Suara dari bel yang berbunyi nyaring pada akhir pelajaran menandakan telah usainya kegiatan belajar dan mengajar pada sekolah hari ini. Seluruh murid beramai-ramai keluar dari kelas menuju halaman besar yang dijadikan sebagian untuk tempat parkir atau taman tunggu yang memiliki jemputan.
Sama hal nya dengan murid lain; Mikel dan Jen yang masih berjalan melewati koridor dengan tangan Mikel merangkul di pundak Jen sembari menyapa pada setiap murid angkatan kenalan mereka.
Tidak ada yang lebih di tunggu selain jam pulang sekolah dimana semua murid akan kembali kerumah mereka untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang telah lelah. Entah memilih pulang dan tidur, atau berdiam diri di dalam sebuah toko dengan makanan dan minuman ringan sembari bersantai.
Tentu Jen yang baru saja memulai hari pertamanya di sekolah berfikir bahwa bersantai dengan mengunjungi beberapa toko menarik bukanlah ide yang buruk.
Satu tahun nyatanya waktu yang cukup untuk membuat perubahan besar pada jalan yang dulu sering Jen lewati. Terasa asing, dimana beberapa toko yang Jen kenali berpindah tempat atau terganti.
Seperti bangunan gedung yang tadinya penuh buku menjadi gedung layanan asuransi, atau sebuah toko langganan kue kering berubah menjadi toko pijat refleksi.
Itu adalah salah satu kecilnya, sehingga rasanya kawasan yang tadinya tidak terlalu ramai menjadi kawasan paling banyak di kunjungi.
Getaran pada ponselnya membuat Jen tersentak, masih dengan berjalan ia ambil ponsel yang terdapat di saku celananya. Sebuah pesan dari sang Kakak—bertanya, apa Jen mau di jemput atau tidak.
Jen ketikan balasan untuk Kakak-nya jika ia memilih pulang dengan bus tanpa harus di jemput. Ia berencana ingin berkeliling untuk mengingat setiap jalan yang akan ia lewati. Tentu, juga mengunjungi beberapa toko seperti yang Jen bilang.
“Lu di jemput gak? Atau mau pulang bareng gua?” Tanya Mikel, mengeratkan rangkulannya pada pundak Jen.
Jen menggeleng, menatap sekilas Mikel lalu menepuk punggung teman-nya itu. “Thanks, lain kali aja. Kayanya gua mau naik bus hari ini.”
Satu alis Mikel terangkat, menatap heran Jen setelah mendengar jawaban dari teman-nya itu. Ok, sejak kapan Jen suka menaiki benda panjang yang penuh dengan orang-orang(?)
“Lu yakin, Jen?”
Jen mengangguk. “Iya, kenapa emang?” Dan Mikel hanya bisa menggeleng sebagai jawaban.
“Yaudah, gua duluan, ya?”
“Ok, bye Mik.”
“Sip. Oh—kalau lu cari Luke sama Han, mereka pulang bareng. So, jangan dicariin bro.”
Suara tawa terdengar lirih sebagai respon ucapan Mikel. Jen mengangguk lagi bersamaan tangannya yang mendorong pundak Mikel pelan. “Iya, udah sana.”
“Bye.” Ucap Mikel, kemudian tubuhnya berbalik di belokan—meninggalkan Jen yang berjalan ke arah luar sekolah karna arah yang mereka lewati berbeda.
Setelahnya Jen memasukan ponsel kedalam saku, lalu kembali berjalan hingga sampai di luar sekolah. Langkahnya Jen arahkan menuju halte, berniat menunggu bus yang akan datang membawanya berkeliling.
Pandangan Jen mengarah ke bawah, melihat jalan yang ia pijaki sesekali menoleh ke-samping, memperhatikan apapun yang tertangkap di matanya. Saat pandangan Jen beralih kedepan dengan jarak yang hanya tinggal beberapa meter, kaki Jen berhenti. Nazen disana, berdiri dengan dua box jualannya di masing-masing genggaman tangannya, juga tas yang tersampir pada pundak sempit itu.
