara mereka. Sejenak Danish takut kehilangan sesuatu tapi kemudian Syifa tersenyum. Syifa tersenyum dan Danish merasa lega bahwa enggak ada yang canggung di antara mereka.


Pagi itu cerah sekali. Danish bangun dan menemukan satu pesan dari Syifa.

Kak, mau sarapan bareng gak nanti?

Danish tersenyum kecil. Sejenak ada hangat yang menjalar di wajahnya mengingat semalam mereka terpaksa neduh di warung makan indomie sampai larut hanya menunggu hujan reda dengan jaketnya bertengger di bahu gadis itu. Kemudian ia ingat aja kalau dia kangen makan nasi kuning.

Boleh. Deket kosan gue ada tempat nasi kuning yg enak tuh. Mau gak Syif?

Sent.

Read. Jantung Danish berdegup tidak sabar. Apa jawabannya?

Boleh Shareloc aja kak aku abis kelas

Danish mengetik lagi. Gue ke sana sekarang ya? Sebelum menghapus pesannya dan menimbang sebentar.

Aku ke sana sekarang ya?

Segera setelah mengirim pesannya Danish bangkit untuk bersiap-siap sebelum mengambil dompet dan HP-nya. Danish melirik kamar Adimas yang masih tertutup rapat, udah beberapa hari ini mereka emang jarang ketemu. Padahal biasanya dia sama Adimas bakal jalan kaki dari kosan ke warung nasi kuning kesayangan mereka itu. Tapi hari ini Danish berjalan sendirian, melewati rumah-rumah lain yang kebanyakan juga adalah rumah kos-kosan.

Karena warung nasi kuning itu terletak di antara kos-kosannya dan kampus mereka (tadi Syifa bilang dia abis kelas), mereka memutuskan ketemu di warungnya aja. Danish tersenyum kecil sesampainya ia di warung sederhana itu, dirogohnya saku celana pendeknya guna mengeluarkan HP untuk mengabari Syifa kalau dia udah sampai.

“Lama ndak ke sini Mas Danish?” Sapa Ibu yang udah dikenalnya baik sejak jaman ia dan Adimas masih maba beler. Danish sebentar-sebentar mengalihkan matanya dari layar ponsel demi membalas senyum si ibu.

“Biasa bu, banyak kegiatan akunya hehe.” Danish cengengesan.

“Walah, udah kayak pejabat aja Mas Danish ini.”

“Loh ya doain jadi calon pejabat beneran dong bu.”

Danish kemudian memilih duduk di atas kursi kayu panjang yang disediakan setelah melontarkan pesanannya sembari berharap Syifa suka menu yang dia pesan. Nasi kuning kesukaannya lengkap dengan lauk pauk dan satu porsi es teh. Sekilas ia bertanya-tanya kalau Adimas udah sarapan tadi pagi waktu sebuah seruan menginterupsi pemikirannya.

“Ibu!”

Dan seketika Danish mematung.

Bukan.

Bukan karena ketiba-tibaannya. Tapi karena suaranya. Bahkan tanpa harus menoleh Danish kenal suara ini dimanapun. Suara yang dulu kerap menemaninya di sesi nugas bersama mereka di perpus, atau di kafe, atau janjian untuk makan siang di kantin, atau sekadar nongkrong di kedai jus tak jauh dari kampus sembari menunggu mata kuliah berikutnya.

“Eh, Nish?”

Ini suaranya.

Danish akhirnya memberanikan menoleh hanya untuk menemukan—

“Lho, Mas Danish kenal Mbak Jani juga?”

“Kenal lah Buk.” potong Anjani sembari menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya sebelum ia kembali kepadanya.

“Nyari UKM ya?”

“Hah? Enggak.. ngelihatin ini aja biar enggak kelihatan gabut banget gue.” dia ketawa. Kontrari sama penampilannya yang meninggalkan beribu kesan, ekspresi wajahnya melembut ketika ia ketawa. “Untung lo nyapa gue duluan. Gue enggak bisa nyapa orang duluan”

“Introvert much huh?”

“Pft yeah, first time with one, Mr. Extrovert?”

“Tahunya gue extrovert?”

“Gue kan tadi lewat pas lo ngobrol sama teman-teman lo itu.”

“Mereka bukan teman gue” Danish berdecak, “Kecuali cowok yang tinggi itu tuh. Sekosan sama gue.”

Alis perempuan itu menukik naik tapi diiringi ujung-ujung bibirnya yang tergerak juga.

“Danish” Danish mengulurkan tangannya kaku. Gadis itu ketawa lagi.

“Anjani”

Anjani? Dahi Danish mengerut. Kepalanya mengingat salah satu judul film indonesia keluaran 2008 yang salah satu tokoh utamanya memiliki nama yang sama dengannya. Tapi sebelum ia bertanya gadis itu melipat tangannya di dada lalu berkata sewot, “kalau lo mau nanya 'Jani? Pacarnya Radit dong?' Atau 'Jani? Cowok lo Vino G Bastian dong?' gue enggak mau ya jadi temen lo.”

Mengundang tawa lolos dari keduanya.

“Basi ya?”

“Banget.”

Hening sebentar.

“Tapi cowok lo ngeband juga enggak kayak Vino G. Bastian?”

“Iiiiish!”

“Nish?” Senyum Anjani merekah penuh tanya.

Senyum yang sama yang ia lihat di hari pertama mereka sekelas. Senyum Anjani yang selalu duduk di bangku depan. Senyum Anjani yang juga adalah sahabatnya dan pacar Adimas. Danish tidak tahu kenapa tapi mendadak ia merasa sesak sekali. Semua rasa sakit yang ia kira sudah hilang karena usahanya berbulan-bulan untuk pulih kembali menyergapnya tepat sasaran.

“Ish, lo kemana aja sih Nish? Susah banget ketemu lo, BEM sibuk banget ya?” Anjani mengambil tempat duduk di depannya setelah memesan entah apa, Danish enggak terlalu mendengarkan soalnya otaknya udah kena arus pendek.

“Hah? Iya hahaha. Lo ngapain di sini?”

“Oh, nih.” perempuan itu menunjuk etalase kaca di depan mereka, lagi-lagi menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga seperti kebiasaannya sebelum kemudian menumpu dagunya di tangan kanan, “mau beli nasi kuning buat Dimas. Dia kan suka banget tuh. Ya bu ya?”

Cantik. Danish sesak. Anjani masih secantik yang ia ingat.

“Iya, sakit apa Mbak Jani, Mas Dimasnya? Udah dua hari gak ke sini.” timpal Ibu, menyita perhatian Danish sejenak.

“Kecapekan aja Bu kayaknya, dia kan anaknya suka ngide semuanya diikutin.”

Adimas sakit? Kepala Danish berputar. Dia bahkan enggak tahu soal itu.

“Lo kenapa Nish?” tanya Anjani pelan, menyadari gelagatnya yang aneh. “Danish, lo enggak apa-apa?”

“Enggak gue.. belum sarapan.”

“Coba sini, lo sakit juga?” Tangan kecil Anjani terjulur untuk menyentuh dahinya.

Berapa lama?

Danish penasaran setengah mati, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk seseorang sembuh dari patah hati?

Berapa lama sampai hati seseorang berhenti bercekit ketika ia mengingat pahit yang dirasa dan alasan dari rasa sakitnya? 1 kali 24 jam? Atau 100 kali 24 jam?

Berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai tubuh kita berhenti memproduksi hormon adrenalin serta kortisol secara berlebihan? Danish pikir beberapa bulan akan cukup untuk menegosiasi semua sakit yang ia dera setiap melihat gadis itu dan sahabatnya sendiri bercengkerama sebagai kekasih. Di kantin, di lobi, di kelas. Tapi ia salah. Enggak ada yang bisa menegosiasi rasa sakitnya. enggak ada yang bisa menegosiasi rasa sakit siapapun. Danish merasakan dunianya perlahan kembali kehilangan warnanya. Tapi kali ini Anjani bukan sesuatu yang ia rindukan. Dan sentuhan tangannya seperti membakar.

Kemudian...

“Kak Danish.” sebuah suara lain menarik Danish pelan.

“Lama ya?”

Danish menoleh, entah bagaimana menemukan kelegaan yang menggantikan nyeri bahkan sebelum ia melihat siapa yang baru saja memanggil namanya. Danish tahu saja. Suara itu. Sepasang mata itu. Syifa.


Bukannya Danish tidak pernah menduga Adimas akan jadian dengan Anjani. Sebaliknya, Danish udah menyadari perasaan teman seatapnya itu bahkan sebelum yang punya hati sendiri menyadarinya.

Danish ingat pertama kali melihat Adimas enggak bersikap ramah adalah waktu anak-anak tongkrongan mereka membawa-bawa nama Anjani dengan nada yang... ya bayangin aja deh cowok-cowok kalau lagi nongkrong terus ngomongin cewek, mereka ngomonginnya gimana. Rasanya saat itu Danish setuju mengutuk bangsanya sendiri dengan kata-kata andalan para SJW di twitter bahwa men are trash. Sampah emang mereka semua.

