mudcchi

💉🌸

Seorang lelaki bersetelan rapi tampak memasuki aula megah tersebut. Sendirian saja. Ia segera berbaur dengan beberapa tamu lainnya, yang kebanyakan datang berpasang-pasangan. Baru saja kakinya membawanya beberapa langkah, sebuah seruan bernada ceria memanggilnya.

“Dokter Jinguuji! Terima kasih banyak sudah mau datang!”

Seorang lelaki paruh baya menggenggam hangat kedua tangan kurus Jakurai, menjabatnya dengan penuh rasa syukur, membuat yang disambut merasa sedikit kikuk.

“Sekali lagi, terima kasih sudah bersedia memberikan pidato untuk pernikahan putri saya! Maaf, saya tahu Anda pasti sibuk...”

Jakurai menggeleng pelan. Pria ini adalah direktur salah satu rumah sakit terkenal di divisi lain yang sering bekerja sama dengan Rumah Sakit Pusat Shinjuku. Hari itu, Jakurai datang tak hanya untuk memberi selamat atas kebahagiaan baru di keluarganya, namun juga memenuhi permintaan sang direktur untuk memberikan sepatah kata sambutan pada hari penting putrinya. “Ah, tidak. Anda sudah banyak membantu, hanya ini yang bisa saya berikan untuk membalas budi,” sahutnya merendah.

“Ngomong-ngomong, hari Anda datang sendirian saja?”

Pertanyaan si empunya hajatan hanya dibalas dengan tawa renyah dan pelannya yang khas. “Benar. Hari ini pasangan saya tidak bisa ikut.”

“Begitu! Sayang sekali, padahal saya penasaran sekali seperti apa wanita yang berhasil merebut hati seorang Dokter Jinguuji!”

Jakurai hanya menjawab dengan seulas senyum penuh arti. “Lain kali akan saya kenalkan ia pada Pak Direktur,” ucapnya singkat. Direktur paruh baya itu terkekeh. “Haha! Benar-benar, Anda tidak banyak berubah, masih misterius seperti biasanya!”

Lelaki berambut panjang itu kembali tersenyum simpul. Biarlah orang-orang penasaran, karena kata-kata saja takkan pernah cukup untuk mengungkapkan indahnya kau di matanya. Biarlah, kapan-kapan, mereka melihatmu secara langsung saja, agar kentara terasa pesona wanita yang membuat dunianya makin berwarna.

Tiba-tiba, suara pembawa acara terdengar dari atas panggung.

“Aduh, acaranya sudah mau dimulai rupanya! Saya permisi dulu, Pak Dok. Harus mendampingi putri saya!” Sang Direktur pamit dengan wajah sumringah. Melihat foto mempelai yang terpasang di muka pintu aula, siapapun yang hadir tahu seberapa menawannya putri sang direktur dan calon suami pilihannya. Namun semua tamu—tak terkecuali Jakurai—tetap penasaran melihat keduanya bersanding di pelaminan, di hari khusus milik mereka berdua..

Jakurai duduk bersama pengunjung lain. Di altar, tampak seorang pemuda bersetelan hitam berdiri, terlihat tampan meski sedikit gugup—tak lain dan tak bukan adalah si mempelai pria. Jakurai tersenyum simpul melihat tingkah si mempelai; membayangkan seandainya dirinyalah yang berdiri di altar saat itu.

Menunggumu muncul dari balik pintu.

“Mari kita sambut mempelai wanitanya!” gelegar suara pembawa acara terdengar memenuhi aula.

Serempak seluruh kepala di aula itu menoleh ke arah pintu kayu raksasa di seberang altar, di belakang deretan kursi tamu. Dari baliknya, muncul seorang wanita anggun berbalut gaun putih berhiaskan payet dan renda; terlihat cukup sederhana namun elegan. Wajah jelitanya tertutup tudung tembus pandang. Tangannya menggenggam sebuket bunga lili putih. Tak salah memang sang direktur tadi itu terlihat sumringah; putrinya memang cantik sekali petang itu.

Tetapi, tetap saja, di benak sang dokter hanya ada kamu dan senyummu; sibuk menerka-nerka apakah pujaan hatinya itu akan cocok mengenakan gaun putih sebagaimana yang dikenakan si pengantin.

Prosesi pernikahan berjalan lancar, hingga akhirnya tiba saatnya Jakurai memberikan pidatonya. Ia berjalan ke mimbar, menarik sepucuk kertas berisi teks pidato yang sudah ia siapkan malam sebelumnya. Yang ia tulis sementara kau bersandar di punggungnya, mengantuk karena menungguimu mengetik teks pidato sampai hampir tengah malam.

Jakurai menegur dirinya sendiri dalam hati karena tidak fokus. Ia membuka lipatan kertas, kemudian melempar pandangannya pada para tamu, sepasang pengantin yang tengah tersipu bahagia, serta para pendamping yang tak kalah cerah wajahnya.

Kebahagiaan yang terpancar menghangatkan dadanya. Ia berjanji kelak akan membawamu ke tengah kehangatan serupa; di suatu hari di mana kalianlah yang jadi pemeran utamanya.

Kemudian, Jakurai pun mulai menyampaikan isi pidatonya.

***

💉🌸

Ruangan bioskop saat itu masih gelap, namun bagian kredit sudah terpampang. Ketegangan film kriminal detektif yang ditonton Jakurai bersamamu malam itu perlahan sirna dan sesuatu muncul di benaknya.

Tujuannya mengajakmu menonton.

*

Berhubung usia hubungan kalian yang masih seumur jagung, serta minimnya pengalaman yang Jakurai miliki seputar kencan a la anak muda zaman kini, ia telah meminta pendapat beberapa suster muda di tempat kerjanya. Mereka satu suara mengusulkan bioskop sebagai tempat romantis untuk menjalin kedekatan.

“Pas bioskop sedang gelap-gelapnya, bisa curi-curi pegangan tangan atau merangkul, asyik tuh!”

“Wajib pilih film horor! Kata Bapak, dia takut hantu, 'kan? Bisa jadi kesempatan bagus itu! Kalau dia ketakutan, pasti lengan Bapak akan dipeluk, hihihi!”

Dokter 35 tahun itu jadi malu sendiri mendengar saran menggebu-gebu para suster muda tersebut. Ah, darah muda. Meski ragu ia bisa melakukan adegan klise semacam itu, tetapi ia sudah bertekad untuk mencobanya.

*

Langkah pertama adalah memilih film horor terkenal yang sedang diputar! Status: gagal.

“Film misteri detektif ini kelihatannya lebih seru! Bukannya Bapak pernah bilang kalau sangat ingin menonton ini? Saya juga jadi penasaran!”

Wajah polos dan mata berbinarmu ketika menunjuk poster film yang terpampang di dinding bioskop. Misteri pembunuhan di atas kereta yang tengah berjalan. Memang betul, Jakurai juga penasaran menonton adaptasinya karena novelnya sudah ia baca dan puas dengan ceritanya. Tetapi, hari itu niatnya adalah menyenangkan hatimu, bukan memenuhi keinginan pribadi...

“Tidak mau menonton film horor saja?” Jakurai mencoba menawar; tindakan yang membuatmu mengerutkan kening.

“Saya 'kan sudah pernah bilang, nggak suka nonton film horor...”

Untuk pertama kali dalam hidupnya, pria berjuluk dokter genius itu merasa dirinya adalah orang paling bodoh seantero dunia.

Akhirnya, kalian pun menonton film misteri detektif tersebut. Benar saja, adaptasinya memang luar biasa. Kalian berdua begitu terpaku pada layar, tersedot seluruh perhatiannya ke dalam cerita yang membangkitkan rasa penasaran. Bahkan Jakurai yang sudah tahu seluruh alurnya tetap tak bisa mengalihkan perhatiannya.

Dan ketika film berakhir, barulah pria itu ingat saran para suster untuk melancarkan sentuhan-sentuhan jari secara sembunyi-sembunyi, ataupun lirikan-lirikan penuh arti.

Kalian terlalu fokus pada film hingga lupa pada satu sama lain sepanjang lebih dari seratus menit.

Langkah kedua, status: juga gagal.

Lampu bioskop perlahan mulai menyala, namun kalian berdua masih terpaku di tempat duduk masing-masing, belum ingin cepat-cepat pergi.

“Filmnya tadi seru banget! Dan bagian akhirnya, saya bener-bener nggak nyangka, lho!”

Senyummu yang terlihat puas sedikit memperbaiki mood Jakurai yang mendung karena gagal melancarkan semua rencananya. “Sebenarnya, saya tidak mengira kamu juga suka dengan film seperti ini.”

“Oh, biasanya memang nggak, sih... Tapi...” Kau menggantungkan kalimatmu di udara. Pipimu mendadak terasa agak panas. Hal itu membuat Jakurai heran. “Tapi apa?”

”...Um... Karena Bapak bilang Bapak suka dengan genre ini, jadi saya ingin mencobanya juga...”

Sejenak Jakurai terbelalak mendengar pengakuanmu. Jadi, maksudnya, kau melakukan semua ini demi...?

