Angkasa tampak tampan di depan kaca dengan setelan kemeja hitam yang dia pakai untuk acara sakral malam ini.
tut tut tut tut Suara nada tunggu telepon Angkasa yang menelpon Angga.
“Halo? Sayang?”
“Apaan sih sayang sayang segala. Malem ini jadi makan malem sama papa mama?” Omel Angga dalam telpon.
“Jadi lah, pake jas ya? Malem ini spesial pake telor kata papa disuruh pake jas.” Kata Angkasa sambil melirik kearah luar kamar yang disana ada Mahen sedang berdiri gagah.
“Yah panas dong? Yaudah gapapa demi mertua apa sih yang engga yakan.”
“Yee mertua mertua belum juga jadi mantu songong amat sih. Jangan kebelet nikah, gabaik.”
“Yang kebelet sapa.”
“Yaudah cepet gih kesini.”
“Iya sayang ku bentar”
“Tadi gamau dipanggil sayang sekarang manggil sayang.”
tutt Suara telpon yang terputus.
Entah kenapa mereka selama berpacaran jarang sekali mengucap kata “Sayang.”
Bagi Angkasa sendiri, memanggil namanya (Angga) saja sudah menunjukkan rasa sayang yang besar. Jadi dia memanggil Angga dengan nama.
“Pah, Kasa deg deg an.”
“Jangan deg deg an. Nanti salah ngomong malu nya seumur hidup ahahaha.”
“Waktu papa ngelamar mama gimana?”
“Kamu jadi mama ya, papa praktekin.” “Nih papa pegang cincin. Papa ga berlutut. Tapi berdiri.” “Alena, kamu cantik melebihi apapun di dunia ini. Hatiku seperti gurun sebelum kamu datang dan menyiraminya dengan cintamu. Ayo kita abiskan waktu bersama nyabut rumput liar dan menikmati mekarnya bunga, jadi mau nikah sama aku?”
Angkasa terenyuh. Ternyata kata kata Mahen cukup romantis.
“Papa bisa romantis, tapi Angkasa gabisa.”
“Bisa. Percaya pasti bisa.”
Angga menyetir mobilnya bahagia, entah kenapa serotonin nya bekerja keras malam ini. Seperti akan ada kejadian besar.
Boy, you got me hooked on to something Who could say that they saw us coming? Tell me Do you feel the love?
“Ya bayangin aja Angkasa tiba tiba nyanyi kaya gitu ahaha.” Gerutu Angga sendiri di mobil
Tak terasa dia sudah memakirkan mobilnya di garasi Angkasa. Terlihat rumah nya gelap gulita, Angga mulai berpikir apakah dia salah membaca undangannya.
“Rumah Angkasa, 18.30 Angga. Aku tunggu.” Setelah dia baca lagi, dia tidak salah. Tapi kenapa gelap begini batinnya.
Angga mencoba menelpon Angkasa berkali kali namun tidak ada jawaban. Dia mencoba mengetuk pintu berkali kali juga tidak ada yang menyahut.
Lalu Angga berinisiatif membuka pintu dan ternyata bisa dibuka.
yaiyalah bisa dibuka, itu pintu ayy. -Satya
diem satya.
ok maaf
Yang dilihat Angga pertama kali adalah dining table yang sudah penuh dengan makanan dengan lilin yang menyala. Tapi tidak ada orang disana.
“Kak Angkasa? Papa? Mama?” “Kok gelap gini sih? Belom bayar token listrik ya? Gamau main petak umpet.”
Setelah menunggu beberapa menit berdiri dan melihat sekitar, Angga menemukan banyak bunga bunga di sudut rumah.
“Kok banyak bunga sih? Ini mau gabung sekte sesat ya? Makanya matiin lampu sama nyalain lilin.” Kata Angga yang mulai panik.
