Cardigan

When you are young they assume you know nothing.

Slight Kokonui, slight Doraemma. Mention of deceased character, Break-up, Homophobia, inspired by true events


Inui seishu menatap gadis itu. Gadis yang cantik, namun terlihat begitu sedih. Wajahnya nampak sedih padahal kaca bengkel yang menghalangi pandangannya sedikit buram. Gadis yang cantik, namun sorot matanya begitu redup.

Apa yang salah dengannya?

Inui seishu menatap gadis itu. Sesekali memperhatikan gerak-gerik sang gadis. Ia nampak gelisah, seolah menunggu seseorang. Namun orang yang ia tunggu tak kunjung datang. Dan dia tahu itu Atau sedang memikirkan sesuatu. Namun yang dipikirkan begitu rumit.

Apa yang salah dengannya?

“Hayo… sedang menatap siapa?”

Teguran Draken membuyarkan lamunan Inui. Mengerjap sebentar sebelum memukul pelan sang teman kerja.

“Sialan! Mengganggu saja!” Hardiknya. Draken cekikikan.

“Jadi, apa yang membuat Inui seishu sampai berhenti bekerja sejenak?”

“Bukan apa-apa” Inui dengan kesal berbalik, berniat melanjutkan pekerjaannya. Melirik sekali lagi untuk terakhir kalinya, memastikan si Gadis baik-baik saja.

Apa yang salah dengannya?


Inui kembali bertemu dengan gadis cantik itu. Kali ini dia terlihat lebih ceria. Mungkin kesedihannya sudah sirna.

Gadis itu terlihat tertawa riang sambil Melayani pelanggan. Ya, gadis itu adalah seorang pelayan restoran tepat di seberang bengkel Inui. Gadis yang kemarin ia lihat merenung sambil menatap sedih, sekarang tertawa dengan riangnya.

Sorot mata yang sedih itu sudah tiada lagi. Matanya terlihat lebih bercahaya. Begitu cerah. Mentari kalah ceria dengan sorot matanya hari ini.

Perasaan manusia memang cepat berubahnya.

“Inupi, hey! Kau melamun lagi”

“Hah? Oh… maaf”

Draken menatap ke arah pandangan Inui. Tersenyum. “Cantik ya?” Ia menghela nafas “seperti Emma”

Inui menatap temannya. Merasa sedikit iba. Draken pasti merindukan Emma. Setiap hari, Inui selalu memergoki Draken menatap foto Emma sebelum dan setelah bekerja. Draken pasti merindukan Emma.

“Aku juga mau punya support system “ gumam Inui

“Hah apa?”

“Ah… bukan apa-apa. Lebih baik kita kembali bekerja”

“Ngomong-ngomong, apa kau mau makan di sana?” Tawar Draken “sudah jam makan siang”

“Kau sengaja ya?”

Draken cekikikan. Ia benar-benar ingin menjahili sang teman. “Ayo!” Draken menarik tangan Inui. Menyebrang jalan ke restoran tempat si gadis cantik Bekerja.

Inui gugup. Ini mungkin akan jadi hari yang canggung.

Bagaimana kalau dia tahu aku menatapnya sepanjang hari kemarin? Bagaimana kalau dia tidak nyaman?

“Halo, mau pesan apa?”

Pikiran Inui buyar. Terdengar suara seorang gadis di dekatnya. Ia menatap. Oh, itu si gadis yang ia tatap.

Gadis cantik yang terlihat lebih cantik dilihat langsung. Wajahnya manis, Inui tak perlu lagi asupan gula harian. Wajahnya sudah memenuhi kebutuhan kadar glukosa darah Inui.

“Suzu…” Inui membaca name tag di seragam si gadis.

“Ya?”

“Ah.. maaf aku hanya membaca name tag”

“Oh.. haha”

“Ngomong-ngomong aku Inui seishu, aku kerja di bengkel sebrang”

“O... oh.. salam kenal… Inui”

Draken berusaha menahan tawa. Sekuat tenaga.