Satu alis Jen terangkat, bibirnya menyunggingkan senyum tipis tanpa Jen sadari. Seperti maling yang mengendap-ngendap, Jen berjalan pelan tanpa suara. Jangan tanya mengapa karna ia pun tidak tahu. Berniat mengagetkan pun tidak, tetapi tubuh-nya seakan bergerak sendiri tanpa di perintah.
Nazen segera mengusap tengkuknya kala rasa menyengat itu kembali ia rasakan. Spontan Nazen berbalik hingga pandangannya terkunci pada seseorang di belakang yang tengah mendekat. Keduanya bertatapan sebentar sebelum Nazen lebih dulu memutuskan dengan menoleh ke depan.
Tubuh Jen membeku, tepat pada saat tatapan Nazen dengan iris coklat jernih itu bertemu mata milik-nya. Namun, bukan karna itu saja. Hembusan angin yang bertiup berhasil menghantarkan wangi tak asing dalam indra penciuman Jen. hidung Jen mengerut singkat sebelum kemudian menarik nafas dalam berusaha mangais feromon manis itu untuk memenuhi paru-parunya.
Dengan jarak terdekat yang hanya Nazen tentu membuat Jen heran, seseorang yang memiliki status Beta tetapi mengeluarkan feromon manis. Sebenarnya siapa Nazen(?) Di tatapannya saat ini Nazen yang bergerak gelisah masih mengusap bagian tengkuknya.
Sebenarnya sebelum feromon manis yang membuat Jen sempat tidak bisa berfikir itu keluar, Jen berniat untuk mengajak Nazen berkenalan sekedar menambah teman. Lelaki manis itu—Jen akui—Lunch buatannya sangat enak dan Jen berfikir mungkin jika bisa berteman ia tidak harus berebut dengan murid lain, karna ia akan berpesan kepada Nazen untuk menyisakan satu Lunch untuknya.
Tapi hal itu sudah tidak ada di fikiran Jen lagi, karna saat ini rasa penasarannya lebih tinggi di banding mengajak Nazen untuk berteman.
'Beta doesn't have pheromones. But, Nazen...' Batin Jen.
Terlalu lama berfikir membuat Jen tidak sadar jika Nazen berlalu pergi membatalkan niatnya yang ingin menaiki bus. Setelah Nazen akan berbelok pada ujung jalan—Jen tanpa berniat mengikuti hanya diam.
Ini bukan salah Jen jika dia mulai tertarik kepada Nazen. Lelaki manis itu tampak misterius sehingga berhasil menarik perhatian Jen dan membuatnya penasaran. Jen merasa Nazen memilik sesuatu yang di sembunyikan hanya untuk dirinya tanpa boleh orang lain termasuk Jen untuk ikut campur ke-dalamnya. Dan Jen hanya tidak tau jika Nazen mengganti niatnya untuk menghindarinya. Feromon Jen sangat berbahaya, Nazen baru menyadari itu. Insting Omega-nya seperti terpanggil dan ingin memberontak, tanda panas pada tengkuknya alasan Nazen memilih menjauh dari jangkauan Jen. Beruntung Jen tidak sekelas dengannya, dan Nazen bersyukur. Karna sungguh, tidak pernah di terka-terka bahwa untuk pertama kalinya Omega dalam dirinya bereaksi, yang sangat sial orang itu adalah Jen. Mungkin, nanti, Nazen akan menambah pemakaian scent bloker-nya, semoga saja berhasil.
Nazen mendengus karna harus memikirkan hal yang baginya tidak penting sebenarnya, namun sedikit penting mengingat ini tentang statusnya. Usapan pada tengkuk ia hentikan saat rasa menyengat itu sudah berangsur membaik. Sudah Nazen putuskan, ia catat baik-baik di otaknya, jika tidak ada urusan penting atau hal yang mengharuskannya bertemu Jen, maka hal yang harus Nazen lakukan adalah,
—menghindari Jen.
Di satu sisi, usai kejadian hari pertama Jen kembali bersekolah, pada bagian ujung tempat duduk bus dengan jendela yang menampilkan jalan serta gedung terlewati—Jen diam dengan sudut bibir yang terangkat, pun batinnya berbicara,
—cari tahu tentang Nazen, ia tertarik kepadanya.
SOMEONE IN THE PAST
Ruangan berukuran sedang lengkap dengan beberapa perabotan yang telah tertata serapih mungkin agar nyaman dan terlihat luas, adalah tempat dimana Nazen tinggal sekarang.
