⚠️ harshword and mention of kiss.
“Hah...”
Entah sudah berapa kali Haechan menghela nafas kasar selama perjalanannya menunju halte bus dekat sekolah dengan langkah terburu-buru. Mau tak mau Haechan harus berjalan cepat karena awan sudah berubah warna menjadi abu-abu dan juga angin cukup kencang berhembus pertanda ingin hujan.
Ini semua gara-gara Renjun, pikir Haechan.
Kalau saja sahabatnya itu tidak melupakannya dan malah pergi untuk menonton kuda nil putih, Haechan pasti sekarang sudah di rumah. Duduk manis di depan televisi atau bergelung dalam selimut hangat.
Renjun dan Haechan berjanji untuk pulang bersama. Ya, berhubung Renjun hari ini membawa mobil. Apa salahnya Haechan nebeng, kan? Dan Haechan juga sudah meminta Renjun menunggunya di parkiran karena hari ini adalah jadwal piket membersihkan kelas untuk Haechan. Jadi ia harus pulang sedikit terlambat.
Tapi yang ia dapatkan justru ditinggal begini.
“Awas lo, Huang. Bakal gue abisin itu isi dompet lo.” dumal Haechan.
Jaraknya dengan halte bus tinggal 250 meter lagi. Namun, sial. Awan tiba-tiba saja menurunkan para penumpangnya begitu saja.
Hujan.
Haechan langsung berlari secepat yang ia bisa. Cukup sulit berlari dengan sandal jepit sebagai alas kaki. Beruntung, Haechan dapat memasuki halte bus sebelum seluruh tubuhnya bahas kuyup.
Kembali menghela nafas, Haechan menunduk sembari memperhatikan sandal yang ia gunakan.
“Ketos sialan.”
Setelah acara balikin-sepatu-gue dan penggebrakan meja kantin, sepatu Haechan engga juga di balikin.
Engga mau terus-terusan kesal, Haechan duduk pada bangku halte bus. Cuma ada dia. Sendiri.
Kepalanya sedikit mendongak melihat bagaimana air hujan turun dari langit, mobil berlalu lalang menerobos hujan, orang-orang berjalan kaki dengan payung sebagai pelindung dari hujan, dan kini pandangannya tertuju pada tetesan air hujan yang jatuh dari atap halte ke genangan air kecil di jalan.
Terhitung sudah lima menit Haechan menatap tetesan air hujan. Selama itu juga Haechan masih sendiri di halte bus.
Saking fokus pandangannya, semakin larut juga pikirannya dan melupakan bagaimana beberapa bagian tubuhnya basah kuyup di terpa angin dingin. Pikiran Haechan sudah melayang jauh. Jauh menuju masa kecilnya.
Kepada kenangan manis bersama seseorang. Seseorang yang entah dimana keberadaannya.
“Nono tungguin Echan!”
terlihat anak laki-laki dengan jas hujan bergambar beruang di lengkapi juga dengan sepatu boots berwarna senada dan payung kecil di genggamannya, berlari mengejar anak laki-laki lainnya yang sudah jauh di depannya.
“Echan lelet huuuuu—”
splash
“Rasain hahahahaha!”
Tawa cempreng terdengar riang di tengah hujan menertawakan aksi yang ia lakukan sebelumnya, yaitu melompat pada genangan air dan cipratan air itu mengenai wajah temannya yang meledek kepadanya.
“Awas loh ya, Nono balas!”
“Lariiiiii!”
Kini keduanya saling mencipratkan air dengan cara melompat pada genangan air. Kejar-kejaran, berlari kesana dan kemari, saling tertawa bahagia tak menghiraukan bagaimana keadaan mereka besok karena sudah main hujan seperti ini. Yang penting senang-senang aja dulu.
“Hachi!”
Kedua anak kecil itu berhenti kala mendengar suara bersin dari salah satunya.
“Echan kenapa? Echan sakit? Pulang yuk.”
Anak kecil dengan jas hujan bergambar robot mengampiri anak kecil dengan jas hujan bergambar beruang —Echan—.
“Ih Nono, Echan engga apa— hachi!”
“Ayooo pulang sekarang nanti di marahin sama papi loh.” Nono menggenggam erat tangan kecil Echan dan menariknya lalu berjalan meninggalkan taman perumahan mereka.
“Engga mau pulang! Echan mau main!”
Bukan Echan namanya jika tidak memberontak.
Tidak ada cara lain, Nono mendekatkan wajahnya pada pipi gembil Echan lalu mengecupnya. “Bubu selalu cium pipi Nono kalau Nono engga nurut. Jadi Nono cium pipi Echan biar Echan nurut sama Nono. Ayo pulanggg.”
Belum sempat menjawab, Echan kembali di tarik Nono menuju rumahnya. Ya bagaimana, Echan sendiri juga kaget saat di cium pipinya.
Senyum kecil terlihat pada wajah Haechan kala mengingat masa kecilnya dengan seseorang. Bisa-bisanya ia salting dengan kecupan di pipi.
“Hoi.”
Senyumnya lantas luntur begitu saja ketika Haechan mengalihkan pandangannya ke depan. Disana ada si ketos sialan yang baru saja turun dari motor ninja hitam dan abu-abu milik sang empu.
Mendengus kesal, Haechan mengalihkan lagi pandangan ke samping supaya tidak melihat orang yang menurutnya sangat sangat sangat menyebalkan dan sedikit menggeser duduknya ketika ia rasa ketos itu duduk di sampingnya.