“Maaf, Pak, Bu, ruangannya mau dibersihkan...”

Sekian detik kesenyapan di antara kalian mendadak buyar ketika petugas kebersihan bioskop datang menegur. Saat itulah kalian baru menyadari kalau semua penonton sudah meninggalkan ruangan. Segera saja kalian bergegas menuju pintu keluar, kemudian berjalan bersisian di koridor bioskop yang sudah agak sepi.

“Aduh, maaf saya melamun tadi, sampai ditegur begitu,” Jakurai menggaruk kepalanya yang tidak gatal untuk menyembunyikan rasa canggung.

”...T-tapi yang tadi itu, saya serius, lho! Bapak ada rekomendasi cerita misteri detektif yang sebagus tadi, tidak?” Kau menoleh ke arahnya, dengan wajah masih agak tersipu, tetapi mata memancarkan antusiasme tinggi.

Dan di mata itu, terpantul senyum Jakurai yang perlahan-lahan merekah.

“Tentu saja. Saya punya banyak novel sejenis. Nanti saya pinjamkan kalau kamu mau.”

“Wah, benar, Pak? Asyiiik!”

Senyuman di wajah pria itu merekah semakin lebar menyaksikan reaksimu. Rencananya malam itu mungkin gagal total—ah, tidak, malah berhasil melebihi ekspektasinya.

***

Terbiasa 💉🌸


“Oh iya, dua minggu lagi aku akan ikut outing kantor selama lima hari.”

Kata-kata itu terucap santai olehmu, tetapi malah membuat lelaki di seberang meja makan sejenak terdiam.

“Lima hari?”

“Ah, ingat 'kan beberapa hari lalu bosku menang lotere? Dia benar-benar kegirangan, jadi toko akan ditutup seminggu dan semua karyawan diajak liburan bersama. Murah hati sekali!”

Tentu dia ingat. Dia selalu ingat semua hal yang kauceritakan padanya sepulang kerja. Ia bahkan ingat bagaimana mimik ceria dan gelak tawamu ketika menceritakannya, ia ingat setiap detiknya. Tapi ada hal yang entah mengapa merisaukan hatinya, meski ia belum yakin itu apa.

“Jakurai?” kau memanggil lembut namanya, mengalihkannya dari lamunan. “Ada apa? Jangan bilang kamu mau ikut.”

Pria itu menghela napas sedikit, lalu terkekeh lembut mendengar kelakarmu. “Fufu, mana mungkin. Itu acara kantormu, bukan?”

“Heheh! Lagipula bukannya minggu itu kau ada janji penting dengan beberapa pasien? Bapak yang kemarin berpapasan denganku di supermarket itu bilang katanya sebentar lagi istrinya akan dioperasi kataraknya. Beliau kedengarannya senang sekali. Kau yang akan menanganinya, 'kan?”

“Haha, padahal sudah saya bilang berkali-kali supaya jangan konsultasi kepadamu,” ujarnya sambil tersenyum simpul.

Kau hanya membalasnya dengan tawa renyah. Saking terkenalnya dokter tunanganmu itu, seringkali pasiennya akan mengenalimu ketika berpapasan saat belanja atau mampir ke tempat kerjamu—pasien yang sudah lanjut usia entah mengapa gemar sekali menceritakan masalah kesehatannya padamu, membuatmu hanya bisa mengangguk sambil tersenyum tanpa tahu harus membalas apa. Bukan masalah buatmu, sih, hanya lucu saja.

“Jadi, tidak apa-apa, 'kan, aku ikut outing?” kau bertanya sekali lagi.

“Tentu saja. Saya tidak akan melarang. Lagipula kamu 'kan sudah dewasa,” ia menyahut tenang.

“Hmm...” Kalimatmu menggantung dengan keraguan. “Tapi kamu sendirian, nggak apa-apa?”

Yang ditanya agak keheranan. “Saya sudah terbiasa tinggal sendiri sebelum ini. Tentu saja tidak apa-apa.”

Bukan itu, sih, masalahnya... Kau mengerutkan dahi, tidak yakin bagaimana harus menyampaikan kekhawatiranmu yang sedikit tak beralasan itu. Setelah diam beberapa saat, kaupun menghela napas. Tunanganmu itu satu dekade lebih tua darimu. Masa' iya kamu masih perlu mengkhawatirkannya seperti itu? Tidak apa-apa, pasti dia akan baik-baik saja, ujarmu pada diri sendiri.

*

“Semua koper dan tas tidak ada yang tertinggal, 'kan?”

“Sudah.”

“Alat-alat mandi?”

“Ada di ransel.”

“Pakaian dalam ekstra? Pembalut darurat? Sudah dibawa juga?”

Kau menghela napas, panjaaaang sekali. Terkadang Jakurai bisa begitu cerewet, tetapi itulah salah satu hal yang menggemaskan darinya. “Sudah semuanya, sayaaang. Kamu 'kan sudah bantu aku berkemas dari tiga hari lalu. Nggak ada yang ketinggalan, kok!”

Perutmu terasa geli melihat pipi tunanganmu memerah akibat kata-katamu. Kalian memang jarang menggunakan panggilan sayang, dan biasanya kau menggunakannya hanya ketika ingin menggodanya saja, seperti tadi.

Dengan gerakan yang mendadak terlihat canggung, ia menyalakan mesin mobil dan perlahan kalian meluncur ke jalanan, menuju bandara. Tak ada yang berucap sepanjang jalan; berdua, kalian menikmati ketenangan itu.

“Mau oleh-oleh apa?” cetusmu memecah keheningan.

“Ah, tidak perlu. Cukup kamu kembali pulang dengan selamat saja,” ujar Jakurai sembari sekilas melirik ke arahmu, senyum tersungging menawan di bibirnya.

Sekarang giliran lidahmu yang kelu karena malu. “Ya sudah, berarti terserahku, ya?”

“Tidak masalah. Saya akan dengan senang hati menerimanya.”

Tak terasa, kalian telah sampai di bandara. Saat baru turun, beberapa rekan kerjamu sudah langsung melambaikan tangan. Kau segera bergegas ke arah bagasi, membantu Jakurai yang tengah menurunkan koper dan tas bawaanmu.

“Bisa bawa semuanya sendiri?”

“Bisa, 'lah! Kecil-kecil begini aku juga kuat, lho!” ujarmu bangga sambil menumpuk tas kecil di atas koper.

Jakurai hanya bisa tertawa kecil melihat tingkahmu. Ia pun menutup pintu bagasi. “Aku berangkat, ya.” pamitmu.

“Tunggu sebentar.”

”?”

Jakurai menarik pinggangmu mendekat, kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya yang besar di sisi wajahmu. Hangat. Sebuah kecupan lembut ia daratkan di keningmu; sedetik, dua detik, tiga detik. Hangat sekali. Seolah ia sengaja mengulur-ulur waktu sebelum harus beberapa hari hidup tanpamu.

Ah, padahal kau belum pergi; padahal kau masih di dekapannya; namun rasanya sudah merindu.

Ketika akhirnya ia pelan-pelan melepaskanmu, kau hanya bisa balas menatapnya dengan pipi yang masih terasa panas. “Hati-hati di sana, ya? Bersenang-senanglah.”

”...Kau juga baik-baik di rumah, ya.”

Kau pun berbalik, melangkah sambil menyeret koper ke tempat rekan-rekan kerjamu sudah berkumpul. Duh, semoga mereka tidak lihat yang barusan. Bisa-bisa kau bakal disindir habis-habisan.

*

Jakurai tiba di rumah saat matahari sudah lama terbenam.

Sepulang dari mengantarmu, ia memutuskan untuk makan di luar. Sayangnya saat itu Doppo belum pulang kerja, dan Hifumi baru saja akan berangkat kerja, jadi ia tidak bisa mengajak rekan setimnya.

“Aku pulang...”

Sapaannya disambut keheningan yang menggema di lorong yang gelap. Perlahan ia meraih saklar lampu. Jakurai tetap terdiam di lorong selama beberapa detik, sebelum akhirnya menghela napas, menertawai keteledorannya sendiri. Mengingat-ingat kapan terakhir kali kesenyapan membalas salam pulangnya.

*

Sudah hampir lima belas menit Jakurai berkutat dengan pengering rambut, tetapi rambut panjangnya belum juga kering total. Jam dinding saat itu sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat. Ia mulai mengantuk, tangannya mulai pegal. Tetapi jika ia tidur dengan rambut masih basah, besoknya bisa berbau apek... Jelas ia tidak menginginkan hal itu.

Layar ponselnya menyala, menunjukkan pesan darimu yang mengabarkan kalau kau sudah sampai dengan selamat di hotel dan sedang membongkar koper. Ia tersenyum melihat foto candid rekan-rekan kerjamu yang terkapar di kasur hotel, lelah setelah perjalanan panjang, yang kaulampirkan bersama dengan pesan singkatmu.

“Sudah malam, aku tidur dulu, ya! Kamu jangan lupa keringkan rambutmu betul-betul sebelum tidur!” pesanmu.