“Mau pesan apa?”

“Apa kau punya rekomendasi?” Inui balik bertanya

“Eum… omurice hari ini setengah harga…”

“Baiklah, pesan dua ya”

“Oke… ada tambahan?”

“Untuk sementara itu saja”

“Baiklah, mohon ditunggu ya”

Suzu pergi meninggalkan meja. Inui tersenyum. Menatap punggung Suzu yang menjauh.

“Pfft… kau harus lihat wajahmu Inupi” Draken berusaha menahan tawa. Air mata sampai keluar.

“Sialan” Inui melempar kotak tisu ke arah Draken. Yang mana malah membuat tawa Draken pecah. Inui membenamkan wajahnya ke meja. Menahan malu karena ditertawakan oleh Draken.

“Jadi? Siapa namanya?”

“Suzu”

“Suzu?”

“Suzu”

“Inupi, kau harus ingat namanya. Kalau bisa tanya nama panjangnya. Siapa tau suatu hari, kalian berkencan dan dia memanggilmu Seishu. Kau tidak mungkin memanggilnya Suzu kan?”

“Berkenalan dengan baik pun belum, kau sudah banyak mengatur ya!”

“Hehe… maaf… kebiasaan”

15 menit berlalu, Inui tak menyentuh makanannya sama sekali. Draken dengan senang hati memakannya. Inui hanya menatap Suzu, yang sedang sibuk bekerja.

“Jangan ditatap terus, nanti kau dicap orang aneh”

“Aku akan minta Emailnya”

“Eh?!”

Inui beranjak. Menepuk pundak Suzu.

“Ya?”

“Boleh aku minta Email?”

“Email?”

“Ya”

“Eum… anu… Inui… aku masih bekerja. Nanti aku berikan setelah shift ku selesai”

“Baiklah. Aku tunggu di bengkel”

“Ya”

Inui benar-benar menunggu Suzu selesai bekerja. Ia tega meninggalkan Draken mengurus motor sendirian sementara dirinya berdiri di depan bengkel. Menunggu.

“Inui! Maaf ya, kau pasti menunggu lama”

“Ah tidak apa-apa… jadi aku boleh meminta email?”

“Tentu”

Inui dan Suzu saling bertukar email. Sesekali bertukar pandang. Lalu memalingkan wajah, malu.

“Kalau aku sering mengirim pesan, tidak apa-apa kan?” Tanya Inui

“Tentu. Aku senang mendapat teman baru. Asal jangan terlalu sering, aku kan harus bekerja”

“Iya. Tenang saja”

“Kalau begitu aku pulang dulu”

“Hati-hati, Suzu”

Inui lagi-lagi hanya bisa menatap punggung Suzu. Berjalan menjauh dan hilang dari pandangan.

“Kau menyukainya ya?” Tanya Draken

“Sepertinya”

“Bagaimana dengan Koko?”

Inui terdiam. Menatap Draken. Sedikit kesal.

Koko. Kokonoi Hajime. Teman masa kecilnya. Teman seperjuangannya. Cinta pertamanya. Mantan pacarnya.

Entah kenapa Inui kesal mendengar nama sang mantan kekasih. Padahal Mereka sudah setuju untuk berpisah dengan baik-baik saja. Mengejar tujuan masing-masing.

Rasanya seperti kemarin, Inui harus menatap Koko yang berjalan menjauh. Dibawah lembut hujan salju hari itu.

Padahal Koko pernah berjanji akan selalu ada di samping Inui. Nyatanya. Yang bersatu suatu hari bisa berpisah. Inui tak pernah terpikirkan itu sebelumnya.

Apakah mereka benar-benar berpisah karena ingin? Tidak juga. Sebenarnya, keluarga Koko bukanlah keluarga yang cukup terbuka mengenai seksualitas sesama jenis. Mengetahui Koko berkencan dengan dirinya, Inui ingat bagaimana Koko sempat diusir dari rumahnya.

