Fraude

Sanzu Haruchiyo x Reader (f)

4.2k words. Explicit Sexual Content. M/F Pairing. Cunnilingus. Vaginal Penetration. Kidnapping. Consensual Drug Use. Physical Abuse. Gun play. piss. Dub-Con/Non-Con. Love-hate. OOC.


Riuh gemuruh badai terdengar begitu jelas. Rimbun hujan, kilat, juga petir bersorak sorai malam ini. Sedangkan waktu meledak dalam dada seorang perempuan yang kini terbaring bagai tak bernyawa.

Ditemani sebuah kasur usang dan lampu tidur yang mulai meredup, tiap-tiap hari ia habiskan seperti ini. Musim mulai mengendap pada tingkap kecil, memperlihatkan ranting dan juga dedaunan basah berserakan di atas lahan lembab.

Malam belum lama tiba saat badai datang, namun langit sudah begitu gelap. Terlalu pekat gelapnya, serupa dengan manik mata indah miliknya.

Lalu suara pintu dibuka terdengar, bersamaan dengan suara langkah sepatu yang menggema dalam ruangan. Pria dengan surai merah muda menampakkan rupanya di depan perempuan tersebut, tatapannya penuh dengan iba dan simpati. Sanzu Haruchiyo

Perlahan Sanzu letakkan nampan berisikan makanan berat bersama berbagai butir pil lainnya di atas nakas. Tubuhnya bergerak turun, duduk di atas kasur lusuh tepat di dekat perempuan tadi berbaring.

Tangannya tergerak menyingkirkan beberapa helai surai legam yang menutupi paras indah. Sedangkan yang dikasih hanya diam seribu bahasa, tak bergeming.

Netranya pancarkan seribu bisu, sebuah tanda bahwa ia urung mengeluarkan suara indahnya.

“Sayang, makan dulu. Habis itu biar minum obat.”

Sanzu sudah terbiasa dengan ini semua. Maka ia tetap sabar sembari membujuk agar kekasihnya tersebut mau makan.

Nihil. Nyatanya perempuan berparas indah itu masih tetap pada pendiriannya, enggan menggubris pria rupawan di hadapannya.

Lagi, Sanzu ulangi perkataannya. Kali ini ia menyertai kecupan kecil agar sosok di hadapan dirinya mau menerima kehadirannya.

“Cantik, makan dulu ya? Obatnya nanti aja, tapi kamu harus makan.”

Berhasil. Perempuan itu menoleh padanya, namun ada yang asing pada tatapannya.

Tatapan benci, marah, juga hampa bercampur aduk menjadi satu. Menyisakan sebuah kerutan tanya pada diri Sanzu.

Perempuan itu pun menggeleng kuat, tanda penolakan keras pada semua ajakan Sanzu. Matanya dipaksa terpejam, hingga gurat tipis muncul.

“Kenapa ga mau? Biar kamu cepat sembuh ini loh. Kamu mau sakit kayak gini terus?” Bujuk Sanzu kesekian kalinya.

Sang perempuan pun membuka matanya kembali, masih dengan tatapan protes miliknya. Ranumnya yang pucat sudah siap ingin mengeluarkan kalimat penolakan kalau saja tangan Sanzu tak segera melingkari leher jenjangnya.

“KENAPA GAK MAU? BERANI KAMU MELAWAN?” Suara bentakan Sanzu menggema pada seisi ruangan. Begitu kuat hingga perempuan di bawahnya kembali pejamkan matanya sebab dirundung rasa takut.

“JAWAB! MASIH PUNYA MULUT KAN?”

Dengan demikian, perempuan itu pun mengumpulkan segala keberanian yang ia punya. Bibirnya bergetar lantaran menahan tangis, kini guratan tipis pada dahinya pun berubah menjadi sebuah kerutan kasar.

“Aku..” cicitnya. Kalimatnya belum usai akibat cengkraman Sanzu menguat pada lehernya.

Tersirat amarah pada raut wajah Sanzu yang memberi kemungkinan bahwa pria itu akan lekas lupa siapa yang tengah dihadapinya.

Gamang, perempuan itu mulai mengumpulkan semua keberanian serta tenaga yang ia miliki. Mengeluarkan suaranya dengan lantang walau masih kalah kuat dengan volume suara Sanzu.

“KARENA AKU GAK SAKIT! YANG SAKIT ITU KAMU!” Teriaknya nyalang.

Tatapannya bagai bara api yang menyala terang. Tak takut akan apapun, sekalipun itu Sanzu Haruchiyo.

Jika ia benar memiliki keberanian sedemikian rupa, mengapa tidak melarikan diri? Sudah. Sudah berulang kali ia coba, namun tak satu pun usahanya berhasil.

