1, 2 step


ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya masuk ke dalam rumah mewah itu, setelah sebelumnya sempat mampir untuk mengantar adnan—yang sedang mabuk—tempo lalu.

beberapa kali ia berdecak kagum menyadari luasnya pekarangan rumah milik lelaki yang saat ini tengah menggenggam tangannya erat, namun itu semua tidak mampu menyurutkan detak jantungnya yang amat ribut sejak turun dari mobil tadi.

waktu terasa berjalan lambat, bagaikan berjalan dengan gerakan slowmotion adnan menuntunnya hati-hati memasuki bagian utama rumah itu.

tarik, hembuskan, tarik, hembuskan, begitu seterusnya. ken berusaha mengurangi kegelisahannya, yang kini nampaknya disadari oleh lelaki yang lebih tua, membuat adnan menoleh menatapnya perhatian.

“kebelet boker ya, yang?”

mendengarnya membuat ken seketika menghentikan langkah, wajahnya yang pias penuh ketakutan tadi berganti tatapan galak dengan bibirnya yang mengerucut sebal. sebelah tangannya kini terangkat memukul lengan atas adnan main-main.

“lo tuh nyebelin tau gak?”

adnan terkekeh kecil, “makanya jangan takut kayak gitu, you always have me by your side, apa penjelasan gue di roomchat tadi kurang?”

ken menggeleng kecil, walaupun ketegangan yang tadinya menguasai hampir seratus persen dari dirinya kini telah berkurang hampir setengahnya, ia menarik nafas kembali untuk menetralkan ekspresi, berusaha menyembunyikan rona merah di kedua pipinya.

adnan mengubah posisinya yang kini sepenuhnya menghadap ken, membuka kedua lengannya pun menarik ken ke dalam pelukan hangatnya. tak peduli mereka yang kini sedang berdiri di depan pintu utama, adnan hanya ingin ken tam berpikir macam-macam karena ia juga tak main-main dengan ucapannya. ia bersungguh-sungguh saat mengucapkan akan selalu ada bersama lelaki itu apapun yang terjadi nanti.

perlakuan tiba-tiba adnan ini tak luput membuat pipinya kembali merona. ah, rasanya pipinya memang terlalu mudah bereaksi pada setiap perlakuan lembut adnan, membuat ia semakin menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik sulung mahesa itu.

“ekhem..”

dehaman berat seketika menyadarkan keduanya yang telah tenggelam dalam kehangatan masing-masing, yang dengan tak rela menguraikan pelukan mereka.

seorang lelaki berusia pertengahan empat puluh itu menatap keduanya datar. oh bukan, kini tatapannya menajam menuntut penjelasan dari anaknya yang hanya diam nampak menyiapkan jawaban.

“jadi ini pacar kamu, huh?”

“pa, aku jelasin nanti ya? sekarang biarin ken duduk dulu di dalem, biar enak juga jelasinnya.”

lelaki yang dipanggil papa oleh adnan itu awalnya masih diam tak mau menyingkir, maniknya bergulir menatap ken mengamatinya dari atas hingga bawah, membuat ken bergerak tidak nyaman karena demi apa, papa dari asdosnya itu seperti ingin mengulitinya hidup-hidup.

oke, ini hanya pikiran berlebihan milik ken.

setelahnya papa adnan meninggalkan keduanya, berjalan menuju lantai dua tanpa menoleh ke belakang lagi. hal itu membuat kerutan bingung menghiasi dahi mulus milik ken.

“papa lo keliatannya gak suka banget sama gue kak, pulang aja apa ya?”

pergerakan ken tertahan saat adnan menggenggam pergelangan tangan kirinya, “gak, sampai kita jelasin semuanya ke papa. papa emang biasa kayak gitu sama orang baru, jadi maklumin aja oke?”

meski ragu, ken hanya mengangguk pelan tanpa menjawab. kalaupun dia pulang sekarang, ia akan tetap terbayang-bayangi masalah ini. dan hal itu akan membatasi semua pergerakannya, membuat ia mau tak mau tetap berada di jalan semula.

lagipula, kini ia memiliki adnan bersamanya. lagipula, ia telah mempercayai semua perkataan laki-laki itu. lagipula juga, ia telah menyerah menyembunyikan fakta bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama dengan lelaki yang telah memenuhi pikirannya sebulan terakhir itu.

