myfinalea

Penasaran

Jevan P.O.V

“Kak munduran, gantengnya kelewatan.”

Moment itu keulang terus di otak akhir-akhir ini dan jujur aja, cukup mengganggu gua. Udah lewat 2 minggu padahal.

Aneh. Sejak SMA gua udah sering digombalin, tapi gak pernah segemes ini.

Eh.

Tunggu.

Apaan sih? Maksudnya gak pernah kebayang-bayang kayak gini.

Belum lagi, abis dari event itu tiba-tiba entah dari mana ada yang dapet nomor whatsapp gua. Gua pengen tau siapa, tapi kalau bukan yang gombalin gua pas itu gimana?

Tuh anak bakal dateng gak ye, next event?

Kenapa gua mikirin dia terus sih?

“Dih, senyum-senyum,” mama menghamburkan lamunan gua.

“Mikirin siapa tuh?”

“Gak ada,” jawab gue denial.

“Pake malu-malu. Malu noh sama umur. Udah kayak anak SMA aja kamu. Siapa sih? Baru pasti, ya? Udah lama loh, sejak SMA...”

“Bukan apa-apa, Ma. Dah, ah Jevan mau nge-game sama Dion.”

“Kalau penasaran tuh dicari jawabannya,” emang emak-emak tuh titisan cenayang apa gimana?

“Kalau dia duluan yang mulai, coba lah buka sedikit hati kamu, Jev. Nanti kalau dia pergi jangan nyesel.”

Kenapa juga gua harus nyesel? Malah bagus dia pergi dari pikiran gua.

Dimas

Sesuai janjinya, pulang seminar Jingga menemani Dimas pergi mencari baju.

“Tinggi banget anjrit motor lo. Kenapa bukan yang kemarin?” protes Jingga melihat motor yang hari ini dikendarai Dimas berbeda dari sebelumnya.

“Yang kemarin motor abang gua, ini motor gua. Dah, buru naik.”

“Mana lebar banget.”

“Naik aja udah. Protes mulu lo,” ujar Dimas sambil tertawa.

⸝⸝⸝⸝⸝

“Ji, kata lu, gua beli kaos atau hoodie?” tanya Dimas sembari menunjukkan kaos dan hoodie di kedua tangannya.

Jingga terdiam sejenak menatap keduanya.

“Ah gak tauu, lo yang mau make.”

“Dih?”

“Apa?” tanya Jingga kemudian melanjutkan kalimatnya, “Lo beli kaos bisa dapet dua baju, kalau hoodie cuma satu aja. Menurut lu lebih untung yang mana?”

“Hmm, iya sih.. tapi gue suka hoodie nya,” Dimas terdiam sejenak. “Tapi kaosnya juga bagus.”

“Cari yang lain dulu, siapa tau ada yang lebih bagus.”

Setelah berputar-putar setengah jam akhirnya Dimas menentukan pilihannya.

“Eh, gue ada latihan futsal buat festival.”

“Cuma futsal?” tanya Jingga.

“Nggak, sama anak basket. Kenapa? Mau ikut?”

“Hah?”

“Lu mau ikut kan? Ada Astrid juga latihannya.”

“Kan gue gak ikut festival, Dim.”

“Lah, nonton latihan doang mah gapapa kali. Lagian, bukannya basket ada Bara, ya?”

Kenapa tiba-tiba?

Farel

“Ji, udah?” tanya Farel yang sudah siap untuk pulang.

“Kalian mau kemana? Parah banget, gue ga diajak,” ujar Astrid

“Mau ke toko kakak gue, naruh tas terus muter muter naik motor. Lu mau duduk di ban, Trid?” jawab Farel.

“Jahaaat,” rengek Astrid.

Jingga hanya tertawa melihat kelakuan mereka berdua. Dimas hanya melewati Jingga sembari berpamitan kepada mereka bertiga, “Duluan ya, Ji, Rel, Trid.”

“Iya, hati-hati.”

“Eh, Ji,” Dimas membalikkan badannya lagi.

