myfinalea

Mas mas medpar

Entah berapa putaran mereka bertiga mengelilingi area sekolah.

“Kak, Kak Ririn gak ke sini?” tanya Nala.

“Mana gue tahu, emang gue emaknya?” jawab Yuki.

“Nah, nah, berantem dah lu bedua. Saling seruduk dah itu jidat,” timpal Jingga yang dari tadi hanya menyimak 'katol' dan teman seper-'matol'-annya beradu mulut.

“Bacot, matol.”

“KAK YUKI KASAR BANGET?”

“Bodo.”

Di arah yang berlawanan, tampak seorang pria jangkung sedang berbicara dengan pria lain di sampingnya. Keduanya berjalan melewati mereka bertiga.

Si pria jangkung melewati mereka sembari menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jemarinya.

“Lo liat apa yang gue liat?” tanya Yuki dengan pandangan lurus ke depan.

“Iya, gue liat,” jawab Jingga dan Nala serempak.

Pandangan Jingga masih tak teralihkan sampai punggung pria tersebut luput dari pandangannya.

“Udah, bego,” Yuki menyadarkan Jingga dari lamunannya.

“Itu siapa ya? Medpar? Medpar mana anjir mau kenalan,” gumam Jingga sembari mengingat daftar media partner tahun ini.

“Dia pasti bukan orang lokal sini, yakin gue,” ujar Nala.

“Iya lah anjir, mana ada orang sini kek gitu,” timpal Yuki yakin.

“Nggak ya, dia orang sini. Gak tau aja lu pada. Hahaha,” ujar Jingga disusul tawanya.

“Cakep gitu?”

“Yaelah lo ngomongin cakep, gue juga cakep, Kak.”

“Na? Jis.”

*) Medpar: Media Partner

Bagudung

“Nala,” Jingga yang sudah tiba di sekolah sedari tadi menyapa Nala.

“Oi, Ji. Masih lama ga sih mulainya?” Tanya Nala yang baru saja datang beberapa detik lalu.

“Masih lah, belum sambutan dari kepala sekolah. Open gate aja belum anjir. Eh iya, lo mau ngecekin kerjaan anak-anak gak? Lumayan buat julid- ehem, maksud gue eval.”

“SKUY RUANG GUEST STAR,” Nala menarik tangan Jingga menuju koridor kelas yang dibatasi police line, menerobos blocking area.

“Makanan kok belum ada? Parah. Untung kaca udah, ruang guest star ciwi-ciwi tuh harus ada kaca. Bisa bawel bgt mereka kalo gak ada,” Jingga hanya tertawa mendengar temannya nyerocos panjang dengan nada nyinyir khasnya.

“Nyinyir banget lo, Na. Numpang ngaca, ah.”

“Ji, ada liptint?”

“Nih. Oiya, Na. Kita gak buru-buru keluar? Nanti guest starnya dateng?” tanya Jingga sembari menelusuri area kelas yang sudah tertata rapi untuk guest star.

“Pfft, guest star mah bisa setengah jam sebelum tampil baru nongol,” Nala tampaknya sudah hapal kebiasaan tamu-tamu yang diundang untuk acara seperti ini.

“Siapa sih? Guest starnya? Gak ada yang gue kenal. Gue cuma baca sepintas e-enam apa gitu enam hari apa enam menit au dah. Kenapa coba namanya enam hari? Padahal genepin aja seminggu.”

“Lu nanya gue? Gue dulu ngurusin guest star juga gak ada yang gue kenal.”

“Ah, gak profesional lu,” cibir Jingga.

“Sianying. Udah ah, yok, ke ruang panitia,” usai bercermin, Nala beranjak keluar dari tersebut.

“Ngapain? Gerah kali.”

“Minta minum.”

Sungguh, alumni yang sangat tidak tahu diri.

“Kak Yuki!” sapa Jingga saat menuju ruang panitia.

“Ngapain lu, matol?” memang bukan Bagudung namanya kalau bertingkah laku dan berbicara seperti manusia yang berakhlakul karimah—berakhlak baik—.

“Mulutmu seperti bukan beragama islam. Dasar katol,” jawab Jingga tak mau kalah.

“Katol apa, Jing?”

“Kating tolol,” jawab Jingga santai disusul telapak tangan Yuki mendarat di kepalanya.