Sementara Adimas memang enggak mengatakan apapun, tapi rautnya mengeras dan setelah itu dia menolak ajakan nongkrong dengan berbagai alasan. Danish tahu Adimas bukan tipe orang yang akan repot-repot ribut sama orang karena selama Danish mengenal Adimas, bisa dibilang dia orang yang amat terkendali dan tahu bagaimana caranya membawa diri. Makanya temannya banyak. Hanya malam itu saja reaksi Adimas begitu lain.

“Tadi lo kenapa man?”

Danish bertanya hati-hati, tapi Adimas bahkan enggak merenggut kedua matanya dari gitar yang sedang dimainkannya di lantai kamar indekosnya waktu dia menjawab dengan santai, “Gue enggak suka sama omongan mereka”

Adimas meletakkan gitarnya sebelum mendongak menatapnya serius, “Cewek tuh bukan objek buat lo omongin kayak gitu, Nish”

Pernah melihat orang yang biasanya senyum dan ramah ke semua orang tiba-tiba memasang ekspresi serius? Sama, Danish juga baru sekarang melihatnya dan dia harus bilang itu jauh, amat sangat lebih menakutkan daripada melihat orang yang emang biasanya marah-marah.

“Bayangin kalau ada bangsat yang ngomongin ibu, atau kakak, atau adik perempuan lo kayak gitu”

“Katanya rapat, rapat ngomongin cewek maksud lo?”

Danish mengangguk, menyuap satu suapan dari mie tek tek yang ia beli di jalan pulang sama Adimas tadi, gak tahu kenapa punya Adimas belum dimakan. Mungkin udah keburu eneg duluan sama obrolan cowok-cowok di tongkrongan tadi, “Harusnya tadi lo ngomong gitu aja ya depan mereka, terus gue backup”

“Terus ribut sama orang kayak mereka?” Adimas menggeleng ogah, meraih lagi gitarnya dan kembali memetik beberapa nada pelan dan seketika Danish tahu, Adimas enggak benar-benar sedang ingin bermain seperti biasa, dia cuma berusaha mengalihkan amarahnya.

“Cukup tahu ajalah gue. Not worth it”

Danish menyuap nasinya dalam hening, melirik Dimas yang kembali melampiaskan amarah dengan memetik sinar gitar. Walaupun diam-diam menyetujui omongannya, entah bagaimana Danish tahu Dimas enggak cuma marah karena omongan anak-anak di tongkrongan tadi soal cewek-cewek di kelas.

Kemudian Danish menyikut Dimas sengaja, “Mie tek tek lo dingin noooh”

Di lain waktu, Danish juga selalu bisa merasakan gerak-gerik Adimas yang berubah kaku setiap Anjani menyapanya. Entah itu di parkiran motor, di kantin atau di perpus. Dua tangannya yang mengepal di kedua sisi dan matanya yang berlarian ke segala arah kecuali Anjani. Bahkan walaupun Danish tidak sedang melihat ke arah Adimas, Danish bisa merasakan temannya itu tengah menahan napas.

“Daniiish!”

Danish melambaikan tangan balik ke Anjani. “Pulang Jan?”

“Hooh, gojek gue di depan. Duluan ya!”

Gila. Di sebelahnya ada pujaan hati satu FISIP tapi sama sekali enggak disebut-sebut. cuma dilirik sekilas saja, sebelum Anjani kembali tersenyum ke arahnya. Ke arahnya. Ke arahnya.

Atau saat mereka satu kelas dan Adimas minta bertukar tempat duduk dengannya demi sekelompok sama Anjani, tapi Anjani malah lebih sering menghampiri bangkunya. Bener-bener ya itu cewek.

Tapi Danish enggak nyangka Adimas akan bisa melewati tembok di antara mereka berdua begitu saja dalam dua semester.

Malam waktu Adimas bercerita kalau ia akhirnya bisa ngobrol lagi sama Anjani dan bahkan mengantarnya pulang, Danish tahu ia tinggal menunggu waktu sampai mereka meresmikan hubungan. Yang Danish tidak tahu, ternyata kebahagiaan Adimas dan kebahagiaannya tidak berada pada satu garis linear. Yang Danish tidak tahu, ada alasan kenapa ia selalu tersenyum lebar sekali setiap kali Anjani ada di sekitarnya. Kenapa ia suka sekali memperhatikan gadis itu duduk di barisan depan di kelas, cara dia mencatat materi yang diberikan oleh dosen, kerutan di dahinya. Danish juga suka semua yang dipakai Jani setiap hari. Pilihan kemeja atau kausnya, aksesorinya yang warna-warni, sama riasannya yang cukup berani. Dan kenapa sapaan dari Anjani saja bisa membuatnya merasa seolah dia sedang melawan gravitasi. Bodohnya, ia baru menyadari itu semua setelah Jani jadian sama Dimas. Bodohnya selama ini dia bahkan tidak pernah sempat memperjuangkan. Bodohnya selama ini terlalu nyaman mempertahankan Jani di sampingnya sebagai teman. Dan Jani tidak pernah tahu.

Tidak bahkan dengan bagaimana selama ini Danish selalu berusaha ada untuknya. Tidak dengan bagaimana waktu Anjani butuh tempat bercerita, Danish selalu ada, baik secara langsung maupun hanya dalam jaringan telepon hingga larut malam. Anjani enggak pernah tahu.

Anjani enggak pernah tahu sorotnya setiap harus melihat gadis itu dengan sahabatnya sendiri di kantin. Bagaimana setiap kedua mata mereka bertemu dan Anjani tersenyum ke arahnya Danish harus mati-matian menyembunyikan sakit yang bercekit di dadanya.

Dan betapa Danish enggak sanggup bertemu Adimas karena cuma wajah Anjani yang akan terbayang.


“Kak” segera setelah Anjani berpamitan, suara Syifa membuyarkan lamunannya.

“Ya?”

Dua alis Syifa menyatu simpati. “Dia orangnya?”

“Hm?”

Giliran Danish tertegun.

“Maksud lo Syif?”

“Yang bikin Kak Danish kayak gini”

“Gue enggak apa-apa”

“Kak” Syifa tersenyum bersahabat, “elo enggak bisa nipu gue lagi”

Danish diam, bukan untuk yang pertama kalinya sejak ia bertemu Anjani beberapa menit yang lalu.

“Gue cuma perlu waktu aja Syif” ia akhirnya membuka suara, “harusnya gue bisa bahagia kalau dua teman gue bahagia tapi ternyata enggak segampang itu”

Syifa enggak mengatakan apapun, hanya mengusap pelan pundaknya, pelan saja dan ragu-ragu. Seolah ia takut ia mungkin membuat Danish merasa enggak nyaman. Entah bagaimana bagi Danish semuanya terasa lebih ringan dan memungkinkan sekarang.


(“Bentar, gue enggak pernah nanya di Shingeki No Kyojin lo paling suka pasukan apa”

“Pasukan pengintai. Pasukan yang menggambarkan kalau di tengah semua kekacauan yang paling kacau sekalipun selalu ada harapan”)


Jadi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk seseorang sepenuhnya sembuh dari patah hati?

Danish baru tahu jawabannya ketika ia berdiri dengan Hasyifa Febrianti di sebelahnya, berbalut (lagi-lagi) gaun putih dengan cantiknya sembari menyalami tamu-tamu. Kok bisa ya perempuan itu enggak ada capek-capeknya? Padahal Danish aja udah mau pulang tapi urung. Ya iyalah, kan dia yang punya hajatan. Lagian, dia belum melihat dua orang yang paling ia nanti-nanti.

“Mas” Syifa menoleh ke arahnya dengan senyum, untuk sesaat Danish terpaku karena man, Syifa cantik banget dan lagi-lagi untuk keseratus kalinya hari ini Danish merasa beruntung perempuan itu kini sudah sah menjadi istrinya. Kok kayak enggak nyata banget, ya. Tapi menyadari gestur Syifa, Danish pun akhirnya menoleh mengikuti kerlingan mata si cantiknya. Demi menemukan Adimas..

dan Anjani.

“Adiiiiimaaaaas my man” Danish memanggil Adimas.

“Parah, ini istri lo di sini niiiiih” Adimas menggestur ke Syifa yang tengah menyalami Anjani kalem, sementara Anjani cuma ketawa kecil di balik pundak pacarnya itu.

“Maksudnya ini hari terakhir kamu jadi cowoknya kali?”

“Dih aku kan cowok kamu” balas Adimas setengah bergidik.

“Duuuh abis ini ada yang nyusulin kita kayaknya ya Syif?” Danish mencolek Syifa, seketika membuat Adimas ketawa tapi kemudian berbisik “doain aja” sementara Anjani cuma tersenyum dengan cuping telinga yang memerah.

“Amin” gumam Danish balik.

“Amin” ulang Adimas, kemudian menepuk pundaknya pelan, dan menyalaminya penuh.

“Selamat ya, Nish” ujarnya, kali ini dengan sorot mata yang serius namun masih teduh khas sahabatnya itu. Si ganteng pujaan hati satu FISIP.