“Jangan lupa nanti hari Sabtu.”

“MAU KEMANA LU BERDUA? PACARAN YA? ANJAAAY. Eh lah? Ji? Bukannya lu suka sama Ko-” belum selesai bicara, mulut Farel sudah dibungkam Jingga.

“Dah ayo ah, lama lu.”

“Ada yang salting, Trid,” ejek Farel.

“Iya nih, ada yang salting,” tambah Astrid.

“Bisa diam tidak?”

⸝⸝⸝⸝⸝⸝

Sore itu, Jingga dan Farel benar-benar menghabiskan waktu keliling kota.

“Kapan-kapan kita makan di situ yuk,” ajak Farel melewati cafe yang biasa menjadi tongkrongan anak-anak kampus.

“Kuy aja. Oh iya, Rel, lu mau cerita apa?”

“Oh ituu, gue kan matkul pancasila sekelas sama kating. Lu mah ga ada pancasila kan semester ini, nah gue sekelas tuh sama si Bara.”

“DEMI APAA? Eh dia orangnya gimana?”

“Ga jelas, anjir. Masa gue sekelompok sama dia, terus dia nunjuk gue jadi ketua kelompok, fak. Apa banget.”

“Hahaha. Ya udah sih, emang kenapaa? Tapi rel, dia anaknya kayak pas osjur ga? Diem gitu.. mana tatapannya dingin banget.”

“NGGA ANJIR. Ga jelas ege dia, kok lu bisa suka sama dia, Ji?”

“Siapa yang suka?” pertanyaan Jingga seakan membantah Farel, Jingga yakin ia masih suka sama Jevan. Meskipun belum ada kelanjutan dari mereka.

“Halah.”

“Ga bole gitu ege, Rel. Lu baru sekali masa udah ngejudge.”

“Hahaha, canda.”

“Rel, sebelah kanan ini apa?” tanya Jingga melihat bangunan berbentuk setengah lingkaran yang dilapisi kaca.

“Itu gereja gue, Ji. Gue kalo ibadah di sana, temen sekelas lu jg ada yg gereja di situ bareng gue,” jawab Farel.

“Lah itu gereja? Bagus banget, gak kayak gereja, gue kira mall.”

“Ji, gue mau ngebut.”

“Ga usah ngadi-ngadi lo-” terlambat, Farel mengendarai sepeda motornya cukup cepat.

Farel hanya tertawa. “Ji, lo suka sama siapa?”

“Maksudnya?”

“Lo tadi bilang, lo gak suka sama Ko Bara. Sama Dimas?”

“Kenapa lu nanya gini?” bukannya menjawab, Jingga melemparkan pertanyaan lagi pada Farel.

“Ya gapapa, keliatannya lo suka sama seseorang.”

“Ya... Ada sih, ntar gue ceritain kapan kapan. Hehehe.”

“Gue inget utang lo, Ji.”

Besoknya

“Jing,” panggil Farel selepas kelas.

“Jangan panggil gua itu ish,” tangan Jingga mendarat di pundaknya

“Lo mah nggak nungguin.. oiya, Astrid mana?”

“Toilet, kita duluan aja,” Jingga menarik lengan Farel menuju elevator.

“Wah gak setia kawan lu, masa ninggalin.”

“Ya orang dia bilang sendiri duluan, lagian nunggu lift dulu.”

“Nyenyenye,” cibir Farel sembari memasang wajah menyebalkan.

“Anj-”

“Eh kasar,” Jingga hanya mengabaikan Farel yang dari tadi menyenggol lengan atasnya dengan siku.

“Apa sih?”

“Galak banget, takut.”

“Geli anjir, Rel. Apaan sih?”

Farel membungkukan sedikit badannya, kemudian sedikit berbisik, “Siapa?”

“Kepo lo.”

Ting!

Pintu elevator terbuka, mereka berdua melangkah masuk ke dalam sana menuju ruang kumpul himpunan.

“Siapa dih? Ji?”

