First Fall

.

.

.

.

Siang itu, Arin memutuskan untuk menghabiskan waktunya untuk menonton film dari laptopnya, bertemankan smoothies dan teh herbal kesukaan. Hitung-hitung untuk menenangkan dirinya, dan melupakan sedikit masalah yang kini ia hadapi.

Tadi siang ia memang pulang bersama Sunghoon, begitu juga dengan makan siang bersama atas dasar ajakan Sunghoon, yang sayangnya tidak bisa ia tolak karena pikirannya yang sedang kalut saat itu. Ia hanya perlu teman untuk bercerita, itu saja.

Tapi ia sama sekali tak ada menceritakan masalahnya dengan Junkyu pada Sunghoon, hanya cerita ringan mengenai guru yang memberi banyak tugas dan sejenisnya. Bagaimanapun ia juga tahu, kalau Sunghoon pernah terlibat masalah dengan Junkyu.

Omong-omong soal masalahnya dengan Junkyu, sebenarnya ia sudah mengetahui hal itu sejak kepulangan mereka dari pesta Jay dua hari lalu. Ia yang saat itu hendak menyusul Junkyu, malah dihadapkan dengan kenyataan pahit bahwa kekasihnya sedang berciuman dengan laki-laki yang sialnya adalah temannya sendiri.

Dan sejak saat itu pula, ia menghindari Junkyu. Memang terkesan kekanak-kanakan, namun entah, setiap melihat Junkyu membuatnya merasa sedih bercampur marah. Dan ia juga tak ingin menyulut emosi kekasihnya, maka ia memilih untuk menjauh terlebih dahulu.

Selama menghindari Junkyu, ia banyak berpikir. Mengenai apa yang harus ia lakukan setelah ini, dan bagaimana ia harus menghadapi Junkyu nantinya. Dan sebelum memutuskan hal itu, ia ingin mendinginkan kepalanya terlebih dahulu.

Smoothies yang ia bawa sudah hampir setengah habis padahal film yang ia tonton belum sampai lima menit, dan saat itu tiba-tiba terdengar ketukan pintu kamar yang ia kira adalah pembantunya. Arin pun hanya berteriak agar orang itu langsung masuk.

“Arin?”

Suara ini, tidak mungkin kan Junkyu tiba-tiba ada di kamarnya.

“Rin?”

Suara itu terdengar semakin mendekat, karena posisi arin yang membelakangi pintu kamar membuatnya tak bisa memastikan orang yang masuk kamarnya saat ini. Terasa sedikit pergerakan di bagian kasur sampingnya, disusul sebuah tangan yang menyentuh bahunya pelan.

“Arin, lihat sini dulu dong.”

Arin hanya diam, ia bisa memastikan bahwa ini memang Junkyu, kekasihnya, dari aroma parfum yang ia pakai. Namun ia tetap memilih memfokuskan pandangan pada film di hadapannya.

“Seriusan gamau lihat aku dulu?”

“Aku lagi fokus nonton, jangan ganggu.”

Bohong, padahal sejak suara Junkyu masuk dalam telinganya tadi, ia sudah tidak fokus lagi dengan film yang ia tonton itu. Belum lagi tangan Junkyu yang lebih besar menggenggam tangan kanannya, mengelusnya pelan.

“Sayang,”

Oke, jika Junkyu sudah mode soft seperti ini Arin sudah tidak sanggup. Akhirnya ia pun memilih memfokuskan pandangannya pada laki-laki yang sejak tadi meminta atensinya itu.

“Masih marah ya?”

Arin hanya mengangguk mengiyakan.

“Maafin aku ya, aku belum bisa jadi pacar yang baik buat kamu. Aku malah ngecewain kamu, buat kamu nangis, aku nyesel banget rin—”

“—aku tau apa yang aku lakuin waktu itu salah, aku gabisa ngendaliin diri aku sendiri, aku nyesel, beneran rin, aku nyesel banget karena udah nyakitin kamu. Aku bodoh banget nyakitin orang sebaik kamu, aku bener-bener minta maaf, ok?”

Junkyu membawa satu tangannya lagi untuk mengelus rambut Arin pelan, ia hanya ingin agar Arin tau bahwa ia benar-benar menyesali kesalahannya itu. Arin memilih menatap manik Junkyu yang saat ini sedang menatapnya pula, mencari kesungguhan atas apa yang kekasihnya itu tadi katakan.