Danish menatap Adimas haru. Terlebih ketika Adimas tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan yang bersahabat. Dua matanya bertemu dengan Anjani yang tersenyum ke arahnya dan ikut menyalaminya.

Anjani yang pernah membuatnya jatuh hati di satu waktu di hidupnya. Anjani yang pernah membuat hatinya patah sepatah-patahnya, tapi juga Anjani yang menjadi sebuah tanda yang kemudian membawanya sampai di sini.

“Selamat ya Nish, bahagia selalu” Anjani berujar, tepat setelah Adimas melepaskan pelukan.

“Lo juga”

Lo dan Adimas juga.

Dan Danish memaknainya. Danish hanya ingin kedua sahabatnya mendapatkan apa-apa yang paling baik dari dunia ini. Ia tersenyum ketika Anjani melambaikan tangan dan menyusul Adimas yang menunggu di sampingnya untuk kemudian menggenggam tangannya, senyum yang mengembang di wajah keduanya menularkan senyum yang sama di hatinya. Tidak lagi ada rasa sakit yang bercekit, tidak lagi ada keberatan, pada akhirnya Danish merasa rongga dadanya diisi kapas-kapas yang bisa membuatnya terbang kapan saja begitu ringannya.

Usapan tangan mungil di sikunya. Danish menoleh ke arah perempuan yang bersanding dengannya hari ini. Pada akhirnya Danish tahu, mungkin waktu bukan satu-satunya jawaban. Tapi waktulah yang sudah menyampaikan jawabannya ke depan muka rumahnya seperti ini.


Even the smallest cut needs time to recover only time will tell If I will love another (Time Will Tell, The Overtunes)


Mains Kim Donghan as Danish Arfa Rasydan Xiyeon as Hasyifa Febrianti Image

Sides Kim Donghyun as Adimas Reza Sinatria Park Jinny as Anjani Puspita Image

Extras Baekho/Kang Dongho as Gadafi/Bang Dafi Kyulkyung as Keisya Image

pangeran kecil

Papah sering cerita ke aku, kalau rumah kami ini dibangun dari cinta.

“Rumah kita dibangun dari cinta lho, Kak.”

Kayaknya sih dia cuma iseng aja, bilang begitu di tengah kegiatan kami mencuci mobil setelah selesai sepedahan Minggu pagi agar aku ketawa. Tapi bukannya ketawa, aku malah hanya bisa senyam-senyum, membuatnya menyenggol lenganku pelan.

“Kok enggak ketawa, Sa?”

“Habis kayaknya bener sih Pah.” sahutku kalem, menahan senyum.

Papah menatapku lama, seolah ekspresiku adalah teka-teki yang harus dipecahkannya, tapi aku tetap tersenyum. Papah kemudian menautkan alisnya heran, meski diusapnya juga puncak kepalaku lembut sebelum membalas senyumku. Tahu kan sekarang, kalemnya aku ini menurun siapa?

“Papah baru tahu anak Papah romantis banget kayak pujangga.”

“Kan emang anaknya pujangga. Papah gimana sih?”

Papah yang enggak lagi minum apa-apa entah bagaimana bisa keselek, “Maksudnya, Kak?”

“Maksudnya Kakak enggak sengaja baca surat-surat Papah buat Mamah dari jaman Majapahit, alias jaman kalian masih pacaran.”

Papah keselek lagi, menatapku dengan mata bulat enggak percaya. Kalau lagi kayak gini, rasanya aku mengerti kenapa tante, om, dan orang-orang di sekitar kami seringkali bilang aku mirip banget sama Papah. Bentuk mata kami memang amat serupa. Mata bulat Papah itulah yang seringkali kulihat di cermin.

Papah juga masih muda. Meski sudah enggak semuda dirinya di foto-foto lamanya bersama Mamah yang ia simpan di album kenangan dan folder-folder di komputernya—dan yang kadang aku buka kalau lagi ingin turut merasakan kenangan-kenangan mereka lewat foto-foto itu. Rasanya menyenangkan menelusuri perjalanan mereka seperti itu. Seolah aku sudah menjadi bagian mereka sejak mereka masih pacaran dulu. Ada foto mamah di kencan pertama mereka-bioskop salah satu mall yang sekarang sudah dipugar, foto Papah di kencan kedua mereka—warung seafood pinggir jalan dan kencan-kencan lainnya yang sebetulnya masih bisa dihitung menggunakan jari kedua tangan dan kaki.

Papah dan Mamah memang cuma punya satu album kenangan dari masa pacaran mereka. Menurut Papah, hal itu karena mereka berpacaran di usia yang mengharuskan mereka untuk sedang sibuk-sibuknya. Papah dan Mamah yang ternyata alumni dari kampus yang sama dipertemukan lagi ketika mereka sama-sama bekerja di sebuah perusahaan rintisan di ibu kota. Meski semasa kuliah mereka tidak begitu mengenal, sebagai dua orang yang sama-sama berada di perantauan, Papah dan Mamah dengan cepat mengakrabkan diri. Menurut Papah sama Mamah kisah mereka sama sekali enggak romantis, karena bahkan untuk bertemu saja mereka cuma bisa mengandalkan libur hari minggu. Menurutku, itu justru amat sangat romantis.

“Kamu nemu dimana, Sa?”

“Di gudang. Waktu aku nemu kamera filmnya Mamah itu.”

Yang kumaksud adalah kamera analog tua yang kutemukan di gudang kecil rumah kami. Tadinya aku lagi nyari glass deco yang sering aku mainkan waktu aku masih SD, tapi kamera itu lebih menarik perhatianku dibanding sekotak puzzle 3D. Kamera itu ada di sebuah kotak kardus berisi surat-surat tanpa perangko. Jadi kuasumsikan surat-surat itu memang enggak pernah dikirim lewat kantor pos. Surat-surat itulah puisi-puisi Papah yang entah apakah sudah pernah dikirimkan atau belum.

“Punya Mamah itu, mamah dulu suka foto papah pakai itu.” begitu penjelasan Papah mengenai barang temuanku hari itu. Aku memutuskan membawa kotak kardus itu ke kamar, dan cukup bersenang-senang mengotak-atik barang peninggalan mereka tersebut.

Mendengar ceritaku Papah berdecak seolah aku baru aja bermain curang.

“Kenapa Pah? Malu ya ketahuan kalau dulu yang bucin itu Papah?” ganti aku yang menyenggol lengan Papah yang kini berjongkok membersihkan ban di sampingku.

“Ada juga Mamah yang bucin Papah, Kak.”

“Papah yang nulis kalau Mamah perempuan supernya Papah,”

Papah menghela nafas sebelum menggaruk tengkuknya salah tingkah.

“Berarti yang buciiiiiin...?”

“Ini rodanya kok belum dibilas sih, Kak.” Papah pura-pura berdiri untuk mengambil selang air. Membuatku tertawa karena usahanya untuk menghindar dari tuduhanku barusan.

“Seru banget, mamah boleh ikut nimbrung nggak?”

Lagi asyik begitu, Mamah yang sebelumnya sibuk di dapur datang membawakan sepiring bakwan udang yang masih hangat. Papah yang tadinya lagi tersipu-sipu karena kugoda, lantas melemparkan senyuman terlembutnya ke arah Mamah. Bener kan, bucin!

Papah sering cerita ke aku, kalau rumah kami ini dibangun dari cinta. Seraya Papah merengek minta disuapi sepotong bakwan udang karena tangannya masih penuh dengan sabun cuci mobil, dan seraya Mamah tertawa untuk tidak hanya menyuapi Papah tapi juga aku, aku menyetujui kalimat Papah tersebut.

Rumah kami ini dibangun dari cinta.

promise i'll stay here 'til the morning (and pick you up when you're falling)

a spinoff from: https://www.wattpad.com/906210721-fivenally-5-love-languages-quality-time-yudis

satu dari banyaknya minggu pagiku, kadang-kadang aku akan menemukan diriku terbangun di pelukanmu.

wajahku tenggelam di bidang dadamu dan kedua tanganmu masih mengunciku erat.

aku akan ingat malam sebelumnya, kita makan malam bersama di apartemenmu ditemani salah satu koleksi filmku. seperti semalam ketika kita menghabiskan setengah porsi pasta gandum kesukaanmu dan menonton komedi romantis berdua. meski aku tidak pernah tahu bagaimana akhir filmnya karena kamu membuatku sibuk dengan hal lain.

kamu bukan tipe orang yang mudah bangun pagi dan karena itu aku tidak pernah menemukanmu di sampingku dalam keadaan terjaga setiap kali aku bangun lebih dulu. matamu selalu terpejam rapat-rapat ketika aku mendongakkan kepala untuk mencari tahu apakah kamu sudah bangun sepenuhnya dan tarikan nafasmu amat teratur seolah ini pertama kalinya kamu tidur nyenyak dalam seminggu.

kamu memang selalu tidur nyenyak sekali pada hari minggu.

bukan berarti aku tahu bagaimana kamu tidur di hari yang lain, mengingat aku hanya bisa mengunjungimu setiap akhir pekan dikarenakan kesibukan kita. tapi kamu memang terlihat begitu.

seperti orang yang baru pertama kali tidur nyenyak dalam seminggu.