***

empat orang kini tengah duduk di sofa empuk di tengah ruang tamu. televisi yang ada disana tidak berniat dihidupkan, hanya untuk memecah keheningan yang tercipta di tempat ini.

tangan adnan masih setia menggenggam sebelah tangan ken yang bertumpu di atas pahanya, mengelusnya perlahan untuk berbagi kenyamanan. adnan hanya berupaya agar ken tak gugup, begitu pula dengan dirinya.

dan hal itu tentu tak luput dari pandangan lelaki dan perempuan yang berusia lebih tua, tepatnya mama dan papa adnan. wajah papa adnan masih sekeras tadi, sedangkan mamanya memberi ekspresi yang tak bisa adnan mengerti.

hingga akhirnya papa adnan yang lebih dulu bersuara.

“jadi kamu hamil karena anak saya? sudah berapa bulan?”

tak menyangka pertanyaan itulah yang menjadi pembukaan diskusi kali ini, membuat ken tersentak kaget dengan maniknya yang membola sempurna. kini kepalanya menggeleng rusuh namun bibirnya masih tertutup rapat bingung bagaimana untuk menjelaskan.

“pa, ken itu gak hamil—”

perkataan adnan terpotong saat perhatian keempat orang itu teralihkan dengan kedatangan dua orang dari arah tangga lantai dua.

“oh, sini nak duduk.”

itu suara mama, yang mempersilahkan dion serta nara yang berjalan tepat di belakangnya untuk ikut duduk di ruang tamu bergabung dengan mereka.

begitu keduanya telah duduk, pembicaraan kembali berlanjut dengan papa adnan sebagai pemandunya.

“oh iya, nan, kenalin ini nara. dia temen kecilnya karin sama dion. dia kuliah di jepang dan sekarang udah lulus, dia tamat dalam waktu dua setengah tahun, bukannya itu hebat?”

secara tidak sengaja ken menangkap tatapan tajam yang diberikan papa adnan padanya, seakan kalimat yang diucapkannya tadi ditujukan untuknya, agar ia menyadari bahwa ia tak sebanding dengan perempuan cantik yang duduk di sofa seberangnya itu.

“kamu sebentar lagi lulus kan? terserah tentang status asdos itu papa gak akan paksa, setelah lulus nanti kamu bisa langsung nikah. papa juga udah gak siap liat anak papa nikah, apalagi dengan orang yang hebat dan pintar seperti nara ini, ya kan nak?”

pertanyaan tadi bukan untuk adnan, papanya menatap nara yang kini juga menatap dirinya. nara hanya tersenyum canggung membalas pertanyaan papanya itu.

sebenarnya semua ini sudah terpikirkan oleh adnan. saat tadi ken mengajaknya ikut bertemu dengan karin, adiknya itu sudah menjelaskan mengenai perjodohan antara dirinya dan nara yang diusulkan papanya. karin juga telah menyampaikan rencana untuk menggagalkan perjodohan itu, yang kemudian ia dan ken setujui.

ia juga telah menyampaikan hal itu pada dion. namun kini adiknya itu kini tengah mengepalkan tangannya menahan diri, untuk tak menyela perkataan ayahnya.

jujur saja, ada banyak kata dan penjelasan yang sudah terkumpul di ujung lidahnya, bersiap untuk ditumpahkan begitu saja untuk meluruskan semua ini. namun entah mengapa, dominasi papanya begitu kuat, membuat ia dan bahkan dion tak mampu banyak berbicara.

adnan masih mengumpulkan keberaniannya yang sempat menghilang saat papanya kembali bersuara,

“nan, mau kapan nikah sama nara?”

“PA, CUKUP!”

bukan, itu bukan suara adnan. namun itu suara dion, yang kini membuat perhatian kelima orang terpusat padanya.

dion nampak dilanda emosi, adnan menyadari adiknya itu tak baik dalam mengontrol amarahnya. ia kira, adiknya bisa menahan didepan papanya, terlebih keinginan dion untuk mendapat perhatian dari papanya sebesar yang ia dapatkan. namun nampaknya itu tak lagi menjadi prioritas dion kali ini.

papanya kini menatap dion tajam, nampaknya beliau ingin meminta alasan mengapa dion tiba-tiba menyela bahkan berteriak padanya.