Ia tahu, Junkyu benar-benar menyesal, dan jauh dari lubuk hatinya pun ia telah memaafkan Junkyu sebelum Junkyu datang ke rumahnya. Maka, ia pun memantapkan hati pada keputusan yang telah ia pilih untuk saat ini.

“Kyu?”

“Hm?”

“Aku mau tanya, boleh?”

“Boleh, tapi jangan matematika, aku gak bawa kalkulator.”

Mendengarnya, membuat Arin memukul bahu Junkyu pelan, “Ya enggak, ish.”

“Hehe yaudah iya mau nanya apa?”

“Kamu, beneran gak ada rasa sama Haruto?”

“Ya enggak lah, kamu kok nanyanya aneh gitu?”

“Serius?”

“Iya sayang, lagian aku udah ada kamu.”

Arin hanya menghela napas pelan, ia harus mendapatkan jawaban yang pasti.

“Kyu, kamu bisa jujur sama aku.”

“Soal apa? Aku selalu jujur sama kamu rin, sekarang aja aku ngaku kan?”

“Jujur ke aku soal perasaan kamu, please.”

Melihat Arin menatapnya memohon, membuat Junkyu bungkam. Sebenarnya ia masih meragukan perasaannya sendiri, dan mendapat pertanyaan macam ini, membuat ia kembali goyah.

“Rin—”

“Kamu suka kan sama Haruto? Aku bisa lihat itu kyu, itu jelas bahkan dari pandangan kamu ke dia aku bisa tau.”

“Gak gitu, rin—”

“Coba tanya ke diri kamu sendiri, jauh di dalam hati kamu itu perasaanmu buat siapa? Aku gaapa kyu kalo emang itu bukan aku, lebih baik kamu jujur daripada kita terus-terusan kayak gini.”

“Maaf, maafin aku rin..”

It's okay, aku cuma mau ini semua jelas. Kalau emang kamu suka Haruto, kejar kyu. Selama ini aku rasa kalian sama-sama saling suka, tapi kalian gak sadar itu dan lebih milih denial sama perasaan sendiri.”

Junkyu tidak bisa berkata apa-apa lagi, semua perkataan Arin yang ditujukan padanya membuat ia semakin sadar, bahwa keraguan perasaannya selama ini menyakiti kekasihnya itu. Ia pun mendekatkan dirinya pada Arin, menarik perempuan itu ke dalam pelukannya.

“Maafin aku rin, aku udah nyakitin kamu sebanyak ini tanpa aku tau..”

Arin yang berada dalam pelukan Junkyu itu menggeleng pelan, “Gaapa, dari awal aku sayang sama kamu itu gak berharap banyak buat kamu bales perasaanku juga. Jadi apa yang aku lakuin sekarang, itu karena aku mau kamu bahagia kyu, bukan karena terpaksa.”

Junkyu mengelus lembut rambut Arin yang ada dalam dekapannya. Tak pernah ia pikirkan, bisa bertemu dengan orang yang memiliki pemikiran sedewasa Arin. Ia benar-benar beruntung.

Junkyu melonggarkan pelukan antara mereka dan memilih untuk bertanya hal yang ia pikirkan sejak tadi, “Kita masih bisa temenan, kan?”

“Hmm iya, selama kamu bahagianya gitu, aku ngikut.”

“Aku bodoh ya, nyia-nyiain orang sebaik kamu..”

“Kyu?”

“Oke oke, kita temenan?”

Junkyu menyodorkan jari kelingkingnya, lalu menatap Arin. Melihat itu, Arin tersenyum kecil dan menautkan jari kelingking mereka.

Tak pernah Arin pikirkan, akhirnya ia memilih keputusan ini. Ia harap, ia tak melakukan kesalahan sama sekali. Junkyu yang tersenyum lebar dihadapannya ini, adalah kebahagiaannya juga, maka dari itu ia memilih mengorbankan perasaannya.

“Mau lanjut nonton?”

“Kamu mau ikut?”

“Boleh, tapi aku mau jus jeruk.”

“Idih gak modal kesini gak bawa oleh-oleh.”

“Iya iya nanti aku traktir es krim.”

Dan begitulah, hubungan antara mereka yang awalnya terikat kasih kini berubah menjadi pertemanan yang tak kalah eratnya.