Panas

Sedari tadi Wonwoo memejamkan matanya berusaha untuk tidur, namun hawa panas malam itu menyiksanya dengan kejam. Berkali-kali Wonwoo membolak-balikkan badannya, mencari posisi yang nyaman. Peluh mengucur di mana-mana, membasahi seluruh badannya yang bertelanjang dada itu. Kamarnya terasa seperti berpindah dimensi ke neraka. Rencananya, tukang AC akan memperbaiki AC-nya hari itu, namun ada suatu kendala terjadi sehingga rencananya diundur menjadi besok. Wonwoo sudah tak tahan lagi, rasanya ia ingin sekali berendam di air es sampai seluruh tubuhnya dingin.

“Ah! Gua ga tahan lagi anjing, panas bener!!!!” teriak Wonwoo frustasi, lalu bangun dari tidurnya. Wonwoo melirik ke jendela, kamar Mingyu tampak gelap. Mungkin dia sudah tidur, pikir Wonwoo. Tanpa berpikir panjang lagi Wonwoo beranjak ke kamar Mingyu, membuka kunci kamarnya dengan password yang sudah ia ketahui sejak dulu, lalu mengendap-endap masuk agar tidak membangunkan Mingyu. Tiba-tiba muncul sebuah kepala dari atas mengejutkannya. Kamar Mingyu memiliki dua lantai yang dihubungkan dengan sebuah tangga yang mengarah langsung ke kamar Mingyu. Lantai bawah diisi oleh ruang untuk bersantai dan dapur. Semuanya terlihat sangat rapih, wajar saja karena Mingyu memang rajin membereskan apartmentnya.

“Wonwoo hyung?” panggil Mingyu. Kepalanya masih tergantung dari atas.

“Anjir! Ngagetin sih lu!!!” Wonwoo hampir berteriak, bagaimana ia tidak kaget ketika dihadapannya terpampang sebuah kepala yang menggantung dari atas. “Lu belum tidur, Gyu?”

“Barusan bangun gua.” suaranya terdengar berbeda, mungkin karena kepalanya terbalik 180 derajat.

“Oh, gitu. Maaf ya, Gyu.”

“Gapapa kok, hyung.” Mingyu mengubah posisinya menjadi berdiri, bertumpu pada railing balkon lantai atas kamarnya. Badannya ia condongkan ke bawah ketika ia berbicara. “AC-nya belum dibenerin, hyung?”

“Belum, seharusnya hari ini tapi tiba-tiba tadi tukang AC-nya bilang ga bisa. Jadinya diundur besok deh.” Wonwoo melangkahkan kaki ke sofa abu-abu di depan TV.

“Kan gua bilang juga apa, nginep disini aja.”

“Ah! Gua merasa idup lagi setelah sampe sini.” Wonwoo menidurkan badannya di sofa, dengan sebuah bantal di kepalanya. “Lu tidur aja, gua stay di sini.”

“Kenapa ga ke atas aja, hyung? Kasurnya cukup kok untuk kita berdua.” tawar Mingyu ramah.

“Ga usah, gua gapapa kok di sini. Lu tidur aja, udah malem.” Wonwoo membalikkan badannya menghadap sofa. Tiba-tiba sesuatu menghantam Wonwoo dari atas, sebuah bantal yang terasa dingin.

“Iya-iya gua naik ke atas.” Mingyu tersenyum puas, ia berhasil menggoda Wonwoo dengan bantal dingin itu. Wonwoo melangkahkan kakinya satu persatu di anak tangga, sebelum ia sampai di kasur Mingyu. Mingyu sudah duduk manis dengan kepala menyender di headboard, senyumnya mengisyaratkan Wonwoo untuk tidur di sampingnya. Wonwoo memposisikan dirinya di samping Mingyu, namun tubuhnya memunggungi laki-laki itu. Beberapa menit kemudian, terdengar dengkuran yang tak asing lagi di telinga Wonwoo. Sedangkan dirinya sendiri masih tidak bisa tidur. Kepalanya ia balikkan sedikit, mendapati Mingyu yang sudah terhanyut di alam mimpi. Ia membalikkan badannya, lalu memandangi Mingyu dengan intens. Ia terlihat sangat cantik. Tiba-tiba Mingyu mengubah posisi tidurnya menjadi menghadap Wonwoo, membuat jantung Wonwoo berdegup lebih kencang. Jarak mereka terlalu dekat.

Wajah Mingyu terlihat sangat damai dan indah. Wonwoo bisa memandanginya setiap hari tanpa lelah. Entah apa yang tiba-tiba membuat Wonwoo menggerakkan tangannya menuju bibir Mingyu. Bibir itu terlihat sangat lembut dan merah muda, tak ada bibir lain yang seindah bibir itu. Ibu jarinya menekan bibir itu lembut yang disambut oleh kecupan kecil dari sang empunya bibir. Wonwoo terkejut mendapati Mingyu yang tiba-tiba terbangun.

“Ga bisa tidur, hyung?” Mingyu membuka matanya yang langsung bertemu dengan manik hitam sahabatnya itu. Tangannya mulai menjalar ke pipi Wonwoo, mengelusnya lembut. “Masih inget waktu itu Mingyu bilang mau ngajarin hyung? Bisa kita lakuin sekarang?”