“capek ya, dhis?” aku seringkali bertanya demikian tapi kamu cuma akan membalasnya dengan senyuman dan kalimat gombal, “udah ilang abis lihat kamu.”

dan aku tetap akan ketawa, meski kadang-kadang aku berharap kamu akan bilang saja kalau kamu sedang merasa begitu letih.

“kamu bukan malaikat dhis, kamu boleh capek.” aku ingat, sekali waktu aku pernah bilang begitu. dulu waktu kantor kita masih sama dan aku bisa menginap di tempatmu kapanpun aku mau. atau kapanpun kamu mau.

“iya, aku tahu kok. makasih udah mikirin aku ya.” kamu berusaha menenangkan.

then stop acting like you're one, nanti orang-orang akan berharap banyak sama kamu. kayak yang udah-udah.”

aku ingat kamu cuma tersenyum simpul, sebelum memelukku dari belakang seperti yang selalu kamu suka, “kalau itu, enggak janji.”

“dhis.” aku berbalik, menemukanmu dengan senyuman di wajah tapi dua matamu terlihat lelah.

kamu selalu terlihat lelah.

“aku enggak pernah berusaha jadi malaikat sayang.” kamu meraih tanganku dan mengecupnya. dan entah kenapa saat itu juga aku langsung tahu maksud dari perkataanmu. kamu enggak pernah berusaha terlihat peduli sama orang-orang di sekitarmu. kamu enggak pernah berusaha untuk terlihat bertanggung jawab. kamu enggak pernah berusaha, karena memang begitulah kamu. yudhis yang enggak akan bisa acuh. yudhis yang enggak akan bisa begitu saja melepaskan diri dari tanggung jawabnya. yudhis yang enggak akan pernah mengorbankan orang lain untuk dirinya.

“captain america pasti bintangnya capricorn ya dhis, kayak kamu.”

“kalau gitu berarti agent carter leo.”

aku menyerah. kalau urusan gombal, udah pasti kamu yang menang.

biasanya juga, aku akan menghabiskan beberapa menit pertama di minggu pagiku dengan memandangi wajahmu yang masih di alam mimpi. sebab konturmu yang lembut membuatmu selalu terlihat seperti bayi. meski ketika kamu terjaga biasanya aku berpikir kamu acapkali terlihat lelah seolah di pundakmu ada beban berkilo-kilo.

kuusap wajahmu dengan sebelah tangan, berharap dengan begitu aku bisa mengambil sedikit beban yang kamu pikul. hanya ketika aku beringsut, lenganmu segera menarikku dan membawaku mendekat.

“pagi.” sapaku.

“pagi, sayang.” suaramu serak, tetapi dengan begitu hariku baru saja dimulai.

enggak apa-apa dhis, enggak usah buru-buru. (kuusap lagi lembut wajahmu.) ini hari minggu.

i don't wanna love you (but i'm loving you right now)

judul diambil dari https://youtu.be/FyaiCdFlEYE


taman itu terletak tepat di antara gedung fakultas teknik dan fakultas kedokteran. jaraknya dari lobi kedua gedung cuma sepelemparan batu saja. meski agar bisa membuat batu itu mendarat ke lobi FK atau FT jelas butuh tenaga ekstra.

bima cuma suka memperhatikan mahasiswa-mahasiswa yang sering berlalu-lalang di sana. baik yang singgah untuk sekadar nongkrong sama teman-temannya atau yang cuma numpang lewat.

entah sejak kapan pula, merokok di sana seperti telah menjadi lebih dari sekadar kebiasaan baginya. kalau dulu di tahun-tahun pertamanya ia sering membunuh waktu di taman ini bersama teman-teman sekelasnya sembari menunggu kelas berikutnya dimulai, sekarang ia lebih sering duduk sendirian di salah satu bangku semen di bawah pohon palem itu, bahkan ketika jadwalnya tidak mengharuskan ia untuk berada di sekitar kampus.

dihisapnya sebatang rokoknya dalam-dalam sebelum menghembuskan asapnya pula panjang-panjang, nyaris seperti ingin menyombongkan kapasitas paru-parunya pada entah siapapun yang kiranya cukup peduli untuk menaruh sedikit perhatian meski sudah jelas-jelas merokok dilarang di kampusnya.

beberapa junior yang mengenalnya sebagai salah satu senior menyapanya sesekali. dulu ialah yang pertama memprakarsai gerakan gerbong kereta api ini dengan mendeklarasikan area tersebut secara tidak sah sebagai area merokok bagi anak-anak teknik setelah tahu kalau taman itu luput dari pengawasan pihak-pihak kampus. maka itu, bukan hal yang mengherankan jika kalian mungkin enggak akan menemukan banyak anak kedokteran berkeliaran di sekitar sana meski sebetulnya taman itu terletak di antara gedung dua fakultas.

tetapi hari inipun rupanya tidak ada yang lain. bima menyapukan matanya ke area sekitar gedung fakultas kedokteran yang jika disandingkan dengan gedung-gedung fakultas lain akan nampak lebih berumur. rasanya ia bisa membayangkan penglihatannya menembus dinding-dinding tua itu demi menemukan seseorang yang sejak tadi ia cari.

ia baru hendak beranjak ketika seseorang yang sejak tadi tidak ada dimanapun kecuali di kepalanya kini nampak tengah berjalan ke arahnya. membuatnya kembali terpaku.

“nisa!”

bahkan dari jarak yang membentang dari taman ini hingga selasar gedung fakultas paling bergengsi di kampusnya itu, ia bisa melihat gerakan perempuan tersebut yang segera terhenti ketika seseorang memanggil namanya.

dilihatnya kemudian perempuan itu bercakap-cakap dengan lelaki berkemeja putih yang memanggil namanya barusan sebelum tertawa ringan, mengatakan sesuatu yang luput dari indera pendengaran bima. hari inipun perempuan itu mengenakan terusan dengan warna cerah dan totebag berwarna pastel yang tersandang manis di bahu.

bima merasakan jantungnya berpacu.

aneh, rasanya ia hampir-hampir bisa melihat betapa berbedanya perempuan itu dari perempuan-perempuan lain di seluruh penjuru fakultas kedokteran (atau barangkali seluruh bumi). betapa hitam-putihnya dunia di sekitarnya yang adiwarna, dan betapa bahkan hanya caranya berjalan dan mengerling pun begitu lain. seolah ia datang dari dunia yang sama sekali berbeda dari mereka semua.

seperti alien, batin bima dalam hati.

ingatan bima melayang pada hari dimana ia harus turun sebagai salah satu kontingen basket di turnamen kejuaraan olahraga antar fakultas tiga semester lalu dan dengan tololnya jatuh terguling di lapangan sewaktu petakilan menirukan gaya dunk tokoh animasi favoritnya. membuatnya dengan segera dipinggirkan dari permainan oleh anak-anak KSR yang berjaga.

“ada betadine gak?” tanyanya pada dua petugas palang merah yang kala itu memapahnya. tapi sebelum salah satunya menjawab, seorang perempuan telah lebih dahulu menghampirinya.

“sini, aku bersihin lukanya.” potong perempuan itu sembari menenteng kotak P3K dan berjongkok di sampingnya.

bima melongo, niatnya semula untuk bilang kalau cedera luar begini cukup ditetesin minyak luka saja hilang entah kemana dan seolah bisa membaca pikirannya, perempuan itu berkata lebih dulu.

“kalau enggak dibersihin bisa infeksi nanti.” ujarnya lembut, senyuman terutas ketika dua matanya menatap bima sekilas, “ini bukan alkohol kok, tenang, enggak perih.”

bima cuma melongo setelah perempuan itu selesai mengobati luka dan melilitkan perbannya.

“jangan langsung nge-dunk lagi ya.” ucapnya kemudian.

bima membaca bordiran nama di rompi berwarna oranye itu sekilas sebelum perempuan itu berlalu.

khairunnisa.

“woy! bima adi! kelas lu!” seruan dari arah yang sama sekali berlainan dari titik yang menjadi obyek observasinya menyita perhatiannya dengan segera.

“si anjing.” decak bima mendengar reno, senior sekaligus belahan jiwanya di kampus. tapi toh dilambaikannya pula tangannya, mempersilahkan kedua temannya itu sekiranya mereka hendak bersidahulu.

“ngapain lo? mau madol?” tuduh reno setengah berteriak.

“ngapain sih elo pada ke sini elah.” gumamnya akhirnya, ketika kedua sahabatnya ini malah justru menghampirinya dan ikut duduk di hadapannya.

“buset, dingin banget lo sama teman sendiri.” kali ini hanif yang membalas setengah kesal.

“kangen ini pacar lo. biasa, mau ngapel.” reno iseng menimpali seraya menyalakan sebatang rokok yang terjepit di antara bibirnya, membuat ia harus menerima makian dari kedua belah pihak. (“anjing.” “bangsat.”)

“buru, nungguin siape sih lo?”

bima cuma mengedikkan bahunya. diliriknya sekilas perempuan itu yang masih nampak berbicara dengan lelaki tadi.

