Your Last Page


tags : fluff, little bit angst

.

kaki-kaki jenjangnya melangkah menuju salah satu bangku yang ada di bagian pinggir alun-alun. jarum jam tangannya masih menunjuk angka setengah tujuh. bukan, bukan karena ia terlalu bersemangat. hanya saja, ia tipe orang yang disiplin dan tepat waktu.

ia sedikit merapikan pakaian yang dikenakan akibat angin yang berhembus lumayan kencang tadi. omong-omong, pilihan akhirnya jatuh pada sweater berwarna biru tua, memilih warna aman namun tak terlalu gelap untuk malam hari ini.

lelaki itu bersenandung pelan setelah sempat mengirimkan pesan pada seorang yang akan menemani malam akhir tahunnya. kalau ia pikir ulang, ini termasuk tindakan nekat. jujur, ia tak punya banyak teman, itu pun bisa dihitung dengan jari satu telapak tangan.

menyetujui saran jihoon memang salah satu hal di luar nalarnya, namun ia pikir tak ada salahnya. toh, ia sudah sejauh ini untuk mengurungkan niat semula.

dari kejauhan nampak seorang lelaki jangkung berlari kecil. dengan kemeja flanel sebagai luaran kaus putih yang melekat pas di tubuhnya, bawahan jeans hitam, itu merupakan perpaduan yang luar biasa. lelaki itu sungguh tampan, bahkan dari jarak yang jauh.

namun sepersekian detik sebuah kenangan berputar dalam otaknya. kepalanya sedikit pusing, efek apa ini?

semakin lelaki itu mendekat, pusing yang menderanya semakin menjadi. sekuat tenaga ia mencoba menjaga keseimbangan, memperhatikan dengan baik seorang yang kini menghampirinya.

tunggu, bukankah itu travis?

tapi siapa travis? kenapa tiba-tiba dalam kepalanya terpikirkan nama itu?

***

“ini diminum dulu. siapa tau bisa lebih enakan.”

sekaleng cincau hitam itu kemudian berpindah tangan, permukaannya yang dingin membuat minuman itu tampak makin menggiurkan.

tadi, junkyu benar-benar hampir terjatuh. namun refleks yang dimiliki lelaki di sampingnya memang patut diacungi dua jempol. rerumputan di bawah sana tak jadi menerima bobot tubuhnya.

keduanya duduk bersisian, satunya masih asik dengan kaleng minuman di tangan, satunya lagi memilih memperhatikan orang lalu lalang. semakin petang, alun-alun tampak semakin ramai.

menyadari isi kalengnya telah tandas, junkyu menolehkan kepalanya ke samping kiri pada lawan bicaranya,

“kita belum kenalan langsung, gue junkyu,” ucapnya sembari mengulurkan tangan.

uluran tangan itu disambut dengan baik oleh lelaki satunya, “gue haruto.”

jabatan itu terlepas otomatis, kemudian hening kembali. keduanya nampak berlomba mencari topik yang cocok, namun masih terputar dalam kepala masing-masing.

sorry kalau gue lancang nanya, tapi apa lo kenal travis?”

sekejap, haruto sempat membulatkan matanya terkejut. pertanyaan itu bahkan tak sempat terpikirkan akan tertuju padanya. namun raut wajahnya kembali seperti biasa.

“nggak, kenapa?”

“entah, tiba-tiba gue kepikiran nama itu. sorry ya.”

“gak apa, santai aja sama gue.”

percakapan keduanya terjeda, dimana kini pandangan junkyu fokus pada stand arum manis yang berada tak jauh dari tempat keduanya. haruto yang menyadari itu kemudian berdiri, berpamitan seadanya.

tak sampai lima menit, lelaki itu telah berdiri di hadapan junkyu, menyodorkan satu bungkus arum manis berwarna biru.

