eunoia


jam digital cafe saat itu menunjukkan pukul 11:11.

keduanya tiba di lokasi yang dijanjikan lebih lambat dari perkiraan. salahkan saja pada adnan yang sengaja memilih jalan rawan macet di pagi hari ini. saat ken menanyakan alasannya, adnan hanya menjawab,

“kamu itu cuma mau ketemu sama pram, bukan orang penting, jadi terlambat juga gak bakal kenapa-napa.”

ajaran sesat, tidak untuk ditiru.

jujur saja, ken berusaha menahan kekesalannya sejak dari rumah tadi. bagaimana tingkat menyebalkannya adnan yang meningkat berkali-kali lipat, ia menyadari penyebabnya. kekasihnya itu masih belum benar-benar memaafkan pram, pasti itu.

namun walaupun ia menyadarinya, itu tak menyurutkan keinginan ken untuk tetap membawa adnan ke depan pram. karena ia pun ingin secepatnya merasa lebih lega, setelah permasalahan diantara mereka bisa diselesaikan dengan baik-baik.

masih dengan tangan yang bergandengan, ken menuntun adnan menuju meja tempat pram menunggu sejak dua puluh menit yang lalu. lelaki itu tampak asik dengan ponselnya hingga tak menyadari, dua orang yang sejak tadi ia tunggu telah sampai di hadapannya.

“tok tok, mau pesan apa kak?”

“ken!”

pram refleks berdiri dan sedikit menunduk saat menangkap tatapan tajam yang adnan layangkan padanya. kedua tangannya saling meremat, degup jantungnya begitu ribut membuat ia sedikit mual.

beruntung, ken menyadari kegugupan pram itu. ia segera menarik adnan untuk duduk di salah satu kursi yang berada disampingnya, tepat di serong depan kursi pram.

“pram, sorry banget gue telat lama, barusan kena macet huhu”

pram buru-buru menggeleng, “g-gaapa kali, jam segini emang rawan macet.”

“bagus kalo tau.”

ken mendelik kesal pada adnan yang tiba-tiba menyahut, namun tentu saja itu tak berefek pada adnan yang kini malah balas merapatkan duduknya dengan kekasihnya itu.

guna memecahkan kecanggungan di antara mereka, ken berinisiatif memesan terlebih dahulu, menyadari pram yang juga nampak belum memanggil waitress sama sekali.

sepeninggal pelayan tadi, ken yang berniat untuk memulai percakapan terhenti saat melihat kehadiran dua orang yang baru saja kemarin ditemuinya.

“dion, nara?”

nara yang berjalan di depan dion segera melemparkan senyum pada ken, “hai kalian, kita boleh gabung disini?”

adnan berniat untuk menolak saat ken lebih dulu menganggukkan kepalanya, “duduk aja, kita baru aja mesen kok.”

adnan mengeratkan genggaman tangannya pada ken, berusaha berkomunikasi lewat tatapan matanya, menanyakan alasan ken membiarkan kedua orang itu ikut bergabung dengan mereka. namun ken tetaplah ken, ia tidak menggubris penolakan itu dan memilih bertanya pada nara dan dion.

“kalian janjian sama pram kesini?”

pram yang disebut namanya, masih dengan wajah kaget akibat kedatangan dua orang baru itu langsung menggeleng rusuh, “nggak ken, gue aja kaget ini!”

pram berpikir keras tentang siapa yang membocorkan pertemuannya dengan ken dan adnan pagi ini, ia sama sekali tak mengabari dion, begitu juga dengan nara yang kontaknya bahkan tidak ia punya. ken juga sedang tenggelam dengan pikiran yang sama, saat seketika fokus kelima orang itu teralihkan oleh kedatangan pelayan membawa pesanan ken, adnan, dan pram.

setelah menitipkan pesanan tambahan pada pelayan tadi, nara yang menyadari kedatangan ia dan dion membuat atmosfer disana menjadi kaku mulai membuka pembicaraan.