Bahkan tiap kali ia berusaha pergi dari tempat terkutuk itu, Sanzu selalu mendapatinya. Baik itu pagi, siang, hingga tengah malam sekalipun. Yang berujung dirinya tertangkap, dan kembali merasakan tajamnya jarum suntik menembus kulitnya atau menelan pil yang tak ia ketahui.

Tiap kali ia mendapat hukuman dari Sanzu, selalu berakhir dengan dirinya berada pada kamar mewah. Namun setelah ia sadar, maka ia akan dibawa kembali ke dalam kamar usang tempatnya berada.

Maka dari itu, ia menyerah dalam upayanya melarikan diri. Toh, jika pria bengis di atasnya itu sudah bosan pasti ia akan membuang dirinya.

Lama ia terlarut dalam lamunannya, sampai Sanzu merasa sedang diacuhkan. Jemarinya mengerat. Kuku tajamnya menggores permukaan kulit putih pucat yang sudah dipenuhi lebam lainnya.

“NGOMONG SEKALI LAGI, SAYA TAMPAR KAMU YA!” marah Sanzu.

Perempuan itu pun tampaknya sudah kehabisan stok oksigen. Mulutnya terbuka begitu lebar tanpa dapat terkatup kembali, agar ia dapat merasakan oksigen masuk memenuhi paru-parunya.

Angin bertiup sayup, menerpa kulit putih keduanya. Riuh badai tak lagi terdengar, hanya gerimis lembut yang turun. Ranjang meminta agar keduanya tak lagi berseteru, sebab ia ingin ketenangan. Namun emosi dan tubuh sudah jauh dibara panas, juga bercampur luka.

Tangan sang perempuan merayap, melewati lengan tak terlalu kekar lalu bahu bidang dan berlabuh pada dada keras milik pria bersurai merah muda itu.

Memukulnya kuat seraya meluncurkan semua emosi yang ia pendam. Namun Sanzu masih setia dengan tatapan bara apinya beserta seringai keji terlukis pada wajahnya. Berhiaskan luka indah di kedua sudut bibir.

“HAru..” Intonasi suara perempuan itu melemah bertepatan dengan energinya yang melemah.

Mendengar nama kecilnya dipanggil, kesadaran Sanzu kembali. Tak ada lagi raut penuh amarah, hanya penyesalan di dalamnya.

Namun apalah arti sebuah penyesalan, toh akan diulangi kembali olehnya.

Seperti yang diduga, Sanzu lekas mengusap bekas memerah pada leher putih kucam. Tatapan sedih disertai bulir bening kini siap sedia menghiasi wajah eloknya.

“Sayang, maaf.. maaf.. Aku ga maksud gini..” Demikian ucap Sanzu diikuti dengan isak tangis yang pelan.

Namun perempuan itu tak terlena olehnya, jemarinya dengan sigap menarik jari-jari Sanzu dari lehernya. Mengarahkannya pada mulutnya yang sedia terbuka dan mengerkah dengan sekuat tenaga.

Akhirnya ia lari meninggalkan ranjang. Berlari cepat sebelum dinginnya tangan malam merampas raganya dan mengurungnya pada relung waktu yang dalam.

Sanzu sendiri masih diam mematung, tak bergerak sedikitpun. Hanya menatap jemarinya yang telah dicokot oleh perempuannya yang tangguh. Seringai puas terbit dalam paras rupawannya, mampu menyisakan tanya bagi siapapun yang melihatnya. Tanda puannya tersebut masih sehat seperti sedia kala.

Pada jarinya tersisa sebuah bekas dalam yang mungkin tak kan segera menghilang. Sanzu sendiri tak marah, namun bergegas menyusul sang puan agar tak pergi jauh.

Sedangkan sang puan yang tengah ia cari berjalan dengan langkah kemenangan, meskipun ia tahu kalau-kalau bahaya lainnya akan menanti. Sebab tak mungkin ia dapat lolos semudah ini.

Tapi biarlah demikian, kapan lagi perempuan malang itu dapat merasakan angin bebas menerpanya. Kapan lagi jemari kakinya dapat menyentuh lembapnya tanah.

Saat ia masih menikmati segarnya angin malam, Sanzu tiba di belakangnya. Dengan sebuah senjata api sejenis revolver ala abad sembilan belas dalam genggamannya, menodong sebagai ancaman tersirat jika hendak melarikan diri lagi.

Marah? Tentu. Hanya saja ia tetap paksakan sebuah senyum elok terlukis pada wajahnya, dengan luka ikoniknya sebagai hiasan.

“Lain kali, kalau mau kabur langsung kenceng aja larinya.”

Lantas tangannya menarik erat pinggang seorang wanita yang tengah membeku itu. Mengeret tubuh lemah tanpa perasaan. Tanpa meninggalkan presensi senjata api dari genggaman.

