Apiun

Pairing: Kita Shinsuke x Miya Osamu x Suna Rintarou

2.1k-ish Words. Explicit Sexual Content. Porn what a plot. M/M Pairing. Double Penetration. Threesome. Mentioning Polyamory. D/S Undertones. Light Humiliation. Piss.


Kurang lebih begini kali ya. Ga tau berasa atau enggak. Maaf ibu, bapak, kakak, abang sekalian


Sepasang kaki melangkah masuk dalam ruangan apartemen yang gelap. Masih terlalu dini untuk disebut malam, tapi matahari sudah habis ditelan langit gelap. Terlalu sunyi, buat Kita bertanya-tanya ‘dimana kekasihnya berada?

Sejak lulus sekolah, Kita dan Suna berbagi apartemen. Sebenarnya hanya Kita yang menetap, sedangkan Suna sesekali berkunjung di hari libur.

Mungkin Suna sudah kembali?’ batin Kita kembali bertanya.

Tapi pertanyaan itu tidak sampai lama, sampai rungu Kita menangkap suara erotis khas Suna dari kamar mereka.

Kita tak seceroboh itu untuk langsung bergegas masuk tanpa aba-aba. Ia coba buka gagang pintu jati putih itu dengan pelan, menahan bebannya seakan itu dapat membisukan suara bising pintu. Sedikit celah tercipta, cukup untuk menangkap figur Suna yang terbaring di ranjang hangat dengan seorang berbadan tegap dan surai hitam di atasnya.

Kita sibuk berkecamuk dalam pikirannya, menerka siapa yang tengah mengagahi kekasihnya saat ini. Terlalu sibuk hingga menulikan telinganya. Tak sadar jika Suna sudah berkali-kali menggaungkan nama pria di atasnya tersebut.

“Osamu. Samu.. Udah! Nanti kak Kita pulang—Ah!” suara Suna terdengar lantang. Lenguhan dan rintihan berkali-kali keluar dari ranum tipisnya, volumenya begitu kuat penuhi ruangan.

Dua insan yang sedang dimabuk birahi itu sibuk dengan kegiatan amoral mereka, sampai-sampai tak sadar jika Kita sudah masuk dan menyaksikan keduanya.

Osamu sadar lebih dahulu saat sekelebat bayangan pria bersurai dwiwarna itu melangkah masuk dan tertangkap oleh sudut netranya. Namun ia abaikan. Entah disengaja atau tidak, Osamu justru bergerak lebih cepat. Temponya tak lagi beraturan, hanya terfokus untuk memberi hentakan kuat pada titik manis milik Suna.

Suna sendiri bagai dibawa terbang ke langit ketujuh, terlena akan nikmat duniawi yang tabu ini. Sedikit-sedikit berusaha mencapai kesadaran meski terasa mustahil.

Di hentakan yang kesekian, Osamu bergerak lebih kuat dan benamkan batangnya dalam-dalam. Membasahi rektum Suna yang turut menjepit miliknya lebih kuat dengan benihnya.

Saat Suna masih berusaha meraup oksigen, suara dominan Kita menginterupsi. “Udah mainnya? Udah puas?”

Manik zamrud itu melotot. Terkejut. Barangkali tak menyangka kekasihnya itu sudah pulang.

“Kak Kita..?” ucapnya dengan wajah gugup. Osamu diam saja memerhatikan konversasi–yang mungkin akan–penuh drama ini.

“Kenapa, Na?”

“Kak Kita udah berapa lama disitu?”

Kita membuat wajahnya seakan sedang berpikir, kedua lengannya dilipat di sekitar dada.

“Sejak ‘Osamu. Samu.. Udah! Nanti kak Kita pulang—Ah!’” jawab Kita lengkap dengan tiruan suara Suna tadi.

Wajah si submisif kesayangannya itu memerah. Antara malu mendengar tutur ucapan Kita atau ketika mengingat kegiatannya dengan Osamu atau justru karena mengetahui fakta bahwa kekasihnya itu baru saja menyaksikan kegiatan senggamanya bersama pria lain.

