That Jacket

.

.

.

.

Sungguh, cuaca sore itu sangat mendukung perasaan Junkyu yang sedang bersedih karena apa yang baru saja ia alami. Ia tak habis pikir, begitu tragis kisah cinta yang ia elu-elukan selama ini. Belum lagi, ini adalah cinta pertamanya.

Pikirannya kini hanya terfokus pada kasur empuk di kamarnya, ingin segera merebahkan diri dan menumpahkan segala sesak yang ia tahan sedari tadi. Namun mau bagaimana, hujan yang saat itu mengguyur sekitaran toko buku yang ia kunjungi terlihat semakin deras.

Memberanikan diri untuk menuju teras toko itu, satu telapak tangannya ia bawa untuk menampung tetesan air hujan yang terasa begitu dingin. Sampai dingin itu menjalar ke tubuhnya, ia baru sadar bahwa sore itu ia hanya memakai kaos tipis tanpa jaket ataupun sweater. Sungguh bodoh, batinnya.

Tak mau berlama-lama menanggung dingin, Junkyu sudah bersiap untuk segera menerobos hujan guna mencapai halte yang ada di ujung jalan. Pikirnya tak apa basah sedikit, yang terpenting adalah lebih cepat sampai di rumah.

Namun langkahnya yang sudah siap itu terhenti begitu sebuah tangan yang terasa hangat menggenggam pergelangan tangan kirinya.

“Kalo lo nerobos sekarang, nanti lo bisa sakit.”

Junkyu memperhatikan orang yang kini berada disampingnya. Tangan orang itu masih setia berada di pergelangan tangannya, bahkan mengusap tangannya beberapa kali.

Harusnya ia menghempaskan tangan orang asing yang telah lancang mengusap tangannya itu, namun entah apa yang ia pikirkan, ia malah merasakan kenyamanan yang menjalar menghangatkan hatinya.

“Tangan lo aja udah sedingin ini, gak bawa jaket ya?”

Junkyu hanya mampu menggelengkan kepala sebagai respon. Hingga laki-laki di hadapannya itu tersenyum kecil, barulah ia tersadar sudah menatap wajah tampan itu terlalu lama. Ia pun berdeham mengusir kecanggungan.

“Mau ke halte yang di ujung jalan kan? Bareng gue aja yuk, tapi gue gak bawa payung sih. Pakai jaket gue aja, lumayan gede kok buat lindungin kita berdua. Mau gak?”

Lagi-lagi, seakan tersihir oleh suara berat yang mengalun dekat dengan telinganya itu, Junkyu hanya mengangguk menyetujui ajakan si laki-laki asing.

Laki-laki itu segera membentangkan jaketnya, membawanya ke atas kepala mereka berdua. Ternyata benar, jaket itu bahkan cukup untuk dua orang dewasa.

Sebelum berjalan, laki-laki itu menawarkan bantuan sekali lagi,

“Gue tau lo kedinginan, nanti jalannya agak rapet ke gue ya, biar lo gak basah kena hujan.”

“Oke.”

Walaupun terasa agak aneh saat ia merapatkan badannya pada si laki-laki asing, namun Junkyu tetap melakukannya. Bahkan, kedua tangannya kini telah melingkar manis di pinggang si tampan. Awalnya laki-laki itu tekejut oleh tingkah Junkyu, namun berakhir dengan senyum lebar yang menghiasi wajah tampannya.

Selama perjalanan ke halte, tak ada yang memulai pembicaraan. Mereka sibuk menghindari kubangan air, dan menghangatkan diri masing-masing di tengah pelukan tiba-tiba itu. Hingga halte yang mereka tuju sudah di hadapan mata, mereka pun memilih berteduh bersama.

“Sebentar lagi, busnya pasti sampai. Ini jaket bagian dalemnya gak basah kok, lo pakai aja ya? Biar gak kedinginan.”

“Terus lo gimana?”

“Gue gaapa, bentar lagi temen gue jemput kesini.”

Dan betul saja, beberapa menit kemudian bus tujuan Junkyu telah tiba di halte tersebut. Sebelum masuk dan membawa jaket yang tak sepenuhnya basah itu, Junkyu memberanikan dirinya untuk bertanya,

“Kita belum kenalan, gue Junkyu, lo?”

“Haruto. Nama lo cantik ya, sama kayak orangnya.”

Bahkan di saat seperti ini, pipi Junkyu masih bisa merona karena perkataan manis laki-laki bernama Haruto itu.

“Ini jaket lo, gimana balikinnya?”

Sembari mendorong pelan bahu Junkyu agar segera memasuki bus, Haruto menjawab dengan senyum lebarnya,

“Bawa aja, siapa tau kita bisa ketemu lagi lain kali?”