“bribikanmu tah, su?” hanif ikut celingukan.

“gak lah.” ia buru-buru melepaskan pandangnya, menemukan kedua temannya cuma tergelak melihat rautnya yang berubah keruh seketika.

“alah, kebaca lo tuh. yang mana sih? yang rambutnya panjang itu?” hanif menunjuk salah seorang gadis yang tengah berkutat dengan telepon genggamnya tak jauh dari tempat mereka berada.

“ah bukan bukan, gue tahu nih yang tipenya si bimskuy yang mana, yang itu kan? yang selebgram itu.” giliran reno menunjuk seorang gadis berkuncir ekor kuda dengan sepatu hak tinggi yang tengah bercengkerama dengan teman-temannya. sapuan lipstik dan peronanya membuatnya lebih terlihat seperti supermodel daripada mahasiswi kedokteran.

tetapi bima tidak lagi mendengarkan kedua temannya pun memperhatikan perempuan-perempuan lain selain yang kini tengah berjalan ke arahnya setelah berpisah dengan lelaki berkemeja putih dan berambut rapi tadi. bima menahan napas. ia tahu satu-satunya alasan perempuan itu melewati taman ini hanyalah fakta bahwa ia selalu memilih tempat parkir di belakang gedungnya. dan entah bagaimana juga bima hafal betul di sisi mana perempuan itu biasa memarkirkan kendaraannya yang beroda dua. seolah itu informasi yang sama pentingnya dengan jadwal mata kuliahnya yang ia ambil di semester ini.

“eh nisa!” jantung bima mencelos ketika hanif malah memanggil namanya, membuat gadis itu berhenti dan bima kaku di tempatnya duduk. terkadang bima lupa kalau hanif yang gemar mengikuti berbagai macam kegiatan organisasi di kampus kemungkinan mempunyai banyak relasi bahkan hingga fakultas-fakultas lain.

sejenak perempuan itu-nisa-hanya melambaikan tangan ke arah mereka lalu, “hanif... dan kawan-kawan.” gumamnya lembut diikuti senyuman. kain lebar yang ia pakai untuk menutupi kepala hingga leher dan dada hanya menyisakan seraut wajah mungil dan senyuman yang membuat bima kesulitan mengalihkan kedua matanya. cantik, batinnya bergumam. nisa punya lesung pipi yang membuatnya ingin menjatuhkan diri di sana. bahkan ketika ia menutup hampir seluruh bagian tubuhnya, bima tetap bisa melihat pancaran kecantikannya. sesuatu yang amat distingtif tentangnya menurut bima, yang membuatnya mudah diidentifikasi dari manusia-manusia lain sebab demikian berbedanya ia.

“pulang nis?” tanya hanif lagi.

perempuan itu hanya mengangguk, “iya nih hanif. duluan ya.” ia melemparkan senyum buru-buru seraya membawa beberapa buku di tangannya ke dalam dekapan, “yuk nif, yuk teman-temannya hanif!”

“yo, nis.” balas bima pelan, yang disambut perempuan itu dengan senyuman. ini yang pertama. bima mengabaikan detak jantungnya yang mulai tidak karuan, menyandang tasnya dan mengantungi sisa rokoknya sepeninggalan perempuan itu.

“jadi yang mana ni-eh, kemana lo bim?”

“kelas lah.”

“buru-buru amat woy! pak! yang maneee ini cemceman lo, malah cabut.”

bima cuma menggeleng pelan sembari menahan senyum yang merekah di bibirnya mengingat apa yang baru saja terjadi.

“woy, yang maneee?” rangkul hanif ketika ia telah berhasil menyusul sahabat kepompongnya di koridor.

“yang tadi selebgram itu kan bener? deketin lah, jangan lo pandangin aja.”

“iya, deketin lah, lo ajak kenalan kek atau lo minta kontak LINE-nya.”

bima cuma terkekeh menanggapi racauan kedua temannya. hanif pun reno mungkin tidak akan mengatakan hal yang sama jika tahu siapa perempuan itu. sebab bukan satu-dua kali gagasan untuk mendekati perempuan itu mampir di kepalanya. sebab bima juga sering membayangkan bagaimana jika ia bisa mengenal perempuan itu lebih dekat, menggenggam tangannya, melihat senyum dan tawanya selain dalam jarak. hanya saja ialah yang memang tidak cukup bernyali untuk melangkahi batas-batas yang ada. batas-batas yang dengan lantang meneriakinya untuk tidak melangkah lebih jauh dari jarak sepelemparan batu dari taman di samping gedung fakultasnya hingga lobi fakultas kedokteran. batas-batas seperti kain yang menutupi kepala gadis itu atau kalung dengan dua kayu bersilang yang melingkar di lehernya.

dan, baik reno maupun hanif memang tidak perlu tahu, mengenai bima yang hanya bisa merasa cukup dengan memandangi perempuan itu dari kejauhan seakan ia berasal dari planet lain. seakan ia berbicara bahasa yang sama sekali tidak akan ia mengerti.

di salah satu bangku taman di antara gedung fakultas teknik dan fakultas kedokteran yang sebetulnya praktis menyatu.

Image

“Siap ya Sayang?”

Tepat setelah Mas Doni memberikan aba-aba tersebut, semua pasang mata yang ada di studio segera bergulir ke arah set dimana Tsamara Mutia Rustiadi tengah bersiap-siap untuk melakukan pemotretan.

Mendadak ruangan begitu senyap. Hanya diisi oleh bisik-bisik kru berikut decakan kagum seiring suara lensa yang terus membidik.

Legam surainya, putih kulitnya, dan lentik jemarinya.

Cantik.

Hanya ada dua kelas model di agensi mereka: yang pertama adalah Tsamara Mutia Rustiadi, dan yang kedua adalah yang bukan Tsamara Mutia Rustiadi.

Barangkali memang tidak sedikit model-model yang memiliki berbagai pencapaian bertebaran di agensi itu, hanya saja peliknya tak pernah ada yang semacam Tsamara Mutia Rustiadi.

Semua kru mengenal betul nama Tsamara sebagai penyanyi cilik dan bintang iklan sejak usianya masih kanak-kanak. Karirnya yang berkembang sangat pesat ditandai dengan banyaknya tawaran untuk membintangi beberapa judul film layar lebar dan serial televisi yang membuat namanya pernah dikenal tak hanya di ibu kota tetapi juga di seantero negeri sebelum kemudian ia hilang begitu saja tanpa jejak dan kembali lagi sebagai model alih-alih seniman peran.

Namun ada hal lain yang membuat pesona perempuan muda itu b-egitu kentara dan tak bisa disembunyikan. Pesona ayu yang seolah bisa membuat siapapun bertekuk lutut. Tajam matanya yang mampu membekukan hati lelaki manapun yang melihatnya.

Entah sudah berapa banyak lelaki yang telah mencoba dan gagal. Sutradara, produser, fotografer, model. Tak ada yang pernah berhasil bahkan sekadar mengantarnya pulang ke rumah.

Tak pernah ada yang bisa menilik kedalaman hati perempuan muda itu kacuali satu orang.

Seorang pemuda yang tidak seorangpun tahu. Yang dikenalnya beberapa tahun silam lewat lirikan-lirikan canggung di kantin ketika ia masih hanya remaja berseragam sekolah menengah atas.

Pemuda yang tidak pernah menatapnya seolah ia berusaha membawanya ke bilik kamar tidur seperti yang lain. Pemuda yang hanya pernah berusaha menggenggam tangannya malu-malu. Pemuda yang juga ia tidak tahu dimana berada.


Image

Manggala Pradipta hanya salah satu dari mereka yang jika diharuskan menentukan sebuah padanan kata untuk nama Tsamara Mutia Rustiadi, akan memilih kata yang sama dengan semua orang. Sebab Tsamara memang amat, sangat cantik.

Pemuda yang sejak tadi juga kesulitan memalingkan kedua matanya dari model wanita yang seharusnya baru berusia dua puluhan itu hanya menghela napas ke arah set dimana Tsamara masih sibuk berpose di depan Mas Doni.

“Andalan gue tuh” seloroh salah satu temannya, menyadarkan Manggala dari lamunannya.

“Mon maap emang Bapak siapa? Baim Wong?” temannya yang lain tahu-tahu muncul entah darimana menimpali.

“Baim Wong udah kawin, nih gue The Next Baim Wongnya”

Kemudian koor tawa.

Manggala cuma menggelengkan kepala menanggapi kegaduhan yang biasa terjadi setiap kedatangan model muda itu. Diangkatnya gelas kartonnya yang berisi kopi untuk ia dekatkan ke bibirnya namun tak ayal lagi melemparkan pandangannya dimana Tsamara Mutia Rustiadi.

Manggala mengawang lagi, ada sesuatu yang membuat Tsamara tak hanya menarik di mata Manggala namun juga begitu utopis. Bohong kalau dia bilang dia tidak mengagumi tubuh yang proporsional itu, bibir yang mungil itu, hidung yang mancung atau bahkan tulang pipinya yang terlampau sempurna seolah yang mengukirnya adalah Michaelangelonya Tuhan. Tetapi mimpi-mimpi Manggala tentang perempuan itu agaknya memang berbeda dengan mimpi orang kebanyakan.

