Selira

Pairing: Miya Atsumu x Sakusa Kiyoomi (f)

1k+ words. M/F pairing. Genderbend. Fem! Sakusa. Established relationship. OOC.


Setelah malam jatuh dan rembulan mulai bersinar pada kelopak mata seorang wanita, rasanya Atsumu lebih baik mati detik itu juga daripada harus menahan sakit akibat memendam terlalu banyak cinta.

Ia sudah banyak belajar dari mendung yang melepas hujan. Belajar mencintai tanpa harus mengharapkan balasan. Kelopak matahari bersinar dalam senyum yang senantiasa mekar tiap bersamanya.

Ia terlalu jatuh cinta pada sosok Kiyoomi, yang ditemukannya di balik jendela loteng. Menatap kosong pada lembayung senja yang menanjak menggantikan sinar terik dari siang.

Ia terlalu jatuh cinta pada gadis yang baru ditemui di suatu sore. Hingga rasanya mampu meledak menjadi abu. Melayang dengan bebas, membaur dengan udara. Agar mampu mendapat satu dua kecupan dari ranum yang selalu didamba.


Lalu pada pagi buta ini Atsumu menatap satu bunga liar. Pada tangkai tubuhnya terdapat embun pagi, sedangkan pada helai rambutnya ada awan putih. Manis perawakannya, dada ranum dengan harum basah bulu musim semi.

Atsumu menarik satu senyum tipis. Mengucap syukur pada Tuhan—jika benar adanya. Memuji karya terindah yang pernah ia temui. Menit berikutnya Atsumu sudah menanamkan bibirnya pada kelopak bibir Kiyoomi. Mencari damai yang terselip di antara dengkuran halus sang puan.

Cumbuan halus itu terpaksa terhenti karena Kiyoomi terbangun. Matanya menguap lebar, disana ada seribu purnama yang tersimpan.

“Pagi, cantik,” sapa Atsumu. Dikecup singkat dahi wanitanya, lalu menjawil pucuk hidungnya.

“Pagi, ganteng,” balas Kiyoomi tak mau kalah. Tangannya dilingkarkan pada leher Atsumu, seakan hawa cinta semalam belum pudar seutuhnya.

Kiyoomi mengisi penuh dadanya dengan satu tarikan napas panjang. Sebab selanjutnya yang akan ia ucap adalah sebuah kalimat sambung tanpa jeda.

Si perempuan memutar dansa bibir terdahulu, menuntun prianya ikut hanyut dalam tarian panjang. Pagutan bibir ibarat tempo, dan perang lidah adalah jeda. Durasi ciuman kali ini lambat, tak tergesa, meski terdapat berahi dalamnya.

Keduanya menyudahi ucapan selamat pagi dengan suara alarm yang menyuarakan eksistensinya dengan gaduh. Rasanya nyaman, semua awal hari akan dimulai seperti ini. Dengan candu tawa dari seorang kekasih yang selamanya akan dipeluk dalam bilik memori.


Pukul tujuh lebih sedikit Atsumu menggerutu akibat dasi yang hendak digunakan, Kiyoomi membuat kopi. Tukang roti keliling menyapa dengan terompet kecilnya. Tetangga yang gaduh dengan kesibukan kecil di pagi hari.

Atsumu menghampiri, mencari tempat nyaman untuk bermesraan di dalam kaos longgar Kiyoomi. Mendaratkan dagu dan wajah malasnya pada pundak Kiyoomi. Bisikkan satu kalimat gerutu lainnya, “Males. Mau bolos.”

Kiyoomi bungkam. Sudah biasa hadapi rengekan Atsumu yang enggan bekerja di penghujung minggu. Ia beranjak dari dapurnya bersama secangkir kopi hitam dalam genggaman. Telinganya ia persiapkan baik-baik bersiap untuk serangan kesal Atsumu.

“Kenapa sih harus kerja di hari Sabtu, kayak ga ada hari lain.”

“Harusnya aku belajar main kripto aja ya.”

“Sayang, kok diem sih?”

Sedangkan Kiyoomi mulai meraih kotak kreteknya, meraih pemantik dan memulai rutinitas sarapannya. Duduk di beranda rumah, menyesap kopi, menghisap sedikit demi sedikit tembakau yang candu itu.

Naik pitam lah Atsumu. Dia jalan dengan langkah yang menghentak-hentak, bibirnya mengerucut. Kanak-kanak sekali.

“Kiyoomi!” bentakannya itu tak membuat sosok yang dimaksud terlonjak kaget lagi heran. Kiyoomi hanya melirik sedikit dari sudut matanya. Bibir tipis yang cemberut itu menarik setidaknya setengah dari perhatiannya.

Tapi ruang ini terlalu terbuka untuk berbagi sedikit romansa. Menahan bara api yang meledak-ledak dalam dada. Yang mampu mengoyak kaos oblong belel yang menutupi padang bunga indah.

Pagi ini pucat dan jujur, mahal harganya. Akan tetapi orang lain malah menginjaknya. Berbalik hal dengan sepasang kekasih yang sibuk menakar harga dari suatu waktu indah ini. Sibuk menambal celah yang cacat dengan peluk yang hangatnya merambat ke sekujur tubuh. Tapi detik jam enggan berhenti untuk merayakan pertemuan indah eksklusif ini.