Kaki perempuan meninggalkan sebuah jejak berupa jalur panjang. Kembali menuju kamar dimana ia berasal.

Bertemu kembali dengan ranjang yang merindukan pemiliknya. Menyisakan nampan bersama isinya yang sudah mendingin.

Ia rasakan tubuhnya melayang untuk sesaat, merasakan ringannya angin menghanyutkan raganya yang tak lagi miliki impian.

Sanzu hempaskan tubuhnya pada ranjang yang sudah reot itu, mempertemukannya kembali bersama ranjang yang merindu.

Netranya menitikkan bulir bening, merayakan rindunya pada angin bebas. Sedangkan ranjangnya memilu, sebab tak mendapat balasan akan rindunya.

Sanzu beralih pada nakas saat puan tersebut sedang menyelanggarakan pesta sedihnya. Meraih botol kecil berisi pil yang biasa ia berikan lalu mengarahkannya pada perempuannya. Mendesak perempuan itu menelan seluruhnya. Sanzu mendorong seluruh jarinya agar obatnya tak terbuang satu butir pun.

“Telan.” Perintahnya. Bagai seorang yang tuli, si perempuan mengabaikan perintah tuannya. Menyulut api amarah pada netra biru yang seharusnya setenang laut siang.

Jemari Sanzu yang masih bertengger manis pada sudut ranum puan, bergerak mengisi celah antar rongga mulutnya. Mendorong butiran pil tanpa nama hingga ujung tenggorokan, benar-benar memaksa si perempuan untuk menelannya.

Setelahnya terdengar jerit lengking perempuan yang terluka dan rintihan sakitnya.

Perlahan kesadarannya menghilang, pandangannya berubah menjadi sayu. Lalu menutup kelopak indahnya, berangsur pergi ke alam mimpi. Entah apa yang menantinya selanjutnya.

Sanzu tersenyum penuh kemenangan, bangkit dari posisinya dan menghampiri perempuannya. Merengkuh pinggang kecilnya dengan penuh semangat.

Menggendong tubuhnya bak permaisuri yang teramat ia sayang. Beralih pada sebuah ruangan yang berbeda, mengarah pada tilam yang empuk lagi nyaman.

Membaringkan tubuh seorang puan dengan perlahan, seakan akan pecah bila dihempas begitu saja. Tiap helai garmen tipis yang membungkus kulit putih bagai porselen dilepas oleh Sanzu.

Biarkan kanvas putih yang tak lagi seputih susu itu diterpa dinginnya angin malam. Cahaya dalam kamar itu remang, tingkap tak tertutup rapat biarkan anak-anak hujan masuk ke dalamnya.

Di dalamnya terdapat tahanan ranjang, seorang wanita dengan paras elok terbaring tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya. Tangannya terikat pada dua sisi ranjang, demikian pula kakinya.

Kelambu tipis berhembus pelan, membawa butir bintang bersamanya. Buat tubuh sang wanita terlena dalam mimpi sesaatnya.

Dibawahnya terdapat Sanzu, seorang buronan wanita karena parasnya yang menawan. Namun yang dikejarnya adalah seorang tahanan hatinya, yang mampu merebut hati bekunya.

Pria dengan surai merah muda itu mengembara pada lahan kering tubuh sang wanita. Menyusuri tiap incinya dengan bagiannya yang tak bertulang. Meninggalkan pias licin dari salivanya.

Saat sang puan sedang terlelap dalam haribaan malam, Sanzu bergerak meninggalkan jejak kepemilikan pada kulit halusnya.

Mengecup dan memuja ciptaan Tuhan yang ia sayangi (katanya). Kalau sayang, kenapa disiksa? Sebab yang disayang tak menerimanya. Sedangkan Sanzu sudah dilanda gila oleh rasa cinta yang membuncah.

Samar-samar kesadaran wanitanya kembali. Rasakan perih menyelimuti kedua pergelangan tangan yang terbelenggu alibi perasaan.

“Hmmp!” Teriaknya tertahan. Dalam mulutnya tertanam sebuah revolver kesayangan pria bersurai bak gulali, menambah estetika dalam dirinya.

Sanzu menoleh padanya, menatap paras indah dengan rasa kagum tak henti.

“Hm, kenapa?” Tanyanya demikian santun. Berbanding terbalik dengan perilakunya.

Perempuan tersebut mengeluarkan tatapan iba, mendamba akan kebebasan yang terkekang. Liurnya menetes, membuat aliran tersendiri.

“Kalau aku tarik, jangan melawan, ya?”

Puan mengangguk. Menyetujui syarat yang diajukan.

Perlahan jemari Sanzu menarik keluar mainannya, memberikan ruang pada kekasihnya agar dapat melantunkan kidung namanya malam ini.