Jakurai hanya bisa tertawa. Setelah membalas pesanmu dengan harapan akan mimpi indah, ia kembali berkutat dengan pengering rambut, bertekad untuk memenuhi amanatmu.

”...Kalau sendirian memang repot, ya,” gumamnya sambil menghela napas panjang.

*

Piiip. Piiip

Masih dengan mata setengah terbuka, ia meraih alarm dan mematikannya. Pukul 5.30. Sesaat ia terdiam di kasur dengan mata terbuka lebar, seolah menanti sesuatu.

Kemudian ia teringat bahwa kasur di sebelahnya memang kosong sejak dua malam terakhir.

Ia pun dengan sigap bangkit, merapikan kasur, dan berjalan menuju dapur.

*

“Lho, Pak, tumben makan di kantin?”

Seorang suster senior menyapa dr. Jinguji saat jam makan siang. Jakurai memberi isyarat pada mereka untuk bergabung di mejanya, sebelum mulai bertutur, menceritakan bahwa kau sedang berlibur dengan rekan-rekan kerjamu selama beberapa hari.

Suster senior itu melemparkan senyum prihatin. “Pasti di rumah sepi jadinya, ya, Pak?”

Jakurai termenung sesaat, menatap nampan berisi makanan kantin RS di hadapannya yang sudah separuh habis. Kemudian ia tertawa canggung. “Ah, tapi saya sudah terbiasa sebelumnya hidup sendiri. Lagipula dia hanya pergi beberapa hari saja. Tidak lama.”

Padahal, ia sudah rindu bekal buatan tanganmu.

*

“Weissss, Sensei dataaaang~ Silakan masuk, silakan masuk~!”

“Hifumi-kun. Permisi, ya.”

Hifumi menyambut Jakurai di pintu apartemennya, kemudian berlari ke kamar untuk membangunkan Doppo yang rupanya masih lelap. Lelaki berambut panjang itu duduk di sofa ruang tamu. Aroma lembut rebusan kaldu daging menggelitik hidungnya.

“Ah... Sensei, selamat datang... Maaf saya malah ketiduran tadi, maaf, maaf, maaf...” Doppo membungkuk dengan wajah masih setengah sadar. Hifumi segera saja menepuk-nepuk punggung temannya itu dengan suara BUKK yang terdengar mengerikan. “Doppochin, bangun woooy~ Ini bukan di tempat kerjamu, 'nggak usah minta maaf sampe bungkuk-bungkuk begitu, dooong!” kilahnya sembari tertawa berderai-derai, yang dibalas dengan geraman kesal Doppo. Melihat tingkah kedua rekan setimnya, Jakurai mau tak mau ikut tertawa.

“Tapi, Sensei, tumben ada waktu senggang hari Minggu pagi...” ujar Doppo membuka pembicaraan.

“Iya, bener, bener! Bukannya biasanya Minggu pagi jadwalnya sama si Non?” Hifumi menimpali.

“Ah, iya. Saya belum memberitahu kalian, ya? Dia sedang ada acara berlibur dengan tempat kerjanya sejak empat hari lalu.” Jakurai kemudian menunjukkan fotomu yang kau kirimkan ketika berada di daerah wisata. Mata Doppo berbinar melihatnya.

“Wah... Sepertinya seru ya... Saya kapan bisa pergi ke tempat seperti itu, ya... Boro-boro diajak libur sama kantor, tiap hari lembur terus... Nggak bisa ambil cuti... Akhir minggu sekalipun kadang ditelepon kantor... Haaahhh...” gerutu si lelaki berambut merah. Ia terlihat seolah menyusut di atas sofa.

Mendengar itu, Hifumi yang kini sudah di depan kompor ikut berceletuk. “Ooh! Berarti Sensei sendirian dong, di rumah? Gimana kalau makan siang di sini saja bareng kami? Saya masak enak-enak, lho, hari ini~!”

Pikiran pria itu mengawang kembali ke beberapa hari terakhir. Kesibukannya memang membuatnya tak sempat menyiapkan hidangan di rumah, jadi ia belakangan selalu makan entah di kantin RS atau memesan makanan dari luar. Meskipun sama-sama hangat, tapi ada perbedaan mendasar antara makanan itu dengan masakan rumahan yang meski sederhana, namun dibuat sepenuh hati. Perbedaan yang baru begitu terasa setelah lama tak mencicipi hidangan buatanmu—yang kadang rasanya tidak bisa ditebak karena kau seringkali kurang konsisten dalam menakar bumbu.

Tapi kecerobohan-kecerobohan kecil itu membuatnya rindu.

“Baiklah, kalau begitu saya terima tawarannya, Hifumi-kun.”

*

Jakurai merebahkan tubuhnya di kasur dan menghela napas.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, namun ia baru saja selesai beres-beres. Cucian yang menumpuk, membersihkan bak cuci piring, mengepel lantai... Hanya pada hari Minggu ini ia memiliki waktu luang cukup untuk mengerjakan semuanya.

Jakurai bergumam, “Padahal rasanya dulu...”

Aneh, mendadak ia tidak ingat bagaimana dulu ia membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus rumahnya ketika masih tinggal sendiri. Padahal, kalian tinggal bersama belum genap dua tahun. Belum begitu lama.

Tangannya meraih ponsel di meja samping kasur. Belum ada pesan masuk darimu. Ia menelusuri foto-foto di galeri ponselnya—yang sebagian besar isinya hanyalah fotomu seorang—dengan senyum yang tak reda-reda.

Sebuah pesan masuk. Darimu. Kau mengabarkan singkat tempat-tempat yang seharian tadi kau kunjungi, makanan-makanan baru yang kaucoba, serta petunjuk-petunjuk tentang cenderamata yang ia beli untukmu—detailnya masih dirahasiakan, tentu.

“Besok pulang jam berapa?” Jakurai mengetik pertanyaan.

“Pesawatnya sampai jam 10 pagi. Aku pulang naik kereta saja, tidak usah dijemput.”

“Tidak apa-apa, saya masuk sore besok. Tunggulah, akan saya jemput.”

Kau hendak menolak, tetapi niat itu kau urungkan. Memang sudah sebegitu menumpuk rindu, hingga rasanya ingin secepat mungkin bisa bertemu lagi dengan pujaan hati. Kau pun mengiyakan tawarannya.

“Bagaimana keadaan di rumah? Ada masalah?” tanyamu.

Jakurai terdiam.

Banyak sekali rasanya yang ingin ia tuangkan dalam pesan balasannya. Ia mencoba merunut kesehariannya belakangan ini. Sudah empat hari ia hanya makan makanan dari luar karena tak sempat memasak. Butuh waktu lebih dari setengah jam untuk mengeringkan rambutnya sendiri. Rumah yang gelap dan dingin menyambutnya sepulang kerja. Tak ada kiriman bekal berselip tulisan tanganmu yang dititipkan ke satpam RS untuknya. Cucian menumpuk yang harus diurusnya sendiri, dan, dan...

Jakurai merasa ingin menertawakan dirinya sendiri, ketika mengingat raut khawatir di wajahmu sebelum kau berangkat. Secercah risau yang menyelip di hati. Agaknya ia mulai paham, yang kau pikirkan saat itu bukan perkara apakah ia bisa melakukan semuanya sendiri.

Jemarinya yang panjang dan kurus perlahan menari di atas layar ponsel, merangkai satu kalimat yang merangkum semua yang ia rasakan selama kau tidak ada di sisinya.

“Sepertinya saya tidak lagi terbiasa hidup tanpamu.”

***

11.57 AM

Hari itu berjalan normal, hampir terlalu normal.

Nyaris setengah hari berjaga di kasir membuatmu agak ngantuk. Pembeli memang tidak terlalu banyak, sih. Apalagi saat itu sudah mendekati tengah hari. Hangat udara musim semi kerap membuai kelopak mata untuk menutup.

Di antara riuh rendah yang menenangkan itu, mendadak telingamu menangkap sesuatu dari perbincangan para pengunjung yang tengah duduk menikmati minuman. Mereka tidak bicara terlalu keras, jadi kau tidak bisa mendengar dengan jelas keseluruhannya. Tapi kau berani bertaruh mereka sempat menyebut-nyebut nama yang teramat sangat familiar.

Huh, tapi dia 'kan memang cukup terkenal. Wajar saja orang-orang membicarakannya, bukan? pikirmu santai.

2.25 PM

Kau baru saja selesai makan bekal di ruang belakang tempat kerjamu ketika kau melihat dua rekan kerjamu memunggungimu, berbisik-bisik sembari melihat ponsel mereka. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan, sehingga membuatmu penasaran.

”...Ini... Pak... yang sering ke mari, 'kan...?” “...pasti... buat dia, hihihi...!” “Ada apa, sih?”

Dua orang malang itu hampir saja melempar jatuh ponselnya ketika kamu tahu-tahu menyapanya dari belakang. Dengan agak gelagapan mereka menepis, nggak ada apa-apa, kok! Lalu bergegas pergi, meninggalkanmu melongo di tengah ruang staf yang kosong.

