Khayali

Pairing: Terushima Yuuji x reader (f)

2.9k words. M/F Pairing. NSFW (sexual content). Cunnilingus. Vaginal Penetration. Cons. Flirt. Friends with benefits (perhaps). Mentioning of alcohol. Sorry for typo(s).


Malam sedang tinggi-tingginya, tapi untuk sekumpulan manusia di dalam bar kecil ini tidak mengenal penat. Bagi mereka, malam sama liarnya dengan siang. Bedanya, malam ini tidak berduri. Panasnya tak menyengat seperti siang, namun lebih membara. Kepulan asap dan riuh suara musik bercampur menjadi satu. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul satu pagi.

Seorang perempuan duduk di meja bar paling sudut, seberang meja DJ, tak jauh dari sofa. Seluruh perhatiannya tersita pada ponselnya. Tak ada yang menarik, hanya sekedar menggulir layar ke atas, ke bawah, ke kiri, dan ke kanan. Sesekali jarinya bergerak ketikkan sesuatu. Sesekali pula netranya melirik ke arah pintu masuk, menanti kedatangan seorang lain.

Parasnya cantik, tapi ia murung. Mungkin kecantikan itu membuatnya murung. Mungkin kecantikan itu menghadirkan masalah. Matanya, bibirnya, tubuhnya, semua-semuanya cantik. Sesekali datang seorang pria, sekedar menawarkan untuk minum bersama atau berbincang kecil.

Tapi semua yang singgah ia abaikan. Terkadang ia tolak halus, terkadang ia bungkam dan buang muka. Sesekali bibirnya ikut bersenandung dengan lagu-lagu cinta jam satu pagi. Tentang cinta dan memiliki. Terpahat di hati. Enggan untuk pergi.

Ia kembali memainkan ponselnya. Menggeser layar ke bawah. Melihat teman-temannya yang sibuk pamer akan kehidupan masing-masing. Terbesit rasa iri dalam hati kecilnya. Tapi ia kembali tak acuh, diletakkannya kembali ponsel di atas meja.

Gelombang manusia semakin banyak. Semakin sesak. Pengap akibat bau asap dan aroma parfum bercampur dengan keringat manusia. Semakin pagi semakin ramai. Tapi semuanya tak acuh. Bergoyang. Bernyanyi. Merayakan gelisahnya masing-masing.

Perempuan itu kembali memesan minuman. Black Russian. Vodka campur Kahlua. Sembari curi-curi pandang pada ponsel dalam-dalam. Tapi bar notifikasi itu masih kosong. Tak ada panggilan masuk, tak ada pesan masuk.

Ia tarik napas dalam-dalam, dilepas perlahan, lalu kembali tenang. Dikecup pinggir gelasnya, lalu disesap sedikit demi sedikit likuid di dalamnya. Pengeras suara bar masih senantiasa memutar lagu-lagu cinta jam satu pagi—entah sudah berapa kali, ia sudah muak—yang berdarah-darah. Lagu yang egois. Lagu yang penuh tuntutan.

Sepotong bayangan datang menghampirinya dalam diam. Tahu-tahu sudah berdiri di belakang dan mengangkat telunjuk. Beri isyarat kepada bartender. Puan itu menghela napas, menahan kesalnya (sedikit).

“Maaf, saya nunggu orang,” ujarnya tanpa menoleh sedikit pun. Namun pria itu tidak pergi juga. Alih-alih beranjak, ia menepuk bahu si puan. Sudut bibirnya terangkat sedikit.

“Nunggu saya maksudnya?”

Matanya terbelalak, seperti hendak keluar. Itu suara yang sedari tadi ditunggu. Itu suara pria yang ia rindu. Itu suara yang sanggup membuatnya jatuh hati berkali-kali.

Ia menoleh dengan cepat. Dirinya terperanjat. Bergegas memeluk pria yang ia rindu sejak tiga bulan lalu.

Perawakannya masih sama. Rambutnya masih pirang dengan potongan undercut khasnya dan rambut licin dari pomade. Tindik di lidahnya tak bergeser satu senti pun, giwang hitamnya pun masih senantiasa menempati daun telinganya.

Netra ungu si pria menelusuri rambut hingga ujung kaki perempuannya, meneliti satu per satu jika ada yang berubah. “Sudah ganti warna rambut lagi? Tumben.”