Puan itu kini tengah meraup oksigen sebanyak mungkin setelah beberapa saat tertahan oleh benda hitam manis yang bertengger memenuhi ruang mulutnya. Akan tetapi, Sanzu menginterupsi kegiatannya.

Dengan cekatan ia menyambar ranum si perempuan, melesakkan lidah ke dalam. Mengabsen deretan gigi rapi dengan lidahnya, sebelum akhirnya mengajak lidah si puan untuk bergelut.

Buat seutas benang tipis terbuat dari saliva tertaut di antara keduanya. Sesekali Sanzu bergerak memagut ranum yang mengering itu, buat menjadi bengkak memerah.

Segera setelah ia usai dengan pagutannya, pria dengan surai bak gulali menghampiri lukisan indah di bawahnya, hendak mencuri beberapa cumbu lagi dari ranum manis yang masih terbuka lebar.

Apalah dayanya bila yang dicintainya terlanjur membenci. Seakan mengerti akan pergerakan Sanzu, puan itu meludah pada paras rupawan yang terlalu berharga untuk dinodai.

“Saya gak sudi dicium sama pendosa kotor kayak kamu!” Bentaknya.

Sanzu terkekeh, jemarinya bergerak menangkup pipi yang sudah menirus itu.

“Memangnya ada pendosa yang suci?” Ucapnya lalu membalas ludah kembali.

Tangannya yang lain bergerak meraih revolver antik yang sempat terlupakan entitasnya. Mengarah pada dagu dara yang tengah mengais api benci.

“Mau melawan lagi?” Tanyanya dingin. Buat si perempuan bergidik ngeri, kepalanya menggeleng cepat sebab dilanda takut. Terpaksa ia ikuti permainan seorang pria tanpa hati, sebab tak tahu apakah senjata yang dipegang beramunisi atau tidak.

Pria yang dimaksud tampak acuh dengan ketakutan si perempuan. Sanzu yang bergerak mencumbu sepanjang kulit putih pucat pasi itu. Membiarkan perempuannya merasakan betapa hangat dan lihai dirinya dalam memberi kenikmatan.

Puannya pejamkan netra indahnya, menggigit bibir bawahnya agar dapat menahan desah yang hendak keluar hingga terasa anyir memenuhi indra perasa.

Sanzu Haruchiyo, seorang pria yang seharusnya ia jauhi sejak jauh-jauh hari. Yang seharusnya tak ia sambut dengan baik hati saat ia mengetuk pintu hatinya.

“Jangan digigit” Interupsi Sanzu. Mengingatkan kembali akan realita bahwa tak ada gunanya menyesal.

Perempuan itu menurut, berhenti mengigit bibir ranum yang tak lagi semerah apel. Alih-alih melanjutkan kegiatannya, Sanzu melepas sabuknya. Mengarahkan pada perempuan di bawahnya.

“Gigit ini aja” Ucapnya yang langsung dituruti oleh si wanita.

Kembali, ia lanjutkan pekerjaannya. Menyiapkan puan yang ia kasihi untuk sebuah nikmat dunia tiada tara. Menyesap leher jenjang, memenuhinya kembali dengan jejak gigitan dan juga bercak merah keunguan.

Dari sana, ia menyusuri tulang selangka yang terlihat jelas. Mencuri rasa manis yang-tak-mungkin tertanam disana. Sesekali diliriknya ekspresi si perempuan, dahinya mengerut dengan mata terpejam. Menolak menggaungkan namanya sebagai kidung yang mengiringi kisah keduanya malam ini.

Namun Sanzu pilih untuk abai. Berfokus memberi afeksi pada sepasang gundukan daging yang menggantung indah. Mencuri seteguk air imajiner dari pucuknya. Mengais pilu yang tertahan di dalamnya.

Jemarinya tak lagi menahan mainan kesayangannya, melainkan bergegas turun dan berhenti pada buah yang menanti untuk dinikmati.

Meremas salah satu dari dua buah dada yang tak terlalu besar. Menangkupnya dengan rasa puas layaknya memang terukir baginya.

Bergerak memutar, sesekali jemarinya memelintir pucuk dada berwarna merah muda. Memancing gairah terpendam dari perempuan.

Seperti halnya perkataan seorang anonim, perempuan dan keras kepala adalah satu paduan yang menyebalkan. Demikian pula dirasakan oleh Sanzu.

Semakin gencar ia meremas, semakin kuat pula gigitan perempuan pada sabuk kulitnya. Bahkan saat Sanzu tak lagi hanya mencerap, dan mulai mengigit pucuk dadanya, ia tetap bersikeras menahan suara yang ingin keluar. Padahal sudah jelas dari puting yang menegang, bahwa tubuhnya mengkhianati kemauan hatinya.