“nih, siapa tau bikin mood lo jadi lebih baik.”

mendapat makanan gratis tentu membuat junkyu sumringah, senyum lebar kini terpasang pada wajah manisnya. namun lain daripada itu, jantungnya kini berdetak ribut, tak siap diperlakukan semanis ini oleh orang yang bahkan baru satu jam lalu ia lihat wujud nyatanya.

keduanya kembali duduk di bangku yang sama, dengan junkyu yang asik memakan arum manisnya, dan haruto yang kini lebih memilih memfokuskan diri pada lelaki manis di sampingnya.

“mau?”

haruto menggelengkan kepala, mempersilahkan junkyu melanjutkan kegiatan makannya itu.

“kenapa lo jadi dateng kesini? kayaknya lo tadi masih ragu-ragu,” tanyanya menyuarakan apa yang ada dalam pikirannya.

junkyu menoleh sebentar, lalu kembali menghadap ke depan,

“gue juga mau ngabisin akhir tahun di luar. jajan sesuka gue, ketemu orang lain, buat mood gue jadi baik. harusnya gue bisa pergi sama temen, tapi temen gue lebih milih pergi bareng pacarnya, huh!”

melihat junkyu yang sebal mengerucutkan bibirnya, membuat lelaki di sampingnya menahan gemas. namun sesungguhnya haruto bukanlah orang yang kuat, karena kini satu tangannya telah lancang mengacak surai coklat lembut milik si lelaki manis.

“e-eh sorry..”

buru-buru tangan itu ia turunkan, kini wajahnya dipalingkan akibat malu sekaligus kaget dengan refleks miliknya. namun setelahnya ia dibuat lebih kaget saat junkyu berujar pelan,

“gak apa, refleks lo bagus. gue jadi berasa punya pacar, hehe.”

***

tangan keduanya bertautan, saling menggenggam dan berbagi kehangatan di malam akhir tahun ini. tujuan mereka adalah bagian tengah alun-alun, tempat pertunjukan sekumpulan orang berlangsung.

penonton penampilan itu tak hanya mereka, ada banyak sekali orang ikut berdesakan berlomba untuk menyaksikan paling depan. berkali-kali tubuh kecilnya terdorong, berulang kali pula ia hampir terjatuh.

hal itu membuat lelaki yang awalnya hanya menggandeng tangannya, memilih memposisikan diri di belakang, memeluk tubuhnya agar lebih aman. bohong jika junkyu bilang ia baik-baik saja, perutnya mulas, namun ia menyukai ini. menyukai setiap reaksi pada dirinya atas perilaku manis yang bertubi-tubi diberikan oleh lelaki bernama haruto itu.

“mau duduk aja?”

kepala junkyu yang bersender pada dada bidangnya menggeleng kecil, masih terfokus pada penampilan di depan sana. sepertinya lelaki manis itu merasa nyaman pada posisinya, bahkan saat haruto menumpu dagunya pada pucuk kepala atau bahu lebarnya, junkyu tak menolak.

karena bukan hanya junkyu yang merasa nyaman, haruto pun begitu.

***

“seneng gak?”

“senengggg bangettttt!!”

haruto terkekeh kecil melihat ekspresi junkyu yang jauh lebih menggemaskan saat merasa senang. ah, rasanya ia ingin melihat raut bahagia ini seterusnya, jika ia mampu.

sebentar lagi pergantian tahun, dan kini keduanya telah berdiri di bagian kanan alun-alun, mencari posisi tepat untuk menyaksikan pertunjukan kembang api.

senyum junkyu masih sama lebar, tak luntur bahkan tampak lebih bahagia saat menoleh padanya,

“tahun-tahun yang gue laluin selalu ngebosenin, bahkan tahun ini gue pikir gitu. tapi gue bersyukur, hari ini gue bisa kenal lo.”

senyum itu begitu tulus, begitu manis, rasanya haruto bisa tenggelam dalam binar indah yang terpancar pada kedua manik bulat milik junkyu jika ia terus memfokuskan pandangannya pada lelaki itu.

namun nyatanya ia memang sulit mengalihkan fokus, dalam kepalanya bahkan telah terpikirkan kiat untuk membuat senyum junkyu selebar ini dengan ia sebagai alasannya.

hingga sebuah pengumuman akan dimulainya pertunjukan kembang api menyadarkan keduanya, haruto terlebih dahulu mengalihkan pandangan.