Perempuan itu tak acuh. Ia memilih meminta isyarat satu kepada bartender agar menambah isi gelasnya.

“Ganti parfum ya kamu? Lebih menusuk,” alihnya. Pria itu—Terushima Yuuji—dengan sejuta pesona yang mampu buat orang jatuh hati dengan gombalan recehnya. Tapi, kalau memang mempesona, sifatnya yang seperti jamet kuproy (kata netizen) pasti tertutupi.

“Jawab pertanyaanku dulu dong, cantik.” Terushima perbaiki posisinya, kini sebelah tangannya dijadikan tumpuan pada meja dengan posisi duduk menghadap wanitanya.

“Iya, bosen soalnya. Sekarang jawab pertanyaanku dong, ganteng.”

“Iya. Makin ganteng ya? Iyalah. Sayang aja digantung jadi temen mulu,” selipan curhat kecil itu agak bosan. Tak cuma sekali ia berkata begitu, sudah berkali-kali. Tujuannya sudah jelas, mengode perempuan yang menjadi lawan bicaranya.

“Mau menari?” tangannya terjulur sebagai ajakan. Wanita itu pun mengiyakan. Ya iyalah, masa menolak ajakan teman sendiri?

Keduanya turun ke lantai dansa. Lampunya meredup. Sebagian penghuni lantai dansa mulai memeluk pasangannya. Beberapa lainnya kembali ke tempat duduk semula. Lagu cinta jam satu pagi berlanjut mengalun. Kali ini lebih lembut.

Perempuan yang kini dalam dekapan Terushima itu menanamkan sedikit wajahnya di ceruk leher si pria. Menghirup aroma maskulin yang menusuk. Tangannya bergerak memeluk Terushima erat-erat.

Terushima mendekatkan wajahnya ke samping si wanita, kemudian berbisik, mengawali percakapan dalam dansa dini hari.

“Aku baru putus.”

Badan perempuan yang tengah direngkuh Terushima sedikit menegang. Ada euforia kecil yang hadir, bersama dengan perasaan dilema. Entah bagaimana ia harus merespon perkataan Terushima.

Sedikit yang tidak sadari, kalau pergerakan sekecil apapun pasti disadari oleh Terushima, sebab keduanya sedang saling mendekap dengan erat. Perempuan itu berdeham. Entah sebagai bentuk tegas atau memang ingin membersihkan tenggorokannya yang kering.

“Pacarmu yang sudah bersuami itu?”

“Iya. Katanya ia tak sanggup menceraikan suaminya. Kasihan anaknya.”

Keduanya tersenyum kecut tanpa saling menyadari. Hening menguasai sejenak. Sedangkan si perempuan sibuk menahan gejolak senang dalam hatinya.

“Kamu sendiri? Pacarmu yang duda itu gimana? Sudah mau melamar?”

Kini si perempuan dibuat senyum malu. Kepalanya semakin ia tenggelamkan di ceruk leher Terushima, tutupi sikap salah tingkahnya. Bukan karena pacarnya sudah melamarnya, tapi karena pria ini—Terushima Yuuji—yang notabene adalah sahabatnya menanyakan hubungannya. Sedikit kupu-kupu menggelitik perutnya. Senang.

Tapi, ia coba untuk menguasai diri. Agar tak terlalu terlihat (padahal Terushima sendiri sudah tahu).

Ia merespon dengan gelengan lemah. “Belum. Belum siap berumah tangga lagi katanya.”

“Makanya, jangan mau sama duda. Ada aku di depan mata kok pilihnya sama yang bekas orang,” Terushima sindir tipis-tipis.

Bajingan satu ini agaknya kurang tau diri ya. Dipikir pertemanan dua tahun terakhir ini benar-benar teman biasa kah? Teman macam apa yang sampai ke ranjang? Teman taik!, batin si wanita. Tapi tak mungkin dia ucapkan semua itu. Malu.

“Gimana, ya. Lebih menarik,”

Sepersekon kemudian, wanita itu sudah sedikit berjinjit. Iya, dengan sepatu bertumit (yang lebih mirip kulit landak, tajam soalnya) agar pas di dekat telinga prianya itu.

“Lebih keren juga. Bisa bikin suaraku habis,” godanya.

Wanita itu sama berbisanya dengan ular dan buah pengetahuan. Mampu menarik sadar dan kewarasan kaum adam, hingga hilang akalnya. Hingga birahi saja yang mampu mengendalikannya.

