Support System


kakinya berayun teratur, kadang sedikit terantuk kursi kayu yang ia duduki, namun tak menghentikan kegiatannya. beberapa kali pula ujung sepatunya mengetuk lantai keramik yang dingin, menimbulkan alunan nada yang mampu menenangkan pikiran.

lima belas menit, ia datang sengaja lebih cepat. mengambil posisi paling pojok depan, kini pandangannya lurus ke depan menangkap banyaknya orang berlalu lalang yang tampak makin bertambah volumenya.

tadi pagi sebelum sampai ke lokasi perlombaan ini, ia menyempatkan diri mengecek ponselnya. nihil. tidak ada pesan masuk, tidak ada semangat yang ditujukan personal padanya.

helaan napasnya terdengar lebih berat, jika boleh jujur, kini ia merasa sangat gugup. jejeran piala yang berjarak kurang lebih tiga meter di serong kanannya itu seakan mencemoohnya.

tempo lalu, saat ini ia pasti tengah asik mengarahkan kamera polaroidnya membidik jejeran benda berlapis kaca itu. ia akan mengikuti lomba dengan santai, mengerahkan hanya sepertiga dari kemampuannya, dan voilà, piala kemenangan itu menjadi miliknya.

namun berbeda jauh dengan kondisi hari ini. detak jantungnya dapat ia dengar akibat bertalu cukup keras. wajar saja, ini kali pertama ia berlomba dengan jujur.

manik tajamnya memilih untuk memejam sekejap, mencoba mengumpulkan ketenangan yang telah berhamburan tak tentu arah. ia sedang mencari cara lain; menarik napas perlahan, menahan, kemudian menghembuskannya pelan. begitu terus berulang-ulang.

hingga saat ia memilih mengakhiri aktivitasnya itu, maniknya menangkap bayangan dua orang yang sesungguhnya ia hindari hari ini. kedua orang itu, keduanya laki-laki, sedang bercengkrama dengan riang. satunya memasang senyum lebar yang manis, satunya lagi memasang wajah kalem yang menenangkan.

ia iri, jujur saja. ia ingin merasakan itu semua. merasakan bagaimana ditemani, disemangati, diberikan kata penenang, pun didoakan agar menang.

namun sepertinya ia harus mengubur keinginan itu dalam-dalam. percuma, hal itu tak mungkin menjadi kejadian dalam sekejap mata.

sesungguhnya ia hanya tak tahu, bahwa kerja takdir itu tak bisa diprediksi sama sekali.

saat ia ingin menuju kamar kecil, jari-jemari halus melingkari pergelangan tangan kirinya. membuat ia menoleh, dan mendapati seorang lelaki yang sejak tadi memenuhi pikirannya kini berdiri di hadapannya. dan tak lupa, senyum yang sama lebar itu terpasang apik, seperti saat tadi ia perhatikan.

“mau kemana?”

“bukan urusan lo, junkyu.”

lelaki bernama junkyu itu mengerutkan kening bingung, “lomba bakal dimulai setengah jam lagi, kalo lo lupa.”

haruto, lelaki dengan langkah tertahan itu memasang raut wajah kecut, “makanya sekarang jangan tahan gue, gue cuma mau ke kamar kecil doang, gak kabur.”

senyum junkyu kini makin lebar, gigi rapinya terlihat akibat ia terkekeh kecil, malu dengan yang barusan ia lakukan.

“oke sorry sorry. dah sana, gue tungguin di depan sini.”

begitu genggaman pada pergelangan tangannya terlepas, haruto langsung menuju kamar kecil tanpa menoleh lagi pada lelaki manis yang sempat menahannya. pikirnya, begitu ia keluar nanti lelaki itu pasti sudah pergi, meninggalkan ia dan harapannya yang telah timbul kecil-kecil dalam hati.

namun sayang, lelaki manis itu ternyata tepat janji tak sesuai dalam pikirannya.

“kok cepet?”

“gue gak mesti jawab pertanyaan konyol lo ini kan?”

junkyu kembali menampilkan gigi rapinya, sepertinya lelaki itu tidak lelah sama sekali tersenyum lebar sejak kedatangannya tadi.

pergelangan tangan kirinya kembali ditarik, membuat keduanya kini berjalan beriringan.

“lo udah makan belum?”

“udah.”

“doanya udah?”

“udah.”

“kamera lo, perlengkapan lainnya, udah lengkap kan?”

“udah, junkyu.”

“kalo yakin menang nanti, udah belum?”

”...”

junkyu menghentikan langkahnya, menoleh ke samping kanan guna menatap wajah haruto yang kini menunduk menatap lantai.

“haru?”

“hm?”

hanya dehaman singkat yang ia dapatkan, haruto masih asik memandangi lantai keramik di bawahnya, ah, ingatkan junkyu agar tidak cemburu dengan keramik itu karena kalah menarik di mata haruto.

jari-jari lentiknya yang semula menggenggam ringan pergelangan tangan kokoh itu, kini mengeratkan tautan jarinya, menarik haruto ke balik bilah tembok yang cukup tersembunyi dari lokasi utama lomba berlangsung.

“lo ngapain sih narik gue kesini?”

“mau gue kasih semangat gak?”

“hah?”

kesal melihat lelaki tampan di hadapannya yang tak memberikan reaksi sesuai harapan, membuat junkyu tiba-tiba memajukan wajahnya,

cup

kecupan cepat itu mendarat mulus pada salah satu pipi tirus milik haruto, membuat lelaki itu membulatkan matanya kaget.

“b-barusan, lo ngapain?”

sial, kenapa disaat seperti ini ia kembali gugup dan tak tau harus berbuat apa?

menyadari kegugupan haruto, yang nampak menggemaskan di matanya, membuat junkyu terkekeh kecil.

“sekarang udah semangat belum? udah yakin menang belum?”

haruto kembali menutup mulutnya rapat, nampaknya kini tengah terjadi perang sengit antara pikiran dan hati kecilnya.

melihat itu, junkyu mencoba menggoyangkan lengan yang masih berada di lingkaran jari-jarinya, mengumpulkan kesadaran milik lelaki di hadapannya ini.

“haru?”

manik tajam itu mengerjap beberapa kali, kini sedikit menunduk, menatap lekat manik indah milik si manis yang akhir-akhir ini selalu membayangi pikirannya,

“kyu, sekarang gue janji bakal menangin lomba ini. buat gue, buat lo, buat kita. tapi sebelum itu, apa gue boleh minta sesuatu?”

junkyu mengangguk mengiyakan, balas menatap lekat manik milik haruto yang seakan menariknya masuk, tenggelam dalam pesona tak terbatas milik lelaki tampan itu,

can i kiss your lips?”

dan yang tak ia sangka, lelaki manis itu menyanggupi permintaannya.