Ada apa, siiih?

6.54 PM

“Selamat ulang tahuuuuun!”

Baru saja kau selesai membalikkan tanda OPEN di pintu depan, segerombolan orang sudah menyerangmu dari belakang. Kau hanya terkekeh kecil. Niatmu tidak ingin memberitahu siapa-siapa soal hari itu, karena memang kemeriahan seperti itu bukan hobimu. Tapi menyembunyikan juga percuma—lagipula, HRD pasti punya data tanggal lahir setiap karyawan. Dengan senyum kikuk, kau menuruti mereka yang menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Sebuah kue berhias lilin yang menyala-nyala dibawa ke hadapanmu, dan kau pun meniupnya padam dalam sekali hembusan.

8.20 PM

Kamu baru saja memarkir sepeda motor kesayanganmu di bagasi, tak jauh dari Alphard hitam milik kekasihmu. Seperti biasa, sebelum melangkah masuk rumah, kau meraih ponsel dan mengecek pesan yang masuk selama kau tadi berkendara pulang. Ada masing-masing satu pesan ucapan dari Doppo Kannonzaka dan Hifumi Izanami, dikirim pada jam dan menit yang sama—mereka janjian, ya? Kau membalasnya sambil terkekeh.

Ada satu lagi pesan yang baru masuk lima belas menit lalu, saat kau masih di jalan. Berbunyi, “Sudah pulang? Hati-hati di jalan, ya. ^^”

Kau hanya tersenyum sambil memasukkan kembali ponselmu ke saku. Pesan itu tidak perlu kaubalas—tidak dengan kata-kata.

Kau memasukkan kunci ke dalam lubangnya, namun segera menyadari bahwa pintu tak terkunci. Maka kaupun memutar kenop pintu, yang entah mengapa terbuka dengan terlalu mudah. Kau hampir terhuyung ke depan, namun dengan segera pergelangan tanganmu ditangkap oleh sebuah tangan yang besar dan hangat.

”...Jakurai...?”

Berani sumpah, kau hampir tak pernah melihat pria itu tersenyum sehangat dan selebar itu sebelumnya. Tangannya yang lain menyodorkan sebuket bunga, yang kau terima sebelum sempat berpikir apa-apa. Ia menarikmu ke dalam dekapannya, kemudian berbisik dengan suara setenang lautan yang gemanya seolah menggetarkan seluruh belulang dalam tubuhmu.

“Selamat datang. Selamat ulang tahun.”

*

💉 <—>🍭 body switch with 💉🌸

💉 “?! Bagaimana ini bisa terjadi... Saya ada di tubuh Amemura-kun...?” 🍭 “Geh! Kenapa gue ada di tubuh bapak-bapak bau tanah ini sih?!” 💉 “Harus segera cari jalan keluarnya... Tapi sebelum itu, sepertinya saya harus memberitahu 🌸 dulu. Ponsel, ponsel...” 💉 “...Amemura-kun, bisa ambilkan ponsel saya di saku jas?” 🍭 “Hah? Dih, ngerepotin aja!” (keluarin HP) “Hahahaha! Apa-apaan nih, jadul amat!” 💉 “💢 Tolong cepat berikan ke saya, ini penting!” (lompat-lompat berusaha meraih HP) 🍭 (mengangkat HP-nya menjauh) “Nyahahaha~ Gak nyampe~ gak nyampe~ Gimana rasanya jadi pendek, hah? Enak gak? Nyahahahaha~~” 💉 “💢💢💢💢💢💢”

Sepuluh Menit, sebuah kisah 💉🌸

***

Pukul 20.43.

Dengan hati-hati kamu meletakkan tas kertas berisi baju ganti yang wangi di atas mejanya. Tak lupa kamu menyelipkan sekotak bekal makan malam hangat, lengkap dengan sebungkus natto kesukaannya. Sebuah memo kecil kausematkan di atas tas kertas tersebut. Begitu urusanmu selesai, kamu mengambil tas lain yang berisi pakaian kotor dan kotak bekal kosong, kemudian menutup pintu ruangan praktek di belakangmu.

Kau membungkuk dan mengucapkan terimakasih kepada perawat yang tadi menemanimu ke ruangan praktek dr. Jinguji. Saat itu jam besuk sudah usai, jadi normalnya orang luar tidak diizinkan masuk. Tapi kamu punya hak khusus sebagai kekasih dr. Jinguji. Ya, setelah hampir dua tahun bersama, rasanya tidak ada seorangpun di RS Pusat Shinjuku yang tak mengenali wajahmu. Bukannya kamu mempermasalahkannya, tapi, heran juga sih, bagaimana bisa kabar itu menyebar begitu cepat? Mungkin ini memang ada hubungannya dengan kepopuleran kekasihmu di kalangan koleganya.

Perlahan kamu melangkah menuju lift, memencet tombol turun, dan menunggu di depan pintu lift sembari bersenandung. Dalam hati kamu mulai merunut apa saja yang harus dilakukan sesampainya di rumah nanti. Mencuci alat masak yang tadi digunakan, membersihkan dapur, kemudian mencuci baju, lalu mandi...

Pintu lift terbuka dengan bunyi ting yang merdu. Dari baliknya, muncul sosok yang tak asing. Sesaat, matamu dan mata biru safirnya bertemu, sama-sama tertegun dengan kebetulan itu.

“Jakurai...?”

“Ah... Kamu datang, rupanya.”

Rambut panjangnya melambai ketika ia melangkahkan kakinya mendekat, membiarkan para perawat yang tadi satu lift dengannya berlari-lari kecil menjauh sambil sedikit cekikikan. Matamu melirik ke arah mereka dengan rasa malu, tapi itu semua bukan apa-apa dibanding perasaan lain yang membuncah karena lelaki di hadapanmu.

Perasaan itu, ya, rindu namanya.

“Baru pulang kerja, ya?” tanya Jakurai dengan senyuman dan suara yang sama lembutnya. Ah, sungguh, sungguh kamu rindu mendengar suara itu sedekat ini.

“Sebenarnya sudah dua jam lalu, sih. Tadi aku bawakan bekal juga,” kamu mengangkat sedikit tas plastik di tanganmu. “Baju dan kotak bekal kotornya kubawa pulang, ya.”

Ya, ini juga sudah jadi kebiasaan. Tak jarang kekasihmu itu tidak bisa pulang semalaman karena harus menjaga pasien. Ia akan pergi pagi-pagi buta dan baru kembali pagi-pagi buta keesokan harinya. Kalau sudah begitu, kamu biasanya akan mengantarkan pakaian ganti dan bekal makanan. Awalnya, ia bersikeras bahwa kamu tak perlu repot-repot melakukannya. Apalagi, di rumah sakit juga ada kantin. Tapi kamu tahu persis bahwa ia jauh lebih menikmati nasi hangat dan lauk buatan rumah dibandingkan masakan kantin RS yang cenderung monoton.

Selain itu, kamu juga selalu berharap akan dapat kesempatan untuk setidaknya melihat sosoknya meski sekilas—tidak perlu sampai harus bicara dengannya. Cukup melihatnya saja, rasa rindumu bisa sedikit terobati.

Meskipun begitu, meskipun sekarang kalian sudah berhadap-hadapan, kali ini rasa itu seolah tak mau pergi.

“Umm, kamu sibuk, 'kan? Kalau begitu aku—”

”...Ayo ikut aku sebentar.”

Tanpa kauduga, jemari lentiknya sudah mengait di lenganmu, dengan lembut menarikmu mengikutinya. Kalian berdua pun duduk di bangku besi di seberang lift.

Saat itulah, kamu bisa dengan jelas melihat kelelahan di wajahnya. Sedikit aroma keringat bercampur disinfektan dari tubuhnya. Rambut-rambut liar yang terlepas dari kunciran rendahnya. Tak pernah sebelumnya kau harus membendung hasrat ingin mendekap yang begitu kuat sebelumnya.

Tapi ini bukanlah tempat yang tepat, ujar suara kecil dalam hati. Kau tahu persis betapa berdedikasinya ia terhadap pekerjaannya, dan kau tidak ingin mengusik prioritasnya.

Padahal, tanpa kau sadari, prioritasnya pelan-pelan sudah mulai berubah.

”...Jakurai?” Kau memanggil lirih namanya. “Tidak apa-apa? Kamu masih sibuk, 'kan?”

Yang dipanggil hanya tersenyum dan terkekeh pelan. “Tenang, aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu sepuluh menit saja.”

Kalimat sederhana itu dengan segera membuat wajahmu terasa panas. Duh, padahal kalian berdua sama-sama bukan remaja sekolah yang sedang kasmaran lagi. Tapi Jakurai Jinguji selalu berhasil membuatmu kembali merasa seperti demikian.

Seperti jatuh cinta yang pertama kalinya, untuk yang kesekian kalinya.