You’re such a whore, Na. Does that slutty hole of yours craving a massive cock that much? Or mine doesn’t satisfy you as well?” Tatap mata Kita begitu intens menatap Suna, mengabaikan presensi Osamu dalam ruangan itu.

Kita mengikis jarak yang semula membentang. Menatap lebih intens pada sekujur tubuh yang tak berbalut busana tersebut. Suna lantas meringkuk. Entah apa yang ia tutupi, mungkin rasa malu—jika ia masih punya.

Osamu senantiasa duduk di kursi rias yang tertata rapi disudut ruangan. Berusaha meminimalisir suara dan pergerakan, agar dua insan tersebut sibuk dengan ‘hukuman’ yang akan dilaksanakan.

“Engga gitu.. Kak Kita dengerin dulu..” Suna berujar demikian. Pikirannya berkecamuk mencari alasan yang tepat,

“Udahan kali, Sun. Kan tadi lo duluan yang ajak gue main. Lo bilang kalau Kak Kita cuekin lo selama tiga hari,” Osamu memanasi suasana. Kita meliriknya melalui sudut matanya.

“Oh, mulai nakal rupanya.”

Bulu kuduk Suna meremang, tubuhnya bergetar akibat dominasi yang diberikan Kita. Semakin meringkuk pula dia. Kepalanya ia tundukkan dalam-dalam, hindari kontak mata dengan Kita. Genangan air mata mulai berkumpul pada kelopak matanya, ia akui bahwa Kita yang mengintimidasi saat ini mampu membuatnya terisak tanpa henti.

“Suna, sini.”

Tangan Kita menarik–atau lebih tepatnya menuntun Suna menuju pangkuannya. Satu digit jemari panjangnya mengetuk pintu rektumnya. Menyapa sesaat sebelum melesak masuk tanpa aba.

“Kak..” lirih Suna. Air mata yang semula ditahan kini perlahan mulai merembes jatuh. Tatapannya begitu sayu tapi itu semua diabaikan oleh Kita.

Kita menambah satu per satu jarinya hingga kini sudah tiga digit dilahap habis oleh Suna. Padahal Kita hanya bergerak perlahan, tanpa menyentuh titik manisnya ataupun masuk lebih dalam. Murni hanya menyapa sekitar pintu rektumnya saja.

Tapi Suna yang berada pada pangkuannya tersebut sudah beberapa kali meremat kemejanya. Pun, Kita dapat rasakan jika air mata dari juniornya itu membasahi kain linen yang masih melekat pada tubuhnya.

“Sayang, jangan diketatin. Ini mau bersihin dalemnya doang.”

Suna mengangguk, terisak pelan dan perlahan mengendurkan rematan pada pakaian Kita. Ia menarik napasnya pelan sebagai upaya menenangkan diri.

Jari Kita kembali bergerak. Tapi tidak lagi sama dengan tempo sebelumnya. Kini lebih cepat, memijat dinding rektumnya untuk menarik mani milik Osamu yang tersisa. Ketiga jarinya itu bergerak tanpa memikirkan bagaimana keadaan si submisif nantinya.

“Kak..! Kak Kita! Aahh!” kepala Suna menengadah, jarinya yang semula hanya memeluk Kita kembali meremat punggung seniornya tersebut. Ia dibuat mabuk dalam euforianya sendiri.

“Sshh. Na, jangan banyak gerak. Nanti ga bisa dibersihin,” bisik Kita. Manik matanya melirik Osamu yang kini asik bermain sendiri sambil menikmati keadaan kacau Suna.

Sudah sebagian mani Osamu yang tertinggal di dalam Suna keluar. Napasnya tersenggal-senggal akibat perbuatan Kita. Baru sejenak ia rasakan istirahat, Kita kembali bersuara. Meski bukan untuknya, tapi sanggup membuat dirinya ketar-ketir.