Terkadang Manggala berharap ia mempunyai penglihatan super yang mengizinkannya melihat lewat jemala atau paras cantik model itu dan menelisik isi kepalanya.

Apa yang dia pikirkan saat ini? Apa yang ada di balik senyum yang indah namun dingin dan terlatih itu? Atau apakah di sela-sela ingatannya itu ada tempat untuk pemuda yang sering mencuri pandang ke arahnya beberapa tahun silam. Di kantin sebuah sekolah ketika ia masih duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah atas. Pemuda yang pernah memergokinya tengah merokok diam-diam di luar kelas. Pemuda yang pernah berupaya menggenggam tangannya namun gagal sebab rupanya ia terlalu malu untuk melakukannya.

skinny love

mantan pacarku punya daun telinga lebar yang membuatnya nampak seperti salah satu karakter terkenal dalam seri opera yang bercerita tentang peperangan antar galaksi.

aku bertemu dengannya setelah sekian lama di satu sore berhujan. aku dengan segelas karton berisi kopi hendak membayar, sementara ia berada tepat di sebelah rak yang entah bagaimana terlihat begitu mungil dibandingkan tubuhnya dengan sejumlah bingkisan makanan ringan di kedua tangan.

“elo?” suaranya naik satu oktaf berikut kedua alisnya-benar-benar tidak mempedulikan fakta kalau minimarket 24 jam ini bukan punya neneknya.

kalau statusku masih sama seperti beberapa tahun silam, aku kini pasti telah menghadiahinya sebuah geplakan yang cukup keras untuk membuatnya melolong kesakitan sebagaimana kami dulu biasa bersua. tapi tentu saja tidak kulakukan, mengingat siapa dan dimana kami sekarang.

“beneran elo nih?” ia berjalan ke arahku, membuat sebungkus keripik kentang rasa keju terjatuh dari tangannya, disusul beberapa yang lain ketika ia menunduk untuk memungutnya. spontan aku yang masih dalam keterkejutanku berubah menjadi sebuah tawa kecil, meletakkan kopi di konter dan ikut menunduk untuk membantunya memunguti bungkusan-bungkusan itu sebelum berjalan lebih dulu ke kasir. mantan pacarku itu tak lama kemudian menyusul di belakang dengan cuping telinga yang memerah karena malu dan turut menyerahkan beberapa bungkusan makanan kecil tersebut kepada perempuan di belakang meja kasa yang tidak banyak berkata-kata.

kemudian yang terjadi selanjutnya seperti ini: aku menemukan diri duduk di hadapannya tanpa banyak bicara—berusaha mengabaikan tatapannya yang mengikuti gerakanku sampai akhirnya aku menyerah dan kedua mataku dipertemukan juga dengan dua maniknya yang menyerupai sepasang mata seekor anak anjing.

enggak berubah ya, dia itu.

“ngopi juga lo sekarang.” dia berdecak.

baru juga kukatai mirip anak anjing, mantan pacarku menumpu dagunya pada kedua tangan dan memajukan badan untuk mengamatiku lekat berikut seutas senyuman yang entah mengapa bagiku membuatnya terlihat sebanding dengan anak anjing yang tengah menjulurkan lidah sembari menggoyang-goyangkan ekornya.

nah, udah berubah jadi anak anjing betulan dia.

“sumpah lo apaan sih teriak-teriak kayak gitu... malu banget gue.” aku akhirnya membuka suara, menutup wajahku dengan konyolnya menggunakan kedua tangan setelah menyesap kopiku dan berubah menjadi diriku yang lama di hadapannya terlepas semua perasaan asing yang masih meliputi.

“sori, sori. habis random amat tiba-tiba ada elo depan konter kopi.” ia terkekeh-kekeh geli.

mantan pacarku itu rupanya masih punya kekuatan super yang membuat siapapun membuka diri di hadapannya karena penerimaan yang selalu memancar dari bahasa tubuhnya.

entah mengapa aku jadi tersenyum dibuatnya sebab, kapan terakhir kali aku mendengar suaranya ya? seingatku setelah putus kami memang langsung hilang kontak. bukan karena kami berniat menghapus diri dari hidup masing-masing, melainkan kehidupan yang memang bergerak terlalu cepat. tahu-tahu aku pergi, dan tahu-tahu dia kembali.

tapi melihatnya tiba-tiba ada di hadapanku seperti ini-dengan rambut ikalnya, kacamata yang ia pakai ketika ia malas mengenakan lensa kontaknya, celana pendek dan ponco kebesarannya-membuatku bertanya-tanya kalau-kalau semesta sedang ingin bergurau denganku. “apa kabar, can?” aku yang bertanya lebih dulu pada akhirnya, kali ini dengan intonasi yang lebih bersahabat dan untuk pertama kalinya menyebutkan namanya.

“jiah, pertanyaan lo.”

candra, mantan pacarku itu, tergelak. kakinya yang panjang menjulur hingga telah sampai di sebelah kursiku.

aku bloon sebentar, “hm?”

“ya itu, nanyain kabar mantan. klise banget tahu enggak?”

aku memicing. aku pasti nampak ingin melemparnya dengan segelas kopiku sekarang, karena sejurus kemudian dia terkekeh-kekeh sembari berkata, “ampun, ampun.”

tetapi setelah beberapa menit mengobrol dengannya, akupun jadi tahu beberapa hal tentangnya sekarang seperti bahwa rupanya:

  1. ia masih ngeband bersama teman-teman kuliahnya dulu.
  2. ia masih ngekos di kos-kosannya yang lama.
  3. ia masih berhubungan baik dengan keluarganya meski menurut keyakinannya sebentar lagi papahnya akan mencoret namanya dari kartu keluarga saking tidak menentunya masa depannya.

yang ketiga tentu membuatku mengerenyit waktu ia memberitahunya dan berpikir kalau asumsi kedua orang tuanya soal masa depan yang tidak menentu tidak cukup masuk akal kalau cuma didasari kuliahnya yang terbengkalai. tapi waktu aku bilang begitu, candra menaikkan kedua alis dan secara impulsif mengacak rambutku, seperti kebiasaannya dulu.

“pinter banget, bebek.”

iya, 'bebek'. panggilan alaynya untukku yang kami pikir imut sekali dulu. aku tidak menyangka candra bisa mengungkit semua yang berhubungan dengan masa lalu sesantai itu.

“ih jangan sembarangan acak-acak rambut gue deh lo!” rewelku, merapikan anak-anak rambut yang mencuat ke sana kemari akibat perbuatannya.

“kenapa, takut baper?”

maka pecah sudah kecanggungan di antara kami, ketika akhirnya aku betul-betul menghujani lengan besarnya itu dengan pukulan kesal dan ketika ia betul-betul berteriak minta ampun sembari mencoba menangkis tanganku, membuat satu-dua orang yang juga tengah menunggu hujan reda di emperan minimarket kesayangan kaum kelas menengah ini melemparkan raut penuh tanya.

candra akhirnya berhenti ketawa ketika aku melepaskannya dan kemudian tersenyum sumringah. senyum lebar yang khasnya sekali, yang pernah membuatku jatuh suka sekali kepadanya, dulu, sewaktu aku masih anak remaja belasan usia. senyum yang selalu menampilkan sisi dirinya yang paling tengil, paling sok, paling ngehek dan paling-paling lainnya. senyum yang menemani kejutan ulang tahun ke-tujuh belasku, senyum yang ada di foto di hari kelulusanku, senyum yang juga akan mengecup puncak kepalaku ketika aku butuh tempat bersandar. namun juga senyum yang pada akhirnya harus menjadi mendung yang membasahi kami berdua.

“maafin gue...”

“hey, there's no need to cry okay? it's alright. you'll be okay. we'll be okay.”

rupanya aku tak hanya mengingat senyumnya yang ceria, tapi juga senyumnya yang getir kala itu sebelum meringkasku ke dalam pelukan perpisahan yang bersahabat di dalam mobilnya yang mengalunkan pelan lagu bon iver yang amat kuhafal, menjadi latar perpisahan kami.

i tell my love to wreck it all cut out all the ropes and let me fall my, my, my, my, my, my, my, my right in the moment this order's tall

“nih.”

belakang panggung. festival musik tahunan di sekolah kami. aku, candra, sebotol minuman dingin.

“jangan ampe pingsan di panggung gara-gara demam panggung ya lo hahaha.”

candra menerima fruit tea dingin yang kuulurkan tapi tanpa mengucapkan apapun. enggak ada 'thanks' kecil yang biasa dia ucapkan dengan penuh kebelaguan seperti biasa dan dua matanya hanya lekat menatapku.

aku menaikkan kedua alis, “can?”

tidak ada yang berubah pada sorot matanya.

“lo nervous ya? santai dong, lo kan udah sering latihan. lagian gue jamin deh satu angkatan elo yang paling jago ini gebukin drum.”

candra diam lama, lalu tanpa diduga-duga mengatakan hal yang kedengarannya seperti: “gue mau nembak lo entar di panggung.” air mineral yang kuminum hampir masuk ke saluran yang salah.

