Terbiasa
💉🌸
“Oh iya, dua minggu lagi aku akan ikut outing kantor selama lima hari.”
Kata-kata itu terucap santai olehmu, tetapi malah membuat lelaki di seberang meja makan sejenak terdiam.
“Lima hari?”
“Ah, ingat 'kan beberapa hari lalu bosku menang lotere? Dia benar-benar kegirangan, jadi toko akan ditutup seminggu dan semua karyawan diajak liburan bersama. Murah hati sekali!”
Tentu dia ingat. Dia selalu ingat semua hal yang kauceritakan padanya sepulang kerja. Ia bahkan ingat bagaimana mimik ceria dan gelak tawamu ketika menceritakannya, ia ingat setiap detiknya. Tapi ada hal yang entah mengapa merisaukan hatinya, meski ia belum yakin itu apa.
“Jakurai?” kau memanggil lembut namanya, mengalihkannya dari lamunan. “Ada apa? Jangan bilang kamu mau ikut.”
Pria itu menghela napas sedikit, lalu terkekeh lembut mendengar kelakarmu. “Fufu, mana mungkin. Itu acara kantormu, bukan?”
“Heheh! Lagipula bukannya minggu itu kau ada janji penting dengan beberapa pasien? Bapak yang kemarin berpapasan denganku di supermarket itu bilang katanya sebentar lagi istrinya akan dioperasi kataraknya. Beliau kedengarannya senang sekali. Kau yang akan menanganinya, 'kan?”
“Haha, padahal sudah saya bilang berkali-kali supaya jangan konsultasi kepadamu,” ujarnya sambil tersenyum simpul.
Kau hanya membalasnya dengan tawa renyah. Saking terkenalnya dokter tunanganmu itu, seringkali pasiennya akan mengenalimu ketika berpapasan saat belanja atau mampir ke tempat kerjamu—pasien yang sudah lanjut usia entah mengapa gemar sekali menceritakan masalah kesehatannya padamu, membuatmu hanya bisa mengangguk sambil tersenyum tanpa tahu harus membalas apa. Bukan masalah buatmu, sih, hanya lucu saja.
“Jadi, tidak apa-apa, 'kan, aku ikut outing?” kau bertanya sekali lagi.
“Tentu saja. Saya tidak akan melarang. Lagipula kamu 'kan sudah dewasa,” ia menyahut tenang.
“Hmm...” Kalimatmu menggantung dengan keraguan. “Tapi kamu sendirian, nggak apa-apa?”
Yang ditanya agak keheranan. “Saya sudah terbiasa tinggal sendiri sebelum ini. Tentu saja tidak apa-apa.”
Bukan itu, sih, masalahnya... Kau mengerutkan dahi, tidak yakin bagaimana harus menyampaikan kekhawatiranmu yang sedikit tak beralasan itu. Setelah diam beberapa saat, kaupun menghela napas. Tunanganmu itu satu dekade lebih tua darimu. Masa' iya kamu masih perlu mengkhawatirkannya seperti itu? Tidak apa-apa, pasti dia akan baik-baik saja, ujarmu pada diri sendiri.
*
“Semua koper dan tas tidak ada yang tertinggal, 'kan?”
“Sudah.”
“Alat-alat mandi?”
“Ada di ransel.”
“Pakaian dalam ekstra? Pembalut darurat? Sudah dibawa juga?”
Kau menghela napas, panjaaaang sekali. Terkadang Jakurai bisa begitu cerewet, tetapi itulah salah satu hal yang menggemaskan darinya. “Sudah semuanya, sayaaang. Kamu 'kan sudah bantu aku berkemas dari tiga hari lalu. Nggak ada yang ketinggalan, kok!”
Perutmu terasa geli melihat pipi tunanganmu memerah akibat kata-katamu. Kalian memang jarang menggunakan panggilan sayang, dan biasanya kau menggunakannya hanya ketika ingin menggodanya saja, seperti tadi.
Dengan gerakan yang mendadak terlihat canggung, ia menyalakan mesin mobil dan perlahan kalian meluncur ke jalanan, menuju bandara. Tak ada yang berucap sepanjang jalan; berdua, kalian menikmati ketenangan itu.
“Mau oleh-oleh apa?” cetusmu memecah keheningan.
“Ah, tidak perlu. Cukup kamu kembali pulang dengan selamat saja,” ujar Jakurai sembari sekilas melirik ke arahmu, senyum tersungging menawan di bibirnya.
Sekarang giliran lidahmu yang kelu karena malu. “Ya sudah, berarti terserahku, ya?”
“Tidak masalah. Saya akan dengan senang hati menerimanya.”
Tak terasa, kalian telah sampai di bandara. Saat baru turun, beberapa rekan kerjamu sudah langsung melambaikan tangan. Kau segera bergegas ke arah bagasi, membantu Jakurai yang tengah menurunkan koper dan tas bawaanmu.
“Bisa bawa semuanya sendiri?”
“Bisa, 'lah! Kecil-kecil begini aku juga kuat, lho!” ujarmu bangga sambil menumpuk tas kecil di atas koper.