“Samu, puas main sendiri?” pertanyaan itu dilontarkan oleh Kita kepada Osamu. Yang dimaksud hanya senyum canggung, kepalanya menggeleng sebagai jawaban.

Kita memutar tubuh Suna yang semula memeluk dirinya, kini menjadi menghadap Osamu.

Wajahnya begitu berantakan. Air mata, liur dan peluhnya menjadi satu. Tapi Kita tak jijik dengan pemandangan itu, justru ia merasa puas.

Kita cium sekilas pipi tirus milik Suna sebelum beralih menjilat telinga dari kekasihnya. Ia bisikkan sebuah kalimat pujian yang justru buat raga dari pria di pangkuannya itu bergejolak.

“Cantik. Pacarku paling cantik seuniversum. Tapi sayangnya nakal, malah main sama orang lain,”

Belum sempat Suna membalas kalimat seniornya, Osamu sudah memasukkan setengah dari kejantanannya ke dalam mulut Suna. Buat dirinya terkejut dan tersedak.

“Gila, mulut lo ga kalah sempit sama hangatnya dari lobang lo ya, Sun. Lebih bagus lagi kalau bisa deepthroat.”

Bisa-bisanya Suna seperti merasa ditantang. Osamu jelas tau cara memancing sisi liar seorang Suna. Kepalanya bergerak maju menelan hampir seluruh batang yang mengisi rongga mulutnya tersebut. Saat ia dibuat sibuk dengan Osamu dan miliknya, Kita melesakkan miliknya dalam liang hangat dan sempit milik Suna.

Ia tak keberatan jika harus berbagi lubang yang sama dengan Osamu, asal kekasihnya ini tidak mengulang kembali kesalahan yang sama. Asal tindakannya kali ini membuat kekasihnya jera. Kita bergerak brutal tanpa aba-aba, ritmenya pun tak beraturan.

Suna dibuat kewalahan akibatnya. Ia berhenti sejenak dalam memuaskan milik Osamu, seluruh fokusnya diberikan pada Kita dan aktivitasnya di bawah.

Osamu menggeram. Ia tarik surai kelam itu agar bergerak sesuai kemauannya.

“Siapa yang suruh berhenti, Sun?” ucapnya. Tatapannya begitu dingin, hampir serupa dengan milik Kita.

Kepala Osamu bagai dibawa mabuk akibat ekstasi. Diberi kenikmatan melalui dua pintu nikmatnya. Tangan Kita sesekali beri stimulus pada pucuk dadanya yang menegak. Kemudian kembali turun dan bergerak melingkar pada batangnya, jemarinya bergerak dengan lihai. Sesekali menggoda ujung dari penisnya.

Berkali-kali ia harus telan sendiri kata-kata yang hendak dilontarkan. Yang terkadang ditangkap oleh Kita. Suna merapalkan namanya, bukan Osamu. Melainkan namanya. Hal ini sukses membawa kesenangan pribadi baginya.

Liur milik Suna menetes, menciptakan sebuah rute yang membasahi dagu dan lehernya. Kita secepat kilat menyesapnya, seakan itu adalah air mahal yang sayang untuk dihamburkan.

Osamu asik sendiri dengan dunia dan kenikmatannya. Mengabaikan perilaku erotis dua pria yang lagaknya bak bintang porno. Ia semakin mempercepat ritmenya. Merojok keluar-masuk tanpa pedulikan Suna yang mulai menangis akibat perih di tenggorokannya.

Osamu menekan kepala Suna begitu kuat. Enggan untuk melepaskan buat Suna mau tak mau harus menelan air mani Osamu. Beberapa menetes keluar akibat tak tertampung.

Kita tersenyum. Kini ia bisa leluasa mengeksplorasi ‘rumah’ miliknya. Lagi, Suna tak diberi ampun. Kita terus bergerak menumbuk titik terdalamnya tanpa henti. Jarinya melingkar hiasi pinggang ramping Suna.