“Ntar juga lo ta-” ucapan Jingga terpotong ketika ia hendak membuka pintu. “...U.”

Jingga berusaha mengontrol mimik wajahnya.

“Misi,” ucap seseorang di depannya dengan suara berat.

Farel yang berdiri di belakang, menarik tudung hoodie yang dikenakan gadis tersebut. “Awas lu anjir, koko nya mau lewat.”

“Eh iya, maaf ko.”

“Itu?” bisik Farel sebelum ia memekik cukup kencang karena Jingga mencubit perutnya.

⸝⸝⸝⸝⸝⸝

“Okee, jadi hari ini kita semua berkumpul. Khususnya para maba pasti belum tau kan kita mau ngapain sih di sini. Kita mau ngapain, Ko?”

“Jadi kita bakal ada Sport Festival. Apaan aja tuh? Ngapain aja? Nah, kita bakal jelasin setelah ice breaking. Kita ice breaking dulu ya, temen-temen.”

“Ini kan yang maba duduknya sama maba, yang kating duduknya sama kating. Ga enak dong, mending kita acak biar berbaur.”

Mampus brader

Setelah melakukan beberapa kali ice breaking, untungnya Jingga tak dapat duduk di sebelah 'Koko Ganteng'.

“Nah, udah ice breaking.. tapi kita belum kenalan, di sini juga banyak kating yg belum kenalan sama kalian pas osjur kemarin. Kita kenalan dulu yook,” ujar Koko tingkat yang memimpin perkumpulan hari ini.

Satu persatu mereka memperkenalkan diri, sampai saatnya yang Jingga tunggu tiba.

“Nama gue Aditya Farizi Albara, panggil aja gue Bara,” mungkin sekarang Jingga bisa lebih tenang karena sudah mengetahui namanya.

“Oh... Bara,” gumam Jingga.

Hari ini, pertemuan orang tua di kampus. Jingga tak pulang, ia menunggu ibunya di kosan. Ia juga berencana bertemu dengan Dimas selagi orang tua mereka menghadiri acara.

“Renji,” sapa Dimas ketika Jingga datang bersama ibunya.

“Bunda, ini temen kuliah aku. Namanya Dimas.”

“Saya Dimas, Tante,” Dimas menyalami Bunda.

“Oh iya, Dimas. Kak, Bunda ke dalem dulu ya. Kamu sama Dimas?”

“Iya, aku di sini aja sama Dimas.”

Selepas Bunda pergi, tersisa Dimas dan Jingga berdua di sana.

“Duduk yuk di bawah situ tuh, sambil nge-charge.”

Mereka berdua duduk di bawah pilar besar di dekat aula sembari berbincang ringan.

Jingga sempat melupakan hari ini ada event.

⸝⸝⸝⸝⸝⸝

Selesai pertemuan orang tua, bunda mengajak Jingga dan Dimas makan bersama di warung sederhana dekat kosan Jingga.

Dimas awalnya menolak, namun akhirnya menerima.

Bunda berbincang dengan Dimas sepanjang jalan. Bahkan saat makan siang, mereka berdua bercengkrama. Dimas sangat ramah dan karakter bunda sendiri mudah bergaul.

“Ji, gua ambil motor dulu di kampus. Tante, makasih ya makan siangnya, saya pamit duluan,” Dimas pamit kembali ke kampus untuk mengambil motornya.

Tak lama Dimas pergi, Bunda pamit pulang

Belajar

Layar ponsel Renji menyala, tertera nama Dimas di sana.

“Gue duduk di deket lift.”

Seseorang melambaikan tangan, ia membalasnya.

“Udah lama?” Dimas membuka obrolan.

“Nggak, santai aja. Mau mulai sekarang?” tanya Jingga

“Kebetulan ada tugas kan ya? Gue udah ngerjain dikit dikit sih, cuma gak tau bener apa nggak,” jawab Dimas sembari membuka bindernya.

“Wah, gue malah belum ngerjain sama sekali. Lo gak ngerti yang mana, Dim?”