“sebenernya gue sama dion kesini itu karena ada hal yang mau dion bicarain ke kalian.”

dion menatap nara kaget, ia bahkan tak menyiapkan kata-kata untuk disampaikan saat ini, namun tiba-tiba saja ia harus menyampaikan alasan mereka menyusul ketiga orang itu.

melihat dion diam saja, nara segera menyenggol lengan dion ditambah tatapan matanya yang mendelik kesal.

“gue minta maaf.”

hanya kalimat pendek itu saja yang akhirnya ia ucapkan. adnan menatap adiknya itu sangsi, rasa-rasanya bukan seperti dion yang asli yang kini ada di samping kanannya itu.

“gue minta maaf sama kalian semua. abang, sama ken, yang udah gue rugiin karena rencana gue itu. maaf karena gue gak bisa ngendaliin rasa iri gue sama lo bang, dan buat lo yang gak tau apa-apa harus kena imbasnya ken, gue minta maaf dengan tulus.”

“gue juga mau minta maaf sama lo pram, gue memanfaatkan rasa kesel lo ke abang gue supaya lo bantu rencana gue dan akhirnya ngerusak pertemanan lo sama ken. gue juga udah banyak kecewain orang terdekat gue karena kelakuan gue ini, gue berharap kalian mau maafin gue.”

“gak segampang itu.”

“kakk..”

ken berusaha menghentikan adnan yang terlihat mulai terpancing emosi. walaupun sesungguhnya ia juga sama marahnya, sama kesalnya pada dion, namun dengan kekerasan tidak akan menyelesaikan semua permasalahan diantara mereka. semua juga telah terjadi, mustahil bisa mengulang semua dan tidak ada pilihan lain selain menerima.

adnan buru-buru meminum iced coffee yang ada dihadapannya. ia menjadi semarah ini sebenarnya bukan karena ia merasa dirugikan, ah mungkin sedikit, namun lebih karena ken yang harus menanggung banyak cacian dari mahasiswa kampus, yang bahkan tak tau duduk permasalahannya sama sekali.

matanya memejam saat ken mengusap pelan pipi kanannya, sentuhan lembut ken memang selalu ampuh untuk menenangkan jiwanya, menghilangkan sedikit demi sedikit api amarah yang sebelumnya menguasai hatinya.

merasa adnan telah lebih jinak daripada sebelumnya, kini giliran pram yang meminta maaf sesuai tujuan awalnya mengajak mereka bertemu.

“gue juga mau minta maaf, sama kak adnan, dan khususnya sama lo ken. gue tau gue emang bodoh banget ngeiyain ajakan dion dan berakhir ngekhianatin kepercayaan lo ke gue sebagai temen, dan gue dengan gak tau malunya lebih mikirin nasib gue di kampus saat semua terungkap daripada mikirin kondisi lo. tapi ken, gue sekarang bener-bener ngerasa bersalah, mungkin gue kurang ajar buat minta ini, tapi gue mohon lo mau maafin gue.”

seketika ketegangan diantara kelimanya mencair, saat ken terkekeh kecil di akhir permintaan maaf pram.

“kenapa jadi kayak lebaran gini sih, maaf-maafan? ahahaha..”

pram merajuk karena ucapan ken tadi, “kennn gue seriussss..”

adnan yang melihat tangan pram menyentuk punggung tangan ken segera menghempaskan tangan itu. keempatnya kaget, namun berakhir dengan dengusan tak percaya ken menyadari betapa posesifnya adnan padanya.

“iya gue maafin kok, kalian kan udah bilang maaf kemarin. lo, dion juga. dan gue emang beneran udah maafin kalian. cukup gue yang jadi korban, gue harap kalian gak bakal ngelakuin hal kayak gini lagi kedepannya.”

nara tersenyum lega mendengar ucapan ken, begitu pula dion yang diam-diam menghembuskan nafas lega karena menunggu jawaban ken sejak tadi. pram pun kini memasang wajah sendu, masih tak percaya temannya bisa sebaik itu padanya.

