Palette


Ia mengerjapkan matanya pelan. Hal yang pertama kali menyapa indranya adalah hamparan ilalang yang mungkin setinggi pinggang. Hening, bahkan tak ada seorang pun yang ada disana. Ia seorang diri.

Berusaha menembus hamparan ilalang itu, ia berjalan tak tentu arah. Kepalanya menengok ke kiri kanan, berharap dapat bertemu dengan satu orang saja, ia tak suka suasana sepi yang asing ini.

Dan tanpa terasa ia telah berjalan cukup jauh, kini dihadapannya mengalir anak sungai kecil dengan aliran air yang jernih. Bahkan pantulan wajah manisnya terlihat jelas disana.

Mencoba mendekat, pandangannya menangkap sosok anak laki-laki yang tak asing. Dan begitu ia memilih menghampirinya, ia terkejut, anak itu adalah anak laki-laki yang sama yang pernah ia temui sebelumnya.

“Hai, kita bertemu lagi.”

Anak kecil itu menoleh, kemudian tersenyum kecil.

“Ya, dan kakak masih sama cantiknya seperti terakhir kali kita bertemu.”

Ah, anak laki-laki itu sepertinya bermulut manis.

“Apa yang kau lakukan disini?”

“Menunggumu.”

Jawaban itu membuat Junkyu mengernyit, “Menungguku? Kenapa?”

Alih-alih menjawab, anak lelaki itu melempar pertanyaan lain, “Apakah penglihatanmu sudah membaik? Kau sudah bisa melihat warna lain?”

Menghela nafas berat, Junkyu menjawab tak semangat, “Belum. Bahkan kini orang yang bisa membantuku sembuh pergi meninggalkanku.”

“Kau sedih?”

“Tentu, siapa yang tak sedih jika ditinggalkan?”

“Kau menyukainya?”

Pertanyaan yang mengejutkan, membuat Junkyu tak bisa berkata apa-apa.

Sembari menatap aliran air di hadapannya, anak laki-laki itu bergumam, “Kau tau, kau harus segera berdamai dengan masa lalu. Dengan begitu, kau bisa kembali seperti semula.”

“Tapi dulu kau mengatakan bahwa ada orang yang bisa membantuku, dan aku sudah menemuinya.”

“Kau tau kan bahwa kita tak bisa berharap banyak pada manusia? Lelaki itu hadir untuk membantumu sembuh, begitulah yang tertanam dalam pikiranmu sehingga saat bersamanya kau bisa melihat warna lain. Tapi selanjutnya, adalah tanggung jawabmu untuk dapat kembali seperti semula. Baik ada atau tidak adanya ia.”

Penuturan anak laki-laki itu membuat ia tertegun. Bagaimana bisa anak itu tau?

“—Kau tentu tak lupa, ia termasuk bagian dari masa lalumu. Jika kau bisa sepenuhnya berdamai dengan masa lalu itu, maka tanpanya pun kau bisa melihat warna lain.”

Kini Junkyu sadar, apa yang sebenarnya ia perlukan. Bukanlah salah Haruto yang kini pergi itu yang menjadi hambatan ia untuk sembuh, melainkan ia yang masih terjebak dalam sakit di masa lalu itulah sumber masalahnya.

Junkyu mencoba menarik nafas menenangkan diri, menginstruksikan dirinya untuk pelan-pelan berdamai dengan masa lalunya.

Ah, ini tak sesulit yang ia bayangkan.

Maniknya yang sempat terpejam kini terbuka, dan baru ia sadari bahwa anak laki-laki itu telah berada dekat di sebelah kirinya.

“Kak, aku mau kasih kenang-kenangan sebelum kakak kembali.”

Meskipun bingung maksud perkataannya itu, Junkyu tetap menjawab antusias, “Oh ya? Apa?”

“Janji jangan marah?”

Aneh, tapi tetap ia iyakan, “Iya janji. Sekarang apa kenang-kenangannya?”

“Kakak tutup mata dulu.”

Tanpa penolakan, Junkyu segera menutup matanya.

Beberapa menit, tak ada perubahan. Namun saat ia tak sabaran dan ingin membuka matanya, sepasang bibir mungil menempel pada bibir tipisnya. Lembut, manis, bak permen kapas.

Tak ada pergerakan, hanya menempel begitu saja. Membuat Junkyu penasaran, dan memilih untuk melihat seorang yang kini mengecup bibirnya itu.

Bukan, bukan anak kecil tadi. Namun, kini yang tertangkap pandangannya adalah Haruto, lelaki yang meninggalkannya tanpa kabar setelah sebelumnya berjanji untuk membantunya sembuh.

Tak ada rasa marah, dendam, ataupun benci. Junkyu sepertinya benar-benar memilih untuk berdamai, sehingga kini ia hanya diam menikmati kecupan yang ia dapatkan. Di tengah kegiatan keduanya, lelaki dihadapannya itu berucap lembut,

“Lo pasti sembuh, kyu.”

Dan semuanya gelap.