“Coba yang nomor terakhir deh, nomor 4, gue nggak paham.”

“Jadi ini caranya...”

⸝⸝⸝⸝⸝⸝

Tugas mereka kini sudah terisi, tinggal dicocokkan lagi dengan anak-anak yang lain di kelas nanti.

“Ji, besok ortu lo dateng?” tanya Dimas.

“Iya, kayaknya sih ibu gue. Lo?” jawab Jingga sambil merapikan barang-barangnya.

“Dateng lah, disuruh. Udah nih? Lo mau kemana, Ji?”

“Pulang.. ke kosan, gue gak pulang kayaknya minggu ini.”

“Bareng gue aja.”

“Kosan gue deket kok.”

“Gak nerima penolakan gue,” Dimas berjalan mendahului.

“Lah.. Dim?”

Koko Ganteng

Jingga dan Astrid keluar dari Hall tempat pameran UKM. Kakak tingkat mereka dengan ramah mengucapkan terima kasih.

“Ji, duduk di situ dulu deh sebelum kelas. Tanggung bentar lagi zuhur..” ujar Astrid

“Okaay.”

Jingga memecah keheningan di antara mereka, “Eh trid, hmm.. kamu tau gak.. duh kok malu aku nanyanya..”

“Apa, Ji?”

“Tapi aku cuma nanya karena penasaran.. kamu tau nama koko yang ganteng itu gak?”

“Kamu naksir kating?”

“HAH? NGGA... Kenapa mikir gitu?” pekik Jingga sedikit keras.

“Hahaha, lucu banget deh. Ngga tau, nanya aja. Siapa tau kan... Yang mana sih yang kamu maksud?”

“Ngga, Trid. Kating yang pas itu di pos, yang kita disuruh ngitung lebar ruangan, yang badannya tinggi, mukanya galak....” Jingga menjabarkan ciri-cirinya.

“Ko... Ko siapa ya? Duh belum terlalu hapal aku, anak prodi kita aja belum hapal.”

“Iya juga sih.”

“Coba nanti kalo ada kumpul himpunan, kan dia ada tuh,”

“Ohiya, bisa bisaa!!”

“Ciee”

“Apa sih, Trid?” pipi Jingga memanas tanpa ia sadari.

Peluang

Jingga barus aja pulang dari kampus, menghabiskan petang di kamar kosnya. Dari tadi ia hanya berbaring di atas kasur, pandangannya tak luput dari ponsel yang digenggamnya.

“Ngapain ya?”

“Kalau kayak gini terus gak bakal ada progress kan ya? Dia di mana, gue di mana. Apa gue nyerah aja? Mulai juga belom...”

“Jevan, lo ganteng gini. Kayaknya lo gak mungkin suka sama gue.”

“Gue mesti apa anjir?”

“PDKT lewat chat?? Jevan lewat chat gimana ya responnya? Kayaknya anaknya gak aktif-aktif banget di sosmed.”

Ia memandang kamera yang dibawanya diam-diam tanpa izin ayahnya.

“Ga mungkin cuma ngandelin event, kan?” nada bicaranya merendah.

“Apa gue pulang tiap weekend ke rumah? Ya siapa tau, bunda ngajak jalan kemana gitu terus ketemu Jevan.. who knows?”

“Tapi...”

Jingga menyadari idenya cukup konyol, terlalu acak dan tak pasti. Bisa dibilang, kini nada bicaranya sangat pelan mendekati lirih.

“Peluangnya bahkan gak sampai angka satu, kan?”

Osjur

Hari ini, hari terakhir Jingga mengikuti kegiatan ospek di kampus.

“Jadi kalian ada game, gamenya di ruang ini aja kok..” kating yang Jingga belum hapal namanya itu menjadi MC untuk ospek jurusan.

“Post 4 di sana ya, pojok kiri kalian. Yang ada koko ganteng,” sahut salah satu kating perempuan, entah di mana orangnya.

“Seganteng apa sih?” gumam Jingga.

