lintang

bukan maksudku membagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing -chairil anwar

aku masih membaca bait yang sama berulang-ulang. di luar hujan, dan lelaki itu pun tak juga ada kabarnya. kugerakkan jemariku untuk melipat halaman buku bila kelak akan membacanya lagi. mungkin hanya di halaman itu dan halaman itu saja. bukan yang lain.

buku inipun, kuusap kertasnya yang sedikit lecek, adalah pemberian lelaki itu. aku ingat waktu itu di dapur emak yang sempitnya minta ampun biar kata cuma ada kami berdua, dia duduk bersila di atas amben dengan kemeja garis-garis yang terlihat mahal dan celana jins yang terlihat mahal juga, menungguiku. entah apa maunya.

aku menyeka peluh sebesar biji jagung yang meluncur dari dahi dengan punggung tangan, lalu, sambil menghampirinya aku mengusap tangan yang berlumur air garam dan bawang sehabis menggoreng tempe pada daster batik lungsuran emak. tempe-tempe emak. dapur emak. daster emak. hanya emak satu-satunya.

“mas belikan kamu buku.”

buku? lagi? aku heran, dapat duit darimana dia itu?

tetapi siapalah aku untuk bertanya. di bawah lampu teplok wajah lelaki itu berpendar sedikit lebih terang ketika aku menerima uluran tangannya ragu-ragu dan duduk di sampingnya.

“bekas, tapi isinya tak satupun yang rusak.” ucapnya lembut sembari menatapku.

amboi, jantungku berdegup seperti mau meledak. entah mengapa aku merasa tak akan pernah terbiasa dengan sorot matanya setiap menatapku meski setelah sekian lama.

namun betapapun murahnya buku bekas, bukannya lebih baik ditukar beras? di tengah krisis pangan pikirnya aku doyan makan kertas? kertas dan tiwul.

tetapi lagi-lagi, siapalah aku ini berani bertanya. akupun tidak tahu mengapa ia terus-menerus menemuiku di dapur emak yang sempitnya minta ampun ini biar kata hanya ada kami berdua. yang kutahu adalah aku tidak punya hak untuk membantahnya.

maka dengan mata berbinar-binar senang aku membaca buku itu sampai halaman terakhir meski akupun sebenarnya tak terlalu menyukai chairil. aku melakukannya hanya untuk menyenangkannya. hanya untuk mendapatkan pujiannya.


aku seringkali mendengar orang-orang di kampung kami memujinya. ia yang dulu membantu menyelesaikan permasalahan ketika di kampung kami ada sengketa lahan, ia pula yang memberi tahu petani-petani kampung kami alternatif pupuk ketika panen kami kesulitan.

ia memang pintar. mungkin karena ia anak kuliahan. mungkin semua anak kuliahan seperti dirinya. mungkin juga tidak. mungkin aku akan sama sepertinya, jika aku juga melanjutkan sekolah. tak banyak tetangga kami yang bisa mengenyam pendidikan setinggi dirinya dan tetap sudi pulang ke kampung ini. kebanyakan memutuskan cepat pindah ke kota begitu lulus.

aku? aku sendiri hanya kebetulan mengenalnya sewaktu ia melayat ke rumah kami dan membantu proses pemakaman bapak. rahangnya yang tegas, dan matanya lembut meneduhkan. sembari mengobrol dengan emak dan memberinya kekuatan ia sesekali melirikku.

di rumah kami yang dindingnya masih rotan, orang-orang memenuhi ruangan kecil silih berganti, duduk di atas karpet terpal usang sambil menyalami emak satu-satu.

tetapi lelaki itu tetap ada di sampingku.

“namanya siapa?”

temaram, dari cahaya yang minim aku dapat melihat garis wajahnya. rahang yang tegas dengan mata lembut meneduhkan.

“lintang…” bisikku tercekat.

“cantik.”

aku menunduk, tersipu.

