write.as

The Road We Walk Together

“Tes, tes, check, one, two, three,” gumam Seokmin ke dalam mic portable murah yang dibawa Minghao khusus untuk acara ini. Kualitasnya tidak sebagus mic amplifier dan suaranya pecah-pecah, tapi lebih baik ada dan jelek daripada tidak sama sekali.

Seungkwan tidak bisa berhenti tersenyum malam ini.

“Yak, oke, selamat malam temen-temen semua!” sapa MC malam ini alias Seokmin kepada para peserta. “Gimana kabarnya? Udah pada kenyang belum? Kalo belum silakan lanjut makan, sambil didengerin aja pokoknya.”

Seokmin melanjutkan. “Pertama-tama, selamat datang di acara PromVT Farewell SVT malam ini!!” Gemuruh tepuk tangan menyambut ucapannya. “Buat yang nggak tau, PromVT tuh gabungan Prom dan SVT. Gila, panitianya kreatif banget pas bikin nama acara.”

Kata-kata Seokmin sebenarnya tidak lucu, tapi malam ini Seungkwan merasakan kegembiraan tak terdeskripsikan hanya untuk bisa menghadiri acara perpisahan di mana ia menjadi salah satu peserta eksklusifnya, jadi ia tidak bisa menahan tawa keras yang menggelegak dari dada.

Seumur hidupnya, Seungkwan tidak pernah menghadiri acara liburan bersama teman-temannya yang tidak dihadiri supervisi orangtuanya, atau setidaknya orang suruhan orangtuanya. Karena hal itu juga, sulit untuk Seungkwan untuk merasa menjadi sebuah 'bagian' dari sesuatu yang bukan Hansol atau bebas dari pengaruh orangtuanya.

“Malem ini kita bakal asik-asikan dan joget bareng, tapi sebelum itu, ada beberapa apresiasi dan penghargaan yang mau kita kasih.”

“Duit nggak?” seru Chan menanggapi perkataan Seokmin.

“Duit monopoli,” jawab Seokmin serius. Chan memasang ekspresi sebal sementara si MC berhidung mancung hanya membalas dengan cengiran.

“Maap ni geng, belom bisa kasih duit, tapi yang kupunya hanyalah hati yang setia tulus padamu. Hehe, bercanda. Eh, bukan bercanda deng, hati saya beneran tulus, tapi maksudnya—”

Minghao menjawil Seokmin dari tempatnya berdiri di sebelah sofa, menghentikan monolog si MC.

“Oh iya iya, lupa saya kalo masih harus mandu acara. Yak, penghargaan pertama ini sebenernya bikinan panitia tahun ini aja, tahun-tahun lalu nggak ada. Iya, kita sok ngide.”

“Ya emang!” Kini giliran Soonyoung menanggapi. Seokmin memeragakan meninju ke arah BPH-nya, sementara Minghao memijat pelipis. Seungkwan terkikik geli melihat adegan itu. Ia benar-benar akan merindukan ini setelah semuanya selesai.

“Jadi, penghargaan ini akan kami persembahkan buat temen-temen yang sudah mau membantu bidang film dalam proses pembuatan film Artfest, udah mau direpotin syuting ini itu sama kita-kita, udah menyumbang tenaga, waktu, dan materi buat kelancaran proses produksi.” Seokmin tersenyum hangat. “Buat Kak Jeonghan, Kak Jisoo, Seungkwan, Hansol, sama Chan, boleh maju ke depan?”

Seungkwan. Namanya dipanggil. Nama Seungkwan dipanggil untuk menerima sebuah penghargaan apresiasi.

Seketika rasa haru memenuhi dada Seungkwan sampai sesak. Seumur-umur, Seungkwan dibentuk untuk menjadi pribadi yang pantas untuk menerima penghargaan: ia sudah sering memenangkan berbagai lomba, berprestasi secara akademik, menjadi yang nomor 1 dalam apapun yang ia lakukan.

Seharusnya hal ini sudah menjadi biasa untuknya, tapi entah kenapa menerima sebuah participation award hanya karena ia telah menjadi bagian dari sebuah tim membuat Seungkwan merasa sangat bahagia.

“Maaf ya, cuma piagam biasa, tapi kita bener-bener berterimakasih sama kalian karena udah mau jadi bagian dari SVT,” kata Minghao ketika menyerahkan piagamnya.

Seungkwan membaca tulisan yang tertera di piagamnya: 'Piagam ini dianugerahkan kepada Boo Seungkwan untuk keberaniannya keluar dari zona nyaman dan belajar hal yang baru.'

“Eh, yang punya lo tulisannya— oh, ini tuh dicustomize per orang! Yang punya Kak Jeonghan tulisannya 'untuk mengajari kami bahasa Inggris gaul', gila gak?” kata Chan setelah mengintip piagam Seungkwan.

Seungkwan tidak bisa berhenti membaca selembar kertas miliknya, bahkan setelah mereka selesai difoto setelah menerima piagam oleh Mingyu dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia dihargai hanya untuk berpartisipasi.

Orang-orang ini, yang berterimakasih padanya karena ia telah bergabung dengan mereka, tidak hanya memberinya sebuah pengalaman baru, tapi juga menyediakan sebuah tempat untuknya. Mereka menerimanya dan mengajarinya banyak hal.

Seungkwan melihat ke sekelilingnya— dan melirik piagamnya. 'Jangan lupa daftar jadi staff ya! ;)'.

This is the end of something beautiful, but a start of something new.