Semantik Rasa

pairing: Sakusa Kiyoomi x Suna Rintarou cw // implied nsfw

Tiap detik adalah ketukan kehancuran. Yang menjadi berat, layaknya sebuah kesakitan berat. Darah pun turut mengalirkan penderitaan. Jiwa sang wira berteriak, penanda penyiksaan.

Cinta yang dulu ia dapat dari pujaan hatinya ialah bukti pelarian. Sebab tak ada rasa cinta di sangkarnya. Ia, Sakusa Kiyoomi, yang begitu mendamba akan sesuatu yang mustahil terjadi. Dirinya terlalu terobsesi atas imajinasi kisah indah yang sering diceritakan dalam pengantar tidur. Hingga tak sadar bahwa cinta yang semu itu pun enggan untuk singgah, atau untuk sekedar menyapa.

Semua kebahagiaan yang pernah ia rasakan bersama Suna itu hanyalah replika. Dibuat untuk menjadi pencitraan saja. Sayangnya, ia terlalu larut dalam cerita bohongan itu.

Ia terlalu kalut dalam keinginan menjadi bagian dari sangkar Suna. Bohong jika ia berkata tak iri, tiap kali mendengar cerita cemburu Suna mengenai mantan kekasihnya, Osamu.

Tiap cerita cemburu, amarah, sedih, kesal selalu ditutup oleh Sakusa dengan perlakuan indah nan manis. Hingga mampu membuat Suna melupakan semua emosi beberapa saat lalu.

Andai saat itu Sakusa sadar. Bahwa dirinya sudah terjebak dalam sangkar bunuh diri. Menyaksikan segala derita baru lainnya setiap hari. Sebab kini ia harus melihat surai cokelat kesayangannya bersama dengan kembaran dari mantan kekasihnya. Dalam potret di sebuah buku tebal, saling memancarkan senyum kebahagiaan.

“Sakusa-san?”

Sakusa dipaksa kembali dari lamunannya. Buat apa ia berwisata masa lalu, jika yang ia inginkan menjadi masa depannya sudah bahagia dengan pilihannya? Maka dari itu, Sakusa tersenyum lebar. Sangat lebar hingga matanya menyipit. Tapi dalam guratan senyum itu pun tak terpancar setitik kebahagiaan. Semua palsu, dan Suna sadar akan hal itu.

Tapi ia pilih untuk bungkam. Sebab kali ini ia bersama Atsumu, seorang yang ia pilih untuk menua bersama.

“Sakusa-san, kami pamit dulu. Jangan lupa datang di resepsi kami ya?”, ucap Atsumu. Tangannya merangkul pinggang Suna, dan Sakusa benci hal itu.

Namun lagi-lagi ia hanya mengangguk dan tersenyum tipis sebagai jawaban. Suaranya bak komoditi langka hingga ia enggan mengeluarkan sedikit saja.

Sepeninggal Atsumu dan Suna, Sakusa bermandikan sedih. Perasaannya kalut, bahkan tak dapat dimengerti oleh dirinya sendiri. Berdasarkan kemauan hati, kakinya beranjak. Berlari menuju pekarangan rumah dimana Atsumu dan Suna berada.

Napasnya terengah, tapi ia berusaha untuk mengutarakan kalimatnya.

“Miya-san, boleh saya pinjam Rintarou untuk yang terakhir kali? Saya perlu bicara sebentar.”

Atsumu berikan pandangan penuh tanya, tak ragu untuk menampilkan rasa curiga pada Sakusa.

“Nanti saya antar pulang,” bujuk Sakusa untuk terakhir kali. Suna sendiri seakan mendukung Sakusa, ia meyakinkan Atsumu untuk mengizinkannya.

Kini, dua insan yang pernah menjalin hubungan itu kembali duduk dengan sejuta hening yang menyelimuti. Di antara kabut nostalgia yang tiada henti merayapi entitas waktu dan ruang, keduanya sibuk berperang dengan batin masing-masing.

Kalau saja Sakusa tidak menghampiri dan menyerang Suna dengan ribuan kecupan, mungkin mereka masih membisu. Sakusa dan bahasa tubuhnya adalah sebuah penenang paling nyaman untuk Suna.