“can?”

“doain.”

berikutnya yang kuingat hanya aku. barisan depan. senyumnya. lesung pipi itu. satu lagu sheila on 7. riuh rendah teman-teman kami ketika candra turun dari belakang drumset-nya untuk menghampiriku. dan tepuk tangan serta seruan-seruan norak waktu aku menerima uluran mikrofon dari entah siapa lalu ikut menyanyikan anugerah terindah yang pernah kumiliki. it's cliche. but the kind that i like.

“makan yuk.” candra kembali menyadarkan lamunanku, menoleh ke arahku dengan tangannya yang terulur ke depan menadah air hujan, membuatku yang juga tengah memperhatikan tempias di telapaknya ikut tertegun oleh ajakannya.

“hah?”

“yeee malah ngelamun ini anak.”

candra berdecak, dengan satu gerakan cepat diulurkannya tangannya menyeberangi meja dan dibasuhkannya tetesan air hujan yang terkumpul di tangannya ke wajahku. wajahku. membuatku akhirnya meneriakinya tanpa bisa ditahan.

“cumiiiiii??!!” kalau yang ini, panggilan alay-ku untuknya.

“hahahaha,” candra ketawa, sebelum bangkit dari kursinya dan berdiri di sebelahku, “sini sini.”

“apaan sih lo!!!!!”

aku masih cemberut ketika ia mengulurkan tangannya pelan untuk mengusap mukaku lagi, kali ini lebih lembut karena bermaksud membersihkannya. aku menengadah, menatapnya yang juga menunduk menatapku dengan tawa yang tak usai.

“gue rukiah, sebelum lo kesirep karena melamun!”

aku mendengus, kembali mengaduk es batu di dalam gelas kartonku dengan sedotan kemudian, “mau makan apa?”

“apa aja yuk. laper ini gue.” candra mengelus perutnya dengan lebay, membuatku memutar mata.

tapi begitulah bagaimana kami berdua berakhir di mobilnya yang baunya seperti hutan pinus, memindai warung makan yang masih buka dengan badan dan kepala setengah basah akibat aksi menerobos hujan yang kami lakukan barusan.

“tas gue dong.” candra bergumam, dua matanya masih lekat pada jalanan dan aku harus menoleh ke arahnya untuk memastikan, “hm?” “tas gue. di belakang,” ulangnya, kali ini sembari menatapku. “tadi gue bawa handuk dua, masih bersih.”

menuruti kata-katanya barusan, aku pun menoleh untuk menemukan tas serbagunanya yang biasa ia gunakan setiap ia harus pergi ke gym. aku membawanya ke pangkuan dan membuka risletingnya, menemukan botol air minum yang setengah kosong, travel bag berisi beberapa toiletris dan... handuk. ketemu!

“nih.” aku menyodorkan sepotong handuk kecil itu.

“lo enggak lihat apa gue lagi nyetir?” kekehnya.

jeda.

“yaelah bengong lagi? usek-usekin pala gue buruuu.”

aku meragu untuk sesaat. tapi tidak ada yang janggal tentangnya saat ini. tentang kami. tentang ini. maka pelan tubuhku condong ke arahnya, merapatkan jarak di antara kami.

“lo masih suka nge-gym sama sadewa ya?”

aku mulai bertanya sembari menyampirkan handuk berwarna putih itu di kepalanya. di atas ikal rambutnya. bisa kurasakan candra mengangguk pelan dari gerakan kepalanya dan sembari berusaha mengusap kepalanya aku menjulurkan leherku yang jelas tetap tidak mengkompensasi perbedaan tinggi kami berdua.

lalu tiba-tiba setir dibanting.

“eh gue enggak bisa lihat!!!” teriaknya heboh waktu handuk itu jatuh ke mukanya.

aku yang panik langsung menarik kain itu, mobil kami masih jalan lurus tapi kegaduhannya lah yang memantikku.

aku berdecak, menyadari ia tengah tertawa. puas dan lama.

“rese lo!” aku melemparkan handuk itu, yang kembali ditangkapnya dengan tangkas.

“elo tegang amat gitu doang.”

aku tidak menjawab.

“jadi mau makan apa nih kita hm? cumi? ayam?”

“makan elo dong cumi?”

“anjir,” candra ketawa, “maksud gue, elo kan suka cumi.”

aku mendengus, menahan senyuman. gue juga pernah suka elo, dulu. suka banget.

kami masih berusaha memutuskan untuk beberapa menit kemudian tapi pada akhirnya tentu saja pilihannya jatuh pada gerai perusahaan restoran cepat saji yang terkenal dengan menu ayamnya.

“yes! makan.” ujarnya kelewat menggemaskan sesaat setelah ia mematikan mesin mobilnya, dengan segera melepaskan dirinya dari sabuk pengaman dan membiarkan aku hanya memperhatikannya dengan senyum samar. namun seolah tahu sedang diperhatikan, candra kemudian cuma menoleh sembari melempar senyum.

waktu aku akhirnya turun, candra telah menunggu di belakang mobil dan tangannya dengan segera terulur begitu melihatku, menarik tubuhku dalam rangkulan bersahabat. hangat merebak. candra tercium seperti aroma hujan dan deodoran lelaki. kebetulan tubuhku begitu mungil dibandingkan dengannya dan dengan segera aku tenggelam di kuncian lengannya.

“dingin deh. lo dingin enggak?” candra mengusap pundakku naik-turun dengan tangannya yang melingkar di tubuhku.

aku menoleh ke arahnya lama. menemukan profil samping wajahnya yang tidak berubah sama sekali sebelum dia menoleh untuk tersenyum ke arahku.

“lumayan.” jawabku sekenanya.

lumayan.


tentu saja kami akan berakhir seperti ini.

duduk di meja yang paling dekat dengan pintu masuk dengan pesanan masing-masing yang sudah kami hafal di luar kepala. burger keju dengan telur dan es kola untuk candra, lalu paket nasi dan ayam untukku.

“eh,” ia membuka percakapan seraya mengunyah satu gigitan besar.

“gue belum nanya tadi kabar lo gimana ya?”

“baik.” aku turut mengunyah bersamanya sambil menguliti kulit ayam di piringku.

“kalau...” ia mengulur kalimatnya sebentar sebelum menyelesaikan, “pacar? gimana?”

hening, candra mencondongkan tubuhnya dan aku menaikkan alis ke arahnya yang hanya disambut ketukan konstan jemarinya pada permukaan meja sebelum mengalihkan pandang ke arah jalanan.

aku kenal candra. aku kenal kejujurannya yang serupa kejujuran anak usia lima. makanya aku berusaha tak ambil pusing dengan pertanyaannya dan menjawab sekenanya.

“mana sempet gue mikirin gituan can.” seperti yang kubilang, jawaban yang amat, sangat sekenanya saja.

“lah, terus yang sering lo repost snap-nya itu?”

“yang mana?” aku pasti terlihat berusaha berkelit.

“yang gue pernah stalk IG-nya juga dah kayaknya. jadi belum resmi jadian?”

hening lagi.

“hei,” suara candra terdengar lagi, “how's it in there?”

“hm? dimana?”

candra mengulurkan tangan tanpa aku duga-duga dan menjitak kepalaku pelan, “tuh, dalem situ,” katanya, lantas mengambil jeda untuk mengarahkan telunjuknya ke depan dadanya, “sama di sini.”

how is it in here?

aku berhenti sejenak.

“gue pernah nyakitin lo gak sih can dulu?” alih-alih menjawab pertanyaannya aku malah bertanya.

ia menggeleng, sibuk membantu menguliti ayamku, sebelum dengan cepat meralat dengan tawa ringan, “eh pernah sih, waktu sikut lo kena muka gue hahaha.”

aku yang tengah serius ganti ketawa pelan, “waktu jalan pertama kali itu ya.”

“sakit banget itu anjir gue sampai mau marah ke lo. untung sayang.” ngerti kan maksudku tadi soal kejujurannya?

“sekarang masih sakit enggak?”

“sekarang udah enggak.”

aku senyum, “maaf ya.”

hening, untuk waktu yang lama. aku bisa merasakannya memperhatikanku yang tengah menatap segelas es kola lekat dengan senyum aneh di wajah.

“lo sendiri gimana?” tanyanya. “masih sakit enggak?”

entah kenapa aku merasa dia tidak sedang menanyakan soal sikuku. aku tersenyum tanpa sadar, menatapnya yang masih bergeming,

“masih.” jawabku, mencoba jujur.

candra menghela napas, menatapku lama tapi juga mengerti.

“maafin gue.”

aku menenggak habis es kolaku sebelum tersenyum ke arahnya.

maafin kita.

aku ingin bilang. tapi tidak bisa, aku hanya mampu mengalihkan pandang keluar.

hening, candra menunggu.

“lo sadar enggak sih can, kalau mungkin gue memang enggak bisa ngasih lo apa yang lo butuhin, dan begitupun elo. dan hubungan kita enggak berjalan karena ya, simply we were not meant to be. bukan salah siapa-siapa.”