“Ini.”
Haechan sedikit melirik ke arah paper bag yang di sodorkan oleh orang di sampingnya.
“Apaan?”
“Sepatu lo.”
sret
Secepat kilat Haechan mengambil alih paper bag itu dari Jeno, orang di sampingnya aka si ketos sialan. Panggilan khusus Haechan untuk Jeno.
Haechan membuka paper bag yang sudah agak basah itu dan mengambil sepatu miliknya. “Sepatu gue huhuhuhu.”
Tanpa menunggu lama, Haechan mengganti sandal yang ia pakai dengan sepatu. Masa bodoh jika sepatunya yang akan basah.
Semua gerak-gerik Haechan tak luput sedikit pun dari Jeno. Jeno terus menatap Haechan dengan lekat dan sesekali tersenyum kecil.
“Ga ada terimakasih, nih?”
“Ga.” jawab Haechan cepat menjawab pertanyaan Jeno.
Hujan masih turun, justru bertambah deras. Rintik air semakin cepat menuruni atas halte. Air hujan semakin deras pula membasahi moto ninja milik Jeno.
Keduanya terdiam. Tidak ada basa-basi. Tidak ada obrolan hangat. Ya, setidaknya untuk menghangatkan suasana. Mau bagaimana lagi, keduanya rival di sekolah. Jeno di ketos yang galak lagi tegas dan Haechan si berandal nakal pembuat onar yang suka sekali mengganggu OSIS.
Hampir tujuh menit mereka terdiam.
Haechan mengigit bibir bawahnya. Kedua tangannya saling menggenggam, sesekali ia menggosokkan agar hangat. Ketara Haechan kedinginan sekarang.
“Pake.” suara berat memecahkan keheningan di antara mereka. Jeno menyodorkan jaket miliki kepada Haechan.
“Lo gila kasih gue jaket basah—”
“Cuma luarnya aja yang basah tapi dalamnya engga. Anti air. Pake sekarang.” jelas Jeno dengan tegas.
Haechan menurut? Tentu tidak.
“Ga, makasih.”
sret
Jeno membalikkan tubuh Haechan supaya menghadap ke arahnya dan dengan cepat memakaikan jaket miliknya pada tubuh Haechan.
Yang di pakaikan jaket justru kaget bukan main. Kedua bola matanya membola kaget sesekali mengerjap pelan. Tatapan Haechan mengarah pada wajah Jeno yang tengah serius memakaikan jaket pada tubuhnya.
“Gue tau gue emang ganteng. Ga usah ngeliatin begitu.”
Haechan tersadar dan spontan mengalihkan pandangannya. “Sialan.”
“Berandal kecil ga boleh ngomong kasar.” ejek Jeno disertai kekehan gemas.
“Suka-suka gue!” pekik haechan kesal sembari merapatkan jaket milik Jeno yang kebesaran di tubuhnya. Hangat.
Jeno hanya menggeleng pelan. Gemas pikirnya. Laki-laki berparas tampan tapi lebih banyak manis disampingnya ini benar-benar menggemaskan. Bagaimana ia marah, kesal dengan menggembungkan kedua pipi gembil itu, bagaimana bibir berbentuk hati berceloteh saat protes kepadanya dan masih banyak lainnya.
Tanpa basa-basi, Jeno meraih satu tangan Haechan lalu menggenggamnya erat dan berdiri dari bangku halte bus. “Hujannya udah reda, ayo gue anter pulang.”
Haechan ikut berdiri, menggeleng. “Ga perlu, gue bisa pulang sendiri.” ucap Haechan sambil melepaskan genggaman tangannya pada tangan Jeno. Tapi nihil, tangannya tidak terlepas tapi justru semakin erat di genggam.
“Lepas.”
“Ga akan. Pulang sama gue.”
Jeno langsung saja menarik tangan Haechan keluar dari halte bus menuju motornya.
“Tapi gue engga mau, anjing— aww!” protes Haechan dengan masih berusaha melepaskan genggaman tangannya namun tiba-tiba saja kepalanya menghantam sesuatu yang dapat ia pastikan itu pasti dada Jeno.
Sedikit mundur, dapat Haechan lihat Jeno yang kini tengah menatapnya dengan lekat dan tajam. Oh, Haechan bahkan baru pertama melihat Jeno seperti sekarang.
“A-apa?!” tidak ingin terlihat terintimidasi, Haechan malah terlihat gugup dan nada suaranya sedikit meninggi.
“Gue udah bilang kan, berandal kecil ga boleh ngomong kasar.” Jeno mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Haechan.
“Atau gue harus panggil lo berandal manis aja, ya?”
“Siapa lo ngatur-ngatur gue?”
“Kalau lo lupa, gue kan pacar lo.”
“GILA! SEJAK KAPAN?”
“Sejak lo nginjek kaki gue di ruang OSIS tadi. Sekarang ayo pulang. Kalo lo ga nurut, gue cium mau?”
Setelah perdebatan kecil, entah apa yang merasuki Haechan untuk pertama kalinya ia menurut pada Jeno. Naik ke jok belakang motor Jeno bahkan sampai melingkarkan kedua tangannya pada Jeno.
“Siap?”
“Jen, tunggu.”
Jeno melepaskan kaca helm full face miliknya dan menolehkan kepalanya ke arah Haechan. “Kenapa?”
“Lo— kita saling kenal ga sih sebelum ini?”