Ia bimbing Suna untuk bergerak turun saat pinggulnya menyentak naik. Meloloskan sebuah lolongan kenikmatan dari ranum Suna. Netranya berputar, hanya putihnya saja yang terlihat.

“Kak Kita, udah! Kak Kita-”

Kita berbisik dengan nada sensual pada Suna, “keep begging, Na”

Lalu Kita pun mempercepat temponya. Menghiraukan semua teriakan yang bercampur dengan desahan nikmat dari Suna. Osamu memperhatikan keduanya sembari berusaha menaikkan kembali ereksinya. Sesekali ia belai kejantanannya agar kembali berdiri.

“Kak, Kak Kita. Udah. Udah. Nanti Aku jadi–”

Belum selesai kalimatnya tadi, Suna sudah mengeluarkan cairan bening bercampur dengan cairan putih kental. Keluar tak terkendali hingga basahi kasur yang ditempati.

Osamu dibuat takjub dengan pemandangan di depannya. Ia sering berhubungan dengan banyak orang, tapi tak pernah ia lihat sehebat Suna.

Kini Suna terkulai lemas dalam rengkuhan Kita. Air matanya menetes, suara tangisnya pecah. Tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Malu. Ia malu kalau sampai terlihat begini di depan Osamu.

“Kak Kita sih! Kan aku udah bilang supaya berhenti. Jadi basah gini kan,”

Sedangkan yang diomeli tidak menunjukkan ekspresi marah ataupun kesal. Ia tertawa. Benar-benar tertawa akibat pacar manjanya itu.

“Gapapa, Na. Hadiah buat Osamu udah muasin kamu pas aku ga ada.”

Osamu bergerak maju. Ia menuntun Suna untuk membuka tutup wajahnya. Dibaliknya, wajah Suna masih kacau. Atau bahkan lebih kacau.

“Cantik gini harusnya punya dua pacar ga sih?” goda Osamu.

Suna melayangkan raut wajah protes. “Gak! Satu aja gue kewalahan, apalagi dua,”

Tapi protes itu tidak didengarkan oleh dua dominan itu. Justru Osamu sibuk membujuk Kita agar mau menjalani hubungan bertiga ini.

“Oke. Boleh bertiga,” putus Kita final. Suna berkali-kali protes sebab ia tak setuju. Ya iyalah, memangnya siapa yang mau pacaran bertiga padahal satu saja dia sudah repot sendiri?

“Denger kan, Na?” Osamu ikut-ikut menirukan gaya Kita memanggil Suna. Yang mana membuat Suna bahkan lebih jengkel dari sebelumnya.

“Buat perayaan, Osamu sini. Masuk juga ke dalem ‘rumah’ Suna,” ajak Kita.

Osamu girangnya bukan main. Ia angkat tubuh Suna bersama Kita hingga kini posisinya terhimpit dua dominan tersebut.

Perlahan Osamu menggiring miliknya untuk ikut bersemayam bersama milik Kita di dalam Suna. Sedangkan Suna mati-matian menggigit bibirnya sebagai pengalihan dari rasa sakit dan nyeri yang ia rasakan di bawah.

Oh! It’s too much! I can’t handle these,” teriaknya. Matanya terpejam, seluruh indera yang ia miliki ia gunakan untuk menahan rasa sakit. Bahkan dinding rektumnya terasa semakin menjepit milik Kita yang lebih dulu berada di dalam.

Kalau ia kira Kita akan menenangkannya, maka ia salah. Sebab kali ini Osamu lah yang mengeluarkan kalimat penenang.

Sshh. Relax, honey..

Entah angin apa yang merasukinya, ia menuruti ucapan Osamu. Padahal selama ini ia hanya patuh pada Kita saja. Bersamaan dengan tenang tubuhnya, ia kembali memuntahkan cairan spermanya.