Tangan Mingyu turun ke leher Wonwoo, lalu ke tengkuknya dan mempertemukan bibir mereka. Mingyu menaiki Wonwoo, dikulumnya bibir lelaki itu sebentar sebelum Mingyu turun ke leher. Dikecupnya leher jenjang itu, sambil sesekali dihisap sampai meninggalkan bekas, seakan-akan menandai bahwa lelaki di bawahnya itu miliknya, tak lupa Mingyu menjilatinya, membasahi bercak kemerahan itu. Wonwoo mengerang geli.

“Ah! Bekas cupang gua kemaren.” Telunjuknya ia gunakan untuk mengelus bekas itu, lalu mulut nakalnya ia gunakan untuk menghisapnya, membuatnya semakin merah dan besar.

“Ng–nghh, ahhh!” Mingyu menemukan titik sensitif Wonwoo lagi, mendengar desahan Wonwoo tambah kencang Mingyu malah bermain-main di sana lebih lama.

“Aahhh! Lu ngapain anjir, sakit tau!!” erang Wonwoo saat Mingyu mengigit lehernya.

“Maaf, hyung.” Mingyu memandangi kiss mark yang ia buat, tiga buah kissmark kemerahan menghiasi leher jenjang Wonwoo. Mingyu tersenyum puas. ‘Andai aja bekas ini ga pernah ilang.’

“S–stop!!!” Wonwoo mendorong tubuh Mingyu, menjauhkannya dari tubuhnya.

“Kenapa, hyung?”

“Kalo lu cuma main-main mending lu berhenti sekarang.” Wonwoo mengubah posisinya menjadi duduk membelakangi Mingyu.

“Ngga kok, kan Mingyu udah bilang mau bantuin.” jawabnya enteng.

Wonwoo berbalik, lalu melanjutkan ucapannya. “Lu bener-bener mau ngelakuin itu sama gua?!”

“Ngelakuin apa, hyung? Ngeue?”

“I–iya, ngeue.” mengatakannya saja sudah membuat Wonwoo malu, apalagi melakukannya???

“Emang ga aneh tah buat lu?” Wonwoo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ngelakuin itu sama sahabat sendiri?”

Mingyu hanya tertawa. “Jadi hyung mau ngomongin persahabatan kita?” Tangannya ia letakkan di atas tangan Wonwoo. “Gua gapapa kok ngelakuin itu sama lu. Mungkin lu ga tau ya kalo dulu gua kesepian pas lu lagi sibuk pacaran?”

“Kita udah temenan sejak umur kita 5 tahun, jadi Mingyu benci kalo tiba-tiba ada sesuatu yang Mingyu ga tau.” Mingyu menghela nafasnya dan melanjutkan. “Apa ga enak ya hyung saat gua nyentuh lu? atau lu benci ya saat gua nyium lu?”

‘Gua emang ngebacolin dia, tapi gua ga pernah kepikiran buat ngeue sama dia secara langsung.’ pikir Wonwoo.

“Hyung benci ya sama Mingyu?” tanyanya dengan nada lembut.

“Lakuin apapun sesuka lu.” Wonwoo membaringkan tubuhnya seperti tadi. “Beneran, hyung?” tanya Mingyu yang dibalas dengan anggukkan.

Seketika mendapat sinyal baik dari Wonwoo, Mingyu menyeringai dan langsung melanjutkan kegiatannya yang terhambat tadi. Tangannya menarik baju hitam Wonwoo yang tak berlengan itu, mengekspos kedua putingnya. Lalu tangannya bermain dengan puting Wonwoo yang sudah mengeras di balik baju, ditarik, dipilin, dan ditekan. Wonwoo tersentak dibuatnya.

“Anjir! Lu ngapa–”

“Setiap gua ngeliat pentil lu gua selalu pengen mainin.” Mingyu mencubit pentil Wonwoo gemas. “dan kaos lu terlalu menggoda gua, hyung.”

“Aah! S–stop... pentil gua—” dimainkannya kedua pentil Wonwoo secara bersamaan. “Ngaceng? Iya, pentil lu udah ngaceng kayak cewek.”

“Enak di sini?” tanya Mingyu sambil memilin puting di hadapannya, yang hanya dijawab oleh desahan kecil pertanda iya.

“Lu sama cewek ga ada bedanya ya, hyung.” dijulurkan lidah Mingyu lalu mulai menjilatinya. Dimainkan lidahnya disitu dalam bentuk melingkar.

“Anjing! Bener-bener lu ya!” tak memperdulikan ucapan Wonwoo, Mingyu memainkan lidahnya ke atas dan ke bawah secara terus-menerus. Puting Wonwoo yang satunya dipuaskan oleh tangan Mingyu. Matanya menatap Wonwoo dengan tatapan sensual, dengan lidahnya masih menjilati Wonwoo. Mingyu menyusui seperti anak bayi. Puting Wonwoo sensitif ya ternyata, pikir Mingyu. Lidahnya terus berputar mengitari puting merah muda itu sambil sesekali menghisapnya, sampai terlihat basah dan sintal. Rasanya sungguh nikmat.