Jakurai dengan pelan meletakkan dahinya di puncak kepalamu dan menghela napas panjang. Detak jantungmu dibuatnya makin tidak karuan. Namun di sisi lain, kau bisa memahami kelelahannya. Mengawasi pasien-pasien yang kondisinya memburuk tidak hanya memaksanya untuk berjaga semalaman, tetapi juga harus bersiap mental akan kemungkinan terburuk. Bagaimanapun jenius orang-orang menganggapnya, Jakurai Jinguji bukanlah manusia super yang dapat secara ajaib menyembuhkan penderitaan setiap orang.

Perlahan, kau mengusap tangannya yang besar dan kurus. Padahal tadi banyak sekali yang ingin kausampaikan padanya. Sudah makan malam? Bagaimana pekerjaanmu seharian tadi? Nanti pulang jam berapa? Namun, dalam keheningan, seluruh kata-kata seolah lenyap; hanya ada detak jantung kalian yang merdu berpadu.

Sembilan menit sudah berlalu.

Jakurai kemudian mengangkat kepalanya dari peristirahatan dan menegakkan tubuhnya. Sepertinya ia tengah bersiap-siap kembali ke work mode. “Sudah hampir pukul 9, sebaiknya kamu segera pulang. Jangan sampai kemalaman di jalan.”

”...Kamu sendiri?”

Jakurai tersenyum tipis, matanya memancarkan penyesalan. “Maaf, sepertinya besok pulang subuh lagi. Tidak usah ditunggu, tak apa-apa.”

Kini giliranmu menghela napas.

”...Kalau begitu, sebelum pulang, aku ada sedikit hadiah buatmu.”

”? Hadiah?”

Kau melirik sekeliling. Karena jam besuk sudah usai, jadi nyaris tidak ada orang di sekitar kalian. Sempurna.

Dengan satu gerakan gesit, kedua tangan kautangkupkan di kedua pipinya dan menariknya mendekat, kemudian bibirmu dengan lembut mengecupnya. Jakurai sejenak tertegun, tetapi ia tak melawan. Malah, perlahan-lahan kedua lengannya ia rangkulkan di sekeliling pinggangmu.

Sedetik. Dua detik. Sepuluh detik. Duapuluh detik. Dunia di sekeliling kalian seolah jadi fana; yang nyata hanyalah kehangatan tubuh kalian berdua.

Seandainya detik-detik singkat itu dapat berlangsung selamanya. Namun Jakurai tahu persis sampai mana batasmu, jadi ia menarik diri ketika kau sudah nyaris kehabisan napas. Senyumnya melebar ketika melihat wajahmu yang memerah dan sedikit terengah-engah. “Fufu. Hadiah yang menarik sekali,” komentarnya.

Kau hanya bisa menggembungkan pipi, setengah cemberut, setengah menahan malu. “—Kerja yang benar, ya. Pokoknya aku tunggu sampai kamu pulang.”

Jakurai mengacak-acak rambutmu, tak ingin mendebatmu yang sudah bertekad bulat. “Baik, baik. Kuusahakan pulang sesegera mungkin.”

Ia mendaratkan satu kecupan ringan di dahimu sebelum beranjak untuk kembali menjalankan tugasnya. Kau tidak beranjak dari tempat dudukmu hingga sosoknya menghilang di balik dinding koridor rumah sakit.

Kau membenamkan wajah ke dalam kedua telapak tanganmu. Rasanya seluruh kepalamu seperti habis direbus.

Jakurai Jinguji, berhentilah membuatku jatuh cinta padamu berulang kali!

***

Seorang perawat setengah bergegas menghampiri ruangan dr. Jinguji. Ia mengetuk pintunya yang setengah terbuka. “Permisi, Dok...?”

Suaranya terputus melihat sang dokter sedang duduk terpekur, satu tangannya menutupi mulutnya. “D-Dok? Anda baik-baik saja...?”

”?!” dr. Jinguji sedikit terkesiap. “Ah—Ya, ada apa?”

“Dok, kalau memang kelelahan, apa sebaiknya saya panggil dokter lain saja...?”

“Tidak, saya tidak apa-apa. Ada perlu apa?”

“Oh, baiklah... Begini, pasien di kamar #405...”

Perawat itu terus melanjutkan laporannya, namun sesuatu mengusik matanya—ujung telinga dr. Jinguji yang memerah dan wajahnya yang entah kenapa terlihat tersipu. Ingatannya kembali ke saat para perawat senior tengah menggosip soal bagaimana manisnya kekasih dr. Jinguji yang tak pernah absen datang membawakannya baju ganti dan bekal tiap kali beliau harus berjaga semalaman. Ah, jadi rumor itu memang benar adanya. Pantas saja seisi RS Pusat Shinjuku tak pernah bosan membicarakan dua sejoli tersebut.

Madness, a 🐴🌸 Royalty AU

original idea by @spacegawain


Pesta dansa itu berlangsung sama membosankannya seperti pesta-pesta lainnya dalam hidupmu.

Matamu memandang berkeliling, mencari sesosok yang kau harap tak kau temukan. Silau cahaya lampu gantung mewah, ditambah gemerlap kristal dan emas mahal yang menghiasi kostum menawan para bangsawan yang berdansa di aula raksasa itu hanya mempersulit pencarianmu terhadap sosok berambut perak cemerlang yang beberapa waktu belakangan kau berusaha hindari mati-matian.

Sumpah, ya, kalau dia juga ada di sini...

Meski tanpa kausadari, sepasang mata mirah delima tengah memperhatikan celingukanmu dengan tatapan jenaka.

Sepasang mata mirah delima yang paling kauhindari sejagat raya.

Kau baru saja menyadari bahwa gelas anggurmu kosong akibat sibuknya pencarian. Dengan segera kaki-kakimu melangkah ke meja minuman, mengambil gelas kedua—sambil tetap melemparkan pandang was-was ke sekeliling. Seolah dirimu kelinci mungil yang hendak menghindari macan.

Setelah mengganti gelas kosongmu dengan gelas lain berisi anggur, kau berbalik, hendak menuju titik lain di mana kau bisa melanjutkan pencarianmu.

Namun naas, macan itu ternyata sudah menunggu.

“Mencari siapa, Nona?” tanyanya dengan nada seperti menahan tawa. Ia bersandar di dinding tepat di samping meja minuman; begitu alami, seolah-olah ia memang sudah berada di sana sepanjang waktu, menantimu menyadari keberadaannya.

Perasaanmu bergejolak dengan amarah dan hasrat ingin ambil langkah seribu.

”—Bukan siapa-siapa.”

Segera saja kau melangkah ke arah berlawanan dari tempatnya berada, namun tangan besar si 'macan' berambut perak itu cekatan menangkap lenganmu; mendorongmu dengan satu gerakan cepat ke arah dinding dan memerangkapmu di situ dengan lengannya.

Tamatlah riwayat si kelinci mungil malang.

“Mau pergi ke mana, Nona? Bukannya kau tadi sedang mencari seseorang? Ayo, beritahukan padaku.”

Sekuat tenaga kau berusaha menahan keinginan menamparnya; siapa tahu senyuman menyebalkan itu bisa melayang terbang dari wajahnya.

“Kubilang bukan siapa-siapa.”

“Oh, begitu?” gumamnya. Tangannya yang satu lagi lembut mengelus rambutmu, kemudian membawanya ke dekat bibirnya. Satu kecupan lembut ia daratkan di ujung rambutmu, membuatmu merasa seperti garpu tala yang dihantam palu.

“S-s-sudah cukup! Dasar tidak sopan!” Kau mendorongnya dengan kedua tangan—harus dua tangan karena sosoknya yang besar tinggi seperti pintu utama rumah bangsawan. Tawa renyahnya masih terus terngiang di telingamu bahkan setelah kau jauh meninggalkannya di tengah keriuhan pesta.

*

Sudah hitungan minggu semenjak kejadian memalukan itu, namun wajahmu masih tetap berubah seperti kepiting rebus tiap kali mengingatnya.

Sekarang, keadaannya berbalik—kau tidak lagi mencari-carinya. Kau berusaha lari darinya. Dari pemandangan rambut perak dan mata mirah delimanya. Dari tawa renyahnya yang seolah sengaja diciptakan Tuhan untuk meledekmu dan hanya dirimu seorang. Dari senyumnya yang mena—oh, tidak! Tidak! Kau menggelengkan kepalamu kuat-kuat sampai terasa hampir copot. Tidak ada yang menawan dari senyuman menyebalkannya!

Tapi naasnya, sekeras apapun kau berusaha menghindarinya, ia selalu dapat menemukanmu.

Sejenak kau berpikir mungkin ia keturunan anjing pemburu.

Biasanya, kau selalu bisa mengenyahkannya dengan mendorongnya kuat-kuat, atau menginjak kakinya keras-keras, lalu ambil langkah seribu. Akan tetapi, di hari yang cerah itu, entah mengapa taktikmu yang biasa tidak mempan.

Yah, kau bisa apa kalau ia menggenggam pergelangan tanganmu erat-erat?

“Ikutlah denganku sebentar,” ajaknya, suaranya terdengar setenang laut dalam. Kau terpaksa mengalah. Kali ini saja, janjimu dalam hati. Langkah kalian bergema merdu di lorong istana.

