Library


Katakan saja ia nekat, namun nyatanya kini Haruto telah berdiri di depan kelas IPA 1 hanya untuk mengintip ke dalam, apakah proses pembelajaran yang diberi Pak Adnan sudah selesai atau belum.

Kalau saja bukan karena suruhan Bu Lilis, Haruto mungkin lebih memilih kabur, melarikan diri terlebih dahulu menuju perpustakaan.

Hampir 15 menit berdiam diri di pojok dekat jendela, murid di dalamnya berhamburan keluar mencapai pintu, berebut siapa yang keluar lebih dahulu.

Kini keadaan kelas semakin lengang, membuat Haruto dapat dengan mudah menemukan sosok manis—yang sayangnya juga menakutkan—di matanya. Sosok itu kini mulai menyampirkan tasnya ke punggung, bersiap untuk pulang.

Begitu kedua kaki itu mencapai pintu, langkahnya terhenti tiba-tiba. Matanya menyorot tajam seorang lelaki yang kini menghalangi jalannya.

“Mau apa?”

Sorry, karena lo block gue, jadi gue harus nyamperin lo kesini.”

Si manis mengernyit tak suka, “Gak usah basa-basi. Lo mau apa?”

Haruto menghela nafas pelan, meredakan emosi yang tiba-tiba tersulut dalam hatinya.

“Bu Lilis minta kita gantiin anak kelas 10 buat olimpiade biologi, dan hari ini jadwal belajar mandiri di perpus.”

Sebelum benar-benar melangkahkan kakinya meninggalkan depan kelas IPA 1 dan pergi menuju perpustakaan terlebih dahulu, terdengar helaan nafas berat dari lelaki manis itu. Namun ia tak ambil pusing, dan memilih meninggalkannya.

***

Perpustakaan siang itu cukup sepi, jelas, karena ini sudah waktunya pulang sekolah. Hanya siswa-siswa ambisius saja yang betah berlama-lama mendekam di tempat ini.

Haruto mengambil tempat di bagian ujung kanan dekat jendela, tempat favoritnya untuk belajar karena langsung menghadap kebun sekolah. Tempatnya sedikit tertutup rak, sehingga orang yang baru masuk mungkin tak benar-benar melihatnya.

Mengeluarkan buku yang ada dalam tasnya, misi belajar mandirinya pun dimulai. Maniknya terfokus pada tulisan-tulisan rapi dihadapannya, menghiraukan murid-murid yang berlalu lalang di sekitar.

Hampir dua jam tenggelam dalam bukunya, Haruto memilih menegakkan badan, menggerakkan tubuhnya agar tidak pegal. Pandangannya kini mengedar mencari seseorang, apa mungkin Junkyu lebih memilih pulang daripada mempercayai informasi darinya?

Kaki jenjangnya perlahan melangkah mengelilingi lorong yang terbentuk oleh rak-rak buku yang ada. Hingga ia sampai pada bagian pojok kiri yang juga sedikit tertutup rak tinggi, membuat pencahayaan disini lebih minim dibanding tempatnya belajar tadi.

Entah mendapat dorongan dari mana, tubuh jangkungnya memilih mengambil tempat tepat di samping sosok manis tadi. Memperhatikan dengan jelas wajah damai seorang Junkyu yang kini tengah tertidur menindih bukunya.

Melipat kedua tangannya di atas meja, Haruto ikut mengistirahatkan kepalanya di atas lipatan tangan itu, menghadap Junkyu.

Wajah itu manis, sangat amat manis, apalagi dalam jarak pandang sedekat ini.

Bohong jika Haruto tidak tertarik, di luar kenyataan bahwa mereka adalah rival satu sama lain, Junkyu memang telah menarik perhatian Haruto sejak hari pertama masuk sekolah.

Mendapat kesempatan sedekat ini dengan Junkyu tentu suatu kebahagiaan untuknya, membuat ia tak ingin menyiakan setiap waktu yang ada.

Satu tangannya terangkat, mengelus surai depan Junkyu yang agak panjang menutupi keningnya. Jari-jari panjangnya menari lembut di atas pipi gembil itu, ah, rasanya ia sangat ingin mencubitnya gemas. Tapi ia urungkan, ia masih sayang nyawa.

Melihat Junkyu yang tak terganggu sama sekali, membuat keinginan Haruto makin tinggi. Dirinya semakin berani untuk membawa wajahnya lebih dekat, hingga kini mungkin nafas hangatnya terasa menerpa wajah Junkyu.

Ia akui, Junkyu itu indah, cantik, membuat Haruto semakin jatuh hati. Berada sedekat ini membuat jantungnya berdebar tak karuan, pikirannya berkecamuk membuat ia salah tingkah. Hingga ia memberanikan diri memajukan wajahnya lagi untuk mengecup lembut pipi milik si manis, ia tersenyum lebar.

Bahkan dalam tidurnya, Junkyu pun tersenyum. Seakan merespon segala tindak yang ia lakukan.