“Udah? Udah semua belum?” tanya Kita yang dibalas oleh anggukan mantap oleh Osamu.

Mereka diam sesaat menunggu Suna terbiasa. Alih-alih tenang, Suna kembali mengomel.

You two are soooo big. Kenapa pada ga nyadar sih!? Nanti kalau punyaku longgar gimana? Kalau aku jadi ditinggalin gimana?”

Suna ini luar biasa cengeng dan manjanya jika hanya ia dan kekasihnya saja—atau perlu disebut ‘pacar-pacarnya’?

“Bisa stop ngomel ga? Mending bibir cantik ini mulai mendesah because we didn’t ask for your opinion,” ucap Kita. Berhasil buat Suna bungkam.

Baik Kita dan Osamu bergantian bergerak. Sedangkan Suna sudah sibuk merapalkan suara-suara kotor serta nama Kita dan Osamu. Manik matanya dibuat bergulir hingga menyisakan putih.

Kabut dan bintang imajiner berulang kali melintas dalam benaknya. Perutnya turut merasakan sensasi panas dan dingin akibat dua dominan egois dan serakah ini. Entah berapa lama siksa yang penuh nikmat ini akan berakhir. Sekujur tubuhnya sudah terlalu lelah sedari tadi.

Kepalanya ia sandarkan pada bahu Kita. Gerak bibirnya mengisyaratkan gestur “capek, kak” dengan pelan.

Segera Osamu dan Kita menuntaskan hasratnya. Tak ingin melanjutkan lebih lanjut kegiatan amoral ini jika Suna sudah berkata lelah. Sisa tenaga yang Suna miliki ia gunakan sepenuhnya untuk tuntaskan birahi yang membuncah. Suara kulit bertepuk saling bersahutan, tak peduli seberapa kuat suara Suna mendominasi ruangan kamar itu.

Suna capai pelepasannya lebih dahulu, kemudian diikuti oleh Osamu dan Kita. Mata Suna mulai terpejam begitu kegiatan senggama mereka selesai. Kita memindahkannya ke bilik lainnya untuk membersihkan kasur yang sudah terlalu kotor.

Sedangkan Osamu membersihkan tubuh Suna perlahan. Ia perlakukan Suna layaknya sebuah peninggalan kerajaan kuno yang sangat rapuh.

“Makasih, kak,” ujar Osamu sesudah membersihkan Suna dan menghampiri Kita.

Kita menghela napas lalu berikan sebuah senyum tipis terbaik yang ia miliki.

“Kembali kasih, Osamu.”

Setelah Kita selesai dan memastikan tidak ada sesuatu yang kurang, ia menghampiri Osamu yang senantiasa berdiri dengan tangan menyila.

Perbedaan tinggi keduanya begitu jauh, tapi Kita seakan tak peduli akan hal itu. Ia menarik tengkuk Osamu agar merunduk lebih dekat dengannya.

“Tapi saya belum puas sama yang tadi. Mind if i borrow yours to calm down mine?”, bisiknya seduktif.

Osamu terkejut. Mungkinkah getaran ini yang turut dirasakan Suna hingga ia patuh pada pria yang lebih tua ini.

“Diam berarti iya,” ucap Kita.

Ia menuntun Osamu kembali pada kasur yang baru saja dibersihkannya. Pergelangan tangan dan kaki Osamu diikat erat pada tepian ranjang.

“Biar ga berontak,” bisik Kita tepat pada telinganya.

Malam masih begitu panjang dan Osamu akan belajar banyak hal baru dari Kita.

Toh, ini bukan salah Kita. Sebab dari awal Osamu sendiri yang menjerat dirinya pada jebakan ini.

Be ready, Miya Osamu.”


ANJIIIRRRR. ini ada typo gaksii. Non beta reader soalnya. anw MAKASIIHHH BANYAK SUDAH BACA BESTIEE. Feedbacksnya yh kwand,, ketemu lagie di cerita lainnya!