monokrowm

“mana haeziel?” tanya jevierno setelah tersisa empat orang di dalam basecamp, termasuk dirinya. hanya pertanyaan itu yang ingin ia tanyakan sedari tadi ketika mendengar jika haeziel terjatuh saat balapan.

nares dan renanda berdiri bersampingan menghadap jevierno sembari berpegangan tangan. menutupi haeziel di belakang mereka.

jevierno tidak buta, ia melihat jelas tangan nares dan renanda saling menggenggam. tatapan bingung ia layangkan pada nares.

“gue mau jelasin sesuatu sama lo. pertama, gue minta maaf. harusnya gue cerita sama lo tentang ini dari lama. gue.. gue sama renanda udah pacaran selama 3 tahun,” jelas nares dengan yakin kepada jevierno.

jevierno? tentu terkejut. bagaimana bisa ia suka kepada pacar sahabatnya?

“kita backstreet? jawabannya iya. je, gue sama lo emang ga pernah cerita lagi suka sama siapa, lagi tertarik sama siapa dan lainnya. gue tau kalau lo suka sama renanda dari renanda sendiri. inget dimana gue samperin lo ke sekolah pas hujan? niat gue buat samperin renanda, bukan lo. inget dimana lo dateng ke rumah renanda dan confess buat yang kedua kalinya? ada gue disana, di dalam mobil. lihat semuanya.”

nares menarik nafas perlahan setelah menjelaskan cukup banyak, dan menghembuskan perlahan. ia melihat jevierno. nampak jelas ia terkejut dengan fakta yang baru di beberkan olehnya.

“gue minta maaf..” ucap jevierno pelan.

“lo ga perlu minta maaf ke gue sama nares. disini lo juga ga tau apa-apa kan? nares bingung gimana caranya bilang sama lo, sedangkan lo ini sahabatnya. dia ga mau persahabatan kalian jadi rusak. gue juga minta maaf, karena ga langsung nolak atau cegah lo lewat diri gue sendiri. tapi gue malah minta tolong sama haeziel.”

ganti renanda yang menjelaskan semuanya dengan senyum kecil dan kepala tertunduk. ia merasa bersalah dengan apa yang terjadi kepada haeziel. andai ia tidak minta tolong kepada haeziel, ini semua tidak akan terjadi. andai ia bisa lebih tegas, ini semua tidak akan terjadi. andai—

“ih, renan jangan sedih.” ujar haeziel sedih sembari memeluk renanda dari belakang dengan posisinya yang masih terduduk. sedangkan renanda berdiri. kepalanya terbenam pada punggung renanda. ia juga merasa bersalah karena tidak menceritakan semuanya pada renan.

renanda dapat tertawa kecil karena aksi sahabatnya. “kek anak kecil lo.”

“bangke, gue udah berusaha buat ga bikin lo sedih ya. terus lo malah bilang gue anak kecil?! oooo ngajak bertumbuk rupanya.”

“ayok, maju. udah lama kan lo ga ribut sama gue.”

nares juga ikut tertawa melihat tingkah pacarnya dengan haeziel. pandangannya beralih pada jevierno yang terfokus pada haeziel, mungkin?

“jevier.”

yang di panggil menoleh.

“ayo, keluar. masih ada yang mau gue omongin.”

nares dan jevierno keluar dari ruangan, meninggalkan renanda dan haeziel.

basecamp yang biasanya untuk empat orang, kini terisi penuh dengan tujuh orang di dalamnya. ada haeziel, renanda serta nares, sena, mirza, harris, dan juga rico.

nares sendiri datang bersama renanda ke arena. sedangkan harris dan rico mengikuti rombongan haeziel kala melihat haeziel di papah.

“udah berantem, terus balapan eh malah jatoh terus kalah. mau jadi apa lo?” omel renanda kepada haeziel sembari menempelkan plaster luka terakhir untuk jari haeziel.

“jangan kayak papi dong.” ujar haeziel dengan bibir mengerucut dan tatapan sedih ke renanda.

renanda yang melihatnya balas dengan tatapan datar. “ga mempan.”

“bro.” panggil harris yang ditujukan pada nares.