“Kenapa sih!? Kalau mau desah, ya tinggal keluarin! Gak usah sok ditahan!” Bentak Sanzu.

Sang dara berikan tatapan nyalang meskipun air matanya berlinang. Mencoba tetap berpendirian teguh meski ingin sekali ia menangis hingga air matanya tak bisa lagi keluar.

“Oh, melawan rupanya”

Manik perempuan itu melirik pada gerak tangan Sanzu yang bergegas mengambil revolvernya. Membawa senjata itu ke arah bagian bawah tubuhnya. Pikirannya kalut, takut-takut jika Sanzu berbuat macam-macam.

Dan, ya, memang Sanzu berbuat demikian.

Dirasakannya permukaan besi menyentuh labianya. Memberi getaran kejut pada sekujur tubuhnya. Buat bulu tipis di seluruh daksanya meremang.

Sedangkan Sanzu tersenyum dengan gurat licik. Merasa sudah menang sebab melihat ekspresi berbeda yang terlukis pada wajah bidadarinya.

“Kenapa? Kok jadi takut gitu?” Ia bertanya seolah apa yang baru saja dilakukannya hanyalah hal sepele.

Mengundang tangis takut dari si puan. Rautnya memelas, memohon ampun yang tentu saja tak mungkin digubris oleh si tuan.

Bulir keringat menetes, bercampur dengan tangisnya, menyuarakan takut dan panik menjadi satu. Sedangkan kedua tangan yang terikat berusaha berontak. Bergerak membabi buta sembari berharap simpulnya melonggar.

Demikian pula pada kakinya, berontak layaknya seekor tangkapan hendak disantap. Sebab ia tak tahu, akankah Sanzu menanamkan sebuah peluru di dalamnya atau tidak. Ia tak tahu, apakah amunisinya penuh atau tidak.

Sanzu Haruchiyo tampaknya menikmati pemandangan tersebut. Jemarinya semakin giat menggoda tubuh di bawahnya. Entah itu menyibak tiap lipatannya, atau pun menyibak bulu pubis yang menutupi.

Wajahnya bersorak sorai merayakan sebuah kemenangan. Kemenangan atas kendali daripada sebuah manekin indah, kemenangan atas sebuah perang, kemenangan atas sebuah rasa takut.

Puan sebagai pihak yang kalah hanya memberi raut takut. Netranya seakan berkata, ‘Mohon lepaskan aku!’

Yang dibalas dengan perkataan, “Enak kan?”

Tidakkah si bodoh Sanzu Haruchiyo ini berpikir akan rasa takut atau bajingan ini sudah mati rasa? Jawabnya tak tahu. Dalam setiap gurat emosinya, tak seorang pun tahu mana yang asli mana yang palsu.

Terlebih saat pucuk balang peluru tersebut mencoba masuk. Menyapa labia minora miliknya, menyusuri lipatan di dalamnya. Perlahan geraknya, khawatir sewaktu-waktu akan lecet atau bengkak.

Kedua kaki jenjang perempuan yang terikat berusaha berontak. Bergerak liar ingin menerjang belenggu yang mengikat.

Sanzu melihatnya, jemarinya yang bebas terarah pada bibir yang dihiasi luka, menambah kesan jahat dalam dirinya.

“Shush! Shush! Jangan berontak gitu, nanti silap saya masukin kasar. Ga mau kan?”

Raut si perempuan bergidik, peluhnya semakin deras mengalir. Menuruti keinginan tuan penguasa akan tubuhnya. Membawa sanzu berbisik tepat di telinganya, “Pinter”

Kembali ia bawa benda keluli besi itu, menyapa sebuah gundukan kecil di atasnya. Menggoda-menggelitik dengan pucuk selasarnya.

Menepis tiap ego dalam diri si perempuan. Memancing sesuatu yang siap ia terima kapanpun.

Demikianlah bulu perempuan kian meremang. Mencari pegangan yang kuat dalam simpul yang membelenggu dirinya. Semakin kuat pula gigitannya pada sabuk kulit.

Pejaman matanya menguat, enggan menatap manik lazuardi yang menghanyutkan. Memilih berhadapan dengan gelapnya bayang masa kini, menahan semua getaran akibat stimulasi yang diberikan.

“Kenapa?” Tanya Sanzu seakan tak terjadi apa-apa. Lalu si perempuan membuka netranya. Lidahnya tergerak mendorong sabuk yang terapit pada ranum indahnya.

Pria itu seakan mengerti, ia mengambil sabuk yang dimaksud. Membiarkan perempuan itu menarik oksigen sebanyak yang ia mau, memberi waktu untuk menyiapkan diri sebelum berucap.

