Takut

“Perempatan depan belok kiri ya, Gyu.” ucap Wonwoo mengarahkan jalan sebab Mingyu sama sekali tak tahu tempat apa yang akan mereka kunjungi.

Wonwoo duduk di kursi penumpang, di samping Mingyu yang menyetir. Ia memakai setelan rapi dengan jas hitam yang menutupi kemeja putihnya dilengkapi dengan dasi dengan warna senada, dan juga celana panjang hitam. Kakinya beralaskan sepatu oxford hitam, dari atas ke bawah semuanya serba hitam kecuali kemeja putihnya. Wonwoo berpenampilan sangat rapih dan formal, berbeda dengan Mingyu yang hanya memakai hoodie hitam, celana panjang hitam dan topi hitam, mungkin hitam merupakan warna mereka hari ini. Mingyu sedikit kebingungan dengan pakaian Wonwoo, apakah mereka akan menghadiri sebuah acara resmi? Namun Wonwoo tak menyuruhnya untuk berpakaian formal, semua ini sangat membingungkan. Bunga putih yang dibelikan Mingyu tadi siang dipegangi oleh Wonwoo sejak mereka berangkat tadi.

Mingyu memutarkan stirnya ke kiri sesuai perintah Wonwoo. Wonwoo sibuk mengamati jalanan yang tak terlalu ramai karena mereka sudah keluar dari pusat kota. “Masih jauh ga kak?”

“Ngga kok, sebentar lagi.” Semakin mereka mendekat ke tempat tujuan semakin deg-degan pula jantung Wonwoo. Ia menundukkan kepalanya, memandangi bunga mawar putih yang dipegangnya, teringat kejadian dua tahun yang lalu.

“Nah di sini, kita sudah sampai.” Mingyu memarkirkan mobilnya di sebuah lapangan kecil. Mereka berdua turun dari mobil, tak lupa Wonwoo membawa buket bunga tersebut.

“Tempat apa ini kak?” Mingyu melihat ke sekeliling, terasa ada hal yang janggal, perasaannya mulai tidak enak. Wonwoo berjalan duluan dan Mingyu mengekor di belakangnya, berjalan dengan ragu-ragu.

“Itu, kamu baca aja sendiri.” Wonwoo menunjuk plang yang ada di atas mereka. Mingyu mendongak membaca kalimat yang terukir di situ.

“Hah pemakaman kak?????” ucap Mingyu setengah berteriak, namun segera menutup mulutnya sendiri. Untuk apa Wonwoo membawanya ke sebuah pemakaman? Siapa yang meninggal?

Wonwoo tak menjawab, ia berjalan masuk melewati batu-batu nisan. Mingyu mengikuti sambil memegangi tangan Wonwoo, takut. Suasana di pemakaman itu sangat sepi, tak ada suara lain yang terdengar kecuali langkah kaki mereka. Cahaya matahari mulai meredup karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Mingyu tak berani melihat batu-batu nisan yang ada di sekelilingnya, takut ada sesuatu yang keluar dari kubur itu. Langkah mereka terhenti di depan sebuah batu nisan yang terlihat lebih baik dan baru daripada batu nisan di sekitarnya.

“Aku mau nunjukin ini ke kamu.” Wonwoo berlutut di samping nisan yang ditujunya, diletakkannya buket bunga mawar putih itu di depan nama pemilik nisan itu. Penasaran, Mingyu membaca nama yang tertera di sana:

Kim Jongin Lahir: 14 Januari 1994 Meninggal: 27 Juni 2018

“D–dia siapa, kak?” tanya Mingyu ragu-ragu. Tangan Wonwoo sibuk membersihkan daun-daun kering dan rumput liar yang mengotori nisan itu.

“Mantan aku.” jawabnya lirih. Ia menundukkan kepalanya, tangannya mengelus-elus kepala nisan itu seperti ketika ia mengelus kepala mantan pacarnya ketika ia masih hidup. Dugaan Mingyu semuanya salah, bunga itu bukan untuk Wonwoo menyatakan perasaannya kepadanya, bunga itu bukan kode untuk dirinya melainkan bunga itu untuk mantan kekasih Wonwoo.

“Udah dua tahun ia meninggal karena kecelakaan motor. Penyebabnya aku sendiri.” pikiran Wonwoo pergi ke waktu dua tahun yang lalu, ketika kecelakaan tragis itu terjadi. “Penyebabnya kak Wonwoo? Maksudnya gimana kak?”

“Jadi hari itu adalah hari jadi kita yang ke satu tahun, kita udah berencana untuk nge-date hari itu untuk ngerayain anniversary kita. Tapi sialnya, tiba-tiba dia ditelfon bosnya ada kerjaan mendadak. Mau ga mau dia harus ke kantor, rencana kita yang awalnya dari pagi berubah jadi malem sepulang dia kerja. Aku kesel, aku telfonin dia terus suruh pulang, aku marah-marah di telfon sampe ganggu kerjaan dia. Akhirnya jam tujuh malem dia buru-buru pulang biar aku ga marah lagi, dia ngebut banget sampe-sampe sewaktu dia mau nyalip mobil ga sengaja dia ditabrak dari belakang sama truk, terus dia jatuh kelempar jauh, kepalanya kebentur pembatas jalan keras banget karena dia ga pake helm. Sewaktu dalam perjalanan menuju rumah sakit dia udah pergi. Buket bunga mawar putih yang dia bawa untuk aku berubah jadi merah karena darahnya sendiri.” mata Wonwoo mulai berkaca-kaca, pandangannya menjadi kabur akibat air matanya sendiri. Dalam satu kedipan air matanya menetes ke pipinya.

