Rencana Akhir


berbekalkan nasi goreng yang telah dipaket sedemikian rupa dan tak lupa membawa kamera polaroid yang selama lebih dari satu minggu berada padanya, junkyu bergegas menuju aula lantai 1 tempat haruto latihan saat ini.

hatinya berdegup cukup kencang, bukan, bukan karena berlari, hanya saja semua rencananya tiba-tiba membuat ia takut; takut jika rencananya tidak berhasil, takut jika rencananya tak sesuai harapan.

pintu aula kini sudah ada dihadapannya, sebelum menekan knop berwarna perak itu, ia menarik napasnya dalam-dalam. meyakinkan kembali hatinya, jika apa yang akan ia lakukan setelah ini adalah pilihan terbaik.

jika boleh jujur, sejak kemarin malam hal ini terus berputar di kepalanya. memenuhi pikiran, membuat junkyu sulit tidur. ia tak mengerti perasaannya sendiri, ada setitik rasa tak rela yang timbul saat memikirkan jika setelah ini ia tak mendapat perhatian dan kasih sayang itu lagi.

dan meskipun itu junkyu sadari, ia memilih untuk mengabaikannya. ia telah bertekat tak goyah, dan ikut lepas dari pengaruh kamera aneh itu.

begitu masuk, udara segar nan dingin menerpa wajahnya. jarang sekali ia ke tempat ini, terlebih tak memiliki keperluan. mungkin lain kali ia akan meminta sunghoon menemaninya ke aula lagi.

dari jarak cukup jauh lambaian tangan itu menyapanya, sosok yang tampan, ah, bahkan sangat tampan jika harus ia akui. senyumnya amat lebar, junkyu sampai bingung harus berekspresi apa untuk membalasnya. membuat senyum yang tersemat di bibirnya kini menjadi canggung.

sosok tampan itu berlari menghampirinya, “cepet banget, kamu beneran lari ya?”

ditatap begitu intens, membuat junkyu salah tingkah, “enggak, kan lo bilang tadi jangan lari.”

“nurut banget sih.”

satu tangan haruto terangkat mengusak surai coklat milik junkyu, membuat semburat merah muda malu-malu timbul di kedua pipinya.

“ish jangan berantakin rambut gue, haru!”

“ahaha sorry sorry, yuk duduk di sana.”

kini keduanya duduk di bangku bagian pojok aula. haruto mengambil posisi duduk di samping kanan junkyu, tanpa aba-aba menyandarkan kepalanya pada bahu lebar milik si manis.

junkyu memilih untuk tak menolak semua itu, entah, padahal dalam otaknya telah terserukan untuk mendorong kepala itu menjauh, namun hatinya berkata lain. tak bohong, ia menikmati setiap perlakuan lembut dari pacarnya itu.

“latihannya udah selese?”

“belum, tadi bu lilis bilang boleh istirahat makan.”

satu tangan junkyu kini sibuk mencari kotak bekal yang ia bawa sejak tadi dalam totebagnya.

“nih makanan buat lo.”

kotak bekal berwarna biru muda itu berpindah tangan pada haruto, membuat si penerima tersenyum lebar, “kamu yang buat?”

anggukan junkyu menjadi jawaban atas pertanyaan itu. wajah haruto kini bahkan jauh lebih bahagia dibanding sebelumnya.

“itu gak pedes kok, cabenya dikit. itu dimakan sayurnya biar sehat. telurnya agak setengah mateng, udah sesuai selera lo juga.”

karena sedari tadi ia menjelaskan tanpa menghadap wajah haruto, begitu tak mendapat jawaban membuat junkyu bingung. ia pun memutuskan untuk menoleh ke kanan, namun nampaknya itu pilihan yang salah. atau mungkin tidak?

cup

“makasih sayang!”

kecupan cepat itu mendarat di sudut kanan bibirnya, mampu membuat junkyu mematung. sedang ia mengumpulkan kesadaran, si pelaku kecupan itu kini telah disibukkan dengan kotak bekal yang berada di genggaman.

harusnya, junkyu memukul orang di sampingnya itu atas perlakuan tiba-tiba tadi. namun ia tak sanggup, tubuhnya tak bereaksi sesuai pikiran. yang ia dapati ialah wajahnya yang memerah sempurna, bahkan hingga telinganya. malu, namun lebih banyak senangnya. dalam kepalanya terpikirkan, ah, ternyata seperti ini rasanya pacaran.

junkyu memilih memalingkan wajah guna meredakan euforia yang tiba-tiba menguasai dirinya. pandangannya kini menangkap bu lilis yang sibuk dengan berkas di bagian pojok aula seberang tempatnya duduk.

hingga tak ia sadari, haruto sedari tadi memanggil namanya.

“sayang! junkyu!”

“e-eh iya? oh udah selese?”

haruto mengangguk dan menyerahkan kotak bekal yang telah kosong itu, “aku kesana dulu ya, biar cepet juga selesai latihannya, biar bisa langsung pulang sama kamu.”

“iya, sana gih ditunggu bu lilis tuh.”

haruto melambaikan tangannya setelah sempat mencubit kecil pipi gembil junkyu, membuat si empu terkaget untuk kesekian kalinya, namun tak marah.

“gue kenapa sih..”

.

.

menit-menit itu telah berganti jam. jika dihitung, hampir dua jam lamanya junkyu telah berdiam diri di tempatnya tadi. harusnya kini ia telah bergelung di bawah selimut tebal di atas kasurnya yang empuk. namun tak apa, hanya untuk hari ini saja, ia tak apa merelakan waktunya demi bebas dari si kamera aneh. ah, dan juga haruto.

dari kejauhan, nampak lelaki yang ditunggunya sedang merapikan kamera, pun dengan peralatan lain yang dibawa karena waktu latihannya telah habis.

junkyu pun sama, ikut menyiapkan diri, dengan kamera polaroid yang ia genggam erat di tangan kanan, bibirnya bergumam seakan merapalkan doa agar rencananya berjalan lancar.

langkah haruto yang terdengar bergema dari tengah aula yang mulai lebih lengang, menambah ribut debaran jantung si manis. berulang kali ia menarik-hembuskan napas agar lebih tenang.

dan kini adalah waktunya,

sebentar lagi ia akan bebas, ini semua akan selesai,

fyuhh,

sedikit lagi, tinggal beberapa waktu lagi,

ckrek

lensa kamera itu menangkap objeknya, sebuah kursi kayu yang berada tak jauh dari haruto.

haruto melihatnya, melihat aksinya, memperhatikan kamera yang ia bawa. kini pandangan itu seketika berbeda, tak ada binar penuh kasih sayang seperti yang lalu. kedua manik itu menyorot dirinya tajam, pun melemparkan pertanyaan yang ia tak tau harus menjawab apa,

“lo?? kenapa kamera gue ada di lo, junkyu?”

junkyu, bukan lagi sayang.

benar, sekarang semuanya sudah selesai.