“Kim Mingyu... stop.” Wonwoo menarik kepala Mingyu. “Gua ga tahan lagi, m–mau keluar......” tubuhnya bergetar, nafasnya berat.

“Ah, kalo gitu gua bikin lu keluar dulu gimana?” tanpa menunggu jawaban, tangannya melucuti celana Wonwoo. Mengeluarkan penisnya yang sudah tegang berdiri. Dijamahnya dengan gerakan mengocok.

“Kalo ga gitu ntar lu malah turn off duluan.” tangannya menekan kepala penis Wonwoo, gerakannya semakin cepat. Rangsangan di tubuh Wonwoo semakin menggelegar. “Jadi santai aja, Wonwoo hyung.” dikecupnya pipi Wonwoo.

‘Tangannya Mingyu.... kalo dia gitu lagi gua ga bakal tahan lama.’ Wonwoo berusaha menahan agar ia tidak keluar secepat kemarin. Namun tangan Mingyu sangat ahli untuk memuaskannya. Mingyu mengocok lebih cepat, penis Wonwoo semakin tegang dan basah, dan dalam sepersekian detik ia mencapai putih.

“Hnghh... aahhhhh!!!!” cairan Wonwoo muncrat membasahi perutnya dan tangan Mingyu.

“Hari ini lu keluar cepet juga, hyung.” Mingyu menatap tangannya sendiri yang dipenuhi sperma, tangannya terasa lengket dan basah. “Gimana lu bisa ngeue sama Sooah nuna kalo lunya aja keluar secepet ini. Jangan bilang lu cuma masukin bentar terus selesai?”

“Lu mau gua gampar sampe mati?” Wonwoo segera bangun dan mencengkram bahu Mingyu kuat. Ucapannya itu hanya dibalas oleh tawa kecil. Wonwoo mencondongkan tubuhnya yang ia letakkan di antara paha Mingyu. Wonwoo melirik ke bawah dan mendapati sebuah gundukan menonjol dari selangkangan Mingyu. Tanpa aba-aba ia langsung mencengkramnya, Mingyu berteriak. “Lu keras juga ternyata?!”

“Iya lah, gua kan cowo juga. Terus tadi lu keliatan sangat binal.” Wonwoo menelan ludahnya. Binal? Apakah ia sudah sebinal itu?

“Lepasin celana lu.” perintah Wonwoo.

“Hah?!”

“Gua bilang lepasin celana lu, gua mau liat.” perintah Wonwoo sekali lagi dengan nada yang lebih tegas.

“Ngga ah, malu.....”

“Anjing bisa-bisanya lu bilang gitu, padahal lu sendiri udah bikin gua kek gini.” Wonwoo beranjak berdiri, memperlihatkan bagian bawahnya yang tak tertutupi sehelai benang apapun.

“Bener juga....” Mingyu menyerah, ia menuruti perintah Wonwoo dan mulai melepas celananya.

“Anjing, kenapa punya lu gede banget? Padahal pas kecil gedean punya gua.” Wonwoo menatap penis Mingyu yang tak pernah ia lihat lagi semenjak mereka beranjak dewasa.

“Jangan ditatap gitu, ihh!” pipi Mingyu memerah dan wajahnya terlihat mulai terangsang. “Emang segeda itu tah?”

Wonwoo mengukur penis itu dengan tangannya. “Iya, sekitar satu jengkal lebih.”

“Apakah lebih gede dari dildo yang lu pake?” seringai Mingyu membuat Wonwoo kesal.

“Mana gua tau, kan belum pernah gua masukin.” ia menjamah penis Mingyu mulai dari kepalanya. Pertama kali Wonwoo membeli dildonya itu yaitu sewaktu ia masuk kuliah, dan pertama kali ia mencobanya rasanya sakit dan tidak enak. Mungkin karena Wonwoo belum punya kemampuan apapun untuk memuaskan dirinya sendiri. Waktu itu ia terlihat sangat menyedihkan. Dan sekarang, tak pernah Wonwoo sangka sebelumnya bahwa lelaki yang selalu ia idam-idamkan itu berada di depannya. Tubuh telanjangnya terasa hangat dan nyata, suara detak jantungnya begitu menenangkan, salivanya yang membasahi mulut Wonwoo, jarinya yang mengaduk-ngaduk lubang di bawah sana, wajahnya yang tepat di hadapan Wonwoo, Wonwoo merasa kayak mimpi. Pikirannya kacau, ia tak bisa berpikir lurus.

Jari Mingyu bergerak di dalam membentuk gunting, Mingyu menambah satu jarinya lagi sebelum mengobrak-abrik lubang Wonwoo dengan jari panjangnya. Jarinya melekuk-lekuk di dalam, bermain dengan prostat Wonwoo. Digesek, ditekan, ditepuk, membuat Wonwoo mendesah seperti dunia cuma milik mereka berdua. Hanya jari, baru jari tapi Wonwoo sudah seperti orang kesetanan gini.

“Gua masukin, ya?”