“Jangan pake-AAHH”

Nahas, tak sempat ia selesaikan kalimatnya namun Sanzu kembali menggerakkan mainannya kembali. Tak hanya sampai disitu, bahkan kini seluruh wajah Sanzu sudah berpindah pada apitan kedua paha tebalnya. Menikmati pemandangan dari kelamin yang memerah, dihiasi bulu pubis halus seakan menyembunyikan sebuah harta karun didalamnya.

Perlahan ujung dari revolvernya menyibak masuk. Menghantarkan getaran dingin berdampak getaran hebat bagi tubuh perempuan. Mengundang desahan hebat akibatnya.

Tampaknya si perempuan tak sanggup rasakan tinggi yang mendera, hingga ia gelengkan kepalanya tak tentu arah. Membawa peluh semakin banyak hingga perih dirasa saat menilik masuk ke dalam matanya.

“Enak kan?” Tanya Sanzu. Ia ingin memastikan puan cantiknya itu merasakan nikmat, bukan sakit ataupun yang lain.

Perempuan itu pun bagai tak sanggup lagi untuk berdusta dan menolak, maka ia anggukkan kepala sebagai bentuk setuju.

“Bentar, yang ini lebih enak” Lalu ia hadapkan wajahnya pada pintu gerbang nikmat duniawi, menjulurkan lidahnya melalui sisi lipatannya. Tak lupa ia gerakkan revolver yang masih berada di dalam.

Perempuan itu pun hendak menaikkan tubuhnya,agar dapat melengkung tinggi sesuai dengan nikmat yang dirasa. Namun oleh Sanzu ditahan, jemarinya yang bebas menahan abdomen bawah si puan.

Lidahnya bergerak bebas di bawah, eksplorasi tiap incinya agar tak terlewat sedikit pun. Menggunakan tiap jilatan yang diberi sebagai pelumas. Mengais rasa dan aroma yang menguar dari sana. Manjakan klitoris, lekuk labia, hingga menuju pintu masuk vagina milik puannya.

Perempuan tersebut tengah menahan getaran hasrat. Bak disengat, ia ingin sekali mengangkat tubuhnya melambung tinggi. Namun terus menerus ditahan oleh pria bersurai merah muda ini.

Pun, dengan sengaja ia mengetatkan otot-otot di dalamnya, menjepit dua digit jemari panjang Sanzu bersama dengan pucuk kepala revolver yang kini dipenuhi oleh cairannya. Tak lagi tercetak wajah berontak, sebab ia sudah terjatuh dalam perangkap sang penguasa neraka.

Puas ia lihat perubahan dari si perempuan, kini perlahan ia keluarkan revolver era sembilan belas miliknya. Meninggalkan raut putus asa dari perempuan.

Kemana? Kemana jiwa berontaknya tadi? Tak seharusnya ia menikmati ini! Demikian ujar batin si perempuan.

Maka ia teruskan lakonnya yang menolak sentuhan pria itu. Menahan mati-matian gejolak birahi yang tersulut. Bahkan saat ia merasa gelombang pelepasannya hendak tiba, ia mengetatkan otot di dalamnya, lupakan entitas seorang Sanzu di bawahnya.

“Anjing, makin ketat. Kayaknya kamu nahan mati-matian biar ga orgasme di depan saya ya?” Tanya Sanzu tanpa mengehentikan aktivitasnya dari menjilat bibir yang sudah merah merekah itu.

“Haaa, gak sudi saya” Ucap si puan dengan tekad kuat dalam abaikan rentetan desah yang berbondong-bondong hendak keluar.

Mendengarnya, Sanzu pun beranjak. Bergerak membuka resleting celana formal yang ia gunakan. Tanggalkan hingga seluruhnya, menyisakan sebuah bokser ketat membungkus miliknya.

Sesekali, sengaja ia pertemukan gundukan miliknya dengan bibir vagina si perempuan, memancing lantunan nada indah miliknya untuk bersuara

Sedangkan, wajah si puan memerah. Berteguh pada prinsipnya yang menolak eksistensi si tuan biadab di hadapannya.

Lalu, Sanzu bergerak mendekati wajah si juwita. Mencuri sebuah kecupan basah dari puannya. Kemudian, menurunkan sebuah bokser yang ia kenakan hingga sebatas lutut. Menyisakan sebuah batang ereksi yang sudah mengeras.

Dengan posisinya sedikit merendah, ia arahkan kejantanan miliknya tepat pada wajah si perempuan. Menamparnya kuat pada sudut bibir manis si perempuan.

“Buka.” Titahnya.

Perempuan pun membuka mulutnya dengan meragu, yang dengan cepat oleh jemari Sanzu lebarkan rongga mulutnya. Tampilkan deretan putih gigi yang rapi. Perlahan Sanzu selipkan satu hingga dua digit jemarinya panjang, gunakan saliva dari si puan untuk basahi seluruh segmen dari dua digit jarinya tersebut.