“apa?”

“kapan lo bakal jelasin ke jevier?”

“sekarang. tunggu dia dateng—”

pintu tiba-tiba saja terbuka dengan keras. disana, ada jevierno datang dengan nafas memburu seperti sehabis lari maraton.

“tuh, orangnya dateng.”

“HAEZIEL!”

kaget bukan main ketika renanda melihat haeziel baru saja jatuh dari motor karena sebuah kesalahan kecil setelah mencoba berbelok dengan kecepatan tinggi. jantungnya terasa mau copot.

banyak orang berlarian menghampiri haeziel yang terduduk di jalanan sedang seperti sedang meratapi nasib. haeziel dengan kekalahannya.

tiga orang terdepan —renanda, sena, dan mirza— langsung membantu haeziel untuk berdiri. tidak ada luka serius setelah insiden jatuh dari motor. tapi, luka-luka bekas berkelahi di wajah haeziel lah yang menjadi fokus mereka bertiga.

“bawa haeziel ke basecamp.” titah renanda kepada sena dan mirza. sedangkan motor haeziel sudah di tangani dengan teman mereka yang lain.

BUGH

jevierno tersungkur ke tanah karena serangan tiba-tiba yang mengenai rahang kirinya dengan telak.

berdiri dengan cepat dan melihat siapa yang memukulnya, jevierno tersenyum miring. “oh, datang juga. mau langsung mulai?”

“ga usah banyak bacot.”

haeziel mempersiapkan dirinya melawan jevierno. berbekal latihan beladiri yang ia pelajari bersama sang daddy, haeziel merasa cukup akan itu.

kedua saling menatap satu sama lain, menunggu timing yang pas untuk melancarkan serangan. sampai haeziel maju terlebih dahulu dan menyerang jevierno.

perkelahian diantara mereka berdua benar-benar tak terelakkan. pukulan dan tendangan terus di layangakan. orang-orang di arena banyak menonton. ya, hanya menonton tanpa ada niatan untuk meleraikan haeziel dan jevierno yang tengah baku hantam saat ini.

luka pada sudut bibir, pipi terdapat goresan, wajah memerah padam karena emosi, dan penampilan yang berantakan, itu lah yang menggambarkan kondisi haeziel dan jevierno. namun keduanya tak terlihat ingin berhenti. seperti ada dendam tersendiri bagi dua anak adam itu.

sampai jevierno kembali tersungkur di tanah dengan haeziel berada di atasnya. nafas keduanya terengah-engah.

memegang erat baju lawannya dengan satu tangannya mengepal terangkat di udara, haeziel siap melayangkan kembali tinju kepada jevierno. “sekali lagi gue bilang, jauhin renanda!”

BUGH

suara pukulan itu cukup kencang terdengar. tapi sayang, pukulan itu nyatanya tidak mengenai wajah jevierno, melainkan tanah. kini jari-jari haeziel terdapat luka goresan cukup banyak. haeziel sendiri terkejut bukan main saat jevierno dapat menghindari pukulannya.

“lo—”

keadaan terbalik. haeziel yang kini berada di bawah jevierno dengan bajunya yang diremat kuat, bahkan haeziel sampai sedikit terangkat karenanya.

“lemah. ga usah berlagak jadi jagoan. lo itu cuma biang rusuh di lensa, sok tahu dan selalu ikut campur urusan orang.” ucap jevierno dengan penuh penekanan. tatapannya lurus menatap haeziel.

“satu lagi, gue akan selalu menang dari lo.” kepalan tangan jevierno terangkat di udara, siap kembali memukul telak haeziel.

haeziel tak bisa berbuat banyak. seluruh tubuhnya terkunci. pasrah sudah. bahkan haeziel sudah memejamkan kedua matanya, bersiap menerima pukulan dari jevierno.

“mau lo tuh apa?” tanya jevierno to the point kepada haeziel yang didepannya.

kini keduanya berada di samping ruang osis yang sepi. karena memang ruang osis ini memiliki ruang tersendiri yang terpisah dari gedung sekolah.

haeziel mengalihkan pandangannya ke arah mana saja asal bukan ke tatapan tajam yang di layangkan jevierno kepadanya. “gue ga mau apa-apa.”

