i don't wanna love you (but i'm loving you right now)

judul diambil dari https://youtu.be/FyaiCdFlEYE


taman itu terletak tepat di antara gedung fakultas teknik dan fakultas kedokteran. jaraknya dari lobi kedua gedung cuma sepelemparan batu saja. meski agar bisa membuat batu itu mendarat ke lobi FK atau FT jelas butuh tenaga ekstra.

bima cuma suka memperhatikan mahasiswa-mahasiswa yang sering berlalu-lalang di sana. baik yang singgah untuk sekadar nongkrong sama teman-temannya atau yang cuma numpang lewat.

entah sejak kapan pula, merokok di sana seperti telah menjadi lebih dari sekadar kebiasaan baginya. kalau dulu di tahun-tahun pertamanya ia sering membunuh waktu di taman ini bersama teman-teman sekelasnya sembari menunggu kelas berikutnya dimulai, sekarang ia lebih sering duduk sendirian di salah satu bangku semen di bawah pohon palem itu, bahkan ketika jadwalnya tidak mengharuskan ia untuk berada di sekitar kampus.

dihisapnya sebatang rokoknya dalam-dalam sebelum menghembuskan asapnya pula panjang-panjang, nyaris seperti ingin menyombongkan kapasitas paru-parunya pada entah siapapun yang kiranya cukup peduli untuk menaruh sedikit perhatian meski sudah jelas-jelas merokok dilarang di kampusnya.

beberapa junior yang mengenalnya sebagai salah satu senior menyapanya sesekali. dulu ialah yang pertama memprakarsai gerakan gerbong kereta api ini dengan mendeklarasikan area tersebut secara tidak sah sebagai area merokok bagi anak-anak teknik setelah tahu kalau taman itu luput dari pengawasan pihak-pihak kampus. maka itu, bukan hal yang mengherankan jika kalian mungkin enggak akan menemukan banyak anak kedokteran berkeliaran di sekitar sana meski sebetulnya taman itu terletak di antara gedung dua fakultas.

tetapi hari inipun rupanya tidak ada yang lain. bima menyapukan matanya ke area sekitar gedung fakultas kedokteran yang jika disandingkan dengan gedung-gedung fakultas lain akan nampak lebih berumur. rasanya ia bisa membayangkan penglihatannya menembus dinding-dinding tua itu demi menemukan seseorang yang sejak tadi ia cari.

ia baru hendak beranjak ketika seseorang yang sejak tadi tidak ada dimanapun kecuali di kepalanya kini nampak tengah berjalan ke arahnya. membuatnya kembali terpaku.

“nisa!”

bahkan dari jarak yang membentang dari taman ini hingga selasar gedung fakultas paling bergengsi di kampusnya itu, ia bisa melihat gerakan perempuan tersebut yang segera terhenti ketika seseorang memanggil namanya.

dilihatnya kemudian perempuan itu bercakap-cakap dengan lelaki berkemeja putih yang memanggil namanya barusan sebelum tertawa ringan, mengatakan sesuatu yang luput dari indera pendengaran bima. hari inipun perempuan itu mengenakan terusan dengan warna cerah dan totebag berwarna pastel yang tersandang manis di bahu.

bima merasakan jantungnya berpacu.

aneh, rasanya ia hampir-hampir bisa melihat betapa berbedanya perempuan itu dari perempuan-perempuan lain di seluruh penjuru fakultas kedokteran (atau barangkali seluruh bumi). betapa hitam-putihnya dunia di sekitarnya yang adiwarna, dan betapa bahkan hanya caranya berjalan dan mengerling pun begitu lain. seolah ia datang dari dunia yang sama sekali berbeda dari mereka semua.

seperti alien, batin bima dalam hati.

ingatan bima melayang pada hari dimana ia harus turun sebagai salah satu kontingen basket di turnamen kejuaraan olahraga antar fakultas tiga semester lalu dan dengan tololnya jatuh terguling di lapangan sewaktu petakilan menirukan gaya dunk tokoh animasi favoritnya. membuatnya dengan segera dipinggirkan dari permainan oleh anak-anak KSR yang berjaga.

“ada betadine gak?” tanyanya pada dua petugas palang merah yang kala itu memapahnya. tapi sebelum salah satunya menjawab, seorang perempuan telah lebih dahulu menghampirinya.

“sini, aku bersihin lukanya.” potong perempuan itu sembari menenteng kotak P3K dan berjongkok di sampingnya.

bima melongo, niatnya semula untuk bilang kalau cedera luar begini cukup ditetesin minyak luka saja hilang entah kemana dan seolah bisa membaca pikirannya, perempuan itu berkata lebih dulu.

“kalau enggak dibersihin bisa infeksi nanti.” ujarnya lembut, senyuman terutas ketika dua matanya menatap bima sekilas, “ini bukan alkohol kok, tenang, enggak perih.”

bima cuma melongo setelah perempuan itu selesai mengobati luka dan melilitkan perbannya.

“jangan langsung nge-dunk lagi ya.” ucapnya kemudian.

bima membaca bordiran nama di rompi berwarna oranye itu sekilas sebelum perempuan itu berlalu.

khairunnisa.

“woy! bima adi! kelas lu!” seruan dari arah yang sama sekali berlainan dari titik yang menjadi obyek observasinya menyita perhatiannya dengan segera.

“si anjing.” decak bima mendengar reno, senior sekaligus belahan jiwanya di kampus. tapi toh dilambaikannya pula tangannya, mempersilahkan kedua temannya itu sekiranya mereka hendak bersidahulu.

“ngapain lo? mau madol?” tuduh reno setengah berteriak.

“ngapain sih elo pada ke sini elah.” gumamnya akhirnya, ketika kedua sahabatnya ini malah justru menghampirinya dan ikut duduk di hadapannya.