Beberapa jam yang lalu ketika Nazen baru saja sampai di rumahnya, tubuh yang letih karna harus berjalan dari sekolah hingga halte pertengahan jauh dari halte sebelumnya, berhasil membuat Nazen membaringkan tubuh di sofa ruang tamunya masih dengan baju sekolah yang melekat.
terpejam selama dua jam hingga ketika mata sayu dengan bulu mata panjang dan lentik itu mengerjab untuk membiasakan cahaya lampu rumahnya yang masuk—Nazen terkejut. Buru-buru ia lihat jam pada ponselnya dan ketika jam masih menunjukan pukul enam, Nazen menghela nafasnya lega. Ia hampir mengira bahwa waktu sudah sangat malam, jika itu terjadi maka sudah bisa dipastikan ia akan telat karna belum menyiapkan setengah bahan untuk jualan besok.
Segera setelahnya Nazen membasuh tubuhnya dengan air. Membiarkan air yang turun pada setiap jengkal tubuhnya merilekskan pikiran juga otot halusnya.
Hanya pada saat ini Nazen banyak merenung; memikirkan hal-hal random di otaknya atau bayangan yang belum terjadi serta hanya khayalannya. Seperti ingin menjadi kucing rumahan yang sangat di sayang oleh si tuan rumah karna dia hanya akan makan, tidur, lalu mengeong, tanpa harus memikirkan; tugas yang belum dikerjakan, makan apa besoknya, dan bagaimana mendapatkan uang untuk hidup.
Nazen mendengus, merasa aneh dengan pemikirannya sendiri. Meski begitu, layaknya rutinitas wajib, menghayal tidak boleh terlewat pada saat membersihkan diri. Karna itu adalah waktu ternyaman yang Nazen punya.
Usai menyelesaikan kegiatan mari membersihkan tubuh, Nazen yang telah berpakaian rumahan keluar dari kamar setelah menyampirkan handuk pada jemuran kecil di dekat jendela. Lalu, mengambil sebuah karet di atas meja sudut ruangannya; mengikat poni rambutnya membentuk apple hair.
Jika seseorang melihat penampilan Nazen sekarang, mereka mungkin akan berfikir Nazen merupakan seorang Omega meski benar kenyataannya. Maksudnya, Nazen selalu mengenalkan dirinya kepada orang lain jika ia adalah Beta meski memiliki tubuh dan paras seperti Omega.
Lihat saja wajah tanpa polesan dengan mata sayu itu berhias bulu mata panjang lentik yang cantik. Pipi merah merona alami, juga bibir tipis yang terlihat lembut pun muka kecilnya—manis dan lucu seperti bayi.
Sayangnya, Nazen terlalu sibuk untuk memikirkan dirinya yang dianggap cantik oleh setiap orang. Ia tidak perduli karna menurutnya ia adalah Beta, jadi, tidak boleh memperlihatkan sifat malu-malu seperti seorang Omega ketika di puji.
Sebelah tangannya menutup mulut kecilnya yang membesar karna menguap. Nazen berjalan ke arah dapur dengan satu mata yang ia usap menggunakan jari telunjuknya.
Bagi Nazen, memiliki bulu mata lentik yang sering mendapat pujian karna lebat dan panjang ini bukanlah sesuatu yang spesial. Tapi, tetap, Nazen bersyukur. Hanya saja kerap kali sedikit membuat ia kesal. Seperti beberapa waktu lalu, ketika ia mengusapkan jarinya karna rasa gatal sebab debu yang masuk—selalu saja lepas beberapa helai, dan tentu saja terkadang sering masuk ke matanya.
Sebenarnya ini rahasia, tetapi Nazen akan memberitahukan ini. Sesuatu yang ajaib ketika bulu matanya sudah tidak rontok lagi saat ia usap menggunakan shampo anti rontok. Konyol, bukan? Ya, ini memberi efek untuk Nazen tetapi jangan coba-coba, karna hanya Nazen yang bisa.