“mama gak pernah ajarkan kamu berteriak di depan orang tua, dion!”

walaupun mama nampak marah, sebenarnya beliau lebih terkejut karena anaknya tiba-tiba nampak semarah itu.

“ma, pa. maaf tapi dion harus jelasin sesuatu. nara itu pacarku, jauh sebelum dia pergi ke jepang nara itu masih pacarku dan sampai saat ini juga gitu. adnan juga udah hamilin orang, harusnya dia tanggung jawab sama orang itu,”

dion menunjuk ken yang kini juga ikut menatapnya balik, “—dan kenapa harus adain perjodohan antara adnan sama nara kalo kayak gini ceritanya, pa, ma?”

papanya menatap dion sangsi, dari rautnya tak terlihat sedikitpun ingin mengubah rencana perjodohan yang ia usulkan.

“anak papa harus nikah sama orang baik-baik, papa gak tau ken ini orang baik atau bukan, tapi dengan fakta dia hamil karena adnan padahal keduanya belum menikah sepertinya kalian semua sudah dapat kesimpulannya.”

ken menunduk menyembunyikan maniknya yang kini mulai berembun. ia dan adnan bahkan belum mendapat kesempatan untuk berbicara, rencana yang keduanya susun juga belum sempat terlaksanakan, namun ia sudah harus mendapatkan kata-kata menyakitkan dari papa adnan.

kedua tangannya mengepal kuat menahan diri agar tak terisak, ia benci terlihat lemah, berulang kali ia berpikir, apakah mencintai orang memang selalu semenyakitkan ini? apa hubungannya memang tak akan pernah menemukan akhir yang bahagia?

ibu jari adnan terangkat menghapus bulir bening yang jatuh membasahi pipi gembil ken. meski adnan tak menoleh, ia menyadari itu. ia membenci menyadari dirinya terlambat melindungi ken, hingga akhirnya lelaki manis itu harus tersakiti kembali karenanya.

tepat sebelum ia ingin meluruskan semuanya, lagi-lagi perkataannya terpotong oleh penyataan tak terduga dari dion.

“ken orang baik, pa, dion yang jahat disini.”

papanya mengernyitkan dahi meminta penjelasan, “maksud kamu?”

“aku yang jebak adnan dan ken, itu rencana aku. aku yang jebak adnan yang waktu itu mabuk, awalnya aku cuma mau videoin waktu mereka ciuman dengan bantuan temen aku pram, video itu aku sebar di kampus supaya reputasi adnan jelek, supaya papa kecewa sama adnan, supaya perhatian papa ke adnan setidaknya berkurang bahkan hilang dan berganti papa lebih perhatian ke aku.”

“aku gatau semua bakal sejauh ini, ken hamil juga aku tau dari pram yang jadi temen deketnya ken. pram punya dendam sama adnan karena sebelumnya karin lebih pilih adnan daripada dia. kita lakuin semua ini karena menguntungkan masing-masing. dion sadar apa yang dion lakuin ini salah, tapi please jangan pisahin dion sama nara lagi, adnan juga harus tanggung jawab kan? perjodohan ini cuma bakal nyakitin banyak pihak, pa.”

adnan tak menyangka adiknya itu akan mengakui semua rencana jahatnya di depan sang papa. adnan baru menyadari sebesar itu perasaan dion pada nara, membuat dion melupakan tujuan awalnya untuk mendapat kasih sayang papanya, demi mempertahankan nara menjadi miliknya.

dan ia pikir, sekarang adalah gilirannya untuk mempertahankan miliknya seperti yang dion lakukan.