“Sekarang kita makan siang dulu ya.”

“Iya, Ko.”

Mereka serempak berbaur menuju tas masing-masing untuk mengambil bekal makan siang. Usai Jingga mengambil bekalnya di dalam tas, ia kembali duduk di tempat semula.

“Eh eh lo.. gue boleh duduk di sini kan?” sesosok pria jangkung menepuk bahu Jingga.

“Iya silakan,” Jingga mempersilakan lelaki itu duduk lesehan di sampingnya.

“Kenalan dong, gue Farel. Lo?” ia menjulurkan tangannya.

“Gue Jingga, panggil aja Renji,” Jingga menjabat tangan pria yang baru dikenalnya tadi.

“Eh, boleh ikutan gaak?” ujar seseorang tiba-tiba. Cewek?

“Sini sini,” Farel menepuk lantai di sampingnya.

“Nama lo siapa?” tanya Farel.

“Gue Astrid, lo?”

“Farel.”

“Jingga.”

⸝⸝⸝⸝⸝⸝

Usai bonding singkat sembari makan siang, mereka kembali ke kelompok masing-masing dan memulai game yang sempat tertunda.

“Eh kita ke pos 4 dulu nih,” ujar seseorang yang diketahui bernama Andre dari nametagnya.

Pos 4 yang katanya ada koko ganteng?

Jingga memutar badannya hendak menuju pos 4.

Lah anjrit ganteng beneran?

Mundur dong!

Jingga P.O.V

“Na, temenin gue ke free pass yuk,” ajak gue sambil menarik tangan Nala menuju gate free pass. Di sana gue ketemu salah satu adik kelas yang sedivisi bareng gue.

“Wahai anakku. Aku mau nanya dong,” sapa gue.

“Apa tuh, ibunda?”

“Kamu lihat jodoh aku gak? Yang ganteng itu, yang—”

Belum selesai gue bicara, kelihatannya dia paham arah pembicaraan gue, “Kak Jae, ya?”

“J-jae?” oh, namanya Jae. Kok Jae? Korea amat? Perasaan mukanya kayak koko-koko komplek rumah gue?

“Iya, dia special performance. Member dari band 6Hari.”

“BAND? BUKAN MEDPAR?”

Tanda-tanda kepercayaan diri berkurang 20%.

⸝⸝⸝⸝⸝⸝

Ternyata penampilan 6Hari keren juga. Gue, Nala, Kak Yuki, dan Kak Ririn cuma terpana sama semua membernya sepanjang mereka tampil.

“Gue dapet banyak foto itu mas-mas nih, Cuy!” seru Kak Yuki.

“Ganteng ya,” gue cuma bergumam sambil liatin layar hp Kak Yuki.

“Eh, itu lu nggak mau foto?” tanya Kak Yuki sembari menunjuk member 6Hari yang lagi asik foto dikelilingi cewek-cewek.

“Masa gue yang minta?” tanya Nala.

“Ji,” mereka berdua natap gue.

“Sianj—” 

“Hehe, urat malu lo kan udah putus, Ji,” ujar Nala. Gue berbalik badan jalan menghapiri manusia yang namanya Jae itu. Makin dekat langkah gue, jantung gue makin gak karuan detaknya. Kurang ajar Katol sama Matol.

“M-misi, Kak. Boleh foto bareng nggak?” tanya gue ramah.

“Boleh, kok,” ramah juga nih orang.

“Ya udah sana, Renji dulu. Gue fotoin,” kata Nala mendorong gue.

Dosa apa sih, gue punya temen 'begeeste' gini?

“Kak, munduran dong,” ujar gue tiba-tiba. Anehnya ini cowok mundur beneran. Gue nahan ketawa. Lucu banget dia anjir.

“K-kak munduran,” ucap gue lagi. Bener aja dia mundur lagi.

Gue ketawa kecil, “Munduran, Kak. Gantengnya kelewatan,”

Dia malah ketawa. Ya Allah, lucu banget mau nangis.