Image

“Siap ya Sayang?”

Tepat setelah Mas Doni memberikan aba-aba tersebut, semua pasang mata yang ada di studio segera bergulir ke arah set dimana Tsamara Mutia Rustiadi tengah bersiap-siap untuk melakukan pemotretan.

Mendadak ruangan begitu senyap. Hanya diisi oleh bisik-bisik kru berikut decakan kagum seiring suara lensa yang terus membidik.

Legam surainya, putih kulitnya, dan lentik jemarinya.

Cantik.

Hanya ada dua kelas model di agensi mereka: yang pertama adalah Tsamara Mutia Rustiadi, dan yang kedua adalah yang bukan Tsamara Mutia Rustiadi.

Barangkali memang tidak sedikit model-model yang memiliki berbagai pencapaian bertebaran di agensi itu, hanya saja peliknya tak pernah ada yang semacam Tsamara Mutia Rustiadi.

Semua kru mengenal betul nama Tsamara sebagai penyanyi cilik dan bintang iklan sejak usianya masih kanak-kanak. Karirnya yang berkembang sangat pesat ditandai dengan banyaknya tawaran untuk membintangi beberapa judul film layar lebar dan serial televisi yang membuat namanya pernah dikenal tak hanya di ibu kota tetapi juga di seantero negeri sebelum kemudian ia hilang begitu saja tanpa jejak dan kembali lagi sebagai model alih-alih seniman peran.

Namun ada hal lain yang membuat pesona perempuan muda itu b-egitu kentara dan tak bisa disembunyikan. Pesona ayu yang seolah bisa membuat siapapun bertekuk lutut. Tajam matanya yang mampu membekukan hati lelaki manapun yang melihatnya.

Entah sudah berapa banyak lelaki yang telah mencoba dan gagal. Sutradara, produser, fotografer, model. Tak ada yang pernah berhasil bahkan sekadar mengantarnya pulang ke rumah.

Tak pernah ada yang bisa menilik kedalaman hati perempuan muda itu kacuali satu orang.

Seorang pemuda yang tidak seorangpun tahu. Yang dikenalnya beberapa tahun silam lewat lirikan-lirikan canggung di kantin ketika ia masih hanya remaja berseragam sekolah menengah atas.

Pemuda yang tidak pernah menatapnya seolah ia berusaha membawanya ke bilik kamar tidur seperti yang lain. Pemuda yang hanya pernah berusaha menggenggam tangannya malu-malu. Pemuda yang juga ia tidak tahu dimana berada.


Image

Manggala Pradipta hanya salah satu dari mereka yang jika diharuskan menentukan sebuah padanan kata untuk nama Tsamara Mutia Rustiadi, akan memilih kata yang sama dengan semua orang. Sebab Tsamara memang amat, sangat cantik.

Pemuda yang sejak tadi juga kesulitan memalingkan kedua matanya dari model wanita yang seharusnya baru berusia dua puluhan itu hanya menghela napas ke arah set dimana Tsamara masih sibuk berpose di depan Mas Doni.

“Andalan gue tuh” seloroh salah satu temannya, menyadarkan Manggala dari lamunannya.

“Mon maap emang Bapak siapa? Baim Wong?” temannya yang lain tahu-tahu muncul entah darimana menimpali.

“Baim Wong udah kawin, nih gue The Next Baim Wongnya”

Kemudian koor tawa.

Manggala cuma menggelengkan kepala menanggapi kegaduhan yang biasa terjadi setiap kedatangan model muda itu. Diangkatnya gelas kartonnya yang berisi kopi untuk ia dekatkan ke bibirnya namun tak ayal lagi melemparkan pandangannya dimana Tsamara Mutia Rustiadi.

Manggala mengawang lagi, ada sesuatu yang membuat Tsamara tak hanya menarik di mata Manggala namun juga begitu utopis. Bohong kalau dia bilang dia tidak mengagumi tubuh yang proporsional itu, bibir yang mungil itu, hidung yang mancung atau bahkan tulang pipinya yang terlampau sempurna seolah yang mengukirnya adalah Michaelangelonya Tuhan. Tetapi mimpi-mimpi Manggala tentang perempuan itu agaknya memang berbeda dengan mimpi orang kebanyakan.

Terkadang Manggala berharap ia mempunyai penglihatan super yang mengizinkannya melihat lewat jemala atau paras cantik model itu dan menelisik isi kepalanya.

Apa yang dia pikirkan saat ini? Apa yang ada di balik senyum yang indah namun dingin dan terlatih itu? Atau apakah di sela-sela ingatannya itu ada tempat untuk pemuda yang sering mencuri pandang ke arahnya beberapa tahun silam. Di kantin sebuah sekolah ketika ia masih duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah atas. Pemuda yang pernah memergokinya tengah merokok diam-diam di luar kelas. Pemuda yang pernah berupaya menggenggam tangannya namun gagal sebab rupanya ia terlalu malu untuk melakukannya.