Pahit.

“Koko? Dia sudah tidak menghubungi aku lagi”

“Kalian benar-benar putus hubungan?”

“Aku rasa”

“Hey Inupi, mana yang lebih baik. Ditinggal mati atau ditinggal pergi namun masih hidup?”

Inui tersenyum masam.

“Aku lebih memilih ditinggal mati”

“Hmmm… menarik” Draken mengangguk-angguk. “Jadi kau mau kembali bekerja atau pulang?”

“Biar aku yang membereskan bengkel. Kau bisa pulang”

“Baguslah. Aku lelah”

Inui kembali tersenyum masam.


Cukup lama Inui tak merasakan kehangatan ini. Hatinya kini punya perasaan baru. Familiar, namun entah kenapa Inui merasa pertama kalinya merasakan hal itu.

Suzu orang yang ceria. Gadis yang mudah bergaul. Berbicara dengannya tak membuat Inui bosan. Bahkan, Inui ingin mendengarkan celotehan Suzu sepanjang hari.

Inui benar-benar jatuh cinta.

Suzu bukan orang yang suka keluar rumah. Dia lebih suka berdiam diri di rumah. Namun, jika dia ingin keluar, dia akan keluar. Gadis yang ramah.

Belum lagi wajahnya yang begitu manis. Inui tak akan bosan menatapnya. Setidaknya begitulah pikirnya.

Tapi Inui belum berani mengatakan pada Suzu bahwa ia menyukainya. Terlalu cepat, pikirnya. Ia ingin mengenal Suzu lebih baik.

“Aku rasa aku harus memasang gorden” celetuk Draken.

“Gorden? Kenapa?” Inui bertanya. Polos sekali

“Kau tak berhenti menatap ke restoran di seberang”

“Lalu kenapa?” Inui tak mengindahkan “kalau Emma ada di sana, kau juga akan menatapnya kan?”

Rasanya ingin sekali Draken melempar kunci Inggris ke kepala Inui.

“Dengar, hanya menatap tidak akan membuatmu mengenalnya lebih baik”

“Lalu aku harus bagaimana?”

“Lakukan sesuatu. Ajak kencan, atau apalah… kalau kau menatapnya setiap hari, kau malah terlihat seperti penguntit!”

“Eh? Koko?” Inui beranjak dari tempat duduknya. Terkejut karena melihat mantan kekasihnya, Koko, sedang mengobrol dengan Suzu.

“Huh? Koko?” Draken menghampiri Inui. Menatap keluar jendela.

“Kenapa mereka terlihat akrab?” Inui bergumam. Terdengar kesal.

“Ya memang kenapa?” Draken bertanya. Menambah api cemburu dalam diri Inui.

Inui beranjak pergi. Menghampiri Suzu yang tengah tertawa riang bersama Koko.

“Suzu…” tanpa sadar, Inui memanggilnya.

“Inui?” Suzu menoleh. Begitu pula dengan Koko. “Inupi?”

“Eh? Kau mengenalnya?” Suzu bertanya kepada Koko. Koko mengangguk “ya… kami…”

“Sahabat baik” Inui menjawab dengan cepat. Masih sulit rasanya mengatakan hal itu. Karena sejatinya, Inui masih memiliki perasaan pada Koko.

“Ya… Sahabat baik”

“Oh? Baguslah kalau begitu” Suzu tersenyum senang “aku tidak perlu mengenalkan kalian berdua”

“Suzu, bagaimana kau bisa mengenal Koko?”

“Oh? Kami tetangga” Suzu menjawab dengan tenang. “Kadang aku memasak di rumahnya. Orang Tuanya sering meminta padaku untuk membuatkan makanan sesekali”

“Ah… begitu ya?” Inui sedikit cemburu. Ia juga ingin dibuatkan makanan oleh Suzu.

“Ngomong-ngomong ada apa Inui? Ini masih jam kerja kan?” Tanya Suzu.

