Seungcheol Sakit

Seungcheol berbaring lemas di tempat tidurnya sedari pagi. Suhu tubuhnya tinggi namun sekujur tubuhnya menggigil. Ditambah lagi kepalanya yang sakit dan pusing bukan main, ia merasa seperti berputar, terbang di udara. Tubuhnya tertutup selimut sejak pagi tadi, seperti enggan berjauhan dengannya. Hembusan nafasnya terasa berat dan panas. Setiap kali ia memejamkan mata yang ia rasakan hanyalah panas yang menyebar di kedua bola matanya, membuat air matanya menetes sedikit. Hari ini ia menggunakan jatah bolosnya untuk istirahat di rumah agar ia lekas baikan.

Bel apartementnya berbunyi, menandakan seseorang datang untuk menjumpainya. Ah, Seungcheol terlalu lemas untuk berjalan membuka pintu. Lagian ia tak ada janji dengan siapapun, mungkin hanya orang iseng. Bel itu hanya berbunyi sekali setelah itu terdiam. Seungcheol pikir orang itu sudah pergi. Namun tak lama kemudian terdengar suara bel yang berturut-turut sampai sepuluh kali yang memekakkan telinga. Dengan malas, Seungcheol berjalan perlahan menuju pintu takut dirinya akan ambruk. Terdapat layar monitor kecil yang terpasang di pintu agar kita bisa melihat siapa yang datang, dan di balik pintu sana ada seseorang yang tak Seungcheol duga kehadirannya.

“Siapa?” Seungcheol menekan tombol speaker agar orang di seberang sana bisa mendengarnya.

“Seungcheol–ah! Ini Jeonghan!” seru seseorang di balik sana.

“Yoon Jeonghan! Kenapa lu di sini?” ia terkejut melihat laki-laki yang disukainya itu tiba-tiba datang.

“Gua denger lu lagi sakit, tadi pas gua lagi rebahan di rumah tiba-tiba Wonwoo nelfon!” ucapnya antusias. “Gua bawain makanan sama obat-obatan, cepetan bukain pintunya!”

“B–bentar! Kasih gua waktu sepuluh menit!!”

“Huh? Hey!!”

Seungcheol panik, ia belum mandi hari ini. Rambutnya berantakan, wajahnya belum dicuci, baju yang ia pakai sudah buluk, dan kamarnya sangat berantakan seperi kapal pecah. Bajingan, pasti ini semua ulah Wonwoo! Karena hanya Wonwoo yang tahu kalau ia sakit. Setelah bersiap-siap dan membereskan kamarnya, Seungcheol akhirnya membuka pintu apartmentnya.

“Maaf ya, udah bikin lu nunggu lama.” Jeonghan terduduk di depan pintu akibat Seungcheol yang terlalu lama.

“Anjir, gua kira lu pingsan!” Jeonghan beranjak bangun sambil merapikan pakaiannya.

“Maaf, ayo masuk.” Seungcheol mempersilahkan Jeonghan masuk duluan, lalu ia menutup pintu kembali. “Lu sendirian aja?”

“Iya, temen sekamar gua lagi pergi sampe besok.” Seungcheol terbatuk beberapa kali, untung saja ia memakai masker.

“Gimana keadaan lu? Kayaknya batuk parah, ya?”

“Cuma demam doang, lu ga perlu dateng ke sini kok.” Seungcheol mempersilahkan Jeonghan duduk di sofa. “Gua tau lu bakal kayak gini, makanya gua dateng.”

“Apa ga tambah sedih kalo lu lagi sakit terus malah sendirian aja?” Jeonghan terkekeh.

“Udah makan belum?” Jeonghan membuka tas yang ia bawa dan merogoh ke dalam. “Gua beliin makanan tadi di minimarket, ntar gua panasin ya.”

“Ah, makasih ya.” jawab Seungcheol sambil terbatuk. Jeonghan membuka makanan kaleng yang ia beli namun ia tak sengaja menumpahkannya sedikit di tangannya.

“Anjir, tumpah!” dengan sigap Jeonghan lalu menjilati tumpahan itu, membawa jemarinya masuk ke dalam mulut dan menjilatinya sampai bersih. Seungcheol memandangi aksinya itu dari tempat tidurnya. Tanpa ia sadari, imajinasinya sudah melalang buana.

Seungcheol memegang jemari Jeongan yang terkena tumpahan tadi lalu menjilatinya sensual. “A–anjir, cheol, lu ngapain?”

Digenggamnya jari-jari lentik itu lalu dikecup pelan. Seungcheol mencondongkan tubuhnya, jarak mereka sangat dekat, bahkan hidung mereka saling bersentuhan. Seungcheol membawa lelaki yang disukainya itu ke dalam ciuman yang hangat, dilumatnya bibir dambaannya itu sambil sesekali digigit. Jeonghan mengerang pelan saat lidah Seungcheol masuk dan melilit lidahnya.

“Seungcheol... ahh!” desah Jeonghan saat ciuman itu semakin memanas. Air liur menetes dari mulut Jeonghan menuju dagunya.

“Choi Seungcheol!!!!!” teriakan Jeonghan membuyarkan imajinasi Seungcheol.

“Kok makanannya ga diambil sih? Jangan bilang lu ga nafsu.” sedari tadi tangan Jeonghan memegang mangkok yang berisi bubur ayam hangat, namun Seungcheol tak kunjung mengambilnya.

“Eh, iya......” Seungcheol pikir ia sudah mulai gila. Bisa-bisanya ia membayangkan hal-hal kotor seperti itu. Mungkin sakitnya ini mengacaukan pikirannya.

“Lu harus makan loh! Sini gua suapin,” Jeonghan menyendok satu sendok penuh bubur, lalu mengarahkannya untuk masuk ke mulut Seungcheol. “Aaaaa......”

“Huh?” Seungcheol terdiam, ini beneran nyata, kan? Bukan imajinasinya saja?

“Buruan aaaa... walaupun cuma tiga sendok tapi lu tetep harus makan.” Seungcheol menuruti sahabatnya itu dan segera memakannya.

“Gimana enak ga?” bubur itu masih dikunyah dalam mulutnya perlahan, dalam tiga kali kunyahan lagi bubur itu sudah berpindah ke perutnya. “I–iya enak banget!”

Bubur itu memang enak jika dimakan sewaktu sehat, namun sekarang ini semuanya jadi terasa pahit. Namun Seungcheol ingin menghargai usaha Jeonghan yang repot-repot menyuapi dan mengurusnya. “Bagus! Sesuap lagi?”

“Aaaahh....” Seungcheol membuka mulutnya seperti anak kecil yang kemudian segera terisi oleh sesendok bubur lagi.

“Nah gitu dong! Yang lahap makannya.” Jeonghan tersenyum puas melihat Seungcheol yang makan dengan baik walaupun sedang sakit, jadi ia tak perlu repot-repot memaksanya.

Seungcheol tersenyum kecil, pipinya memerah, ia tak menyangka bahwa sakitnya akan membawa sebuah kebahagiaan kecil bersama Jeonghan.

‘Ah, gua beneran harus traktir Wonwoo pas udah sembuh!’ gumam Seungcheol dalam hati.