Entah mungkin Nazen yang terlalu lama merenung atau memang waktu berlalu sangat cepat di setiap detiknya. Iris coklat terang itu melirik ke arah jam dinding yang menunjukan pukul tujuh. Biasanya, pada jam segini, Nazen sudah membuat bumbu tambahan untuk makanan yang akan ia buat besok.
“Ok, mari kita liat ada bumbu apa yang cukup untuk buat saus.” Gumam Nazen, lalu membuka lemari pendingin. Melirik, dan melirik, namun tidak menemukan apapun yang bisa ia gunakan,
—sial, persediaan makanan untuk jualannya habis.
Nazen berdecak kesal, ia baru ingat jika harusnya saat pulang sekolah ia sempatkan untuk mampir ke swalayan langganannya. Tapi—sial sekali, panik malah membuat Nazen lupa rencananya. Ini gara-gara Jen. Alpha itu mengusiknya hingga otaknya penuh dengan kemungkinan buruk.
Langit telah gelap, bahkan cahaya bintang dan bulan yang menggantung tidak cukup membuat rasa takut Nazen berkurang. Keluar malam adalah ide terburuk untuk semua yang berstatus sebagai Omega. Dari empat waktu dalam satu hari, malam adalah yang paling banyak masuk kasus kejahatan. Nazen tidak bisa tidak panik, ia harus membeli bahan keperluan untuk jualannya esok karna jika tidak, maka tidak ada uang yang masuk dan Nazen tak akan membiarkan itu terjadi. Ini hanya soal ia yang akan keluar dan membeli, lalu pulang, selesai.
'Gapapa, Na. Lo tinggal keluar rumah, naik bus, belanja, terus langsung pulang. Iya, gitu, ga perlu takut.' Ucap Nazen dalam hati.
Nazen membayangkan jika saja ia memiliki teman yang mau mengantarnya—tunggu, ah, iya... Hema!
Segera Nazen mengetikan pesan kepada Hema yang selang beberapa detik langsung mendapat respon. Namun, sayangnya setelah membaca pesan Hema, Nazen mendesah kecewa. Benar, kenapa Nazen tidak kepikiran(?) Tentu saja Hema tidak bisa mengantarnya karna izin orang tuanya. Memang siapa orang tua yang mau membebaskan anak berstatus Omega untuk keluar malam.
Namun, sekali lagi Nazen mencoba memaksa Hema yang berujung dirinya hampir saja mebeberkan status aslinya kepada teman-nya itu.
Nazen pukul kepala-nya pelan, “Bego. Hampir aja keceplosan.” Setelahnya Nazen berusaha memberi penyangkalan kepada Hema yang penasaran akan dirinya. Walau begitu, tetap, Nazen berakhir mengalihkan pembicaraan yang hanya bisa diterima oleh Hema.
“Maaf, Hem. Gua bakal kasih tau lo tapi gak sekarang.” Gumam Nazen lirih.
Terpaksa Nazen mengganti setelan bajunya, memakai jaket tebal juga celana panjang, sebelum keluar rumah. Di pertengahan jalan, Nazen terus memeluk dirinya dengan mata yang tidak berhenti melirik was-was, pun langkahnya yang di percepat hingga berakhir sampai pada halte.
Bus berhenti, Nazen masuk dan duduk di bangku belakang. Setidaknya, di dalam ia bisa sedikit lega dan aman. Sayangnya seiring bus yang melaju membelah jalan Nazen tidak kunjung mengingat jika ia melupakan satu hal.
—Scent blocker.
Semoga saja tidak ada yang sadar, karna jika seseorang yang tidak memiliki niat baik menghirupnya, bukan tidak mungkin ini adalah hari kesialan untuk Nazen.
Di dalam mobil yang sedang melaju membelah jalan bersama beberapa pengendara lain—Jeffrey, Kakak dari Jen yang telah selesai dari pekerjaan menyita waktu-nya, tampak duduk nyaman fokus mengemudi hingga bunyi notif pada ponselnya berhasil membuat ia yang memandang kosong lampu merah itu melirik.
Ia ambil dan nyalakan ponselnya yang menampilkan notif pesan dari Jen tentang sang Anak—David, yang ingin menitipkan sesuatu kepada Daddy-nya agar bersedia sekedar mampir untuk membeli cemilan kesukaannya.