“ga percaya.”

“ya gimana, ga ada juga tuh yang nyuruh lo percaya.”

“gue ga tau apa yang buat lo terus gangguin gue maupun osis setelah gue menjabat jadi ketua osis di awal kelas 11,” jevierno menahan lengan haeziel yang ingin beranjak pergi.

“kalau yang satu itu gue masalah, karena lo emang biang rusuh dari kelas 10. tapi yang satu ini, bisa ga jangan ganggu gue? lo ga punya hak buat terus-terusan bikin gue jauh dari renan—”

“GUE PUNYA HAK!”

haeziel membalikkan tubuhnya menghadap jevierno. kedua saling menahan amarah. terlihat jelas bagaimana rahang jevierno yang mengeras serta tatapannya jauh lebih tajam menatap haeziel. dan juga haeziel yang mencoba menarik nafas panjang untuk meredam emosi, karena sungguh, ia tak berniat sejauh ini.

“apa hak lo?”

“gue sahabat renan dan gue tau renan lebih dari yang lo tau.”

“sampai seleksi siapa yang pantas buat dia?”

“iya. dan lo adalah salah satu orang yang ga pantas bersanding sama renan.”

haeziel dengan segala perkataannya mampu membuat jevierno marah.

dengan sekali hentakan, jevierno menarik tangan haeziel dan membuat posisi kedua menjadi dekat. “ketemu sama gue di arena malam ini. satu lawan satu. bukan adu kecepatan, tapi adu kekuatan.” ucap jevierno.

setelahnya ia pergi meninggalkan haeziel sendiri.

“haeziel, perasaan gue doang atau emang salah satu anak dari tim sebelah tuh ngeliat lo terus.” kata sena kepada haeziel.

menggeleng berkali-kali sampai memutar tubuhnya supaya membelakangi tim sebelah, haeziel tertawa canggung. “hahaha ya kali tuh orang liat ke gue. siapa tau kan liat ke renan atau ke mirza.”

haeziel sadar jika ia terus diperhatikan oleh jevierno di seberang sana.

sena lantas mengendikkan kedua bahunya. tak lama ia menyenggol siku renanda dan memberi kode ke mirza untuk pergi dari sana. sedangkan haeziel sedang fokus pada benda canggih berbentuk persegi panjang di genggamannya.

“haeziel.”

terkejut kala mendengar suara seseorang yang ia hindari, haeziel rasanya enggan walau sekedar menjawab bahkan menolehkan kepalanya.

jevierno bingung, anak ini kenapa? terlebih haeziel terlihat diam-diam mencoba pergi. tapi bukan jevierno namanya jika membiarkan haeziel pergi begitu saja.

dengan cepat jevierno menggenggam pergelangan tangan haeziel. “gue harus ngomong sesuatu sama lo.”

beruntung jevierno masih berada di sekolah, tepatnya berada di ruang osis. secepat mungkin ia mencari kunci cadangan dari seluruh pintu satu sekolah yang ada di laci mejanya setelah ia mendapat pesan dari renanda.

sial. jevierno lupa dimana letak kunci cadangan.

mencari kesana dan kemari, tapi tak kunjung menemukan kunci cadangan. seingatnya, ia menaruh di dalam sebuah kantung kecil dan menyimpannya dengan baik. jevierno juga bukan orang yang akan menyimpan barang secara sembarangan.

raut wajahnya panik bercampur kesal dan bingung. bahkan rambutnya sudah berantakan kala ia mengacaknya karena kesal. mengadahkan kepalanya ke arah jendela serta bangkit dari posisi bungkuk, dapat jevierno lihat awan berwarna gelap perlahan datang menutupi langit oranye di jam lima sore.

akan datang hujan.

benar saja, tak lama suara gemuruh terdengar dengan kencang. jevierno sampai kaget tersentak dibuatnya. namun hal itu justru menyadarkannya supaya lebih cepat mencari kunci cadangan. haeziel bisa kehujanan jika hujan turun dan ia belum menemukan kuncinya.