“Ah… itu… anu… eum…” Inui bingung. Ia sendiri tak menyangka akan berlari keluar dan menghampiri Suzu, akibat kecemburuan.

“Dia mau makan siang denganku. Iya kan? Inupi?” Koko menyela. Inui langsung mengangguk.

“Ah… kalau begitu duduklah, aku bawakan buku menunya” Suzu berbalik ke dalam restoran, meninggalkan Inui dan Koko berdua di depan restoran.

“Lama tak bertemu ya? Inupi…” Koko tersenyum. Menatap ujung sepatunya yang bersih berkilau.

“Kau… sehat kan?” Tanya Inui.

“Ya. Aku sibuk namun tak pernah lupa untuk makan dan berolahraga”

“Oh… baguslah”

“Bagaimana dengan dirimu? Apa Bekerja di bengkel membuatmu senang?”

Senang? Teralihkan, lebih tepatnya.

“Ya… kurang lebih”

“Anu, mejanya sudah siap” Suzu menghampiri mereka berdua, sebelum kembali ke dalam.

“Oh? Ayo Inupi, aku traktir” Koko menarik seragam kerja kotor Inui. Menariknya ke dalam restoran.

Koko dan Inui hanya terdiam. Saling menatap. Tatapan yang membingungkan.

Entah rindu. Entah kesal. Inui tak paham.

“Aku merindukanmu” Inui tanpa sadar bergumam. Koko mendelik. Tersenyum lembut.

“Kau pikir bagaimana perasaanku?”

“Oh? Kau juga?”

“Ya… aku ingin minta maaf atas perlakuan keluargaku. Kau pasti mengalami waktu yang sulit”

“Koko, lihat dirimu. Kau sama menyedihkannya”

Koko tertawa. Mengaduk kopi dingin di hadapannya. Ia menatap Suzu yang tengah sibuk melayani pelanggan.

“Kau menyukainya kan?” Tanya Koko

“Hah? Siapa?”

“Suzu”

“Jangan bodoh!” Inui dengan gugup meminum air di depannya. Tersedak sedikit.

“Kau pikir aku ini apa? Aku sudah berteman denganmu begitu lama Inupi. Aku tahu, aku selalu tahu”

“Tidak. Aku tidak menyukainya”

“Jangan bohong. Aku tahu…” Koko tertawa kecil. “Dia gadis yang baik”

“Siapa nama panjangnya?”

“Kau belum tahu?”

“Belum”

“Suzuki Rin”

“Eh? Suzu itu nama panggilan?”

“Kalau tidak salah, ia menggunakan nama Suzu karena ada karyawan bernama Suzuki juga di sini”

“Ah…” Inui mengangguk paham.

“Kau harus menyatakannya”

“Kau gila. Aku belum begitu mengenalnya. Kami baru bertukar pesan beberapa kali”

“Harus aku yang mengatakannya?” Goda Koko.

“Kalau kau mengatakannya, aku akan bilang pada keluargamu kalau kita berpacaran lagi!”

Koko tersenyum. Matanya terlihat sedih. “kau tahu? Aku harap memang itu yang terjadi”

Hati Inui mencelos seketika. Ia kira selama ini hanya dirinya yang merindu.

“Sayangnya, aku harus membiasakan diri bangun tidur tanpa dirimu” Koko tertawa. Pilu.

“Koko …”

“Sudahlah! Mau aku yang bilang, atau kau bilang sendiri?”

“Biar aku saja. Pokoknya aku kabari nanti”

“Janji?”

“Tentu. Aku bukan Koko yang suka melanggar”

Koko tertawa terbahak-bahak. Mengerti apa maksud dari sindiran Inui. Inui mau tak mau ikut tertawa.


“Ken” Inui memanggil. Draken yang sedang sibuk mengganti Oli motor, menoleh

“Apa?”

“Menurutmu, apa aku memang harus mengatakan yang sejujurnya?”

“Pada siapa?”