Tiba tiba tv di ruang tamu menyala dan menunjukkan foto nya dan Angkasa. Di dalam foto itu tertulis,
Coba jalan ikutin bunga yang ada di pojok rumah. You will find me. -Angkasa
“Apaan si pake gini ginian. Kan ga keliatan.” Kata Angga sambil menyalakan flash hp nya.
Dan dia sadari perlahan ada musik yang mengiringi.
Heart beat fast~~ Colors and promises~~
Angga tersenyum saat lagu itu di putar, entah darimana datangnya salah tingkah ini.
How to be brave?~~ How can i love when i'm afraid to fall?~~ But watching you stand alone~ All of my doubt suddenly goes away somehow~ One step closer~
Angga masih meraba raba menuju kemana bunga bunga ini, sebenarnya dia sudah terenyuh daritadi. Hanya malu untuk menunjukkan.
“Kak-” “Woah.” Kata Angga yang sudah sampai di ujung bunga terakhir.
Dia melihat banyak bunga dan balon. Lilin yang berbentuk hati, dan seorang yang gagah berdiri menggunakan jas hitam rapi dan berbau harum disana.
“K-kak Angkasa?” Jantung nya berdegup sangat kencang sekarang, bahkan tangannya gemetar.
“Angga,” Katanya lirih. Terdengar santai namun romantis, sepertinya dia sudah berlatih dengan baik tadi.
Angga berdiri mematung menunggu Angkasa menghampiri dan meraih tangannya masuk ke ruangan itu.
“Aku bukan orang humoris. Apalagi orang romantis,” “Berjuta rasa yang tak mampu di ucapkan kata kata. Dengan berbagai cara kamu bikin aku bahagia,”
Angga semakin mematung, merasa seperti ini bukan kenyataan. Dia tak pernah merasa se meleleh ini. Padahal Angkasa baru mengucapkan beberapa kata saja.
“Kamu itu jawaban atas segala pertanyaan. Maukah kamu jadi pilihan ku? Jadi yang pertama dan terakhir? Yang selalu ada di setiap aku membuka mata?”
“Kak-” Angga menangis haru.
“From this day forward, you shall not walk alone. My heart will be your shelter and my arms will be your home. Will you marry me?”
tepok tepok Angkasa menepukkan tangannya sebagai tanda “Ini saatnya” kepada rekan rekannya yang ada di balik semua ini.
“Ayo Angga diterima ngga?” Tanya Mahen yang ternyata sedari tadi bersembunyi di balik pintu.
“Terima ga ngga? Angkasa gabakal tanya lagi loh.” Sahut Satya.
“Yok terima yok bisa yok. Kata katanya Angkasa udah bagus tadi. Dia latihan ngelamar kaya mau wamil sampe kebelet berak beberapa kali.” Kata Dyaksa.
Angga menatap Angkasa lumayan lama dan akhirnya menjawab,
“Iya. Let's get old together.” Kata Angga.
Angkasa memasangkan cincin di jari manis tangan kiri sementara ini sebelum menikah.
Setelahnya Angkasa memeluk Angga sambil menangis gembira, tidak ada kata kata yang bisa dijelaskan untuk perasaan malam ini.
Angkasa lalu mengecup bibir Angga lembut. Mungkin Angkasa lupa sedang di saksikan papa, mama, dan teman temannya.
“Hoi hoi udahan udahan, masih banyak orang. Entar malem lanjut hahahah.” Sahut Ravi.
“Yaudah yuk makan malem dulu?” Ajak mama Angkasa.
“Aduh yang baru lamaran gausah tatapan kali. Gabakal kemana mana iti calonnya, fokus makan.” Kata Sita menyindir.
“Udah sih yang, biarin aja namanya juga baru lamaran. Pasti kaya gitu. Kaya kamu gapernah aja.” Tegur Dyaksa.
Makan malam kali ini paling spesial menurut Angga. Tidak akan dilupakan sampai kapanpun. Sekarang Angga sudah mempunyai teman hidup yang akan dia jaga sampai nanti.