Setelah dirasa cukup, milik Sanzu yang sudah mengeras tadi pun melesak masuk, menjajah tiap inci rongga mulut si perempuan. Menggunakan langit-langit, dinding, dan seisi rongga mulutnya demi puaskan nafsu binatangnya.

Sering kali kepala kejantannya itu menyentuh pangkal tenggorokan milik si perempuan, mengundang batuk tersedak sebab dipaksa menerima seluruh hujamannya. Terkadang, dengan sengaja Sanz tabrakkan pada dinding mulutnya, buat bentuk miliknya tercetak jelas dari luar. Mana kala si perempuan sedang menahan pegal yang dirasa dan pilu yang membuncah, Sanzu tetap seperti sedia kala menyodok keras tanpa rasa manusiawi.

“HHH, enak.. enak”, demikian pujinya. Entah lah, haruskah si puan bangga atas pujiannya? Atau haruskah ia menangis, melihat betapa naif dirinya sebab ia menikmati pula bagaimana perilaku sayangnya Sanzu terhadap dirinya?

Jawabnya tak tahu. Mungkin memang benar, ia harus menerima fakta jika Sanzu miliki kuasa atas hidupnya, tubuhnya, bahkan tiap oksigen yang direnggut. Mungkin pula, ia harus menerima hadirnya Sanzu dalam hidupnya dan biarkan pria bengis itu mengisi relung hatinya.

Lama rasanya ia lupakan entitas seorang Sanzu di hadapannya, hingga kembali tersadar saat Sanzu keluarkan lahar panas dalam rongga mulutnya. Penuhi dengan cairan putih, hambar, ingin ia muntahkan rasanya jika pria itu tak berikan perintah “Telan.”

Demikian pula si perempuan menahan rasa jijik yang timbul, menelan seluruhnya cairan putih kental yang ada pada mulutnya. Berusaha abai akan gejolak yang muncul seiring waktu ia mencoba menelan seluruhnya.

Saat sudah tandas, Sanzu justru membelai pipi lembutnya. Buai si perempuan dengan afeksi yang memabukkan, seakan lontaran pujian yang ia keluarkan tak cukup untuk salurkan perasaannya.

Lantas apa si perempuan akan jatuh hati padanya? Atau justru hanya akan diam dan berpasrah akan apa yang terjadi?

Opsi kedua tentu jadi jawabnya. Ia biarkan saja Sanzu memgeksplorasi tubuhnya, seakan daksanya adalah suaka yang senang ia kunjungi.

Kembali Sanzu hadapkan pandangannya pada daging memerah dibawahnya, jemarinya bergerak membuka lipatannya. Hingga dapat tampilkan isi di dalamnya. Lebarkan ruang di dalamnya, untuk masukkan miliknya dalam liang hangat.

Sedikit demi sedikit kejantanannya mulai melesak masuk pada milik si perempuan. Abaikan tiap rematan dari otot dinding si perempuan, hingga setengah miliknya sudah masuk. Sedangkan si perempuan merasakan sakit luar biasa, sebab ia jarang dijamah.

Hingga masuklah seluruhnya batang kejantanan milik Sanzu, diam sejenak membiasakan kontraksi dari otot yang menghangatkannya. Nikmati hangat, dan sempit liang yang menyelimutinya.

Namun, tampaknya kesabaran Sanzu seakan sudah menyusut, entah kemana hilangnya. Belum lama si puan membiasakan diri, Sanzu sudah mulai bergerak. Bersikap abai pada protes wanitanya.

“Chiyo! Jangan gerak dulu-Ah!”

“Kenapa? Kenapa baru sekarang kamu mau panggil nama saya? Atau saya harus begini terus supaya kamu mau panggil nama saya?” Tanyanya kembali.

Puan itu menggeleng kuat. Tak setuju akan pertanyaan atau pun pendapat Sanzu. Ah, menggeleng pun memangnya Sanzu peduli? Tidak.

Rematan perempuan itu pada kain yang melingkar di pergelangan tangannya semakin kuat. Menahan sakit dan perih yang melanda. Ranumnya pun menyuarakan desahan, lenguhan bahkan jeritan yang inkoheren.

Memenuhi rungu Sanzu yang tengah bergerak brutal. Berhenti untuk sejenak, hanya untuk membuka simpul yang mengikat pergelangan kaki perempuannya. Kemudian ia kembali memasukkan miliknya yang masih berdiri tegak ke dalam liang hangat milik perempuan.

Menekuk kedua kaki jenjang, yang sewaktu-waktu dapat menyerangnya, menemui dua buah ranum delima yang menghias pada dada dara yang sedang mengatur napasnya.