“Bajingan ya kamu,” desis Terushima.

Sedangkan gadis itu—sahabatnya itu—tersenyum licik. Gurat kemenangan muncul samar di balik matanya yang setajam bilah pisau.

Am i? Bukannya yang lebih bajingan itu kamu ya, Yuuji? Main sama istri orang padahal ada aku di depan mata.”

Lagi. Ia menang. Menang dalam artian membungkam mulut pria sok oke di hadapanya itu.

“Tapi bajingan ini bisa bikin kamu ga pulang ke rumahmu sama duda kesayanganmu itu, kan.”

Terushima Yuuji sialan. Dia dan kepercayaan dirinya itu luar biasa. Luar biasa pula benar kalimatnya barusan.

Untuk tutupi salah tingkahnya kali ini, si perempuan meninggalkan lantai dansa. Bersamaan dengan orang ramai yang kembali berhamburan. Sebab lagu cinta itu sudah berganti menjadi lagu cinta yang panas. Memadukan semua gejolak batin yang ada. Keringat, parfum, dan berisik jadi satu. Beberapa yang sudah mulai mabuk mulai menggandeng orang asal, menggoda, dan lain sebagainya.

Terushima pun mengalami hal yang sama. Tepat saat ia hendak menyusul sahabatnya—yang sekarang sudah berdiri manis mengangkat gelas kesekian dengan senyum licik.

Perempuan itu licik, benar adanya.

Seorang wanita menghampiri Terushima, dengan pakaian serba minim dan wajah memerah. Bergerak menggoda, menggoyangkan pinggulnya ke arah Terushima. Rambutnya yang pekat aroma parfum itu sangat menusuk indra penciuman Terushima, membuatnya muak, pusing, dan semakin ingin keluar dari lantai dansa.

“Maaf, saya bersama pasangan,” tolaknya halus. Tapi, si wanita dengan rambut bak gulali itu malah semakin liar. Ah, persetan dengan sopan santun. Yang dipikirkan Terushima hanya cara untuk membungkam perempuannya yang di seberang sana. Yang semakin merayunya dari jauh, sambil menepis siapa pun yang mendekatinya.

Maka ia tepis sedikit tubuh sintal si perempuan asing itu. Berjalan sedikit tergesa agar tak lagi diganggu orang asing.

Peluhnya terkucur dari dahi menuju pelipis turun lagi hingga dagu (hanya beberapa tetes sebenarnya). Tangannya terasa dingin, mungkin berasal dari pendingin ruangan. Mungkin pula karena gemuruh di dadanya.

“Ayo, we have to prove something,” ujarnya disusul dengan menarik tangan si puan. Sedikit tergesa jalannya, tak sabaran soalnya.

“Ji, mau buktiin apa sih?” berlagak bodoh, seperti biasa.

Keduanya terhenti di depan mobil sedan berwarna hitam. Tangan Terushima bergerak menelusuri kantong celana mencari kunci. Setelah didapatnya, baru lah ia jawab.

“Kalau aku lebih oke dari duda kekasihmu itu lah, cantik.”

Sumpah! Tengil banget sih jamet satu ini,’ batinnya.

Ditarik tangan wanitanya agar masuk ke dalam mobilnya itu, disusul dengan dirinya yang masuk ke bangku kemudi. Sedan hitam Terushima menelusuri jalanan sepi pukul dua pagi kala itu, yang sudah sepi dan mulai redup penerangannya. Bulan juga kurang bersahabat, hanya separuh bagian saja yang muncul.

Lampu lalu lintas yang tak lagi menyala sejak jam dua belas malam itu memudahkan keduanya hingga sampai ke tempat tujuan. Rumah yang sering kali jadi tempat keduanya memadu dosa.

“Udah bengongnya? Yuk turun,” ucap Terushima. Tangannya bergerak membuka seat-belt miliknya dan perempuannya. Tapi, apa boleh ia cap sebagai perempuannya kalau ia masih menjalin hubungan bersama pria lain? Entahlah.

“Bisa sendiri,” interupsi si perempuan. Ia bergerak tergesa-gesa. Enggan menghabiskan waktu lebih lama bersama Terushima di dalam mobil, bisa-bisa dia meledak.

Menunggu Terushima yang sedang membuka pintu, sesekali menggosok kedua tangannya. Angin dingin dini hari ini sejuk tapi kelewat dinginnya.