“Suzu”

“Lakukan saja. Tapi kau harus menerima apapun yang terjadi setelah itu”

“Misalnya?” Tanya inui.

“Ditolak”

“Oh… baiklah”

Inui beranjak. Membuat Draken mengangkat alisnya dengan heran. “mau kemana?”

“Cari pacar” Inui mengambil kunci motor. Lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Draken sendiri, seperti biasa.

Koko bilang Suzu adalah tetangganya. Tapi rumahnya yang mana? Tetangga Koko kan tidak hanya satu?

“Eh? Inui?”

Inui menoleh. Suzu sedang menyapu halaman rumahnya. Dia terlihat belum mandi. Masih memakai baju piyamanya.

“Suzu…”

“Ada apa? Apa kau mau bertemu Koko?”

Inui mendadak membungkuk. Dihadapan Suzu. “SUZUKI RIN, AKU MENYUKAIMU! TOLONG, KENCANLAH DENGANKU”

Suzu terdiam. Sapu di tangannya sampai jatuh, tergeletak ke tanah. Mulutnya terbuka. Ia terkejut bukan main.

“Suzu… aku tahu kau pasti berpikir, ini sangat mendadak. Dan kita belum begitu mengenal satu sama lain. Tapi aku memang menyukaimu sejak pertama kalinya aku melihatmu duduk di kursi restoran, menghadap ke jalan, dengan mata yang sedih… hari itu aku ingin sekali menghiburmu. Tapi aku sadar, aku bukan siapa-siapa. Maka dari itu, tolong, kencanlah denganku. Jadilah kekasihku” Inui berterus terang.

Wajah Suzu memerah. Dia tak bisa berkata-kata. Ia hanya menatap. Bibirnya bergerak, namun tak ada kata yang keluar.

“Aku anggap itu iya” Inui memutar Balik, bersiap kembali pulang.

“Suzuki Rin. mulai hari ini, kau adalah kekasih Inui Seishu” ujar Inui sebelum pergi. Meninggalkan Suzu yang masih mematung.

Sepanjang jalan kembali ke bengkel, Inui berpikir. Apa tindakannya benar? Apa dia terkesan memaksa Suzu? Apa setelah ini Suzu akan menghindari dirinya?

Dan apakah ia meminta Suzu jadi pacarnya, karena butuh pelarian?

Inui takut. Takut jika ia malah menyakiti orang yang sedang ia sukai. Inui takut.

“Bagaimana?” Tanya Draken sesampainya Inui di bengkel “kau menyatakan perasaanmu?”

“Ya… dan aku rasa aku bertindak terlalu jauh”

“Apa maksudnya?”

“Aku meminta dia jadi pacarku”

“Eh?!” Draken terkejut.

“Dia tidak bilang apa-apa, aku langsung menganggap ia menerima permintaan”

“EH?!”

“Apa aku salah?”

“Inupi, kau gila” Draken menepuk dahinya. Pusing dengan kelakuan temannya yang sedang kasmaran tersebut.

Tiba-tiba telpon Inui berdering di sakunya. Ia segera mengambil ponselnya. Menatap layar dan hampir menjatuhkan ponsel ke lantai.

“Suzu…”

Inui segera mengangkat telepon. Ia terkejut. Terdengar suara isak Tangis dari ujung telepon.

“Suzu?? Kau tidak apa-apa?!” Inui panik

“Aku… aku sangat senang…” isak Suzu

“Eh?”

“Aku… aku pikir tidak ada lagi orang yang mencintaiku di Dunia ini … terimakasih Inui…”

”....”

“Terimakasih sudah memintaku untuk menjadi kekasihmu. Aku dengan senang hati menerimanya… terimakasih” ia masih terisak.

Inui lega. Itu bukan isak tangis sedih. Suzu jelas bahagia.

“Jadi, kapan kita akan kencan?”


And when I feel like I was an old cardigan, under someone's bed. You put me on and said I was your favorite.