Oh! Astaga, bagaimana bisa ia lupakan jantung hati seekor rusa yang menanti di jamah? Kembali ia gerakkan pinggulnya, dan benamkan wajahnya pada sepasang buah dada ranum. Menghirup seakan disanalah oksigennya berada, mengais air seakan disanalah hausnya akan berakhir.

Bagaimana keadaan si perempuan? Dengan nafas yang terengah-engah, dan tak lagi menahan diri dalam gaungkan kidung desahan untuk si penguasa neraka. Kini, kaki jenjangnya terbentang keluar, melingkar indah pada pinggul Sanzu yang bergerak dengan manuver tak teratur.

“Chiyo! Chiyo! Lagi! Lagi!” Demikian teriaknya.

Hilang sudah sosok perempuan yang berontak. Yang menjaga martabatnya. Yang menjaga harga dirinya tinggi-tinggi. Yang tersisa hanyalah sosok perempuan yang senantiasa membuka kakinya lebar-lebar pada sosok Sanzu Haruchiyo.

Maka Sanzu pun menurutinya. Bergerak brutal tanpa peduli tentang apa yang akan lecet nantinya. Mengejar friksi seorang diri tanpa peduli pada nasib si puan.

Seumpama sepasang hewan di musim kawin, demikian pula keduanya bersenggama. Bergerak liar tiada jeda. Entah itu Sanzu yang kembali menenggelamkan wajahnya pada belah dada yang dihiasi daging yang menggumpal, ataupun pinggulnya yang bergerak tanpa henti.

Entah pula itu berasal dari si perempuan yang terus menerus mengeluarkan vokal inkoheren, dan juga kedua kaki jenjangnya yang terus mendorong agar milik Sanzu masuk lebih dalam.

Liur juga air matanya mengalir, buat aliran sungai tersendiri bersama dengan peluh yang membanjiri wajahnya. Ruam ungu di sekitar leher dan tulang selangkanya menambah nilai estetika dalam dirinya.

Demikian pada Sanzu, dengan gurat otot dan juga peluh yang mengalir. Menambah kesan erotis dalam wajahnya yang disertai luka ikonik pada sudut bibirnya.

Cukup lama keduanya bertahan dalam posisi itu, hingga Sanzu membalikkan tubuh si perempuan. Meninggalkannya seorang diri tanpa pelepasan, membuka simpul tali yang mengekang dua pergelangan tangannya.

Bergegas membalik tubuh wanitanya, hingga tersungkur dengan pinggulnya yang meninggi. Kembali ia gagahi, masuk tanpa aba-aba, menerjang masuk menyentuh titik manis yang paling dalam, hingga buat si perempuan menadahkan kepalanya.

Buat perempuan di bawahnya melenguhkan rentetan nada dosa bagai tengah dimabuk opium. Sanzu dapat rasakan otot di sekitarnya berkedut, menjepit miliknya semakin erat. Rasakan seakan ombak pelepasan semakin dekat.

Pun, Sanzu serupa. Miliknya sedikit membesar dan memanas kala gerakannya tak kunjung melemah. Mengundang nada kotor lainnya dari si perempuan.

Namun ada kalanya tubuh seorang manusia mencapai ambang batas, sama halnya pada tubuh si perempuan. Di kala ia sedang tinggi-tingginya mendamba akan kepuasan nafsu, tuan yang menggagahinya pun memberi stimulasi yang berlebih.

Jemarinya bergerak sesekali memijat klitoris si puan. Biarkan lenguhan yang beberapa oktaf lebih tinggi mengisi rungunya, biarkan nada kotor itu menggema di seisi ruangan.

Menghapus tiap pilu yang pernah hadir dengan suatu rasa yang candu, kalahkan candunya seorang Sanzu Haruchiyo pada lintingan yang sering ia gunakan.

Perempuan itu pun tampaknya tak sanggup untuk menahan gejolak yang timbul, tubuhnya menggelinjang dipenuhi rasa nikmat. Lelah dan rasa benci pun sirna dari sorot matanya.

Kini, biarlah Sanzu seorang mengejar friksinya. Abaikan dingin angin malam yang menerpa. Terus basahi tubuh si perempuan dengan mani yang tiada habisnya. Mungkinkah ia pakai obat lainnya? Mungkin saja. Namun hal itu tak lagi terpikir oleh perempuan yang kini sudah terlena oleh mabuknya nikmat dunia.

Tinggalkan Sanzu bermain, mana kala ia terlelap dalam lautan mimpi. Tak ada yang tahu kapan ini akan berakhir, mungkin subuh nanti, atau saat api neraka mulai menembus kulit tipis mereka.


Halo! Stephany disini, maaf banget kalau ceritanya absurd soalnya dibikin pas lagi h word + galau. Ini narasi hetero pertamaku, please gimme feedbacks! Thank you