“jevierno!”

yang dipanggil menoleh kebelakang ketika namanya dipanggil. disana ada renanda terengah-engah mengatur nafas.

“kenapa masih disini?!” renanda bertanya dengan nada tinggi.

“kuncinya belum ketemu.”

“gimana bisa belum ketemu?! terakhir taruh dimana?”

menghela nafas kasar, renanda langsung masuk ke dalam ruang osis dan mencari kunci yang dimaksud dengan tergesa-gesa.

“cepat cari, haeziel takut suara petir, geluduk, gemuruh, dan sejenisnya.” ujar renanda.

iredescent

“rendra.”

rendra yang tengah mengatur beberapa lukisan menoleh ke belakang. ada sean dengan kantung makanan di tangannya.

“kenapa, se?” tanya rendra dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, yaitu memilih dan memajang beberapa lukisan hasil karya dari jurusannya untuk acara besok. ya, sedikit penjelasan atau hasil yang akan ditunjukkan kepada para mahasiswa baru.

sean berjalan mendekati rendra, “makan dulu, yuuukk.”

“duluan aja.”

“gue bantuin mau?” tanya sean yang hanya di balas gelengan oleh rendra.

memutar otak, sean melirik ke arah tangga yang berada di dekat booth jurusan rendra. ide cemerlang muncul bergitu saja.

“ya udah kalau ga mau.”

rendra hanya berdehem. setelahnya tak terdengar lagi ocehan dari sean.

“ANJIR SEAN, LO NGAPAIN NAIK KE TANGGA?!”

dengan santai dan sembari mengunyah corndog yang tengah ia makan, sean menoleh ke rendra. “cari tempat duduk, ren. lagipula ini tangga kan pendek.”

renda berkecak pinggang, pasalnya tangga itu mau ia pakai untuk menaruh beberapa lukisan di tempat yang cukup tinggi. “turun.”

“ga mau.”

“turun cepetan, itu tangga mau gue pake.”

“jinjit aja sana.”

“LO KAN TAU TINGGI GUE SEBERAPA.”

iredescent

setelah menaruh benda persegi panjang miliknya diatas nakas, hansel beranjak dari tempat tidur menuju pintu kamar. membukanya dengan hati-hati sembari mengintip ke luar. ada reno sedang menenteng kantung belanjaan ditangan kirinya.

hansel menghela nafas lega. untung hansel sudah mewanti-wanti reno untuk datang sendiri. ingat, hansel masih sebel sama rendra, sean, felix, dan terlebih lagi gerhana.

ini bukan yang pertama atau kedua hansel sebel ke gerhana. tapi sudah kesekian kalinya. ya, engga terkadang juga gerhana balik sebel ke hansel.

“reno masuk sini. cepetan.” hansel membuka pintu kamarnya lebih besar lalu mempersilahkan teman dari kecilnya itu masuk. melupakan pintu kamar yang belum tertutup.

reno masuk ke dalam kamar hansel, “nih, cel, cokelatnya. ga bohong, kan?”

kantung belanjaan sudah berpindah tangan ke hansel. senyum lebar tercetak jelas ketika hansel melihat cokelat dengan berbagai merek dan bentuk di dalam kantung belanjaan.

hansel berhambur memeluk erat reno, “MAKASIH RENOOOO!”

menepuk perlahan rambut hansel, reno tiba-tiba berteriak, “sama sama, anceell— GUYS CEPETAN MASUUKKK.”

kurang dari tiga detik, suara gedebak gedebuk terdengar dari kamar sebelah kanan hansel, yaitu kamar gerhana.

secepat yang ia bisa, hansel berlari menuju pintu kamarnya yang belum tertutup. tapi sayang sekali, segerombolan manusia lebih dulu muncul dan masuk ke dalam kamar hansel. alhasil hansel terdorong masuk ke kamarnya sendiri yang kini penuh dengan empat orang yang berleha-leha di lantai—

“HANSEL MAAF.”

“LEPAS DULU— PENGAP! PAPAAA TOLONGIIINN ANCEL.”

— dan sisanya tengah memeluk hansel erat.