What Do I Call You?
Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari, namun mataku masih terjaga. Memilih menatap kosong ruang obrolan yang sekarang sunyi seakan menunggu gelembung baru di sana. Bukan hanya hari ini, tapi juga terjadi pada hari-hari sebelumnya.
Empty Room
Begitulah nama ruang obrolan tersebut yang kuubah sejak dia pergi.
“Aku pamit, yaa. Kamu jaga diri baik-baik, jangan keseringan begadang dan jaga kesehatan. See you!”
Bahkan aku tak bisa menahannya ketika dia memutuskan untuk pergi. Menahannya takkan mengubah keadaan.
“Halo, apa kabar?” “D...”
Beberapa kali aku hampir mencoba trik pura-pura salah kirim atau pura-pura error hanya untuk mengetahui apakah masih ada dirinya di seberang sana, di ruang obrolan itu. Entah berapa kali aku menghapus pesan yang kuketik tanpa mengirimnya. Kalau pun dia menjawab, apa yang harus kukatakan? Rasa rinduku juga tak akan mengubah keadaan.
“Kalau kamu hilang di sini, aku bisa cari di twitter wleee”
Kapan kamu cari aku lagi?
“Nanti kalau aku senggang mungkin hubungin kamu lagi kali ya hehe, tapi jangan sampai aku kembali, ya”
Bolehkah aku egois sekali saja berharap kamu kembali?
“Dihh, ya udah nanti aku balik pas musim semi lagi haha.”
Waktu terus berlalu dari musim ke musim, sampai akhirnya kembali lagi di musim semi. Bertepatan dengan waktu pertama kali kami betemu, namun aku masih belum terbiasa tanpanya. Alih-alih bayangnya pudar, malah semakin terasa nyata ketika aku memejamkan mata. Alih-alih kenangannya hilang, yang terjadi malah terus ada.
Sampai kapan dia dan kenangannya selalu berputar di kepalaku? Sampai kapan dan berapa lama lagi aku menunggu musim semi datang membawamu kembali padaku?
“Musim semi udah datang lagi, kamu gak mau kembali?”
Lagi, yang kulakukan adalah menghapus pesan alih-alih mengirimnya. Berlebihan memang jika aku bilang bahwa aku terpuruk tanpanya, tapi mencarinya dan menghubunginya lagi... bukankah tak akan membuat dia kembali padaku?
Orang bilang, perpisahan akan selalu menyakitkan bagaimana pun caranya. Akan tetapi, cara pisah yang baik-baik justru lebih menyakitkan apalagi dipisahkan keadaan dan kenyataan.
“Aku gagal ujian...” ujarku ketika gagal masuk universitas impianku.
“Mau peluk? tapi kamu jauh. Ya udah aku send virtual hug aja, yaa. Aku bangga sama kamu, kamu udah ngelakuin yang terbaik, kamu gagal berarti memang bukan jalannya di sana. Gapapa, kok. Aku tetep bangga sama kamu.”
Siapa yang akan selalu bangga denganku kala kumenemukan kegagalan lagi?
“Pipiku jadi lebih besar karena sering ngemil,”
“Gapapa, lucu. Biar bisa aku mam pipinya, hehe. Kalau gak jauh.”
Andai...
“Aku gak makan malam karena mau turunin berat badan. Jadi jangan paksa aku makan malam ini!!”
“Emangnya kamu gak laper? Aku sih mau bikin mie instan wlee, kasian deh gak bisa makan.”
Andai semuanya bisa ulang kembali.
“Teman baru di kampusku cantik-cantik, aku minder deh.”
“Gak boleh insecure, kamu cantik, kamu gemesin.”
Namun sekarang semuanya tinggal kenangan yang terus berulang di kepalaku, kenangan yang mampu untuk kuingat kala aku membutuhkannya. Sebatas sisa dan serpih bayangnya yang mampu membuatku tenang kala aku mulai hilang kepercayaan diri.
“Aku gak akan hapus akun atau chat ini, supaya kalau kangen bisa dibaca ulang.”
Apa kamu benar-benar masih di sana dan baca ulang ruang obrolan yang mati ini?
Antara siang dan malam, rasanya aku adalah orang yang berbeda. Ada saatnya aku menjalani hidup seperti bagaimana mestinya, baik-baik saja tanpa hadirnya. Ketika malam tiba rasanya aku seperti hancur berkeping-keping karena rasa rindu. Rasanya seperti hampir gila sendiri karena bayangnya, rasanya ingin sekali aku keluarkan dia dan segala kenangan dari dalam kepalaku.
Perpisahan itu selalu menyakitkan, entah dengan cara yang buruk maupun berpisah secara baik-baik... yang aku tahu berpisah karena keadaan menyakitkan, ditambah lagi ketika dia pergi tanpa meninggalkan jejak untuk dihubungi kembali dan selalu dihujani rasa rindu tanpa tahu bagaimana cara meredakannya.
-L