“Bolos aja,” bisik Kiyoomi pada Atsumu. Rasa geli menjalar pada telinga Atsumu tiap bibir yang candu itu menyentuh kulitnya. Ia menarik dagu kekasihnya. Dengan satu tarikan nafas panjang, mereka menautkan bibir. Sambil berjalan pelan menuju ruang pertemuan yang lebih privat.

Sahutan bahagia memenuhi paru-paru. Kadang bunyinya riuh, kadang hanya hembusan napas yang menggelitik. Dan yang paling nikmat adalah saling menggigit. Entah itu potongan atas atau bawah.


Sejumlah pipit mengumandangkan nyanyian pagi, Kiyoomi dan Atsumu menyanyikan iringan lainnya. Entah sejak kapan nyanyian yang bersahutan itu dimulai. Iringan decakan bibir yang beradu menggema. Tangan-tangan yang tidak bisa diam memetik bunga menceracam.

Atsumu cecap tiap inci tubuh Kiyoomi, seakan hari ini akan habis masanya. Dua tangannya menahan dua dada ranum yang tak lagi berpenyangga. Menyapa pucuk dada yang sembunyi dibalik kaus belel dengan ibu jari. Bibirnya sibuk memberi tanda kepemilikan di sekujur leher jenjang Kiyoomi.

Sesekali terpaan napas Atsumu terasa di permukaan leher Kiyoomi, entah disengaja atau tidak. Terkadang dihisap terlalu kuat, terkadang hanya dikecup, kadang pula digigit pelan.

Kiyoomi sedari tadi mengerang tertahan, jemarinya beri rematan kuat pada lengan sofa. Mencari pengalihan atas apa yang tengah dirasa. Bibir dalamnya digit kuat-kuat guna redam suara yang mendesak keluar.

Jemari Atsumu yang bebas meraih ranum tipis yang mulai sedikit memudar merahnya. Mengusap lembut, dari usapan saja terpancar seberapa sayang dirinya. Atsumu dekatkan wajahnya pada rungu si puan.

“Jangan digigit, nanti berdarah.”

Sepeninggal Atsumu, Kiyoomi perlahan membuka belah ranumnya. Napasnya terengah akibat stimulus ringan yang diberi oleh Atsumu.

Atsumu kembali mengeksplorasi tubuh Kiyoomi. Tangan, lidah, mata semua ia gunakan untuk puji dara di hadapannya. Diremat sesekali pinggang ramping itu, memancing gejolak sesaat Kiyoomi.

Jemari Atsumu mulai bergerak membuka dua kaki yang menutup rapat bagian bawah Kiyoomi. Menarik pelan, seakan kaki jenjang itu sebuah kaca yang rentan pecah.

Telapak kasarnya mulai bergerak, menyapa permukaan kulit halus nan putih yang sembunyi dibalik celana longgar. Menyapa tiap celahnya dengan cubitan kecil.

Tepat saat tangan milik Atsumu sudah berada pangkal paha, ia berhenti. Matanya teralih pada Kiyoomi, yang wajahnya sendiri sudah semerah bunga musim semi. Sedikit air bening menggumpal pada padang malam itu, terlena akan kelembutan dari seorang pria.

Dibelai sedikit, perlahan tiap labianya. Sengaja, hendak menggoda Kiyoomi yang semakin memerah. Rasanya hawa ruangan semakin panas, entah kemana angin sejuk pagi tadi pergi.

Atsumu ingin egois, ia ingin menyita waktu, mencap Kiyoomi sebagai hak miliknya. Tak ingin dibagi dua, atau diperlihatkan pada publik.

Suasana sedikit memanas, saat Atsumu mulai menurunkan sedikit karet pinggang celana Kiyoomi. Perlihatkan dalaman lain dan bulu pubis yang mengintip sedikit demi sedikit.

Didekatkan wajahnya menuju celah surga dunia—katanya. Menyapa dengan deru napas, sesekali ia tiup tiup agar helaian tipis itu menyingkir. Pucuk hidungnya menyentuh sedikit—entah apa, namun berhasil menghantarkan gelombang kejut bagi Kiyoomi. Atau mungkin Kiyoomi yang terlalu sensitif pagi ini.

“Kiyoo—”

Belum usai kalimatnya sudah diinterupsi oleh dering ponsel. Yang suaranya menggema di seisi ruangan, mengusik rungu siapa pun yang mendengar.

“Angkat dulu, siapa tau penting,” bujuk Kiyoomi.

Atsumu mendecih kesal, siapa yang berani mengganggu pagi indahnya kali ini. Namun sesaat kemudian tertegun mengetahui panggilan tersebut dari atasannya sendiri. Ia berbincang dalam kurun waktu yang cukup lama, lalu kembali dengan wajah merungut.

Kiyoomi seakan paham akan tugasnya, puan dengan surai gelap itu mengusap pelan lengan prianya. Bisikkan sebuah kalimat bujukan, “Aku kasih oral dulu aja mau? Nanti baru makan aku.”

Dahi Atsumu berkerut. Dirinya beranjak melepas resleting celana formal, lalu sampaikan sebuah tanya, “Nanti itu kapan?”

Kiyoomi ambil alih turunkan celana Atsumu, sebuah senyum terlukis dengan rupawan di wajahnya.

“Kalau kamu pulang cepat malam ini.”