“buset, dingin banget lo sama teman sendiri.” kali ini hanif yang membalas setengah kesal.

“kangen ini pacar lo. biasa, mau ngapel.” reno iseng menimpali seraya menyalakan sebatang rokok yang terjepit di antara bibirnya, membuat ia harus menerima makian dari kedua belah pihak. (“anjing.” “bangsat.”)

“buru, nungguin siape sih lo?”

bima cuma mengedikkan bahunya. diliriknya sekilas perempuan itu yang masih nampak berbicara dengan lelaki tadi.

“bribikanmu tah, su?” hanif ikut celingukan.

“gak lah.” ia buru-buru melepaskan pandangnya, menemukan kedua temannya cuma tergelak melihat rautnya yang berubah keruh seketika.

“alah, kebaca lo tuh. yang mana sih? yang rambutnya panjang itu?” hanif menunjuk salah seorang gadis yang tengah berkutat dengan telepon genggamnya tak jauh dari tempat mereka berada.

“ah bukan bukan, gue tahu nih yang tipenya si bimskuy yang mana, yang itu kan? yang selebgram itu.” giliran reno menunjuk seorang gadis berkuncir ekor kuda dengan sepatu hak tinggi yang tengah bercengkerama dengan teman-temannya. sapuan lipstik dan peronanya membuatnya lebih terlihat seperti supermodel daripada mahasiswi kedokteran.

tetapi bima tidak lagi mendengarkan kedua temannya pun memperhatikan perempuan-perempuan lain selain yang kini tengah berjalan ke arahnya setelah berpisah dengan lelaki berkemeja putih dan berambut rapi tadi. bima menahan napas. ia tahu satu-satunya alasan perempuan itu melewati taman ini hanyalah fakta bahwa ia selalu memilih tempat parkir di belakang gedungnya. dan entah bagaimana juga bima hafal betul di sisi mana perempuan itu biasa memarkirkan kendaraannya yang beroda dua. seolah itu informasi yang sama pentingnya dengan jadwal mata kuliahnya yang ia ambil di semester ini.

“eh nisa!” jantung bima mencelos ketika hanif malah memanggil namanya, membuat gadis itu berhenti dan bima kaku di tempatnya duduk. terkadang bima lupa kalau hanif yang gemar mengikuti berbagai macam kegiatan organisasi di kampus kemungkinan mempunyai banyak relasi bahkan hingga fakultas-fakultas lain.

sejenak perempuan itu-nisa-hanya melambaikan tangan ke arah mereka lalu, “hanif... dan kawan-kawan.” gumamnya lembut diikuti senyuman. kain lebar yang ia pakai untuk menutupi kepala hingga leher dan dada hanya menyisakan seraut wajah mungil dan senyuman yang membuat bima kesulitan mengalihkan kedua matanya. cantik, batinnya bergumam. nisa punya lesung pipi yang membuatnya ingin menjatuhkan diri di sana. bahkan ketika ia menutup hampir seluruh bagian tubuhnya, bima tetap bisa melihat pancaran kecantikannya. sesuatu yang amat distingtif tentangnya menurut bima, yang membuatnya mudah diidentifikasi dari manusia-manusia lain sebab demikian berbedanya ia.

“pulang nis?” tanya hanif lagi.

perempuan itu hanya mengangguk, “iya nih hanif. duluan ya.” ia melemparkan senyum buru-buru seraya membawa beberapa buku di tangannya ke dalam dekapan, “yuk nif, yuk teman-temannya hanif!”

“yo, nis.” balas bima pelan, yang disambut perempuan itu dengan senyuman. ini yang pertama. bima mengabaikan detak jantungnya yang mulai tidak karuan, menyandang tasnya dan mengantungi sisa rokoknya sepeninggalan perempuan itu.

“jadi yang mana ni-eh, kemana lo bim?”

“kelas lah.”

“buru-buru amat woy! pak! yang maneee ini cemceman lo, malah cabut.”

bima cuma menggeleng pelan sembari menahan senyum yang merekah di bibirnya mengingat apa yang baru saja terjadi.

“woy, yang maneee?” rangkul hanif ketika ia telah berhasil menyusul sahabat kepompongnya di koridor.

“yang tadi selebgram itu kan bener? deketin lah, jangan lo pandangin aja.”

“iya, deketin lah, lo ajak kenalan kek atau lo minta kontak LINE-nya.”

bima cuma terkekeh menanggapi racauan kedua temannya. hanif pun reno mungkin tidak akan mengatakan hal yang sama jika tahu siapa perempuan itu. sebab bukan satu-dua kali gagasan untuk mendekati perempuan itu mampir di kepalanya. sebab bima juga sering membayangkan bagaimana jika ia bisa mengenal perempuan itu lebih dekat, menggenggam tangannya, melihat senyum dan tawanya selain dalam jarak. hanya saja ialah yang memang tidak cukup bernyali untuk melangkahi batas-batas yang ada. batas-batas yang dengan lantang meneriakinya untuk tidak melangkah lebih jauh dari jarak sepelemparan batu dari taman di samping gedung fakultasnya hingga lobi fakultas kedokteran. batas-batas seperti kain yang menutupi kepala gadis itu atau kalung dengan dua kayu bersilang yang melingkar di lehernya.

dan, baik reno maupun hanif memang tidak perlu tahu, mengenai bima yang hanya bisa merasa cukup dengan memandangi perempuan itu dari kejauhan seakan ia berasal dari planet lain. seakan ia berbicara bahasa yang sama sekali tidak akan ia mengerti.

di salah satu bangku taman di antara gedung fakultas teknik dan fakultas kedokteran yang sebetulnya praktis menyatu.