“Sakusa-san—” kalimat Suna tak diberi izin untuk terselesaikan. Ia dibawa hanyut dalam pagutan tak berujung ini, dibuat kecanduan olehnya.

Mungkin sejak lama, Sakusa lah yang Suna cari. Yang ia mau, yang ia dambakan, yang ia sayangi dengan sepenuh hati. Namun semua terasa sudah terlambat untuk menyadarinya.

“Sakusa-san.” Tangan suna menahan dua bahu kokoh itu. Bahu yang selalu menopang dirinya di kala lesu.

“Bukannya lo mau minta goodbye sex ya? Kalo iya, ayo buruan. Nanti Atsumu curiga.”

Dan Sakusa bertingkah seolah ia sudah tuli, ia abaikan semua kalimat peringatan dari Suna. Bagai seorang morfinis yang tengah dimabuk ekstasi, begitu pula dirinya. Yang dengan gila membubuhkan kecupan kecil, terkadang menjelajah pahatan indah di hadapannya dengan indera perasa.

Suna sendiri seakan sudah hilang akal. Ia sudah melupakan semua akal sehat dan larangan yang sedari tadi diucapkan. Dirinya dibiarkan tenggelam bersama lautan kasih dengan ombak gairah milik Sakusa.

Entah siapa yang melepas lebih dahulu tak ada yang sadar, kain fabrik yang semula melekat pada tubuh juga kini sudah bertebaran di lantai. Keduanya tak sadar akan keadaan masing-masing.

Tangan Sakusa bergerilya mengitari tubuh yang dulu ia klaim sebagai miliknya, sedangkan lidahnya bergerak menyecap rasa yang seolah tertanam pada tubuh itu. Si empu dibuat menggelinjang olehnya, dibawa bernostalgia pada masa yang dulu ia sebut ‘membosankan’.

“Rintarou..”

Ah, begitu manis nada yang terucap dari ranum tipis itu. Masih sama seperti yang sudah-sudah, memanggil dengan lembut. Seakan salah menggunakan nada saja bisa membuat Suna pecah belah.

Hari ini, seperti pengganti malam-malam lembur yang asing. Peluk, cium yang ringkas sebab terburu-buru.

Hari ini keduanya punya celah untuk melepas rindu, menanamkan mata pada dada, menenggelamkan telinga pada bising, dan sejenak melupakan realita.

Cium-cium yang tertunda, dialirkan kembali bagai madu kepada mulut masing-masing. Waktu ini, tak ada percakapan yang hendak tersampaikan. Sibuk mendengarkan suara melalui sentuhan.


Say, Rintarou. Dari sekian banyak manusia, kenapa Atsumu?”

Sakusa buka percakapan setelah adegan panas beberapa saat lalu. Ia sibuk berkelahi dengan pikiran dan perasaannya, sedangkan Suna sibuk melepas napas melalui kepulan asap rokok.

“Gak ada alasan spesifik. He feels like home,” jawab Suna. Sebuah senyum simpul terbit di wajah yang selalu murung itu, menambah kadar tampannya.

Home?” gurat tanya dari Sakusa. Suna ini terlalu rumit dalam tatanan kata, tak pernah menjelaskan sesuatu secara gamblang.

Like you.”

Lagi, Suna dengan segala kejutan dalam dirinya. Eksistensinya di ruangan ini saja sudah mampu buat Sakusa senang bukan main, lalu kini diberi kejutan tambahan. Semburat merah menjalar pada wajahnya, merayap hingga telinga. Malu. Senang. Sedih. Semuanya campur aduk.

“Udahan kan? Anterin gue pulang dong, Omi. Keburu makin malem.”

Suna beranjak. Mematikan puntung rokok, kemudian memungut pakaiannya satu per satu. Masuk ke dalam bilik mandi, meninggalkan Sakusa seorang diri yang mabuk dalam lamunannya sendiri. Mulai menulis skenario yang tak mungkin dapat terjadi antara dirinya dan Suna.

Mungkin bukan sekarang. Mungkin di kehidupan selanjutnya. Membayangkan kemungkinan lainnya tanpa mengharapkan apa-apa, selain kebahagiaan semu.

Suna ibarat ranjau, dan Sakusa senantiasa terperangkap lalu meledak disana.