Needy

Sekuel dari #Greedy

Osamu Miya x Rintarou Suna

1.6k words. Explicit Sexual Content. M/M Pairing. Male Pregnant. Praising dikit. Anal Sex. Anal Fingering.


Birunya langit siang berganti dengan kelamnya kabut. Anak-anak hujan bernyanyi riang bersama ibunya, menyapa penduduk kota yang tengah dilanda bisingnya padat lalu lintas. Dua insan manusia tengah menyaksikan angin bersama dingin hujan, berbagi cinta dibawah rerindang hujan.

Rintarou merebahkan daksanya di selasar apartemen keduanya, dengan paha Osamu sebagai bantalnya. Osamu sesekali mengelus pucuk kepala Rintarou, terkadang membubuhkan beberapa kecupan ringan.

Rintarou terbuai akan suasana yang terbangun diantara keduanya, tangannya mengelus perutnya yang kian membesar. Senyum bahagia terlukis di wajah manisnya.

“Samu, ga nyangka ya kita bentar lagi jadi orangtua”

Yang diajak berbicara hanya tersenyum, lalu ikut serta mengelus perut yang membesar milik Rintarou. Ia pun turut tersenyum, tak menyangka jika perkataan Rintarou mengenai adik bayi itu benar adanya.

Kini Rintarou termenung, mengingat fisiknya akhir-akhir ini. Lihatlah dirinya, terkadang kesusahan untuk melakukan pekerjaan rumah. Bahkan untuk sekedar berdiri pun ia susah sebab bobotnya bertambah. Ditambah dengan emosinya yang terkadang tidak stabil, ia bisa saja marah saat ini lalu detik berikutnya berubah bersikap manja.

“Aku tuh makin jelek gak sih, sam?”

Osamu berdeham sejenak, membersihkan tenggorokan yang kering.

“Kenapa bilang gitu?”

Rintarou mengerucutkan ranumnya, tak memperoleh jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan. Tangannya terjulur mencubit lengan kekar Osamu, “Harusnya kamu jawab, bukan nanya balik!”

Osamu terkekeh, menggeser jemarinya dari perut Rintarou menuju pipi yang semakin berisi. Sungguh, ini merupakan pemandangan yang sangat indah. Melihat dua insan yang berbagi kasih di bawah langit sore.

“Tapi serius deh sam, aku makin jelek kan ya? buktinya kamu ga mau pegang pegang aku lagi.” Raut wajah Rintarou berubah drastis, bila tadi wajahnya bahagia kini berganti menjadi murung. Murung sebab ia dirundung rasa takut dan tak percaya diri.

Takut jika nantinya Osamu akan berpaling pada orang lain, sebab dirinya yang semakin berisi. Takut jika Osamu merasa malu dengan dirinya. Takut dirinya tak lagi seperti dulu.

“Gak kok, rin. Kamu masih cantik, ga pernah berubah”, ujar Osamu. Ia berikan lumatan kecil pada Rintarou, agar kekasihnya berhenti berpikir yang tidak-tidak.

Setidaknya, jika ia berikan sedikit afeksi mungkin pikiran Rintarou akan teralihkan. Rintarou bangkit, berganti posisi yang semula rebahan menjadi duduk bersila. Punggungnya ditegakkan, mengundang aura serius pada bincang sore mereka kali ini.

“Samu! Jujur!” Raut wajah Rintarou dibuat seserius mungkin, walau jatuhnya menjadi gemas. Osamu sebisa mungkin menahan tawa dan hasrat ingin mencubitnya.

“Rin, ini udah jujur sayang. Aku harus gimana sih”

Bukan Rintarou jika ia tak keras kepala, maka ia masih dengan tuntutan agar Osamu berkata jujur-atau lebih tepatnya memenuhi ekspektasinya.

“Tapiii, Samu kok ga mau pegang Rin lagi? Kan Rin kangen!” Kini hawa serius diantara keduanya sudah hilang, yang tersisa hanyalah kegemasan Rintarou dan Osamu yang sebisa mungkin tidak menerkam pria di hadapannya.

Osamu berpindah, duduk di belakang Rintarou menjadikan dada bidangnya sebagai sandaran bagi Rintarou. “Nanti dedek bayinya kenapa-kenapa, mau?”

Rintarou menggeleng kuat, tentu ia tak mau. Susah payah ia mengajak Osamu hingga berbuah hasil manis, lalu hilang begitu saja.Rintarou meraih lengan Osamu, mengalungkan pada bahunya.

Kepala Rintarou tengadah, menatap Osamu dari bawah. Ia tersenyum hingga netranya hanya segaris, “Tapi kan Samu bisa main pelan?”