Sesaat setelah pintu terbuka, perempuan itu lebih dulu mencuri waktu untuk masuk. Mendahului tuan rumahnya, duduk dengan kaki tersilang di ruang tamu. Mengikuti gerak-gerik Terushima, menunggu pria itu membuktikan perkataannya di bar tadi.

“Udah? Lama banget, Ji.”

Terushima menoleh ke arahnya dengan seringai tipis, mengeluarkan satu kotak pengaman yang ia dapat entah darimana.

“Sabar dong, cantik. Kunci pintu dulu biar ga digrebek warga subuh-subuh,” goda Terushima. Yang digoda hanya balas dengan sedikit mendelik.

Dimulai lah adegan cinta panas jam dua pagi itu, cinta yang tak menuntut sebuah status apalagi berbalas. Asal sama-sama senang, tidak apa. Terushima memulai dengan cumbu-cumbu kecil, yang tiap cumbuannya mampu menumbuhkan setangkai bunga segar. Dari cumbuan kecil yang baru bertunas itu, beranjak menuju pagutan. Pagutan kecil awalnya, hanya sebatas menghisap bibir atas dan bawah milik wanitanya. Yang kemudian dibasahi oleh campur saliva keduanya.

Sesekali disesap ranum tebal yang kerap mengejeknya itu. Memancing satu lenguhan singkat yang teredam oleh ciuman. Tangan Terushima membimbing tangan yang lebih ramping agar saling bertaut pada lehernya. Setelahnya, tangan yang bebas dibawa menelusuri pinggang ramping si perempuan.

Pagutan tadi dilepas, beralih menyesap leher jenjang milik puan. Jejak bibirnya menelusuri tiap lekuk wanitanya. Tangannya mulai menelusuri sepanjang tubuh ramping yang tetap dalam rengkuhnya. Mengundang desis dan desah tertahan.

“Ji, udah jam berapa? Mau balik nih,” tahan si perempuan. Sesekali coba berusaha keluar dari peluk Terushima yang semakin erat. Terushima seakan enggan melepas penghangat malamnya, namun tak juga bergerak.

Hening mendominasi. Tak ada yang membuka percakapan selanjutnya. Saling menunggu, yang satu menunggu kalimat lanjutan, yang satunya menunggu jawaban.

Merasa tak akan ada yang mengalah, Terushima buka suara lebih dahulu.

“Kamu percaya kalau kita cuma sahabatan ga ada rasa? Percaya?” kalimat tanya Terushima tadi langsung dijawab dengan anggukan cepat lawan bicaranya.

“Bodoh ya kamu. Kamu pikir semua pacarku itu aku seriusin semua? Sampe aku mau jadi simpenan istri orang gitu?”

Perempuan di hadapannya ini entah kelewat tolol atau hanya pura-pura. Sebab kalimat tanya sebelumnya dijawab dengan anggukan lagi.

“Aku cari kamu di semua mantan aku. Badan kamu, sifat kamu, senyum kamu. Tapi ga ada yang sama. Kamu cuma satu, ga ada salinan lain.”

Masih dengan saling mengurung tubuh, puan lawan bicaranya sedikit menunduk. Kelebatan memori tentang ia dan Terushima yang memang tak dapat disebut sahabat tapi titit masuk.

Batinnya bergumul. Ia tak mau kehilangan Terushima. Tapi juga tak mau beranjak lebih dari yang sekarang.

Perlahan kepalanya diangkat, berjinjit dengan usaha lebih. Heels tadi sudah dilepas di depan pintu.

“Ji.. Kita kan udah temenan lama. Jangan gitu dong,” rayunya halus.

Kalimat tadi dianggap lalu begitu saja. Terushima kembali beranjak menuntaskan birahi yang tertahan. Persetan dengan kejelasan hubungan, biarkan ia hangatkan diri sejenak sebelum matahari menyapa.

Perlahan, satu per satu pakaian terlepas. Tangan Terushima mengangkat tubuh yang lebih kecil. Melempar begitu saja di atas sofa panjang. Kecup-kecup ringan—yang penuh afeksi—dibubuhkan di setiap inci wajah, ceruk, lekuk tubuh wanitanya. Menangkup dua dada ranum yang menahan dingin tanpa peluk hangatnya.