“namanya cantik.” lanjutnya kemudian.

aku tetap tersipu.


“lintang.”

“ya mas?”

“kamu sedang apa di sini?”

“mikir.”

ia terkekeh. lagi, jantungku berdegup seperti mau meledak. di tepi danau dimana kadang orang-orang kencing atau buang air ini aku telah berusaha menjernihkan kepalaku tetapi toh semuanya tiba-tiba keruh hanya karena ia kini duduk di sampingku. perasaan apa ini?

“mas ngapain ke sini?”

“nyariin kamu.”

kenapa?

“nih.”

ia mengeluarkan buku dari saku celana jinsnya.

tentu saja.

kami diam.

“tumben kamu gak ada di dapur?”

aku mendengus.

sebab emakku menyuruhku kawin.

tapi aku tak mengatakan apapun.


“lintang, kamu tahu yang saya kerjakan?”

tahu. ingin rasanya kujawab begitu.

aku sudah 18 tahun, otakku sudah sempurna jadi. hanya saja aku tak sekolah. dan aku sudah mau kawin, perkawinan yang di luar kehendakku. tapi pokoknya aku tahu. aku pernah rangking satu waktu SD. aku pintar dan kamu tahu itu. makanya kamu terus datang ke sini membawa buku-buku.

tetapi aku hanya mengangguk tanpa bilang apa-apa. lelaki itu, lagi-lagi duduk di amben, membawa buku. chairil, pramoedya.

ia tersenyum dan jantungku, jantung ini kurasa sudah berpindah melorot hingga ke ujung jempol kakiku.

“kamu betul-betul tahu.”

mungkin aku cuma mengkhayal saja, tapi rautnya sendu saat berkata begitu.

sekali lagi mata kami bertatapan dan sekali lagi juga ia menatapku dengan sorot mata itu, sorot yang mungkin dapat membuatku salah paham akan perasaannya kepadaku selama ini.

“hari ini kamu cuci rambutmu?”

aku mengangguk kecil, menunduk, “kemarin.”

ia ketawa. aku ikut.

lantas tiba-tiba ia melepaskan karet gelang yang selama ini dipakainya, yang warnanya hijau tua seperti danau kampung kami dimana orang-orang kadang kencing dan buang air.

untuk beberapa saat, ketika ia menatapku kembali, aku seperti bisa melihatnya tersenyum lewat kedua mata itu, kemudian dengan kedua tangannya, diraihnya pula rambutku perlahan sebelum disisir dan diikatnya dengan penuh kehati-hatian yang amat sangat. tubuhku panas-dingin.

nah, kali ini resmi sudah aku betul-betul salah paham.

“cantik.”

raut sendu itu lagi, namun entah bagaimana masih dengan kehangatan yang memancar. aku hanya memperhatikannya dengan mata membeliak tak percaya.

“cantik.”

samar, tepat saat aku kehabisan kata-kata karena tersipu dengan semua perhatiannya kepadaku, kedua tangannya merangkum wajahku dengan hati-hati.

“lintang.” aku menatap matanya penuh tanda tanya tetapi seluruh pertanyaan itu lenyap begitu saja ketika bibirnya menyentuh milikku dalam tautan yang dalam.

pelan, aku memejamkan kedua mataku.

“lintang.”

ibu jarinya mengusap tulang pipiku. kedua tanganku saling meremas sementara ia menarik tubuhku yang mungil lebih dekat, lebih lekat.

“lintang.” bisiknya lagi.

air mataku... air mataku tak henti-hentinya mengalir.


ia tidak pernah lagi datang membawa buku.


aku masih membaca bait yang sama berulang-ulang. di luar hujan dan lelaki itupun juga tak ada kabarnya.

kugerakkan jariku untuk melipat halaman buku bila kelak akan membacanya lagi. mungkin hanya di halaman itu dan halaman itu saja. bukan yang lain.