write.as

“Saya udah hubungin Pak Gong Yoo,” kata Daniel, menggoyangkan ponsel di tangannya, “lagi diurus. Kemungkinan besar jadwal sidang kamu diundur. Tapi balik lagi, kamu coba konsultasiin ke pembimbingmu dulu sebaiknya gimana.”

Yena mengangguk kecil dengan mata yang masih sembab. Ia menggumamkan “Terima kasih, Kak,” dengan suara kecil, lalu kembali menunduk dan menatap ke pangkuannya.

“Untuk sementara, kamu bebas kalau mau ngerjain di sini. Pakai aja alat-alatnya sesuka kamu, oke?” lalu dia mengedikkan kepala ke Woojin, yang duduk di sebelah Yena, “nanti kamu juga dateng aja, temani dan support pacarmu.”

Woojin langsung sigap memberi tanda hormat, “Siap.”

“Janjian aja sama...” Daniel menolehkan kepala, mencari-cari sosok lelaki yang sedari tadi ia kira berada di sampingnya.

“Itu Jihoon di pojokan, kak.” tunjuk Woojin.

Mata Daniel langsung menangkap sosok Jihoon dari kejauhan, sedang berdiri terdiam di sebelah jendela sambil bersidekap. Sesekali, ia menggigit bibir dan melirik ke ponselnya, seolah menimang-nimang sebuah keputusan yang Daniel yakin seyakin-yakinnya—pasti akan berakhir dengan Jihoon mengorbankan dirinya sendiri. Apapun itu, Daniel harus pastikan ia tidak melakukan hal yang gegabah.

Ketika langkah-langkahnya mencapai tempat berdirinya lelaki itu, Jihoon mengeluarkan suara.

“Saya mundur aja kali ya,” lirihnya, pandangannya masih terfokus ke lantai.

Daniel menarik napas, “Tinggal H-6 loh.”

“Tinggal H-6 juga buat Yena,” sambar Jihoon, dahinya berkerut frustrasi. Ia menggelengkan kepala, “Harusnya yang kena itu saya. Harusnya yang karyanya ilang itu saya. Ini semua salah saya, jadi udah sepantesnya kalo saya yang ngundurin diri—”

Ada dekapan hangat yang memotong ucapannya, dan ada usapan di punggungnya yang membuat bahu Jihoon otomatis mengendur. Dagu Daniel ditempatkan di pucuk kepalanya dengan nyaman—dan walaupun Jihoon tidak membalas pelukan itu, toh jemarinya tetap menggenggam erat kemeja Daniel, seperti tidak mau melepaskannya juga.

“Ada Woojin sama Yena,” bisiknya, tapi ia tidak bergerak sama sekali dari posisi itu.

Usapan di punggung Jihoon tidak berhenti.

“Kamu juga gak bakal keliatan ini,” tukas Daniel, suaranya berat dan teredam oleh rambut Jihoon. “Kehalang badan saya, sih.”

“Kegedean.” Jihoon bergumam ke dada Daniel.

“Hmm.”

Beberapa detik yang menenangkan berlalu, dan akhirnya Jihoon melepaskan pelukan itu sambil menghela napas panjang. Ia menatap Daniel, “Kak, saya serius sama omongan saya tadi.”

Lawan bicaranya justru memasukkan tangan ke saku dan bersender ke meja di sebelahnya. “Don't you think you've worked hard enough to get here? Masa, kamu mau mundur setelah udah berjuang selama berbulan-bulan.”

“Karena nggak akan kerasa adil, kak. Saya tetep maju sementara temen saya malah harus ngulang karena kesalahan yang saya perbuat...”

“Sekarang begini. Gimana kalau pelakunya nekat dobrak masuk? Yang kamu ceritain soal anak arsi itu juga ruangan mereka udah dikunci, tapi pelakunya masuk lewat jendela. If someone has the intention and the means to do it, they’re gonna do it. Regardless the situation. Yes, mungkin kamu memang memudahkan mereka. Tapi kalau orang udah ada niat jahat, it'll still happen anyway,” Daniel menghela napas panjang, memijat dahinya untuk beberapa saat. Lalu suaranya melembut, “I know what happened to your friend sucks. Tapi kita udah lakuin apapun yang bisa kita lakuin. Nggak ada gunanya nyalahin diri sendiri.”

Jihoon memalingkan wajah, menolak untuk menatapnya.

Pria itu menangkup pipinya, mengelusnya pelan, “Hei, dengerin saya. I know this is going to sound terrible, but sometimes... sometimes you have to be a bit selfish at times like this. Bersyukur aja punya kamu nggak kenapa-kenapa, oke?”

Ditepis.

“Saya kira kakak bakal dukung saya untuk mundur. Karena itu hal yang sepatutnya dilakukan.”