Menyapa pucuk dada kecokelatan dengan ujung ibu jarinya. Sesekali ditekan ke dalam kuat-kuat, memicu lenguhan yang masih saja diredam dalam tenggorokan manisnya itu. Tak puas. Terushima ingin dengar lenguhan indah sebagai ganti riuh bar. Disesapnya kuat-kuat, seolah seorang bayi meminum susu dari payudara ibunya, demikian ia perbuat.

Dihisap seakan air susu yang dinanti akan segera habis. Kadang kala ia gigit gemas lalu kembali dibasahi oleh likuid mulutnya. Saat ia sibuk mengais susu (imajiner), wanitanya sibuk mencari pegangan. Kadang pada sandaran sofa, kadang menarik rambutnya sendiri, kadang memegang rambut pirang klimis yang tak lagi berminyak—melainkan basah, kadang jarinya merambat pada sisi bahu Terushima. Lalu kuku panjangnya menancap bak sebuah jangkar.

Mungkin Terushima bosan. Ia lepas pagutan pada puting yang adiktif (secara personal).

“Susunya gak keluar..” murungnya. Gemas. Gemas sekali bayi besar ini.

Perempuan itu menangkup pipi Terushima, “Iya lah. Kan aku belum menyusui, Ji. Gak bakalan ada susunya.”

Raut wajah Terushima berubah sedikit lebih cerah. “Tapi mau kan? Mau bisa keluar susunya?”

Bingung hendak merespon apa, akhirnya satu kalimat final keluar. “Iya, tapi kalau udah waktunya.”

Terushima beranjak, merentangkan dua kaki milik lawannya. Mendekat sedikit pada celahnya, surganya, apalah sebutannya. Mengendus tipis-tipis, menghadirkan sebuah gelitik yang sedikit risih. Buat sang wanita meliuk-liuk menahan agar tidak refleks menutup kakinya.

Terushima membawa malam ini naik satu tingkat. Dikecup labia wanitanya, disibak bulu pubis halus, perlihatkan lipatan lain, lubang lain yang sempat tertutup samar. Lidah Terushima terjulur, tampak tindik di ujung lidahnya. Jejak lidahnya sapa sedikit demi sedikit mulai lipat celah dua kaki si wanita.

Sibak lagi labianya, hingga tampak sebuah daging kecil yang menanti untuk disentuh—atau mungkin Terushima yang mendamba untuk sentuh—dengan tindik, dengan ujung lidah, dengan ujung jari, dengan pucuk hidung. Salurkan getar nikmat yang pastinya masih akan terus terasa lebih nikmat saat pagi semakin dekat.

Wanita yang kini terbaring dalam resahnya itu menginterupsi kegiatan Terushima yang sedang asyik-asyiknya menjilat, merasa lendir, atau mungkin salurkan friksi.

“Ji, udah mau pagi loh ini. Nanti ga keburu.”

“Oh, maunya buru-buru?”

Bingung lagi, kan. Terushima ini entah bodoh atau memang ingin menggodanya. Persetan dengan tarik-ulur, yang ia pikirkan hanya batas absensi agar gaji tak dipotong.

“Iya, ayo buruan.”

Satu kalimat final yang membangkitkan getar birahi yang membuncah. Memancing seluruh saraf dalam diri si puan bergejolak. Mana kala Terushima semakin gencar-gencarnya mengemut, menjilat, entah apa lagi yang ia perbuat di bawah sana. Siapkan lubang nikmatnya menjadi sarang untuk menghangatkan kejantanan Terushima dari dinginnya malam.

Sedang pagi mulai membenih, jarum jam sudah menunjukkan pukul empat pagi. Sepasang anak manusia sibuk bercocok tanam. Menanam benih—masih diselingi alat kontrasepsi. Menembus batas sadar yang tersisa, mencari posisi nyaman untuk bersemayam.

Juwita, perempuan, gadis, wanita, puan semua diucap oleh Terushima. Barangkali mencari celah sadar dari yang tengah ia gagahi (padahal sama saja mustahil). Dan yang ia sebutkan berkali-kali sudah tak acuh pada keadaan. Sudah sibuk memejamkan mata sembari melantunkan suara inkoheren dan panggil nama si pirang yang pegang kendali atas malam ini.

“Ji, pelan-pelan aja…” lirihnya.

Terushima enggan menurutinya, “tadi siapa yang minta buru-buru?”