Osamu menarik sebelah alisnya, perlahan sebuah senyum kecil terbit pada wajahnya. Ia menyeringai lalu berkata, “Ya udah”

Osamu membantu Rintarou beranjak dari sofa padat, meninggalkan pemandangan semarak hujan yang tengah beradu. Melangkah menuju ruangan yang menjadi saksi bisu mereka kala memadu kasih.

Osamu berhenti melangkah, meraih tubuh Rintarou yang mulai berisi. Melingkarkan lengannya pada perut besar Rintarou lalu membiarkan dagunya beristirahat pada bahu Rintarou.

Rintarou menoleh, wajah keduanya menyisakan jarak tipis. Memutar tubuhnya agar menghadap pada Osamu seutuhnya. Ia mengalungkan lengannya pada leher tebal Osamu, senyum bahagia terpancar pada manik zamrud miliknya.

Osamu pun membalas senyumannya, kemudian menggiring Rintarou menuju rerimbun kasur yang menanti untuk dihuni. Menuju pulau dimana nantinya akan porak poranda dihancurkan secara kasar.


Keduanya saling memagut ranum satu sama lain, beradu lidah, melumat bibir satu sama lain bagai candu pada opium. Sesekali jemari Osamu bergerak naik dan turun di atas permukaan pakaian Rintarou. Menyelusup masuk untuk menggoda pucuk merah muda yang merupakan titik sensitif Rintarou.

Erangan kecil terdengar dari bibir Rintarou, namun teredam oleh cumbuan keduanya. Osamu tersenyum di sela kegiatan mereka, lalu menjauh menciptakan jarak kecil. Osamu perhatikan lamat-lamat ranum Rintarou yang membengkak merah, tercipta sedikit celah sebab ia sedang meraup oksigen dengan tamak.

Jemarinya tergerak, menghapus jejak saliva dari permukaan ranum Rintarou.

“Cantik”, begitu puji Osamu pada makhluk berparas indah di hadapannya. Pipi Rintarou bersemu, malu jika dipuji mendadak seperti ini.

Osamu mengikis jarak di antara keduanya lagi, memberi kecupan kecil pada bibir Rintarou yang bengkak. Kemudian bergerak turun mengecup perut Rintarou yang membesar, “Sayang, papa mau main dulu sama mama kamu. Yang baik ya di dalem”

Rintarou rasanya ingin menitikkan air mata, terharu melihat momen romantis di hadapannya. Kalau saja Osamu tidak menangkup pipinya lembut dan berkata, “jelek ah, kok malah nangis. batalin aja ya?”

Rintarou ingin ajukan protes, namun dengan cepat dibungkam Osamu oleh ciuman.

“Becanda kok, cantik”

Osamu manjakan Rintarou dengan berbagai kecupan di setiap inci tubuhnya, ranumnya tak ada habisnya memuji Rintarou dengan sebutan cantik, manis, indah, gemas, dan lain sebagainya.

Beberapa kali Rintarou mengeluarkan desahan pelan, kabut imajiner menyelimuti wajahnya. Ia terlalu pusing untuk menikmati euforia ini. Dipuja oleh Osamu, dimanja oleh Osamu sungguh ia tak sanggup.

Maka, ia putuskan untuk bertanya pada pujaan hatinya. “Samu, kapan mulainya ih”

Osamu terkekeh melihatnya, Rintarou merajuk sebab ia terlalu lama menunggu Osamu untuk memulai. Rintarou menyibak sedikit celana pendek yang ia pakai, bahkan tak bisa disebut celana sebab hanya menutupi bongkahan bokong sintalnya saja.

Biarkan cincin rektumnya menyentuh ereksi milik Osamu, sesekali ia gesekkan memancing desah nikmat keluar dari ranum keduanya. Osamu beranjak dari duduknya, mencari posisi ternyaman agar Rintarou bisa menaiki dirinya.

Sesudah dirasa nyaman, ia menjulurkan tangannya seakan mengundang Rintarou. “Sayang, sini”

Rintarou pun enggan untuk menolak, ia menghampiri Osamu setelah melepas celananya sendiri. Tepat saat ia hendak duduk di atas Osamu, suaminya tersebut menyelusupkan jemari kasarnya. Biarkan dua digit jemarinya menyiapkan lubang senggama milik Rintarou.

Pegangan Rintarou pada bahu Osamu menguat, bahkan kukunya ikut tertanam karena ia menahan desahannya.

“Samu, ah!” Pekikan serta tubuhnya yang sedikit gemetar sebab jemari Osamu yang menekuk dan menekan titik nikmatnya. Osamu menyeringai, ia merasa sudah cukup pemanasan bagi Rintarou.

Osamu mengeluarkan jarinya, mengundang decihan juga raut wajah kecewa dari Rintarou. Ia mengira jika Osamu hanya menggodanya saja, namun nyatanya tidak. Osamu menyodorkan dua digit dari jemarinya tepat di depan bibir ranum Rintarou.