“nanti tepat jam 12, mau make a wish?”

anggukan semangat ia dapat sebagai jawabannya. kini junkyu sedikit bergeser mendekat, mungkin karena angin malam yang berhembus sedikit kuat. berulang kali ia menggosokkan kedua telapak tangannya, hingga menarik perhatian lelaki satunya.

sudah mengerti kan refleks haruto bagaimana?

dengan cekatan ia menarik kedua telapak tangan mungil itu, menangkupnya dan sedikit meniup agar menjadi lebih hangat.

hitungan mundur itu dimulai, sorak sorai pun ikut terdengar memenuhi tempat itu. semuanya tak luput ikut menghitung mundur, merasakan euforia pergantian akhir tahun yang menyenangkan sekaligus mendebarkan.

junkyu kini bersiap menangkupkan kedua tangannya di depan dada, tak sabar untuk membuat harapan.

hingga hitungan satu terdengar menggema, begitu diiringi ledakan warna warni di atas sana, ia memejamkan matanya,

“tuhan, semoga di tahun depan aku bisa lebih bahagia, dan jika boleh, bahagiaku itu bersama haruto.”

cup

kaget, tentu saja. namun matanya masih betah memejam. kecupan kilat itu mendarat pada pipi kirinya, begitu lembut dan membuatnya merona.

namun saat kedua kelopak mata itu memilih untuk terbuka, ia merasakan ada yang aneh. perlahan, ia sadari ia seorang diri. tubuhnya memutar, mencari keberadaan seseorang yang beberapa jam ini menemani akhir tahunnya.

nihil, ia tak menemukan seorang pun. ia bingung apa yang kini ia rasakan, semua berlalu begitu cepat. kecupan itu, bahkan masih jelas terasa.

jantungnya berdegup kencang, bak orang linglung ia masih mencoba mencari keberadaan haruto. tanpa sadar kumpulan likuid bening itu mulai menyamarkan pandangannya. dadanya sesak, tubuhnya meluruh seketika. pada akhirnya, rerumputan alun-alun pun menerima bobot tubuhnya dengan tangan terbuka.

***

dari kejauhan, seorang lelaki dengan raut wajah datar itu fokus memandang ke depan, tepatnya pada seorang yang kini terduduk di rerumputan.

lelaki itu, si tokoh utama, lelaki yang membuat kita jatuh pada tingkah lakunya yang manis. lelaki yang tiba-tiba menampakkan tabiat aslinya.

tatapannya kosong, namun ia sedikit lega. memang beginilah seharusnya.

“lo harus bahagia, kyu. harapan lo bakal terwujud, walaupun tanpa gue.”

”..tapi kalau takdir mihak ke kita, gue bakal lari dan berdiri di hadapan lo tanpa ragu.”

ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu, saat seorang dengan wajah persis mirip dengannya, terbaring lemah tak berdaya, bahkan untuk mengucapkan pesan yang kini ia jalankan pun terbata-bata.

“trav, tugas gue udah selesai. lo pasti bahagia tau dia nyebut nama lo walaupun dia gak inget lo sama sekali. gue harap, sekarang lo tenang di atas sana.”

sebelum berbalik meninggalkan alun-alun, yang kini menjadi saksi kenangan manis akhir tahun keduanya, tangannya mengambil ponsel dan menekan nomor seseorang yang sudah lama dikenalnya,

“ji, jemput junkyu sekarang.”

.

.

fin.