Palette


“Kyu, bangun yuk, udah sampai nih.”

Salah satu tangannya ia bawa mengusap surai lembut milik si manis perlahan, mencoba membangunkan kekasihnya yang telah terlelap beberapa menit yang lalu sebelum keduanya mencapai tempat tujuan.

Berkat tepukan kecil di pucuk kepalanya, si manis melenguh, mengerjapkan kedua maniknya lucu, mencoba menyesuaikan dengan sinar yang mengenai wajahnya.

“Wahhh!!”

Pekikan senang keluar dari bibir mungilnya, begitu melihat pemandangan hijau di luar sana yang selama ini sangat ia idam-idamkan. Haruto yang berada di sebelahnya tersenyum kecil, kemudian membantu si manis melepaskan seatbelt dan keduanya pun keluar bersamaan.

“Suka gak tempatnya?”

Junkyu mengangguk semangat, “Suka, suka banget ruto!”

Haruto mengulurkan sebelah tangannya untuk Junkyu genggam, yang disambut si manis dengan suka cita. Keduanya pun berjalan beriringan menuju bagian tempat yang paling cocok untuk menonton pertunjukan alam beberapa jam lagi.

Ya, keduanya kini berada di puncak bukit, dikelilingi pohon-pohon kehijauan yang memanjakan mata, pun udara yang sejuk untuk menenangkan pikiran. Sungguh memenuhi kriteria untuk menjadi tempat healing favorit Junkyu.

Haruto menggelar kain bermotif kotak-kotak di atas rerumputan kecil untuk tempat duduk keduanya, lalu mengeluarkan panganan manis kesukaan Junkyu untuk menemani waktu luang mereka.

Sembari mengambil roti manis yang diserahkan kekasihnya, Junkyu mulai bersuara, “Nemu tempat ini dimana?”

“Dulu papa pernah ajak kesini, terus karena bagus jadi aku suka. Kalo kamu suka juga, aku bakal sering-sering ajak kesini.”

Junkyu mengangguk riang mendengar ajakan itu.

Beberapa menit berlalu, keduanya masih betah menatap ke arah depan sana, memandangi langit bak kanvas putih raksasa yang samar-samar berhiasi warna jingga. Junkyu membawa tubuhnya menghadap Haruto, rasa penasarannya sudah tak bisa terbendung lagi,

“Tadi katanya mau ada yang dibicarain, apa?”

Haruto yang ditanya begitu, ikut memfokuskan dirinya pada si manis yang kini memandanginya lekat,

“Kamu udah sembuh kan?”

Sedikit terkejut, namun Junkyu sudah menyangka akan mendapat pertanyaan ini, “Iya udah, dari beberapa hari yang lalu.”

“Kenapa ngehindarin aku? Jangan ngelak, aku tau kamu pasti lagi kepikiran sesuatu, kan?”

Junkyu menghela nafas berat, memutuskan untuk berkata jujur saja kali ini, “Aku takut kamu ninggalin aku kalau tau aku udah sembuh. Aku takut kamu nemu orang yang lebih dari aku, aku gak rela.”

Haruto mengernyit heran mendengar jawaban itu, ah, ternyata ini bersumber dari ia yang tidak memberi penjelasan pada Junkyu secara gamblang mengenai perasaannya.

“Sayang denger ya,” Haruto membawa kedua tangan mungil Junkyu untuk ia genggam, “I love you so much and i mean it, aku bakal selalu ada di samping kamu, entah kamu belum sembuh atau sebaliknya, aku mau jadi orang yang bisa jaga dan lindungin kamu, yang bisa jadi tempat buat kamu bersandar, yang bisa ngertiin kamu.”

Kedua manik jernihnya nampak berkaca-kaca, membuat Haruto segera menghapus begitu satu bulir bening jatuh membasahi pipi tembam si manis.

“Jangan nangis lagi, aku janji buat selalu kasih kamu kebahagiaan setelah ini, kamu percaya kan sama aku?”

Junkyu percaya, sangat mempercayai lelaki di hadapannya ini, jika ingin jujur, perasaan cintanya yang sangat besar itulah yang membuat Junkyu takut kehilangan, begitu juga dengan Haruto.

Junkyu mengangguk mantap, kemudian melingkarkan kedua tangannya di sekeliling leher Haruto, seraya menarik kekasihnya itu ke dalam pelukan hangat. Kini ia menjadi jauh lebih tenang setelah mendengar pengakuan dari kekasihnya tadi. Seakan sebuah batu besar terangkat begitu saja dari rongga hatinya.

Haruto membalas dengan tepukan lembut di punggung si manis, mengelus surai lembutnya bergantian.

“Kyu, kamu tau, kamu itu punya banyak warna dalam diri kamu, jadi kamu harus percaya diri. You're beautiful just the way you are. Hari-hari yang kita jalani selanjutnya itu seperti kanvas putih, aku yakin kamu bisa buat kanvas putih itu jadi penuh warna. Dan disini, aku mau jadi sebuah palet yang akan bantu kamu warnain kanvas itu.”

“Kamu masih inget cerita ku ya?”

Haruto mengangguk kecil, “Kamu tau, anak kecil yang kamu ceritain itu sebenernya aku.”

Kedua manik si manis membola, tak percaya dengan apa yang dikatakan lelaki di hadapannya itu.

“Kamu dulu pernah ikut les melukis. Bareng anak kecil cowok, itu aku. Kamu bilang, palet kayu yang aku bawa bagus, kamu mau. Tapi aku cuma punya satu, jadi kamu nangis. Akhirnya aku traktir kamu es krim biar gak nangis lagi.”

Pipi chubby itu merona, malu mengingat kejadian masa kecilnya. Membuat ia merunduk, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Haruto yang melihatnya terkekeh pelan, pun menarik kedua telapak tangan yang menutupi wajah cantik kekasihnya itu.

“Ciee pipinya pink, manis banget sih, pacarku.”

“Diemmmm ih!”

Lagi-lagi pipinya merona akibat godaan yang keluar dari bibir Haruto. Membuat Haruto kembali mendapat ide untuk menjaili kekasihnya itu.

“Sayang, aku mau buktiin kalo aku bisa jadi palet nih sekarang.”

Junkyu yang penasaran, memiringkan sedikit kepalanya, mengajukan pertanyaan, “Emang gimana caranya?”

Menyadari tatapan Haruto yang semakin dalam menatap fokus pada maniknya membuat si manis salah tingkah, pun saat ia menyadari kedua pipinya telah ditangkup oleh tangan besar milik kekasihnya itu, memperpendek jarak diantara mereka,

“Gini caranya..”

Haruto mengecup puncak kepala Junkyu perlahan, diikuti kecupan lembut di dahinya, pucuk hidung mungilnya, kedua pipi chubbynya yang kini semakin memerah, dan diakhiri dengan kecupan lembut di bibir pink manis milik Junkyu.

Rasa sayang dan cintanya tersalurkan dalam kecupan itu, perlahan, lembut, membuat si manis nyaman memejamkan matanya.

Berlatarkan kanvas raksasa diatas sana yang kini telah hampir penuh oleh warna jingga pekat, kehangatan yang tersampaikan pun memenuhi hati keduanya. Menjadi memori indah sebagai awal mula jalinan antara dua insan yang telah dimabuk asmara.

“Lihat, pipi kamu udah aku kasih warna merah. Sekarang, mau lanjut gak?” Jari Haruto mengelus leher jenjang si manis perlahan, “Aku bisa kasih warna disini juga.”

Pertanyaan itu dibalas pukulan kecil bertubi-tubi dari si manis.

“RUTO BISA DIEM AJA GAKK?!”

—fin.