Pertanyaan tadi pun menguar begitu saja sama dengan panasnya subuh-subuh dan lagu dari burung hantu. Si wanita mengernyitkan dahi, suaranya habis, tapi tetap dipaksa keluar.

Terushima gagahinya dengan cepat, sesekali tenggelamkan wajah di ceruk lehernya, lalu mengemut puting yang kian mengeras menggoda. Jemari si perempuan sudah tak terhitung berapa kali mencakar bahu Terushima, mau cari pegangan pun susah.

Lalu tak lama-lama di posisi tersebut, Terushima keluarkan benih putihnya (yang sudah pasti tertampung di kantung tipis). Begitu pula dengan si wanita, cairannya pun melebur keluar. Basahi celahnya yang sudah mengering. Dua digit jari Terushima mencoleknya, menyentuh pintu lubangnya sedikit. Jari yang terkena cairan tadi dibawa menuju mulutnya, diemut, dilahap habis.

“Ji, jorok!” ucap si wanita dengan suara yang semakin parau.

“Biarin. Enak”

Bohong. Apa yang enak dari cairan yang bahkan tak jelas rasanya—hambar, asin, aneh, amis. Tapi Terushima sendiri juga orang bodoh, wajar saja.

“Gadis, saya itu benar serius sama kamu. Kamu mau minta dinikahin sekarang juga saya siap,” ujar Terushima, tiba-tiba. Bahkan tak sempat beri jeda sejenak setelah cerita malam yang panas dan singkat tadi.

“Ji, aku bukan gadis lagi.”

“Di mata saya selalu jadi gadis. Masih bersih, putih, polos, muda.”

Kalau salah satu tidak mengalah akan melahirkan debat panjang menuju pagi terang. Maka perempuan lah yang memilih mengalah, soal ini Terushima tidak akan pernah mengalah.

“Iya, terserah. Tapi aku udah punya orang, Ji. Kamu tau juga kan?”

Frustasi. Apa sih susahnya menerima perasaan Terushima? Sudah sejak lama ia perlakukan perempuan ini bagai ratu dalam hidupnya, tapi si perempuan dungu ini sama sekali tak mengerti. Ingin sekali dilempar ke tepi jurang.

“Saya nikahin sekarang aja apa ya? Tinggal telepon orang tua kamu atau langsung ke KUA aja?” Serius. Tidak ada gurat canda di wajah yang kerap bercanda tiap saat itu.

Mungkin, sekarang tidak ada salahnya ia terima perasaan sahabatnya. Mungkin, ia akan lebih bahagia jika ia bersama sahabatnya. Mungkin, seharusnya sejak dulu ia terima saja.

— Dering alarm pagi menyapa genderang telinga seorang wanita yang masih terlelap di penghujung minggu. Memaksanya untuk bangun dari bunga mimpi, menyapa langit yang mulai terang.

Tangannya meraba sisi lain dari ranjang. Mencari sosok yang selalu hadir temani malamnya. Yang biasanya selalu membangunkan dirinya jauh sebelum alarm berbunyi. Kosong. Tak ada siapa-siapa disana.

Kelopak matanya terbuka, sapa langit-langit kamar. Tak ada lagi sosok pria yang siap siaga menciumnya tiap kali malas bangun pagi.

“Yuuji sekarang lagi apa ya?”, gumamnya sembari meraih ponselnya. Hendak mengabari pria yang dicari, sebelum reminder di layar ponsel membuatnya tertegun.

Hari ini Terushima bersanding dengan perempuan lain di depan altar. Bukan dengan dirinya. Padahal baru kemarin rasanya Terushima menyatakan perasaannya, tahu-tahu sekarang sudah hendak menikah saja.

Ya, mungkin kalau kemarin ia tak tolak pernyataan laki-laki itu, pasti ia lah yang akan bersanding di depan altar. Mungkin kalau kemarin ia tak memprioritaskan duda yang dipuja-puja. Mungkin kalau kemarin ia tak bersikap naif. Mungkin, mungkin, mungkin.

Tapi semuanya sudah terlambat bukan? Kini ia hanya bisa melihat ribuan rencana yang dulu mereka buat bersama tenggelam dalam gelas martini. Mengucap salam perpisahan sebelum hilang ke dalam tenggorokan. Bersamaan dengan ucap selamat tinggal untuk sahabatnya, untuk prianya, untuk Terushimanya.

“Semoga di kehidupan lainnya kita akan bernasib indah, Yuuji.”


Khayali, selesai.