the moon.

just me and my thoughts.

I’m not really a forgiving person.

Sulit untukku memaafkan seseorang, terutama ketika dia benar-benar menyinggungku atau benar-benar menyakitiku. Aku memang tidak berkata apa-apa, berlaku biasa saja di depan orang tersebut, namun aku berjanji pada hatiku sendiri untuk tidak akan pernah memaafkan orang tersebut.

Sebelum aku pindah ke negara ini, terdapat sebuah gesekan besar antara suami, aku dan ibu mertuaku. Biasa, perihal finansial. Beliau benar-benar menyinggungku, menyinggung suamiku. Aku marah besar, tapi tidak bisa mengeluarkannya di depan beliau karena tidak ingin memperbesar rongga di antara beliau dan suami.

Di dalam hatiku aku berkata, inikah orang yang ingin aku untuk menganggapnya sebagai ibuku sendiri? She is even worse than my own mother. Ayahku bahkan tidak pernah memperlakukan suamiku seperti itu. Ayahku sangat sayang pada suamiku, dia menantu kesayangan beliau. Dia membuatkan menantunya teh setiap menantunya berkunjung, membelikan nasi tim saat menantunya sakit. Tidak adil rasanya karena mertuaku tidak memperlakukanku sama seperti ayahku memperlakukan suamiku.

Aku tidak bisa memaafkannya, apapun yang beliau lakukan untuk meminta maafku.

Selang beberapa bulan setelah itu, rumah tangga kakak iparku hancur dan ibu mertuaku sakit parah. Jelas sekali sakitnya berasal dari stress yang sangat berat.

Awalnya aku biasa saja. Tetapi lama kelamaan, penyakitnya makin berat dan aku terpikirkan kalimat yang terukir dalam di hatiku waktu itu. Aku tidak bermaksud superior atau mendahului Tuhan, tapi apakah sakitnya mertuaku ini karena beliau tidak mendapatkan maaf yang tulus dariku?

Ketidakberuntungan menghantui keluarga mertuaku tepat setelah kejadian itu, apakah ini sebuah ganjaran akan sakit hatiku?

Ketika berpindah ke negara ini, suamiku mulai banyak bercerita tentang masa kecilnya, kedekatan dengan orangtuanya yang sangat minim dan betapa ia tak mengerti mengapa ia harus dekat dengan orangtuanya sementara kedekatan itu tak pernah orangtuanya pupuk semenjak ia kecil.

Aku miris mendengarnya. Aku pikir hanya aku yang menjalani kehidupan masa kecil yang tidak menyenangkan. Lima tahun menikah, aku baru tahu perasaan suamiku saat dia dalam proses tumbuh besar.

Aku marah, sedih. Tapi aku bisa apa? Semua sudah terjadi. Tidak mungkin aku mengembalikan waktu dan membuat masa kecil suamiku berubah 180 derajat.

I try to make him happy.

Aku belikan ia pakaian, aku jaga mood-nya, aku turuti semua keinginannya. Tapi, mood-nya selalu hancur saat ibunya merengek sesuatu yang menurutku... entahlah, aku tidak bisa berkata apa-apa.

I hate his mom and his dad. They always take him for granted. Aku sayangi dia, aku cintai dan aku juga ikut hancur melihat orangtuanya memperlakukan dia seperti itu.

Dan aku semakin jauh dari kata maaf.

Aku selalu ingin mengatakan bahwa aku sayang dia, ayahku juga, begitu pun kakak-kakak dan adikku. Mereka semua menghormati dia. Suami, menantu, kakak ipar dan adik ipar kebanggaan keluargaku.

Aku harap perasaanku dan keluargaku ini sampai padanya.

#1

Salah satu resolusi dari sekian banyak resolusi yang tercetus di kepalaku adalah kembali menulis. Menulis apa saja, tetapi yang paling ingin kulakukan adalah menulis buku harian.

Aku tidak pandai berbicara, tetapi aku suka bercerita. Banyak cerita, perasaan dan pengalaman yang ingin sekali aku sampaikan pada orang lain. Selama ini, orang yang bisa menerima ceritaku tanpa menghakimi atau komentar yang aneh-aneh atau bahkan respon negatif lainnya hanya ayahku.

Banyak sekali kenangan di antara kami berdua. Ada suatu perasaan yang terkait di antara kami, yang rasanya hanya bisa kami berdua rasakan.

Betapa patah hatinya aku ketika beliau pergi untuk selamanya. Bahkan beberapa bulan berlalu pun, aku tidak pernah sembuh. Aku mencoba menggantikan beliau dengan kakak perempuanku, tetapi tidak pernah sama.

Malam terakhirku bertemu beliau sebelum berangkat ke Jakarta, terbesit sesuatu di dalam hatiku. Apakah ini terakhir kalinya aku bertemu beliau? Aku juga masih bisa merasakan tangannya ketika cium tangan untuk yang terakhir kali.

Benar saja, itu terakhir kalinya.

Aku bahkan tidak sempat berkata apapun. Rasanya seperti ditinggalkan begitu saja. Tanpa pamit, tanpa apapun.

Aku pikir, lama-lama perasaan ini akan membaik. Katanya waktu menyembuhkan segalanya. Nyatanya, aku malah merasa makin hampa. Apalagi aku tinggal jauh dari makam beliau. Aku tidak bisa sesekali menengok ke sana.

Kesedihanku memarah saat aku berkaca. Aku bisa melihat garis wajah beliau di wajahku. Aku bisa merasakan ujung-ujung jari beliau saat menyentuh wajah dengan jari-jariku. Aku begitu mirip dengan beliau, dan hal itu semakin membakar kesedihanku.

Aku tidak tahu bagaimana cara berdoa untuk beliau. Apa harapan yang harus aku sisipkan di dalam doa tersebut? Aku hanya ingin bertemu beliau, bertanya mengapa aku ditinggalkan begitu saja. Mengapa tidak pamit dulu padaku? Setidaknya ada sesuatu dari beliau yang dapat aku kenang sendiri.

Aku bahkan sudah tidak bisa mengingat suaranya lagi.

Aku tahu betapa ayahku rindu pada ibunya, tetapi apa di dunia ini bersamaku begitu melelahkan? Mengapa pergi padahal aku masih ingin bersama?

Kesedihanku ini merupakan salah satu cerita yang terpendam dan belum bisa aku ceritakan pada siapa pun. Semua orang kehilangan orangtuanya, aku takut jika semua ini hanya aku yang merasakan dan aku tidak mau dihakimi.

Aku tidak punya solusi dan tidak ada orang yang bisa aku pintai solusi, jadi kurasa menulis buku harian merupakan jalan yang baik untuk menggantikan posisi ayahku selama ini.

Kuharap suatu hari nanti, aku bisa menemukan orang yang dapat mendengarkan ceritaku, baik bahagia ataupun sedih. Aku harap aku dapat menemukan ayahku dalam diri orang lain suatu hari nanti.