“ken huhu mau peluk..”

“sini sini.”

belum sempat ken berdiri dari duduknya, tubuhnya sudah didekap terlebih dahulu oleh lelaki di sampingnya, siapa lagi kalau bukan adnan. bahkan adnan mendekapnya begitu erat, membuat ken mencubit kecil pinggangnya kesal.

“aduh! kok dicubit sih sayang?!”

“ya kamu sih, pram kan cuman temen aku jadi gausah kayak gitu!”

dekapan adnan terlepas, membuat kini ken memeluk kecil pram yang ada di hadapannya. sebenarnya ia masih sedikit tidak rela, namun alasan ia melepaskan dekapannya tadi karena ken yang tiba-tiba memakai sebutan aku setelah kemarin ditolak habis-habisan.

adnan memegangi dadanya yang berdetak ribut, tak diragukan lagi ia memang tekah menjadi bucin ken nomor satu, apapun perlakuan lembut ken padanya membuat ia merasa senang bukan main, walau mungkin ken tak benar-benar menyadarinya.

pembicaraan kelimanya berlanjut sampai pada ucapan perpisahan dion dan nara yang mengabarkan bahwa keduanya akan ke jepang minggu depan menyusul papa dan mama mereka.

beruntung ada nara, ia pandai mencairkan suasana antara mereka dan kini malah sedang sibuk berbincang dengan ken. meski adnan takut-takut ken akan berpindah hati pada perempuan itu, namun saat ken tiba-tiba berbisik “i love you” padanya tadi, ia menjadi lebih tenang. semua ketakutannya tak berdasar, dan kini ia lebih memilih merespon kecil saat terseret masuk dalam pembicaraan.

dion menyela pembicaraan seru mereka untuk mengabari bahwa ia dan nara akan pulang lebih dulu. sepeninggal keduanya, meja itu memang menjadi lebih sepi.

belum lagi adnan yang merengek ingin pulang seperti anak kecil umur lima tahun, bahkan tak berupaya menjaga imagenya di depan pram, ia terus menggoyangkan tangan kanan ken agar kehendaknya dituruti.

ken yang mulai tidak sabar pun segera mengiyakan, sebelum terlebih dahulu bertanya pada pram yang kini juga melihat ke arahnya.

“lo mau balik sekarang? dijemput apa gimana?”

“gue naik motor kok, ini make wifi bentar abistu langsung pulang kok. lo mau balik?”

ken mengangguk sebal, “iya nih, bayi gede rewel banget,” ucapnya tertuju pada adnan yang kini menyenderkan kepalanya pada bahu ken.

pram terkikik geli, “yaudah sana duluan, gue tinggal bentar doang kok.”

“besok kuliah bareng mau?”

tawaran ken seketika membuat adnan menegakkan duduknya, bisa-bisanya kekasihnya itu mengajak lelaki lain untuk berangkat bersama, di depannya pula.

adnan menjawab pertanyaan itu, “gak usah, kamu sama aku aja, lagian si pram pasti dijemput iden.”

ken melayangkan tatapan bertanya pada pram, yang kemudian dijawab dengan anggukan, “iya ken, besok gue bareng kak iden hehe..”

“kalian beneran nggak pacaran?”

“paling bentar lagi,” ini jawaban adnan.

ken akhirnya mengangguk dan memilih berpamitan, “yaudah, gue duluan aja gaapa ya pram? lo jangan kelamaan sendiri disini.”

setelah diberi sign oke oleh temannya itu, adnan yang menggenggam tangan ken pun segera menuntun kekasihnya meninggalkan cafe itu. tangannya telah bergerak membuka pintu mobil, saat pandangan ken terfokus pada suatu objek.

“sayang, kamu liatin apaan sih, serius banget?”

ken yang masih dengan matanya yang kini menyipit memastikan apa yang dilihatnya di parkiran tak jauh dengan tempat mereka saat ini itu menyahut,

“kak, yang lagi jalan sampingan itu bukannya kak iden sama karin?”