Ia baru melonggarkan genggamannya ketika kalian sampai di taman belakang istana.

”—Ada apa membawaku ke mari?”

“Hanya ingin berjalan-jalan bersamamu. Tidak boleh?”

Kau tidak menjawab dan memalingkan mukamu ke arah rumpun mawar di sekelilingmu. Ia pelan-pelan menuntunmu menyusuri hamparan semak dan bunga-bunga semerbak, sesekali melontarkan pertanyaan ringan yang kau jawab singkat. Meskipun begitu, kau harus mengakui kalau hangatnya sinar mentari dan kupu berwarna-warni membuat dirimu sedikit bersuka hati.

Sampai-sampai kau tidak sadar kalau jemari kalian telah beberapa lama saling bertautan.

“Ayo kita istirahat di sana.” Pria berambut perak itu membuyarkan lamunanmu sembari menunjuk ke arah pohon besar rindang di tengah rerumputan. Tanpa menunggumu menjawab, ia membimbingmu ke sana dan membuatmu duduk di bawah teduh bayang pohon.

“Heh, hari secerah ini memang cocok untuk tidur siang.”

“Tidur saja kalau itu maumu,” tukasmu tak peduli.

Jawaban yang salah.

Ia malah membaringkan kepalanya di pangkuanmu, diikuti tawa renyahnya yang biasa itu. Yang menyebalkan itu. “H-hei! Siapa yang mengizinkanmu tidur di sini?!”

“Boleh, 'kan? Kepalaku pusing kalau tidak tidur beralas bantal.”

Aku bukan bantalmu! Ingin kau berteriak demikian, namun sesuatu menahanmu. Cepat sekali ia memejamkan matanya, pulas terbuai mimpi. Kau hanya bisa mendesah panjang. Pria ini selalu, selalu saja seenaknya.

Kau menyandarkan punggungmu ke batang pohon, berusaha membuat dirimu nyaman pula. Sehelai daun gugur berputar pelan di udara dan tersangkut di rambut peraknya. Dengan segera kau memungut dan menyingkirkannya; sejenak mengingatkanmu akan salah satu kebiasaan kecil pria itu. Memungut dan menyingkirkan dedaunan yang tersangkut di rambutmu. Menuntunmu menuruni tangga, meskipun kau bersikeras bisa turun sendiri. Memetik bunga liar yang tumbuh di rerumputan dan menyematkannya di telingamu. Menambahkan balok gula kedua dalam tehmu ketika kau minta hanya satu karena ia tahu persis kau sebenarnya suka manis meskipun selalu diajari buruknya mengonsumsi banyak gula. Lalu, lalu...

Satu persatu ingatan kau telusuri hingga kau jadi bertanya—sudah berapa lama senyum menyebalkan itu terulas di bibirnya?

Kau membenamkan wajahmu yang mulai terasa panas ke telapak tanganmu. Sekarang kau ingat mengapa kau mati-matian berusaha menghindarinya selama ini.

Dia lebih berbahaya daripada macan, atau anjing pemburu, atau pemangsa manapun.

Kau merasakan pria di pangkuanmu telah mengubah posisi tidurnya. Kini ujung hidung dan napas hangatnya lembut menggelitik perutmu, membuat wajahmu semakin merah dan panas. Karenanya, dan karenanya seorang, rasanya kau pelan-pelan jadi tidak waras.

Dan mungkin karena kau memang sudah tidak waras, tanganmu dengan perlahan mulai menyisir pelan rambut peraknya; ibu jarimu mengelus kulit dahinya; bibirmu mengecup lembut pipinya.

Pada detik itu, kau memang sudah tidak waras dibuatnya.

Jadi, sekali itu saja, mungkin tidak apa-apa.

Kau memejamkan matamu, berusaha menenangkan debaran tak keruan dalam rongga dada. Tanpa kausadari, ujung telinga pria itupun perlahan menjadi merah merona.

Sepertinya, pada detik itu, bukan kau saja yang jadi tidak waras.

tw: suicide attempt


Reunion.

If punishment is not a forgiveness, then how should one forgive themselves?

I sighed and took a step back; cursing myself for my cowardice. After another sigh and a look below, I climbed up the wire fence and landed on the other side.

That was when the door suddenly slammed open. A guy in a long ponytail rushed out, panting and clearly panicking.

For what felt like a good thirty second, we stared awkwardly at each other in complete silence.

What... Who is this guy? What he's doing here—Oh, crap, he did NOT happen to see me from below, right...?

“Please don't do it.”

He straightened his body and now I noticed how crazy tall this guy is. Close to two metres, I bet. The shoes in my hand were still hanging in the air, and so was my jaw from the shock.

“What are you talking about—”

“Please,” he begged. “Don't jump.”

I pursed my lips ever so slightly. My, my, of course he would say this kind of utter crap. I dropped my shoes onto the ground and started putting them back on while thinking of what snarky remarks I should throw at him.

“But I didn't, though?” I snorted.

He took his sweet time before finally answering.

“But you were about to, right? I don't know what happened to you, but you still have a long road ahead in your life. Please don't do such a rash thing.”

This again? For real? “Long or short, a shitty life is still shitty. Besides, who could guarantee that everything will be better?”

I suddenly felt extremely cocky and smart for saying that to a guy who was clearly older than me. Now, now, he ought to be looking at me like I was just a child. I probably was to him. How old was this guy? He seemed to be at least 20, no, probably even early 30.

He took a deep breath, and replied with a lonely smile,

“I cannot. Nobody could guarantee that everything will definitely be better. But I believe yours will. That's why you have to discover it yourself.”

I felt like he was saying that more to himself than to me.

I studied his figure. For some reason, his gloved hands were shaking. Was it cold? Fatigue from running up the stairs to the rooftop of a 10-story building? Why? Even though overall he looked completely calm and composed? And suddenly everything he said tickled my funny bone and made me giggle.

A complete stranger, perhaps a decade older than me, somehow had to put up a facade as he tried to stop me.

I felt like I wasn't the only coward that night.

His eyes shot me a bewildered look after I managed to stop giggling. They were in beautiful color of sapphire, his eyes. “Alright, alright, I won't do it. Thanks for the advice, uncle.” I waved casually at him as I walked past towards the rooftop door.

“Wait, where are you—”

“Pssh, don't worry. I won't be looking for another building to jump off from. Bye bye!”

I closed the door and hopped down the flight of stairs, two steps at a time.

*

I suppose that was our first meeting.

It was dark most of the time, so I didn't quite catch his appearance. All I could remember was that he wore military outfit—the more formal one, not the camo print; his crazy height; and his crazy long ponytail fluttering in the windy night. And I bet he wouldn't remember me, either. Especially after I cut my hair short. A cliched outcome, I know. But it still felt refreshing nevertheless.

It had been well over a month since then. I thought I must've forgotten about him. I thought he must've forgotten about me.

But boy I was wrong.

I was carrying, with utmost difficulty, a box full of newly arrived amphibians-related picture encyclopedias when I caught a glimpse of a familiar figure with slender body almost two metres in height and a crazy long ponytail entering the shop. Our eyes met for a split second—or God knows if it was an eternity. I thought he wouldn't have recognized me, not after I cut my hair; not after encountering me just once in that dark corner of the city.

Oh, how I wish the relief reflected on his pair of beautiful sapphires were but a lie...

Cinta 'kan membawamu kembali di sini, menuai rindu, membasuh perih. spotify:track:6MwIBSBiAMGomp4I80Xkgw

💉🌸 Taishou Era AU Original idea by @spacegawain, I simply write a more elaborate version.


“Kamu sungguh-sungguh akan pergi?”

Sebenarnya kau tidak ingin terdengar begitu penuh harap, karena kalian berdua tahu jawabannya akan tetap sama—ya. Sepasang mata safirnya menatapmu; sama berharapnya bahwa kalian bisa tetap bersama meski apa daya itu mustahil.

“Maafkan aku.”

Beribu kali sudah kalimat itu terucap dari bibir tipisnya, dan sepertinya ini akan jadi yang terakhir. Jemari panjangnya terasa dingin saat ia menyentuh pipimu dengan penuh kasih. Kau menggenggamnya erat, seolah berusaha menghangatkannya, meskipun tanganmu sendiri juga nyaris membeku.

Kau ingin bertanya. Mengapa Jakurai Jinguji mendadak harus meninggalkanmu tanpa bisa mengatakan ke mana tepatnya ia akan pergi? Atau berapa lama? Kamu tahu, ia sebenarnya sedang mati-matian menyembunyikan sesuatu darimu. Setiap kali kau memikirkan hal itu, rasanya jantungmu seperti diremas. Tetapi hatimu tetap kukuh untuk mempercayainya.

Salahkah keputusan itu?

”...Kalau aku tidak tahu kau akan ke mana, bagaimana aku bisa menghubungimu?”

Jakurai tersenyum kecut. “...Kau masih sudi ingin menghubungiku?”

“Tentu saja, bodoh.” Apa dia benar-benar berpikir ia bisa menyuruhmu untuk melupakannya?

