Palette


tw // mention of death , blood , toxic relationship

.

Keheningan di salah satu lorong rumah sakit itu terasa begitu nenyesakkan. Seorang lelaki manis yang baru saja sadar beberapa jam yang lalu, masih lengkap dengan perban yang melingkari kepalanya, duduk seorang diri di atas sebuah kursi roda tak jauh dari taman milik rumah sakit.

Baru saja ia dihadapkan dengan sebuah fakta, yang bahkan tak pernah ia pikirkan akan ia alami dalam hidupnya. Kehilangan seseorang yang ia sayangi terlebih tepat di depan mata, benar-benar menjadi bayangan buruk yang terus menghantuinya.

Semua ini berawal dari pertengkaran antara keduanya, yang sesungguhnya sudah biasa terjadi, namun entah mengapa hari itu emosi keduanya tak bisa diredamkan. Tak ada sama sekali yang mau menurunkan egonya.

Mobil yang dikendarai lelaki yang merupakan kekasihnya itu melaju cepat, begitu pula perselisihan keduanya belum juga mereda, bahkan semakin memuncak.

“Udah aku bilang aku gak selingkuh, ben. Kamu ngerti gak sih?”

“Gak selingkuh tapi kamu mau aja dipeluk dia, itu aja udah ke gap aku, coba kalo gak ketauan? Kamu mau aja dicium sama orang itu kan?”

”...”

“Kamu diem karena gabisa jawab kan? Aku bener, iya? Gimana aku bisa percaya sama kamu kalo kayak gini hah??”

“Kamu itu terlalu posesif, kamu batesin aku ini itu, aku gak suka ben, bahkan mama papaku gapernah kayak gini!”

“Oh sekarang kamu bandingin aku sama ortumu? Siapa yang selama ini selalu jagain kamu? Itu aku kyu, ortu kamu itu gak peduli sama anaknya, dan saat itu ada aku, aku yang terus ada di samping kamu, dan gini balasan kamu? Aku cuma minta kamu setia sama aku, ngerti nggak?”

“Berhenti! Berhentiin mobilnya, turunin aku disini!”

“Nggak!”

“Ben, kamu mau mati?!”

“Biarin, kenapa gak kita berdua aja yang mati kalo gitu?”

“Ben please, sadar!”

”...”

“B-ben a-aku takut..”

”...”

Brakk

Sejenak pandangannya menggelap, mobil yang mereka kendarai terguling akibat menghantam mobil lain yang saat itu juga melaju kencang dari arah berlawanan.

Tangannya mencoba menyeka darah yang mengalir di pelipisnya, kepalanya pusing, pun penglihatannya tampak semakin kabur. Ia mencoba melihat keadaan lelaki di sampingnya, tak jauh berbeda, wajah tampan kekasih yang ia selalu puja itu pun kini tertutupi darah hampir seluruhnya akibat benturan yang sangat keras.

Tepat sebelum ia kehilangan kesadarannya, samar-sama ia mendengar kekasihnya berucap lirih,

I love you, kyu.”

***

Lagi-lagi ia menarik nafas berat, mengingat semua itu membuat kepalanya berdenyut nyeri. Belum lagi kaki dan tangannya yang juga terbalut perban akibat luka yang lumayan parah. Hari ini betul-betul hari yang berat baginya.

Jika ditanya, apakah ia membenci kekasihnya, maka jawaban Junkyu saat itu adalah tidak. Besar cintanya bahkan masih bisa mengalahkan seluruh sakit dan luka yang selalu Ben buat padanya. Terlebih dengan keadaan sekarang, Junkyu semakin menyalahkan diri sendiri. Dalam kepalanya terus berputar skenario lain, bagaimana jika ia memilih mengalah, lagi, apakah ia dan kekasihnya itu akan baik-baik saja? Apakah ia masih bisa memperbaiki semuanya?

Tanpa sadar pipinya mulai basah, ia terisak seorang diri. Tak hanya fakta bahwa kekasihnya itu telah meninggalkannya saja yang harus ia tanggung, kini ia kembali teringat perkataan dokter yang menanganinya tadi.

Benturan, gangguan penglihatan, permanen, tak bisa sembuh seperti semula.

Kata-kata itu semakin memenuhi kepalanya, menambah sesak, seakaan mimpi buruk yang tak berkesudahan. Dalam malam yang sunyi itu, isakannya semakin pilu, hingga mungkin yang mendengarnya pun dapat ikut merasakan.

Hingga samar ia mendengar langkah seorang mendekat ke arahnya, pun diikuti dengan tepukan pelan pada bahunya yang ringkih, dapat ia lihat sahabatnya, Jihoon, yang dengan raut wajah khawatir dan nafas terengah akibat berlari itu berada tepat di hadapannya.

“Kyu..”

Dan semuanya kembali gelap.