Jeffrey mengernyitkan kening ketika Jen memberi tahu apa yang David inginkan. Setaunya, David sudah memakan coklat kemarin, harusnya hari ini tidak ia izinkan. Namun, saat mengetahui bahwa sang anak menangis hanya karna ingin sebuah coklat, Jeffrey tidak tega. Jadi, ia janjikan dua coklat untuk ia berikan pada kesayangannya yang menjadi satu-satunya alasa ia masih bertahan di dunia.
Hembusan nafas yang mengandung lelah serta frustasi itu keluar diantara keheningan ruang mobil. Usai menaruh kembali ponselnya pada bangku penumpang, Jeffrey menyangga siku pada pinggiran kaca mobil tanpa berniat membuka kaca itu. Ia biarkan jari-jari miliknya memijat kening, kala tiada henti suara berisik dikepalanya bercampur pada tiap bayangan yang mengingatkannya kepada sosok kecintaan.
Dua tahun sudah ia merasa hampir gila jika saja tidak ada David, hingga Jeffrey harus menahan-nahan untuk tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya. Tidak ada jalan keluar, tidak ada kebebasan. Perasaannya mati dan ia terikat pada takdir yang menjalar di hati. Layaknya zombie ia hidup tapi juga mati.
Tidak ada lagi sinar pada matanya, tidak ada lagi semburat cerah pada wajahnya dan tidak ada lagi tubuh kuat juga perasaan berbunga yang Jeffrey rasakan. Semua hilang, pun cinta-nya.
Jeffrey terlonjak, sadar pada kenyataan bahwa lampu yang telah berganti warna hijau itu membuat pengendara di belakangnya membunyikan klakson mobil mereka karna Jeffrey yang tidak kunjung membawa mobil-nya bergerak maju. Segera, Jeffrey jalankan mobil-nya, menggeleng pelan dan tertawa sinis, mengasihani dirinya sendiri.
Jeffrey tau, penyiksaan ini tidak akan pernah selesai. Ia akan terus merasakan sakit juga kehampaan pada ruang hatinya. Itu adalah resiko yang ia harus tanggung karna kesalahannya membuat hancur hidup seseorang hingga berdampak kepada ia sendiri.
Tidak hanya kepada pasangannya, kepada David pun rasa penyesalan selalu hadir ketika ia tatap wajah sang Anak yang sangat mirip dengan mate-nya. Jika saja Jeffrey bisa menimbulkan rasa cinta dan sayang untuk kedua kali, ia akan berikan kepada David. Tidak hanya itu, bahkan jika Anak-nya meminta dunia, dengan senang hati ia berikan dunia-nya. Sayangnya, Jeffrey bukannya tidak mau, tapi tidak bisa. Dan ia hanya berharap seseorang, siapapun, bisa memberikan dunia yang tidak bisa Jeffrey berikan ke David—harta berharga yang ia punya, dan berusaha Jeffrey jaga bahagia-nya.
Pada jarum jam yang menunjukan pukul sembilan, Nazen yang bermodalkan niat dan nekat terlihat telah selesai berbelanja. Sejujurnya Nazen tidak lah sadar jika ia berbelanja memilah-milih bahan yang akan ia beli memerlukan waktu hampir dua jam. Ia meringis dalam hati, berharap jika pada malam ini moon goddess melindunginya.
Sayangnya, Nazen terpaksa melakukan ini. Maksudnya ia sempat tidak perduli pada dirinya ketika sampai pada swalayan satu setengah jam lalu. Jika tidak begini, bagaimana ia berjualan esok(?) Tentu harus Nazen lawan rasa takutnya.
Nazen tidak ingin membuang kesempatan untuk hal yang masih bisa ia lakukan.
Kini di kedua tangannya telah ada beberapa kantung belanjaan yang akan Nazen bawa pulang. Segera Nazen berjalan dengan cepat melihat hari mulai semakin malam dan tidak banyak kendaraan berlalu lalang.
Namun sepertinya hari ini adalah hari kesialan untuk Nazen. Dimana saat ini ada satu orang berdiri didepannya lalu tangan sosok itu dengan tiba-tiba menarik lengan Nazen untuk mengikutinya. Sontak Nazen berontak sekuat yang ia bisa, hanya saja tenaganya kalah jika di bandingkan dengan status Alpha orang yang menariknya ini.