Jakurai hanya bisa tertawa kecil melihat tingkahmu. Ia pun menutup pintu bagasi. “Aku berangkat, ya.” pamitmu.
“Tunggu sebentar.”
”?”
Jakurai menarik pinggangmu mendekat, kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya yang besar di sisi wajahmu. Hangat. Sebuah kecupan lembut ia daratkan di keningmu; sedetik, dua detik, tiga detik. Hangat sekali. Seolah ia sengaja mengulur-ulur waktu sebelum harus beberapa hari hidup tanpamu.
Ah, padahal kau belum pergi; padahal kau masih di dekapannya; namun rasanya sudah merindu.
Ketika akhirnya ia pelan-pelan melepaskanmu, kau hanya bisa balas menatapnya dengan pipi yang masih terasa panas. “Hati-hati di sana, ya? Bersenang-senanglah.”
”...Kau juga baik-baik di rumah, ya.”
Kau pun berbalik, melangkah sambil menyeret koper ke tempat rekan-rekan kerjamu sudah berkumpul. Duh, semoga mereka tidak lihat yang barusan. Bisa-bisa kau bakal disindir habis-habisan.
*
Jakurai tiba di rumah saat matahari sudah lama terbenam.
Sepulang dari mengantarmu, ia memutuskan untuk makan di luar. Sayangnya saat itu Doppo belum pulang kerja, dan Hifumi baru saja akan berangkat kerja, jadi ia tidak bisa mengajak rekan setimnya.
“Aku pulang...”
Sapaannya disambut keheningan yang menggema di lorong yang gelap. Perlahan ia meraih saklar lampu. Jakurai tetap terdiam di lorong selama beberapa detik, sebelum akhirnya menghela napas, menertawai keteledorannya sendiri. Mengingat-ingat kapan terakhir kali kesenyapan membalas salam pulangnya.
*
Sudah hampir lima belas menit Jakurai berkutat dengan pengering rambut, tetapi rambut panjangnya belum juga kering total. Jam dinding saat itu sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat. Ia mulai mengantuk, tangannya mulai pegal. Tetapi jika ia tidur dengan rambut masih basah, besoknya bisa berbau apek... Jelas ia tidak menginginkan hal itu.
Layar ponselnya menyala, menunjukkan pesan darimu yang mengabarkan kalau kau sudah sampai dengan selamat di hotel dan sedang membongkar koper. Ia tersenyum melihat foto candid rekan-rekan kerjamu yang terkapar di kasur hotel, lelah setelah perjalanan panjang, yang kaulampirkan bersama dengan pesan singkatmu.
“Sudah malam, aku tidur dulu, ya! Kamu jangan lupa keringkan rambutmu betul-betul sebelum tidur!” pesanmu.
Jakurai hanya bisa tertawa. Setelah membalas pesanmu dengan harapan akan mimpi indah, ia kembali berkutat dengan pengering rambut, bertekad untuk memenuhi amanatmu.
”...Kalau sendirian memang repot, ya,” gumamnya sambil menghela napas panjang.
*
Piiip. Piiip
Masih dengan mata setengah terbuka, ia meraih alarm dan mematikannya. Pukul 5.30. Sesaat ia terdiam di kasur dengan mata terbuka lebar, seolah menanti sesuatu.
Kemudian ia teringat bahwa kasur di sebelahnya memang kosong sejak dua malam terakhir.
Ia pun dengan sigap bangkit, merapikan kasur, dan berjalan menuju dapur.
*
“Lho, Pak, tumben makan di kantin?”
Seorang suster senior menyapa dr. Jinguji saat jam makan siang. Jakurai memberi isyarat pada mereka untuk bergabung di mejanya, sebelum mulai bertutur, menceritakan bahwa kau sedang berlibur dengan rekan-rekan kerjamu selama beberapa hari.
Suster senior itu melemparkan senyum prihatin. “Pasti di rumah sepi jadinya, ya, Pak?”
Jakurai termenung sesaat, menatap nampan berisi makanan kantin RS di hadapannya yang sudah separuh habis. Kemudian ia tertawa canggung. “Ah, tapi saya sudah terbiasa sebelumnya hidup sendiri. Lagipula dia hanya pergi beberapa hari saja. Tidak lama.”
Padahal, ia sudah rindu bekal buatan tanganmu.
*
“Weissss, Sensei dataaaang~ Silakan masuk, silakan masuk~!”
“Hifumi-kun. Permisi, ya.”
Hifumi menyambut Jakurai di pintu apartemennya, kemudian berlari ke kamar untuk membangunkan Doppo yang rupanya masih lelap. Lelaki berambut panjang itu duduk di sofa ruang tamu. Aroma lembut rebusan kaldu daging menggelitik hidungnya.
“Ah... Sensei, selamat datang... Maaf saya malah ketiduran tadi, maaf, maaf, maaf...” Doppo membungkuk dengan wajah masih setengah sadar. Hifumi segera saja menepuk-nepuk punggung temannya itu dengan suara BUKK yang terdengar mengerikan. “Doppochin, bangun woooy~ Ini bukan di tempat kerjamu, 'nggak usah minta maaf sampe bungkuk-bungkuk begitu, dooong!” kilahnya sembari tertawa berderai-derai, yang dibalas dengan geraman kesal Doppo. Melihat tingkah kedua rekan setimnya, Jakurai mau tak mau ikut tertawa.