“Aku yang udah bunuh dia, Gyu! Aku! Gara-gara aku nyuruh dia pulang cepet, gara-gara aku yang marah-marah terus, gara-gara aku yang ga bisa ngerti keadaannya. Kalo aku ga bertingkah kayak anak-anak di hari itu mungkin dia masih hidup sampai sekarang. Aku jahat banget ya, Gyu?” Wonwoo menutup wajahnya dengan tangannya sendiri, tak ingin Mingyu melihatnya menangis.

“Ya ampun, ngga kok, kak Wonwoo ga jahat. Kak Wonwoo ga bunuh dia, tolong jangan mikir kayak gitu kak!” Mingyu merangkulkan tangannya di bahu Wonwoo.

“Sejak kejadian itu, aku takut. Rasa bersalah itu terus menghantui aku hari demi hari, aku ga bisa memaafkan diri aku sendiri. Aku takut buat deket lagi sama seseorang, aku takut kejadian itu akan terulang lagi, aku takut kalo aku cuma bawa sial aja untuk mereka, aku takut untuk jatuh cinta lagi.” Wonwoo menyenderkan kepalanya di bahu Mingyu sambil terus memandangi nisan kekasihnya itu.

“Itu sebabnya kak Wonwoo ga mau pacaran dan lebih milih untuk fwb sama kak Seungwoo?” Mingyu menggenggam tangan kanan Wonwoo yang terasa dingin.

“Iya, soalnya aku masih takut untuk pacaran tapi aku butuh sex. Jadinya aku mutusin untuk fwb sama dia, walaupun ujung-ujungnya aku yang tersakiti lagi.” Wonwoo masih terisak, ia mengusap air matanya sendiri dengan tangannya.

“Sampe sekarang masih takut kak?” tanya Mingyu. Jika Wonwoo menjawab iya maka Mingyu akan berhenti mendekatinya. “Aku juga bingung, tapi aku punya seseorang yang aku suka.”

Mingyu terkejut. Wonwoo punya seseorang yang ia suka? Apakah itu dirinya? Tidak, Mingyu tidak boleh terlalu percaya diri dulu. “S–siapa, kak?”

“Rahasia.” jawab Wonwoo singkat.

“Aku tau ini sulit tapi kak Wonwoo udah move on dari mantan kakak?” tanya Mingyu, ibu jarinya mengusap tangan Wonwoo lembut.

“Aku udah ikhlasin dia pergi tapi aku masih ga bisa maafin diri aku sendiri. Sewaktu dia baru meninggal setiap hari kerjaan aku nangis terus di kamar, sampe-sampe aku cuti dari kerjaan dan akhirnya berhenti. Setiap kali aku nutup mata mau tidur aku selalu keinget dia, keinget kenangan-kenangan kita, dan ujung-ujungnya aku nangis lagi, kalo udah ga tahan aku self harm gitu terus sampe sekitar tiga bulanan. Kepikiran buat mati? Sering banget hampir tiap hari, bahkan aku udah nyoba untungnya gagal. Kalo udah kangen banget sama dia aku selalu dateng ke sini, sampe tidur semaleman di sini, doain dia sambil minta maaf berkali-kali, aku harap dia udah maafin aku. Aku ngerasa sendirian dan kesepian banget, dia yang selalu ada buat aku tiba-tiba pergi. Aku ga bisa buka hati buat orang baru, karena itu aku masih takut. Sampe pada akhirnya setelah setahun dia pergi aku ketemu Seungwoo di suatu acara cosplay terus kita mulai deket dan berujung jadi fwb. Bisa dibilang itu yang buat aku berhenti nangisin dan mikirin dia, bukan karena Seungwoonya tapi lebih karena aku mulai punya kesibukan tersendiri yang mengalihkan pikiranku dari dia. Walaupun terkadang aku suka keinget dia dan nangis, tapi udah ga sesering dulu. Kalo sekarang? Ngga, aku ga pernah nangisin dia lagi karena aku udah ikhlas. Yang tertinggal cuma rasa takut aja dalam diri aku.”

“Kak Wonwoo kuat banget sih! Kalo aku jadi Kak Wonwoo pasti udah ga kuat.” Mingyu memeluk Wonwoo erat-erat, ia tak menyangka masa lalu Wonwoo sangat menyedihkan dan menyakitkan seperti ini.

“Kuat? Ngga, aku jauh dari kata kuat, Gyu.” Mingyu menangis kencang di pelukan Wonwoo, bahkan lebih kencang daripada tangisan Wonwoo tadi. Dengan mendengar cerita Wonwoo saja sudah membuat hatinya sakit, apalagi langsung mengalaminya. Wonwoo hebat, sangat hebat bisa bertahan sampai sejauh ini walaupun sangat sulit.

“Udah yuk, pulang.” mereka berdoa sebentar untuk mendiang Jongin lalu meninggalkan pemakaman itu. Mingyu berjalan di belakang Wonwoo, memandangi punggung yang sekuat baja itu.

Wonwoo memegang begitu banyak kesedihan di tubuh kecil rapuhnya. Jika ia jatuh cinta lagi, Mingyu harap ia lah orang yang Wonwoo cintai.