Rintarou dengan cepat membuka mulutnya, membiarkan jemari tebal juga kasar milik Osamu melesak masuk. Menjarah tiap sisi rongga mulutnya, baik itu lidah, gigi, maupun dinding mulutnya.

Setelah dirasa cukup, ia menarik keluar jemarinya. Mengarahkannya kembali pada cincin rektum Rintarou, sedikit menggoda di luar sebelum akhirnya melesak masuk. Menyapa kembali dinding rektum Rintarou yang menjepit jemarinya.

Kepala Rintarou tengadah, menatap langit-langit ruangan tiap kali jemari Osamu menggaruk dindingnya. Ranum indahnya tak berhenti mengeluarkan desahan indah bagai kidung pujian. Lambat laun, salivanya pun ikut keluar sebab Rintarou tak kunjung mengatupkan bibirnya.

Desahan kecewa diiringi dengan raut wajah memelas ditunjukkan Rintarou ketika Osamu menarik keluar jemarinya. Euforia yang sedari tadi ia nikmati pun menghilang, bahagia digantikan dengan kesal.

“Hei, jangan cemberut gitu dong”, hibur Osamu. Rintarou mengalihkan wajahnya, menolak untuk menatap manik cokelat Osamu.

“Sini, naikin lagi. Take your meal, little slut”, begitu ujar Osamu sesaat sebelum ia mengarahkan pinggang Rintarou untuk bergerak turun. Menelan habis batang daging milik Osamu. Wajahnya ia tenggelamkan pada ceruk leher Osamu, bahkan ia menggigit bahu Osamu guna meluapkan rasa sakitnya.

Setelah dirasa masuk semua, Rintarou menjauhkan wajahnya. Ia menatap Osamu dengan peluh di seluruh wajahnya, senyum senantiasa terlukis di wajah indahnya. Netranya menyipit sebab senyumnya terlalu lebar.

“Penuh, sam”

Osamu menyugar surai cokelat Rintarou, mengusap peluh yang mengalir.

“Cantik, manis. Punya siapa sih”

Osamu mengesekkan hidungnya dengan hidung Rintarou yang sedang terkekeh geli.

“Punya samu dong”

Keduanya tersenyum sembari memberi waktu bagi Rintarou agar terbiasa dengan milik Osamu serta mengumpulkan tenaga.

“Gerak sendiri bisa gak, sayang?”

Rintarou menggeleng, tak sanggup rasanya jika harus menopang tubuhnya dengan bobot lebih dari biasanya. Tangannya memeluk erat Osamu, membisikkan kata “Ga mau” berulang kali.

Kala tubuh Rintarou sedikit meninggi sebab memeluk dirinya, Osamu menggerakkan pinggulnya secara perlahan. Mengundang desahan nikmat keluar dari ranum Rintarou.

Pelukannya semakin erat tiap kali Osamu mempercepat temponya. Tubuh keduanya dibanjiri peluh, suara kulit yang beradu pun kerap terdengar menggema di seluruh ruangan.

“Samu, pelanin.. pelanin, sam”

Namun rungu Osamu seakan menuli, ia abaikan permintaan Rintarou dan sibuk mengejar friksi yang ia cari. Sedangkan Rintarou tak ada hentinya mengeluarkan desahan dan lenguhan yang semakin membutakan Osamu.

Dinding rektum Rintarou semakin mencengkram milik Osamu di dalamnya, Osamu mengerang menahan nikmat. Rintarou dapat rasakan milik Osamu yang memanas juga bagaimana rasa pusing menghantamnya tiap kali titik nikmatnya diserang.

“Samu, aduh, dedeknya”

Osamu berhenti bergerak, pinggulnya perlahan turun agar kembali duduk. Pun tak lupa ia tuntun Rintarou agar duduk di atasnya.

“Maaf ya, sayang. Aku kalap, makanya ga mau nyentuh kamu karena ini”, Osamu berkata demikian sembari beri kecupan kecil pada kening Rintarou.

Rintarou mengangguk, lalu berikan senyum manisnya. “Ga apa-apa. Tapi jangan gitu lagi”

Osamu pun ikut menangguk sebagai balasannya. Tak butuh lama bagi dua insan tersebut untuk berleha-leha, karena sesudahnya Rintarou mengerjapkan netranya saat ia merasakan sesuatu membesar di bawahnya.

“Samu, kok ada yang makin gede ya?”

Osamu meringis, ia menyibak beberapa helai surai Rintarou yang menutupi wajah cantiknya.

“Habisnya kamu cantik sih”

Demikian perkataan Osamu sebelum akhirnya memulai kembali kegiatan yang tertunda. Tak lama bagi keduanya untuk menuntaskan hasrat masing-masing, sebab Rintarou yang takut akan dampak pada janinnya.


WKWKWK ini apaan, njir. Makasih yang udah mau baca!! <33