Another Chance


Suara berdenging memenuhi indra pendengarnya. Sudah hampir satu jam, namun dengung itu tak mau hilang.

Berulang kali ia menggelengkan kepala, berusaha mengusir suasana tak nyaman yang semakin menyesakkan.

Tidak, seharusnya tidak begini. Ia sudah berjanji untuk bahagia, ia hampir mencapai kebahagiaannya itu, tidak mungkin ia menyerah secepat ini.

Tangannya bergerak mencari pegangan. Gelap, basah, sesak, seakan oksigen di sekitarnya terserap habis. Berulang kali ia memukul dadanya, tidak, ia harus keluar dari tempat ini.

Namun nihil, pergerakan yang sejak tadi ia usahakan tak ada kemajuan sama sekali. Ia tetap terjebak di dalam sana, dengan nafasnya yang mulai tersengal-sengal.

Kelopak matanya mulai memberat, seakan diberikan lem membuatnya merekat satu sama lain. Namun sebelum itu terjadi, ia berusaha tetap membuka matanya. Tiba-tiba saja ia takut dengan kegelapan, kakinya mulai terseok-seok menyadari ada sinar yang menyorotnya di ujung sana.

Lupakan dulu seluruh tubuhnya yang terasa sakit, ia harus mencapai ujung sinar itu.

Dengan segala usahanya, ia hampir setengah jalan. Hampir sampai, sebelum tiba-tiba ia mendengar pekikan kecil di bagian kanan. Seorang gadis kecil, lucu, mirip dengannya. Dengan gaun putih cantik, membawa buket bunga daisy, bunga yang ia sukai.

Di belakangnya berdiri seorang lelaki tampan. Ah, kapan terakhir kali ia melihat wajah tampan itu. Lelaki dengan manik bening yang menatap teduh, tampan dengan sentuhan tahi lalat kecil di ujung bibirnya.

Lelaki itu tersenyum, yang anehnya membuat bulir-bulir bening keluar dari sudut matanya. Begitu terus, seperti tak bisa ia hentikan. Hampir saja ia lupa dengan sinar yang menjadi tujuan awalnya tadi.

Kini sinar itu makin redup, tidak, harusnya ia sampai disana lebih cepat. Ia tak bisa tetap disini. Meskipun langkahnya makin tertatih, dengan berat hatinya meninggalkan dua sosok yang ia sayangi di belakang sana, isakan tangisnya makin keras.

Semakin mendekati sumber sinar itu, nafasnya makin berat. Dadanya sesak, ditambah isakan tangisnya yang tak terkendali. Kepalanya menggeleng rusuh, ia terus bergumam,

aku harus keluar

aku harus keluar dari sini

aku...

.

.

.

Kyu

Junkyu

Sayang, kau mendengarku?

Sayang ini aku, ayo bangun

Sayang

Hahh hahh

Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya ia dapatkan, begitu melihat sesosok lelaki yang ia cintai di hadapannya, dengan luka di kepala yang tidak bisa dibilang kecil, namun tak menyurutkan raut khawatir yang begitu kentara itu menatapnya sendu, ia memeluk lelaki itu erat, benar-benar takut kehilangan,

“Haruto, aku selamat..”

Haruto mengangguk mengiyakan, amat sangat bersyukur ketika mendapati lelaki manis dalam pelukannya ini merespon panggilannya. Tangannya terus bergerak mengelus pelan punggung Junkyu, berusaha menenangkan kekasihnya.

Namun berbeda dengan lelaki manis yang kini mendadak teringat dengan mimpinya, ah, itu bahkan seperti kejadian nyata dimana ia menjadi pemeran utamanya. Membuat ia teringat sesuatu yang hilang, yang eksistensinta tak tertangkap pandangan mata,

“Haru, Lena dimana?”