Tamu undangan sudah menunggu di aula pernikahan Japa dan Jiva. Sahabat, keluarga, dan kerabat dekat saja.

Dengan perpaduan warna biru, emas, putih, pastel, dan hitam beradu satu dalam satu ruangan.

“Karena pernikahan tidak semua warna harus terang. Kedepannya akan ada hitam, abu, gelap menghampiri rumah tangga kita. Namun ribuan warna cerah bisa kita lukis di atasnya.” — Jiva

Sorak tamu undangan memenuhi ruangan kala dua pengantin pria berjalan menuju altar. Paduan warna hitam gelap dan orange membuat keduanya terlihat lebih gagah.

“Itu papi sama ayah aku loh.....” ujar Petir kepada kakek neneknya. “Nanti aku naik ke sana, bawa cincinnya yey!” sambungnya.

Setelah keduanya sampai di atas altar, mereka memberi hormat kepada Mr. Jonathan, yang bertugas menikahkan kedua mempelai.

“Sudah siap anak-anakku?” tanya Jo.

“Ya, saya siap.”

“Ya, saya siap.”

Japa dan Jiva menjawab secara bergantian.

“Izinkan saya memberi sambutan hangat terlebih dahulu untuk calon kedua pengantin,” jeda Jo, “Anak tampanku Japa, hari ini sehat?”

“Ya, saya sehat.”

“Anak tampanku Jiva, hari ini sehat?”

“Ya, saya sehat.”

“Sehat, waras sampai nanti malam?”

“Hahahahha.....”

Tawa para tamu undangan kembali memenuhi ruangan.

Jo melajukan, “Sebelumnya saya ditugaskan untuk menikahkan saudara Japa dan Jiva. Katanya acaranya non formal. Acara santai, pak. Gitu. Ya saya sedikit bingung. Jadi bagaimana? Kedua anakku saling mencintai satu sama lain?”

“Ya, kami saling mencintai,” jawab Japa tersenyum.

“Ya, kami mencintai satu sama lain,” jawab Jiva.

“Yang senyum kok nak Japa saja? Sepertinya sehat waras sampai nanti ya, Nak?” tanya Jo dengan canda dan senyum di wajahnya.

“Harus, Pak,” jawab Japa yang semakin melebarkan senyum di raut wajahnya.

“Ingat, tidak boleh memberi obat tidur kepada anak-anak.”

“HAHAHAHA.....”

Tawa riang kembali menggema di penjuru ruangan. Petir yang merasa nama anak disebut, ia mendongak menatap neneknya dan berkata, “Aku anaknya papi, anaknya ayah! Nanti bobok yey!”

Setelah beberapa sambutan dan nasihat dari Jo, kini telah tiba dimana kedua pengantin saling berdiri berhadapan, saling mengucapkan janji pernikahan.

“Jiva,” lirih Japa. Pandangannya lurus menatap Jiva, penuh kasih, cinta, tulus. “Saya Japa Mahija mengambil engkau Jiva Ganapatih, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita.”

Sekilas Jiva mengangguk, menerima pernyataan Japa yang mengambil alih dirinya untuk dimiliki.

“Ya, saya Jiva Ganapatih menerima engkau Japa Mahija untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita.”

Sudut mata keduanya dipenuhi air mata yang menetes tanpa disadari. Japa meriah tangan Jiva, mengusap lembut punggung tangannya. Senyum keduanya sama-sama diiringi tetesan air mata kebahagiaan.

Petir yang sudah bersiap naik ke atas altar, seraya membawa nampan kecil berisi kotak cincin untuk ayah dan papinya. Ia tengah mendapat bisikan petuah dari Nata.

“Petir tau 'kan ayah sama papi nangis karena apa?”

“Senang, Om....”

“Pinter... Nanti di sana Petir bawa ini ke ayah sama papi, ya? Jangan lupa ayah sama papinya dicium.”

“Iya, iya, iya, aku tau yaaaa....”

Setelahnya pun Petir berjalan ke atas altar dengan tersenyum selagi membawa nampan cincin.

“Heiii,” lirih Jiva. Menunduk, menyambut putranya.

“Halo bos kecil!” sambut Japa. Ia juga menunduk menyambut putranya selagi menerima nampan dari Petir.

“Sini dulu Ayahku ....” Petir menarik pergelangan Japa semakin menunduk mendekati tubuh mungilnya, lalu mengulurkan tangan kanannya, mengusap pipi basah Japa, kemudian mengecup bibirnya sekilas.

Japa terkejut, kedua matanya terbelalak karena sentuhan jemari Petir yang mengusap air matanya.

Begitu juga Jiva, ia sebelumnya terkejut akan perlakuan Petir ke Japa, kini dirinya sendiri mendapat perlakuan yang sama.

“Yey!” seru Petir yang berlalu berlari turun dari altar.

Japa dan Jiva yang sama-sama terkejut pun saling tersenyum dan melanjutkan sesi pemasangan cincin ke jari manis keduanya.

Setelahnya sorak dari tamu undangan kembali terlontar.

“Cium cium cium cium cium...”

Japa mencondongkan tubuhnya, menarik pinggang Jiva lebih mendekat, lalu berbisik, “Usah sah, udah bisa dicium 'kan?”

Jiva berbisik kembali, sangat pelan, hanya Japa yang mendengar, “Kecup aja, ya? Sisanya nanti kalo anaknya dah tidur.”

“Siap!” jawab Japa, lalu menyatukan bibirnya ke bibir Jiva.

“WAAA ORANGTUAKU CIUMAN!” teriak Petir di bawah sana.

[]