“Tapi, Sensei, tumben ada waktu senggang hari Minggu pagi...” ujar Doppo membuka pembicaraan.
“Iya, bener, bener! Bukannya biasanya Minggu pagi jadwalnya sama si Non?” Hifumi menimpali.
“Ah, iya. Saya belum memberitahu kalian, ya? Dia sedang ada acara berlibur dengan tempat kerjanya sejak empat hari lalu.” Jakurai kemudian menunjukkan fotomu yang kau kirimkan ketika berada di daerah wisata. Mata Doppo berbinar melihatnya.
“Wah... Sepertinya seru ya... Saya kapan bisa pergi ke tempat seperti itu, ya... Boro-boro diajak libur sama kantor, tiap hari lembur terus... Nggak bisa ambil cuti... Akhir minggu sekalipun kadang ditelepon kantor... Haaahhh...” gerutu si lelaki berambut merah. Ia terlihat seolah menyusut di atas sofa.
Mendengar itu, Hifumi yang kini sudah di depan kompor ikut berceletuk. “Ooh! Berarti Sensei sendirian dong, di rumah? Gimana kalau makan siang di sini saja bareng kami? Saya masak enak-enak, lho, hari ini~!”
Pikiran pria itu mengawang kembali ke beberapa hari terakhir. Kesibukannya memang membuatnya tak sempat menyiapkan hidangan di rumah, jadi ia belakangan selalu makan entah di kantin RS atau memesan makanan dari luar. Meskipun sama-sama hangat, tapi ada perbedaan mendasar antara makanan itu dengan masakan rumahan yang meski sederhana, namun dibuat sepenuh hati. Perbedaan yang baru begitu terasa setelah lama tak mencicipi hidangan buatanmu—yang kadang rasanya tidak bisa ditebak karena kau seringkali kurang konsisten dalam menakar bumbu.
Tapi kecerobohan-kecerobohan kecil itu membuatnya rindu.
“Baiklah, kalau begitu saya terima tawarannya, Hifumi-kun.”
*
Jakurai merebahkan tubuhnya di kasur dan menghela napas.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, namun ia baru saja selesai beres-beres. Cucian yang menumpuk, membersihkan bak cuci piring, mengepel lantai... Hanya pada hari Minggu ini ia memiliki waktu luang cukup untuk mengerjakan semuanya.
Jakurai bergumam, “Padahal rasanya dulu...”
Aneh, mendadak ia tidak ingat bagaimana dulu ia membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus rumahnya ketika masih tinggal sendiri. Padahal, kalian tinggal bersama belum genap dua tahun. Belum begitu lama.
Tangannya meraih ponsel di meja samping kasur. Belum ada pesan masuk darimu. Ia menelusuri foto-foto di galeri ponselnya—yang sebagian besar isinya hanyalah fotomu seorang—dengan senyum yang tak reda-reda.
Sebuah pesan masuk. Darimu. Kau mengabarkan singkat tempat-tempat yang seharian tadi kau kunjungi, makanan-makanan baru yang kaucoba, serta petunjuk-petunjuk tentang cenderamata yang ia beli untukmu—detailnya masih dirahasiakan, tentu.
“Besok pulang jam berapa?” Jakurai mengetik pertanyaan.
“Pesawatnya sampai jam 10 pagi. Aku pulang naik kereta saja, tidak usah dijemput.”
“Tidak apa-apa, saya masuk sore besok. Tunggulah, akan saya jemput.”
Kau hendak menolak, tetapi niat itu kau urungkan. Memang sudah sebegitu menumpuk rindu, hingga rasanya ingin secepat mungkin bisa bertemu lagi dengan pujaan hati. Kau pun mengiyakan tawarannya.
“Bagaimana keadaan di rumah? Ada masalah?” tanyamu.
Jakurai terdiam.
Banyak sekali rasanya yang ingin ia tuangkan dalam pesan balasannya. Ia mencoba merunut kesehariannya belakangan ini. Sudah empat hari ia hanya makan makanan dari luar karena tak sempat memasak. Butuh waktu lebih dari setengah jam untuk mengeringkan rambutnya sendiri. Rumah yang gelap dan dingin menyambutnya sepulang kerja. Tak ada kiriman bekal berselip tulisan tanganmu yang dititipkan ke satpam RS untuknya. Cucian menumpuk yang harus diurusnya sendiri, dan, dan...
Jakurai merasa ingin menertawakan dirinya sendiri, ketika mengingat raut khawatir di wajahmu sebelum kau berangkat. Secercah risau yang menyelip di hati. Agaknya ia mulai paham, yang kau pikirkan saat itu bukan perkara apakah ia bisa melakukan semuanya sendiri.
Jemarinya yang panjang dan kurus perlahan menari di atas layar ponsel, merangkai satu kalimat yang merangkum semua yang ia rasakan selama kau tidak ada di sisinya.
“Sepertinya saya tidak lagi terbiasa hidup tanpamu.”
***