“yeah. it's as simple as the saying that goes 'we deserve better'.”

aku tertawa getir, seketika pipiku basah. do i deserve better? ratusan gambar tentang hubunganku yang berakhir menyedihkan setelah candra berputar di kepalaku seperti sebuah kilas balik.

“elo tuh..”

kurasakan candra menggeser kursinya ke sebelahku sebelum mengulurkan tangannya untuk mengusap kepalaku pelan. gestur yang dia tahu selalu aku suka. lalu berikutnya yang kutahu aku sudah menangis di pundaknya.


and i told you to be patient and i told you to be fine and i told you to be balanced and i told you to be kind and in the morning i'll be with you but it will be a different kind and i'll be holding all the tickets and you'll be owning all the fines

“widih, lagu kita 'beb'.” candra tiba-tiba menyeletuk mendengar alunan lagu bon iver versi penyanyi kaver diputar.

aku yang sedari tadi diam cuma bisa terkekeh karenanya. rupanya dia masih ingat soundtrack kita putus.

“skinny love...”

“cinta kurus...”

“cinta monyet ah elah.”

“ya kan google translate-nya cinta kurus.”

“terserah elo deh, emang dasar cumi.” keluhku.

candra senyum, dua mata kami lekat satu sama lain dan dari situ aku kembali menemukan konsolasi seperti sebelumnya. sebuah tepukan di pundak yang bersahabat. sebuah penghiburan bahwa semua akan baik-baik saja. bahwa rupanya setelah semua yang terjadi, ia baik-baik saja dan mungkin kelak, kelak aku juga.

“lo beneran turun sini aja? gue bisa kok anter lo sampai kosan.” tawarnya ketika akhirnya kami sampai di tempat yang aku minta. aku menggeleng.

“udah sini aja. sori ya ngerepotin.”

aku baru melepas sabuk pengaman dan hendak pamit ketika ia berujar, “gue boleh peluk lo enggak sih?”

aku jawab dengan uluran kedua tanganku yang segera berubah menjadi rengkuhan hangat ketika ia menyambutnya.

“take care, bebek.”

“lo juga. take care ya, cumi.”

aku kemudian merogoh ponselku dan menghubungi seseorang yang sudah seharusnya aku hubungi sejak tadi, atau kemarin, atau sejak dulu. sejak aku selalu takut akan ketidakpastian.

“halo?” suara di seberang sana terdengar ragu, seolah tidak yakin aku yang memang meneleponnya dan bukan kepencet.

“mas... bisa jemput saya enggak?”

mantan pacarku punya daun telinga lebar yang membuatnya nampak seperti salah satu karakter terkenal dalam seri opera yang bercerita tentang peperangan antar galaksi.

aku bertemu dengannya setelah sekian lama di satu sore berhujan.

i tell my love to wreck it all cut out all the ropes and let me fall my, my, my, my, my, my, my, my right in the moment this order's tall

Kala

pertama kali aku bertemu dengan jagat raya, dia tidak banyak bicara. laki-laki itu punya sesuatu yang tidak mudah untuk dilupakan. sorot matanya.

“Salsabila?”

“iya mas?”

“enggak apa, cuma mau mastiin lo masih di situ.”

aku diam sebentar sebelum akhirnya mengangguk kecil meski kebingungan. mata kami sekilas bersirobok lewat kaca spion sebelum ia mengenakan helm full-face-nya.

kalau bukan karena abang yang ada janji futsal dan menyuruhku pulang sama salah satu alumni yang ikut sparing hari itu, aku tidak akan ada di jok belakang motor retro lawas milik senior kami yang bernama jagat raya, point guard, nomor punggung 11, lulus 4 tahun silam.

dari jok belakang motornya dia diam, bisu, dan bau rokok.

kami tidak mengobrol banyak. dia juga tidak tersenyum waktu aku bilang makasih, melainkan cuma mengangguk pelan.

aku mengulurkan helmnya.

“bawa aja.” katanya pelan, yang kontan membuatku lagi-lagi kebingungan dibuatnya.

“eh?”

“besok biar gampang kalau gue mau jemput lagi.”

aku baru mau nanya apa maksud ucapannya barusan, tapi dia lebih dulu memacu motornya.


waktu kemudian kami tidak sengaja bertemu lagi di satu senja, dahinya yang berkeringat sehabis latihan bersama tim basket berkerut melihatku.

aku melemparkan senyum canggung yang dibalasnya singkat dengan senyum satu sudut, sebelum menghampiri abangku di sudut lain lapangan.

“bentar ya, satu kwarter.” pamit abangku seperti biasa, aku segera menyetujuinya sebelum kemudian melipir untuk menonton dari pinggir lapangan.

kemudian peluit tanda babak terakhir permainan hari ini mulai dibunyikan dan untuk pertama kalinya aku menyaksikan abangku payah dengan permainannya sendiri.

jagat raya mengalahkan jovian sastra dalam permainan satu lawan satu.

waktu kemudian aku dan abangku berjalan melewatinya, abang memukul pundaknya jahil, yang cuma dibalasnya dengan gelak tawa. lalu mata kami bertemu lagi, senyum satu sudut masih menghiasi wajahnya yang penuh peluh disandingkan dengan sorot mata sipitnya yang misterius. untuk beberapa saat aku sedikit kesulitan mengalihkan pandang, pun meredakan rona merah di pipiku.

“yo', ga.” pamit abangku akhirnya.

“yo'.” sahut point guard itu sambil mengibaskan tangannya ke abang lantas sekali lagi melirik ke arahku dengan senyum satu sudut yang sama.

“hati-hati.” gumamnya entah ke siapa.

hati-hati.

terhadap sorot mata dan senyum itu, aku memang sepantasnya hati-hati.


hanya saja mungkin aku tidak cukup berhati-hati. sebab kali inipun aku menemukannya lagi. di lapangan parkir paling sepi di sekolahku.. atau sekolahnya.. atau sekolah kami. masih dengan converse hitam lusuh yang sama seperti pertama kali kami ketemu, jins belel yang sama, cuma kausnya aja yang beda; kaus raglan yang sablonnya udah hilang di sana-sini sebab usia.

lidahku terlalu kelu untuk memanggil namanya atau kembali ke kelas seperti seharusnya, jadi aku cuma melihatnya yang sedang setengah bersandar pada motornya sembari memandang ke lapangan olahraga kami.

dari kepulan asap di sekitarnya saja aku bisa tahu ia sedang merokok. setahuku hari ini tidak ada sparing dengan alumni, jadi aku tidak terlalu yakin untuk apa dia ada di sini sendirian.

tepat saat aku memperhatikan air mukanya seperti itu, saat itu juga ia justru mendongak.

“abila?” ia mengenaliku. aku bisa mendengarnya jelas di tempat parkir sebab tidak ada seorangpun selain kami.

senyum itu lagi.

senyum yang membuatku ingin berlari sejauh mungkin darinya. tetapi bersamaan dengan itu, aku justru melangkahkan kedua kakiku ke arahnya.

ke dalam dua matanya yang menyerupai kolam.

ia menyeringai, menegakkan duduknya di atas jok motor dan mengisap rokoknya selagi memandangiku balik beberapa saat. aku yang telah berdiri di depannya kemudian terbatuk, membuatnya menyeringai kecil sebelum dipindahkannya racun itu di antara jemarinya yang kurus dan panjang-panjang.

“sori. bolos?”

aku meliriknya sekilas lagi, masih terbatuk, mengangguk.

“kenapa?” ia bertanya, lagi.

aku tidak menjawab.

“lo biasanya dipanggil apa sih?”

“abila aja…” entah kenapa cuma itu yang bisa kukatakan. dan entah bagaimana lelaki di hadapanku merasa itu lucu, karena kini dia tengah terkekeh kecil. satu batang nikotin terapit di antara bibirnya.

“boleh enggak kalau gue manggil lo kecil?” katanya. “habis badan lo mungil, bisa gue kantongin.”

aku mengerutkan kening sedikit bingung, tapi lebih banyak herannya. kenapa juga dia mau ngantongin aku?

“gue bercanda.” gumam jagat raya kemudian.

hening. aku mencengkeram tali tasku, erat, bersiap untuk pamit. waktu tiba-tiba ia mematikan ujung rokoknya dan bangkit dari jok motornya itu untuk menghampiriku.

“mau ikut gue enggak?” ujarnya, menghapus jarak di antara kami sedikit demi sedikit.

“kemana?”

“ke tempat jauh.”

“ngapain?”

“bolos.”

aku menelan ludah.

bersiap menggelengkan kepalaku kuat-kuat sebab, tidak mungkin. ke tempat jauh pula. bolos, katanya. ayahku bahkan tidak suka saat ia datang pertama kali.

hanya saja kemudian aku melihat ke dalam dua mata itu untuk kedua kali, mata yang menyerupai kolam tak berdasar. dan rasanya, semua kehati-hatianku selama ini terhadapnya luruh begitu saja.


aku menemukan diriku di jok belakang motornya lagi. ia diam, bisu dan bau rokok.