Pria itu menghela napas. Udara dingin tajam menusuk dadanya, bersamaan dengan rasa bersalah yang beberapa hari ini menghantuinya. Ia tidak tahu kapan bisa kembali—atau apakah ia akan kembali sama sekali. Ia tidak bisa memberimu kepastian. Memintamu menunggu tanpa kepastian rasanya jahat sekali. Membayangkannya saja ia tidak sanggup.

”...Tulislah surat untukku, ya? Kapanpun kau bisa. Cukup agar aku bisa tahu kalau kau masih baik-baik saja,” pintamu.

”...Tapi kau tidak akan bisa mengirimkan balasan.”

“Tidak apa-apa. Aku akan tetap di sini sampai kau pulang.”

Senyum yang kaukembangkan saat itu terasa begitu menguras tenaga. Jakurai mendekatkan wajahnya dan mendaratkan sebuah kecupan di dahimu. Sedetik, dua detik, tiga detik. Dalam keabadian yang singkat itu, kau menghirup dalam-dalam aromanya. Sensasi sentuhannya. Hangat napasnya. Semua yang bisa kautangkap darinya.

“Aku akan kembali, aku janji. Dan saat hari itu tiba, tidak akan ada lagi yang bisa memisahkan kita.”

Bersamaan dengan itu, kau melepaskan genggamanmu dari jemari-jemari panjangnya. Bersamaan dengan itu, kau melihat sosoknya mulai hilang di antara badai salju. Bersamaan dengan itu, tetesan hangat mulai membanjiri pipimu.

Mungkin, mungkin itu memang keputusan yang salah. Suara paraumu meraungkan namanya, dan badai salju menelan semuanya.

*

Musim semi pertama.

Siang itu, sepeda tua petugas pos berhenti di depan rumahmu, mengantarkan sepucuk surat tanpa nama pengirim, membuat hatimu bermekaran.

“Apa kabar? Kuharap kau sehat-sehat saja. Aku pun demikian. Maaf aku tidak bisa mengabari lebih awal. Saat aku menulis ini, salju baru saja mulai mencair. Melihat kuncup bunga yang mulai bermunculan, aku teringat akan dirimu...”

Ia masih menceritakan beberapa hal lain dalam selembar surat itu, namun air mata mulai memburamkan pandanganmu. Pelan-pelan, kau mendekap surat itu sembari mengingat tiga detik terakhir yang kauhabiskan bersamanya.

*

Musim gugur ketiga.

Suratnya datang ketika kau pergi membeli koran di dekat kantor pos. Desamu dihebohkan berita pembunuhan seorang pejabat berkedudukan tinggi yang terkenal korup di ibukota, dan keluargamu pun ingin tahu apa yang terjadi. Tetapi berita itu kini tak lagi penting bagimu. Di dalam hening kamarmu, pelan-pelan jemarimu membuka lembaran surat tersebut, dan menemukan setangkai rumput susuki bersamaan dengan tulisan tangannya yang begitu kaurindu.

“Apa kabar? Kuharap kau sehat-sehat saja. Aku pun demikian. Maaf aku tidak bisa mengabarimu lebih awal; aku sedikit sibuk belakangan ini. Surat ini kutulis di bawah sinar rembulan yang hampir penuh... Apakah kau juga melihatnya? Bulan malam ini begitu cantik, bukan?”

Aah, pria ini, benar-benar... Matamu kembali membaca kata demi kata yang terukir di selembar kertas itu, berulang-ulang hingga kau hapal isinya, sebelum dengan hati-hati menyimpannya di laci mejamu bersama surat-surat lainnya.

*

Musim panas keempat.

Kau membungkuk penuh rasa terima kasih kepada petugas pos. Surat tanpa nama pengirim itu kini telah ada di tanganmu. Hujan di awal bulan Agustus turun begitu deras, sehingga kau secara khusus meminta petugas pos untuk menunggumu yang mengambil surat itu sendiri. Daripada basah terkena hujan, pikirmu. Kali ini, kau menemukan sehelai kashiwa menempel di dalamnya.

“Apa kabar? Kuharap kau sehat-sehat saja. Aku pun demikian. Saat aku menulis surat ini, bunga-bunga musim semi sudah mulai berguguran. Aku menemukan kedai minum teh yang bagus sekali hari ini. Kue-kue yang mereka sajikan juga lezat. Tetapi masih belum ada yang bisa mengalahkan nikmatnya kue buatanmu...”

Senyummu merekah sembari membayangkan sosoknya duduk-duduk di depan kedai teh; melahap mochi yang bungkusnya ia kirimkan padamu. Kapan-kapan, kau harus memintanya untuk mengajakmu ke kedai teh itu.

*

Musim dingin kelima.

Kau baru saja selesai membaca surat dari Jakurai—yang kali ini disertai cerita menggebu-gebunya tentang pengalaman memancing sanma dan sehelai bunga nadeshiko kering—ketika orangtuamu memanggilmu untuk datang ke ruang tamu.

Sesosok pria dengan rambut seputih salju dan mata mirah delima terlihat duduk menunggu; sosok yang tidak kaukenali. Dengan pandangan penuh tanya kau melirik pada kedua orangtuamu.

“Kabar bagus, Nak. Pemuda Aohitsugi ini datang untuk melamarmu.”

Musim semi ketujuh.

“Selamat siang, Nona.”

Suara yang tidak kauharapkan terdengar menyapamu yang sedang duduk-duduk di depan kedai teh. Dengan sigap, tanganmu melipat kembali surat tanpa nama pengirim yang baru kaubaca setengahnya, menyelipkannya di balik obi, dan bersiap-siap kabur. Namun tangan pria itu mencegatmu.

”...Aku sudah bilang, aku tidak bisa menerima lamaranmu,” jawabmu ketus.

“Hei, aku cuma ingin mengobrol,” pria itu menghela napas. “Itu surat dari pria yang meninggalkanmu itu?”

“Bukan urusanmu.”

Pemuda Aohitsugi itu duduk di sebelahmu; mata mirah delimanya terlihat jauh lebih hangat dibandingkan saat kalian pertama berjumpa lewat setahun lalu. Kamu hampir ingin mendampratnya lagi ketika ia mengeluarkan sebuah bungkusan cokelat.

“Oleh-oleh dari perjalananku ke ibukota beberapa waktu lalu. Kudengar kau suka membaca?”

Bingkisan itu kauterima dengan setengah hati. “Terimakasih,” balasmu dingin. “Tapi, tolong jangan harap ini akan—”

“Aku tahu, aku tahu,” potongnya sembari menghisap cerutu. “Setidaknya bukalah dulu.”

Di dalamnya, kau menemukan sebuah buku kumpulan puisi yang ukurannya tak lebih lebar dari telapak tanganmu, serta setangkai bunga krisan merah marun.

”...Mengapa?” kau bertanya lirih pada pemuda di sisimu. Asap cerutu seputih rambutnya terhembus keluar dari bibirnya.

“Kalau boleh jujur... Aku sering melihatmu ketika kau mendatangi kantor pos. Kurasa tak berlebihan jika aku terpikat senyuman yang selalu tersungging di wajahmu saat itu. Aneh, bukan?” ia terkekeh seolah menertawakan dirinya sendiri. “Tetapi ternyata pilihanku memang tidak salah. Semua orang selalu menceritakan tentang keramahan dan sopan santunmu. Bisakah kau menyalahkanku karena jatuh hati padamu?”

Kini giliranmu yang menghela napas. Kau segera bangkit dan mengucapkan pamit padanya tanpa menoleh lagi.

*

Musim gugur kedelapan.

Suratnya datang ketika kau baru saja selesai menyapu dedaunan yang rontok di halaman. Petugas pos dibuatmu terkekeh ketika melihatmu membungkuk berterimakasih berulang kali. Dengan keriangan seperti anak kecil yang baru mendapat permen, kau berlari kecil ke beranda rumahmu dan membuka amplopnya perlahan.

Matamu tengah menekuni kata demi kata yang terukir di atas kertas ketika suara teguran terdengar menggelegar dari belakangmu.

“Surat dari Jinguji lagi?”

Terkesiap, kau segera melipat rapi surat di tanganmu dan mengangguk pelan.

“Usiamu sudah hampir tiga puluh. Mau sampai kapan kau menunggu pria tidak jelas seperti itu, hah?! Kau mau membuat keluarga ini malu?!”

Kau tidak menjawab.

“Aohitsugi mengunjungimu hampir setiap hari dan kau selalu saja bersikap tidak ramah padanya. Coba pikir! Sebentar lagi tidak ada yang sudi menaruh hati pada wanita tua sepertimu! Apa kau mau mati sebagai perawan tua? Menyusahkan saja!”

Secepat suara itu datang, secepat itu pula ia berlalu. Kau menutupi lembaran surat dari kekasih hatimu dengan punggung tanganmu, menjaga agar untaian kata cinta di dalamnya tak luntur terkena air mata.

*

Musim semi kesepuluh.

Kring, kring.