“dan adnan juga mau bilang, ken itu gak hamil pa—”

“KAK?!”

adnan tak menghiraukan selaan dion dan kembali melanjutkan perkataannya demi membela ken di depan papanya,

“ken orang baik gak seperti yang papa pikirin, kalo pun waktu itu kita ciuman, itu karena adnan yang paksa. ken juga udah banyak nerima banyak kebencian karena video yang disebar dion di kampus, tolong papa jangan sakitin ken lagi. adnan bakal lakuin apapun supaya ken tetep sama adnan, karena orang yang adnan suka itu cuma ken dan bakal selalu ken sampai kapanpun itu.”

papanya mengusap wajah kasar, terdengar helaan nafas berat sebelum beliau menyandarkan punggung sepenuhnya pada sofa yang sedang diduduki. tanpa disangka, beberapa menit kemudian muncul senyum tipis yang sejak tadi beliau tahan, menyadari bahwa ia telah mendapat pernyataan yang jauh melebihi ekspetasinya.

“oke anak-anak, gimana akting papa? bagus gak?”

“HAH??”

***

sian muncul membawa satu nampan besar dari arah dapur. jadi, tadi ia memilih menjadi penonton perdebatan aneh keluarga yang juga aneh ini dari sana. tentu sambil memberi live report lewat video call pada kekasihnya, justin, yang juga sedang bersama jian, daren, pram, aiden, dan karin yang ia larang untuk masuk dan memilih diam di gazebo depan.

kini ia menjalankan peran dadakannya sebagai bi nomo, pembantu rumah yang diliburkan khusus hari ini agar tak mengganggu drama dadakan yang diadakan papa adnan.

setelah tangan cekatannya selesai memindahkan semua cangkir penuh teh dan juga kudapan yang ia temukan di meja dapur, kini ia ikut bergabung di sofa ruang tengah, menikmati raut kebingungan beberapa orang disana.

“tadi lo bilang mau langsung pulang, kan?” itu dion, yang tadi sempat dikejutkan sian saat menengok kegaduhan di dapur lantai satu.

“hm tapi gue gamau lewatin ni drama abal-abal hm,” perkataannya terjeda saat ia menawarkan tangan untuk memberi high five pada papa adnan, “om keren dah hm aktingnya, sian jadi ngefans!”

papa dan mama tertawa mendengar perkataan sian, ketegangan yang semula melingkupi ruang tengah itu perlahan mulai mencair sejak bergabungnya lelaki yang merupakan sepupu adnan itu.

“bentar, ini maksudnya gimana? papa daritadi itu akting?”

papa mengangguk mengiyakan pertanyaan adnan, kini beliau menatap ken dengan tatapan yang lebih lembut, “nak ken, maaf soal kata-kata papa tadi ya, jangan nangis lagi nanti papa dibenci adnan ahaha..”

mendengar papa adnan yang meminta maaf padanya membuat ken buru-buru menggeleng tak enak, “gak papa om, ken cuma kaget aja tadi.”

papa adnan mengangguk kecil sebelum bertanya lagi, “jadi adnan kapan nikah sama nara?”

“PAPA?”

dion yang daritadi masih memahami apa yang sedang terjadi dihadapannya seketika dikagetkan oleh pertanyaan papanya membuat ia tanpa sengaja kembali berteriak pada papanya itu.

“pa, maaf, bukan maksud dion teriak tapi—”

“papa kecewa sama kamu dion, sebenarnya bukan begini cara buat dapet perhatian papa. papa tidak membenarkan apa yang kamu perbuat, tapi papa hargai kejujuran kamu, papa gak sangka kamu akan jelasin semua walaupun sian sudah bilang ke papa lebih dulu,”

sian buru-buru memberi peace sign saat dion, adnan dan ken menatapnya intens ke arahnya.

“tapi papa kecewa karena tau ken gak bener hamil, papa gagal punya cucu..”

pipi ken bersemu mendengar perkataan papa adnan tadi, entah, ia merasa malu bercampur senang karena nampaknya kesempatan ia diterima dengan baik di keluarga ini telah terbuka lebar.

kelima orang sisanya juga ikut tertawa mendengar papa adnan yang nampak merengek karena keinginannya memiliki cucu menjadi tertunda.

namun yang tak disangka, adnan kini merangkul bahu ken nyaman sembari memberi pernyataan yang tak diduga seluruh orang di ruang tengah, begitu pula dengan ken yang kini ditatap intens oleh lelaki yang lebih tua darinya itu,

“kita bisa kok kasih papa cucu, adnan bisa nikahin ken sekarang, ya kan sayang?”