Is it?” tantang Daniel, bangkit dari posisinya, “yang harusnya kamu lakukan adalah maju. Kamu maju untuk teman kamu yang secara unfortunate harus mengalami kejadian nggak mengenakan itu. Kamu maju untuk orang-orang yang udah dukung kamu. Kamu maju untuk orang-orang yang iri sama kamu, orang yang mungkin saat ini juga mengharapkan kamu untuk mundur. Dan yang pasti, kamu maju untuk diri kamu sendiri.”

Tubuhnya menjulang di hadapan Jihoon. Wajah pria itu terlihat seolah menahan sesuatu yang berkecamuk. Ia memandang Jihoon, nanar.

You do it for you, because in the end, you won't have anyone besides yourself,” suaranya lirih, lebih mirip gumaman pada diri sendiri. Ia kemudian berusaha mengeluarkan senyuman kecil, “Trust me, I know this very well.

Dan Jihoon sendiri tidak membalas apapun, karena ia tahu hal ini sudah menyangkut ke ranah yang sensitif. Ia mengepalkan tangan, dan ada rasa panas yang familiar di belakang kelopak matanya.

Kenapa?

Kenapa harus dia?

Kenapa ada orang yang sebegitu bencinya terhadapnya?

Kenapa ia dituduh penjilat dan pencuri?

Ia mencuri apa?

Pria di hadapannya mengusak rambut Jihoon, membuyarkan lamunannya. Rupanya bahu Jihoon berjengit kaget, membuat gelak tawa terpecah dari mulut pria itu.

“Udah. Kamu mending kuatin temen kamu. Jangan nyalahin diri sendiri lagi, oke?” ujar Daniel sambil tersenyum, lalu ia menghembuskan napas, “untung temen-temen kamu masih pada waras ya. Nggak langsung pointing fingers dan main salah-salahan.”

“Mark bilang pelakunya bisa dari orang luar. Tapi Hangyul bilang, perawakan pelakunya kayak masih mahasiswa,” kata Jihoon, mengerutkan kening. Lalu ia menambahkan, “Saya gak mau mikir kalo itu anak kampus, apalagi anak TA..”

“Jihoon,” potong Daniel, serius, “kamu bener-bener nggak bisa percaya sepenuhnya sama seseorang di dunia ini. Kesannya berlebihan, but it's true. Anyone can do anything if they're driven by hate. Or envy, jealousy, you name it.

“Tapi, rasanya nggak mungkin...” lalu ia berhenti sejenak, tenggelam dalam pikirannya sebelum menggelengkan kepala, “entahlah.”

“Kamu kepikiran ada orang yang benci atau iri sama kamu, nggak?”

Jihoon menggigit bibir. Benaknya kembali memutar-mutar beberapa pasang nama. Lalu ia menggelengkan kepala lagi.

Tampaknya Daniel tidak begitu percaya, karena ia lantas memegang bahu Jihoon dan berkata, “Sayang, kalau kamu punya dugaan, atau kamu udah tau pasti orangnya siapa—jangan segan untuk ngelapor. Oke? Percaya sama saya. Saya pernah ngalamin, and sometimes kindness gets you nowhere,” decihnya pahit. Ia kembali memandang Jihoon dengan tatapan serius, “No tolerance for despicable people like that. Okay?

Jihoon belum sempat menjawab dengan sangkalan yang sudah ia siapkan—karena baginya, ia tetap harus mendengar penjelasan dari siapa pun yang melakukan hal itu sebelum memutuskan tindakan ke depannya. Mau sesepele apapun, ia tidak akan berhenti untuk memintanya. Paling tidak, Jihoon merasa ia berhak untuk mengetahui segala sesuatu yang terjadi dari semua pihak yang terlibat—sebagai balasan karena sudah ditempatkan di posisi yang tidak mengenakkan.

Argumennya berada di ujung lidah, saat ia mendengar seruan dari ujung ruangan. Woojin menunjuk-nunjuk dengan kalang kabut, memberi gestur untuk segera membuka ponselnya.

Daniel memperhatikan saat Jihoon mengeluarkan ponsel dan mengetuk ke notifikasi yang sudah bertumpuk. Ia menelengkan kepala, turut penasaran dengan apa yang diributkan.

Aplikasi burung biru itu terbuka, dan samar terdengar napas Jihoon yang tercekat.

Di saat yang sama, mata Daniel melebar. Sekujur tubuhnya mendingin, jantungnya berdegup kencang di ritme yang hampir tidak normal, dan seperti ada suara bising sirine yang mampir ke pendengarannya. Rasanya begitu familiar. Terlalu familiar.

‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎ ‏‏‎ ‎

(Cukup saya aja yang pernah ngerasain penderitaan kayak begini.

Jangan, jangan sampai kamu kena.)