Kau segera meletakkan novel yang tengah kaubaca di beranda. Langkah kakimu riang menyambut petugas pos yang menyerahkan sepucuk surat tanpa nama pengirim, seperti yang sudah ia lakukan secara rutin selama hampir sedekade terakhir.

“Nona terlihat manis hari ini. Yang kaukenakan itu kimono baru, ya? Apa ada hal yang spesial hari ini?”

“Ah, Tuan bisa saja,” sahutmu tersipu. Ketika sepeda tua petugas pos kembali melaju, kau segera kembali ke beranda untuk membaca isi suratnya.

Kali ini, ia menghadiahimu helaian bunga plum kering, menandakan bahwa kali ini suratnya sampai tak lama setelah dikirim.

“Selamat ulang tahun. Aku tak tahu apakah surat ini akan sampai tepat waktu, tapi ketika musim semi tiba, aku selalu teringat akan dirimu. Aku selalu ingat kalau hari kelahiranmu bertepatan dengan mekarnya bunga sakura. Usiamu sudah tiga puluh tahun ini, bukan? Tapi aku yakin kau masih sama mempesonanya seperti ketika terakhir kita berjumpa.”

Kau tidak bisa menahan tawa bahagiamu bahkan setelah membaca ulang isi surat itu untuk yang kedua, keempat, kesepuluh kalinya. Jakurai tak pernah absen mengucapkan selamat ulang tahun untukmu, meski biasanya ucapan itu baru kau terima pada musim panas atau bahkan musim dingin di tahun yang sama. Kali ini, semesta seolah berkonspirasi untuk mendatangkan suratnya tepat pada peringatan hari kelahiranmu. Hadiah apa lagi yang bisa kauminta hari ini? Dengan penuh kasih, kau menghujani surat itu dengan ciuman; setengah berharap semuanya akan tersampaikan pada sang pengirim yang entah berada di mana saat ini.

Dan tanpa kausadari, di ambang pintu masuk rumahmu, luput dari pandanganmu, sepasang mata mirah delima menatapmu nanar.

Ia benci mengakuinya, namun kini ia paham makna senyumanmu yang telah merenggut hatinya, membuatnya jatuh cinta.

Jemarinya mencabut krisan merah yang tersemat di bingkisan yang ia tinggalkan di serambi, sebelum akhirnya melangkah pergi tanpa mengucap sepatah pun.

*

Musim dingin kesepuluh.

Badai selalu membuatmu teringat akan hal-hal yang kaubenci.

Kau tengah sibuk berjalan mondar-mandir, berusaha menjaga agar tubuhmu tidak beku. Hangatnya perapian tidak mempan menangkal dingin yang menusuk.

Hari itu begitu dingin, namun ada saja seorang nekat yang mengetuk pintu depan rumahmu di tengah badai yang menderu.

“Iya, tunggu sebentar,” gumammu pelan. Mungkin itu si pemuda Aohitsugi lagi, pikirmu. Sebenarnya ia cukup jarang bertandang belakangan ini. Barangkali sudah menyerah, meski kau meragukannya. Anak muda itu keras kepala bukan main. Entah apa yang akan dilakukannya kali ini. Membawa hadiah? Sekadar berkunjung? Ingin menemui orangtuamu lagi? Membayangkannya saja sudah membuatmu lelah.

Ketika kau sampai di pintu depan, sekilas kau melihat siluet tinggi besar di baliknya. Hatimu waswas. Siapapun itu, jelas ia bukan si pemuda Aohitsugi.

Kau membuka sedikit pintu untuk mengintip sosok di baliknya. Tanpa kauduga, sosok itu justru mengulurkanmu sepucuk surat.

“Akhirnya aku bisa mengantarkannya secara langsung.”

Kau terdiam, berusaha mengingat-ingat siapa pemilik suara dalam nan syahdu itu. Sulit mengenalinya di tengah deru badai. Dengan ragu, kau membuka pintu lebih lebar lagi.

Kau hampir saja jatuh berlutut jika lengan kurusnya tak menangkapmu, menarikmu dalam dekapannya.

“Kau...?”

Hembusan angin kencang menerbangkan topi jerami yang sedari tadi menutupi wajahnya. Ya, wajah yang begitu kaukenal meski sudah sepuluh tahun berlalu. Senyuman yang masih sama. Sensasi sentuhan yang masih sama. Hangat napas yang masih sama.

“Sepuluh tahun lalu kita berpisah, tapi hari ini kamu masih sama seperti hari perpisahan kita itu. Sama cantiknya, sama manisnya... Terima kasih, kamu sudah mau menungguku...”

Aah, pria ini, benar-benar...

Tanpa ragu, kau membalas rangkulan eratnya. Ya, ini sungguh dia, tidak salah lagi. Bukan lagi hanya tinta-tinta di atas kertas. Bukan lagi hanya helai-helai bunga kering yang terselip di dalam amplop. Ini adalah dirinya, seutuh-utuhnya.

“Selamat datang kembali, Jakurai.”

*

The flower language of red chrysanthemum is “I love you.” https://hananokotoba.com/kiku/ The general flower language of nadeshiko is “bold,” “pure love,” and “fidelity.” https://hananokotoba.com/nadeshiko/ The general flower language of plum is “noble,” “faithful,” and “patience.” https://hananokotoba.com/ume/

💉🌸 five years after.

Piiip. Piiiiiiiip.

Dengan malas, jemarimu meraih ponsel yang terselip di bawah bantal. Kelopak matamu terbuka separuh demi melihat huruf dan angka yang tertera di layar: Hari Sabtu, pukul 5.01 pagi. Kamu bangun sedikit terlalu awal untuk sebuah akhir minggu yang tanpa acara khusus itu; bahkan sang surya pun masih belum beranjak dari peraduannya.

Namun kelopak matamu terbuka semakin lebar begitu indera perasamu menangkap sensasi nafas lembut nan hangat di tengkukmu dan rangkulan lengan kurus di pinggangmu. Kamu membalikkan badan dan menghadap wajah lelap seorang pria yang kemarin malam belum ada di sana.

Oh, tidak, tidak. Ia bukanlah orang asing, tentu bukan—pria itu adalah pemilik hatimu yang semalam harus bekerja shift malam dan sepertinya baru pulang setelah kau tertidur. Kasihan sekali, pikirmu sembari mengusap lembut pipinya yang mulai dihiasi keriput. Kecupan ringan sarat kasih kaudaratkan di pucuk hidungnya, hadiah kecil untuk lelahnya bekerja semalaman.

”—Mmh...?”

Pujaan hatimu menggumam pelan sembari membuka sedikit kelopak matanya; sepasang manik sebiru langit mengintip dari baliknya.

“Ah... maaf, aku nggak bermaksud membangunkanmu...” bisikmu lirih. Jemarimu menyisir pelan rambut panjang pria itu, berusaha mengundangnya kembali ke alam mimpi. “Tidurlah lagi. Kamu baru pulang pukul tiga tadi, 'kan?”

Dengan mata setengah terpejam dan senyum setengah merekah, pria itu mengangguk lemah. “Pukul berapa sekarang?”

“Pukul lima. Kamu baru tidur berapa lama—dua jam, ya?”

Ia mengangguk lagi. “...Kamu sendiri? Jangan bilang semalam kamu menungguku sampai larut lagi...”

Tentu saja, bisikmu dalam hati. Tetapi kata-kata itu tak terucap oleh bibirmu; meskipun tanpa terucap pun ia pasti sudah tahu. Kamu selalu berusaha untuk terjaga hingga ia kembali; namun apa daya usahamu tidak selalu berhasil.

Kamu menghela napas. Meski sudah bertahun-tahun kalian menghabiskan hidup bersama dengan kesibukan masing-masing; meski kamu sudah kenal betul dengan sifat ringan tangan tunanganmu itu; membayangkannya menghabiskan waktu begitu lama di luar rumah dan kembali membawa letih membuat hatimu mencelos. Bukan karena sedikitnya waktu yang bisa ia luangkan untukmu yang jadi masalah; namun usianya yang sudah tidak muda lagi—empat puluh, tahun ini—terkadang menyelipkan rasa khawatir.

Padahal biasanya dialah yang paling dibuat pusing soal kebiasaanmu yang kerap mengabaikan kesehatan.

Kali ini, kecupan lembutmu kaudaratkan di keningnya; lenganmu menarik kepalanya ke dalam sebuah rangkulan hangat.

”...Ah—?”

“Sshh. Sudah kubilang, tidur saja lagi,” desismu. “Kamu sudah bekerja keras seminggu ini, 'kan?”

Tanpa banyak protes, ia membenamkan wajahnya ke dadamu, kedua lengannya menarik tubuhmu mendekat. Tak lama, dengkuran halusnya kembali memenuhi kamar tidur. Wajah damainya sedikit menggelitik hatimu, membuatmu terkekeh pelan. Kecupan lain kaudaratkan di antara kedua matanya; kali ini berisikan harapan akan mimpi indah.

“Selamat tidur, Jakurai. Aku sayang kamu.”

*

aku malah nggak tidur nulis beginian...