Kala

pertama kali aku bertemu dengan jagat raya, dia tidak banyak bicara. laki-laki itu punya sesuatu yang tidak mudah untuk dilupakan. sorot matanya.

“Salsabila?”

“iya mas?”

“enggak apa, cuma mau mastiin lo masih di situ.”

aku diam sebentar sebelum akhirnya mengangguk kecil meski kebingungan. mata kami sekilas bersirobok lewat kaca spion sebelum ia mengenakan helm full-face-nya.

kalau bukan karena abang yang ada janji futsal dan menyuruhku pulang sama salah satu alumni yang ikut sparing hari itu, aku tidak akan ada di jok belakang motor retro lawas milik senior kami yang bernama jagat raya, point guard, nomor punggung 11, lulus 4 tahun silam.

dari jok belakang motornya dia diam, bisu, dan bau rokok.

kami tidak mengobrol banyak. dia juga tidak tersenyum waktu aku bilang makasih, melainkan cuma mengangguk pelan.

aku mengulurkan helmnya.

“bawa aja.” katanya pelan, yang kontan membuatku lagi-lagi kebingungan dibuatnya.

“eh?”

“besok biar gampang kalau gue mau jemput lagi.”

aku baru mau nanya apa maksud ucapannya barusan, tapi dia lebih dulu memacu motornya.


waktu kemudian kami tidak sengaja bertemu lagi di satu senja, dahinya yang berkeringat sehabis latihan bersama tim basket berkerut melihatku.

aku melemparkan senyum canggung yang dibalasnya singkat dengan senyum satu sudut, sebelum menghampiri abangku di sudut lain lapangan.

“bentar ya, satu kwarter.” pamit abangku seperti biasa, aku segera menyetujuinya sebelum kemudian melipir untuk menonton dari pinggir lapangan.

kemudian peluit tanda babak terakhir permainan hari ini mulai dibunyikan dan untuk pertama kalinya aku menyaksikan abangku payah dengan permainannya sendiri.

jagat raya mengalahkan jovian sastra dalam permainan satu lawan satu.

waktu kemudian aku dan abangku berjalan melewatinya, abang memukul pundaknya jahil, yang cuma dibalasnya dengan gelak tawa. lalu mata kami bertemu lagi, senyum satu sudut masih menghiasi wajahnya yang penuh peluh disandingkan dengan sorot mata sipitnya yang misterius. untuk beberapa saat aku sedikit kesulitan mengalihkan pandang, pun meredakan rona merah di pipiku.

“yo', ga.” pamit abangku akhirnya.

“yo'.” sahut point guard itu sambil mengibaskan tangannya ke abang lantas sekali lagi melirik ke arahku dengan senyum satu sudut yang sama.

“hati-hati.” gumamnya entah ke siapa.

hati-hati.

terhadap sorot mata dan senyum itu, aku memang sepantasnya hati-hati.


hanya saja mungkin aku tidak cukup berhati-hati. sebab kali inipun aku menemukannya lagi. di lapangan parkir paling sepi di sekolahku.. atau sekolahnya.. atau sekolah kami. masih dengan converse hitam lusuh yang sama seperti pertama kali kami ketemu, jins belel yang sama, cuma kausnya aja yang beda; kaus raglan yang sablonnya udah hilang di sana-sini sebab usia.

lidahku terlalu kelu untuk memanggil namanya atau kembali ke kelas seperti seharusnya, jadi aku cuma melihatnya yang sedang setengah bersandar pada motornya sembari memandang ke lapangan olahraga kami.

dari kepulan asap di sekitarnya saja aku bisa tahu ia sedang merokok. setahuku hari ini tidak ada sparing dengan alumni, jadi aku tidak terlalu yakin untuk apa dia ada di sini sendirian.

tepat saat aku memperhatikan air mukanya seperti itu, saat itu juga ia justru mendongak.

“abila?” ia mengenaliku. aku bisa mendengarnya jelas di tempat parkir sebab tidak ada seorangpun selain kami.

senyum itu lagi.

senyum yang membuatku ingin berlari sejauh mungkin darinya. tetapi bersamaan dengan itu, aku justru melangkahkan kedua kakiku ke arahnya.

ke dalam dua matanya yang menyerupai kolam.

ia menyeringai, menegakkan duduknya di atas jok motor dan mengisap rokoknya selagi memandangiku balik beberapa saat. aku yang telah berdiri di depannya kemudian terbatuk, membuatnya menyeringai kecil sebelum dipindahkannya racun itu di antara jemarinya yang kurus dan panjang-panjang.

“sori. bolos?”

aku meliriknya sekilas lagi, masih terbatuk, mengangguk.

“kenapa?” ia bertanya, lagi.

aku tidak menjawab.

“lo biasanya dipanggil apa sih?”

“abila aja…” entah kenapa cuma itu yang bisa kukatakan. dan entah bagaimana lelaki di hadapanku merasa itu lucu, karena kini dia tengah terkekeh kecil. satu batang nikotin terapit di antara bibirnya.

“boleh enggak kalau gue manggil lo kecil?” katanya. “habis badan lo mungil, bisa gue kantongin.”

aku mengerutkan kening sedikit bingung, tapi lebih banyak herannya. kenapa juga dia mau ngantongin aku?

“gue bercanda.” gumam jagat raya kemudian.

hening. aku mencengkeram tali tasku, erat, bersiap untuk pamit. waktu tiba-tiba ia mematikan ujung rokoknya dan bangkit dari jok motornya itu untuk menghampiriku.

“mau ikut gue enggak?” ujarnya, menghapus jarak di antara kami sedikit demi sedikit.

“kemana?”

“ke tempat jauh.”

“ngapain?”

“bolos.”

aku menelan ludah.

bersiap menggelengkan kepalaku kuat-kuat sebab, tidak mungkin. ke tempat jauh pula. bolos, katanya. ayahku bahkan tidak suka saat ia datang pertama kali.

hanya saja kemudian aku melihat ke dalam dua mata itu untuk kedua kali, mata yang menyerupai kolam tak berdasar. dan rasanya, semua kehati-hatianku selama ini terhadapnya luruh begitu saja.


aku menemukan diriku di jok belakang motornya lagi. ia diam, bisu dan bau rokok.