“LEPASIN ATAU GUA TERIAK?!!”
Ucapan Nazen hanya dianggap angin lalu, orang itu seakan tuli tetap menarik kasar Nazen.
“Lepasinnnn!!!”
Nazen mulai panik, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya yang siap jatuh kapan saja. Nazen berdoa dalam hati jika semoga ada seseorang siapapun itu datang menolongnya.
BUG!
“Dia bilang lepasin. Anda gak tuli kan? Jangan maksa.”
Suara halus dengan intonasi rendah dan tegas membuat Nazen langsung menatap satu lelaki yang Nazen yakini baru saja keluar dari swalayan yang sempat ia datangi.
Lelaki dengan aura Alpha itu terus memukuli sosok brengsek yang hampir menculik Nazen. Setelahnya, tanpa berucap menarik lengan Nazen pelan untuk mengikutinya ke arah mobil sebrang jalan yang terparkir.
Nazen terkejut, ia menyentak tangan yang memegang lengannya lalu mengerjap. Ia linglung sekali, dipikirnya apa orang ini juga ingin menculiknya dan tidak bermaksud menolong(?).
Alpha itu berbalik, tersenyum meminta maaf seraya menatap Nazen. “Maaf, saya gak bermaksud buat narik kamu. Kamu gak perlu takut karna saya emang niat nolong tanpa ada maksud.” Ia sempatkan melirik jam tangannya sebelum kembali berucap, “Ayo saya anter pulang. Jam segini rawan buat Omega kaya kamu pergi sendirian.”
“Gapapa, saya pulang sendiri aja, Kak.” Sebutan itu spontan keluar karna merasa orang di depannya lebih tua dari yang Nazen lihat.
Sosok yang lebih tua menghela nafas pelan. “Saya gak akan macem-macem sama kamu kalau itu yang kamu takutin. Saya juga udah punya mate dan anak. Jadi, ga ada alesan buat saya apa-apain kamu, kan?”
Nazen berfikir sebentar, tidak enak rasanya meragukan niat baik seseorang sampai orang itu menjelaskan statusnya. Namun, Nazen hanya ingin waspada saja, karna dia Omega, ingat?
Keheningan muncul diantara keduanya, sebelum dengan senyum canggung Nazen menganggukan kepalanya. “Boleh, deh. Maaf, ya, Kak.”
“Gapapa.” Ucap yang lebih tua lalu menjulurkan tangannya. “Saya Jeffrey, kamu?”
Nazen menegang sebentar kemudian menggelengkan kepalanya pelan seraya menjabat tangan Jeffrey.
“Nazen.”
Setelahnya Jeffrey mengajak Nazen untuk memasuki mobilnya. Sebenarnya, Jeffrey sudah sangat dekat pada rumahnya. Melihat gapura perumahan tidak jauh dari swalan tempat ia tinggal. Tetapi, entah mengapa rasa kemanusiaan bermaksud dengan menolong itu muncul begitu saja sehingga Jeffrey tanpa basa-basi menawarkan tumpangan.
Sepanjang jalan hanya berisi keheningan. Nazen hanya memandang keluar pada kaca mobil sembari berfikir dan terkadang melirik Jeffrey lewat ekor matanya. Ayolah, yang nama-nya Jeffrey tidak hanya satu di dunia. Lagi pula ia bilang tadi memiliki mate, berarti ia bukan orang yang Nazen maksud.
Tanpa sadar dengusan yang di keluarkan Nazen membuaf Jeffrey menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. Ia arahnya jarinya menekan tombol yang langsung membuat sebuah lagu terputar mengisi keheningan mereka.
Justin Bieber – Ghost. [ barkot spotify ]
Nazen menoleh ke arah Jeffrey yang di balas senyum, sebelum keduanya kembali fokus pada pikiran masing-masing.
Nazen sempatkan untuk memposting pada akun burung biru yang ia miliki tentang lagu yang ia dengar sekarang. Ia putar bola matanya malas saat melihat Hema yang merespon postingannya dan dijadikan ajang berkenalan dengan—Mikel, teman Jen yang ia lihat kemarin. Setelahnya, kembali Nazen pusatkan atensinya pada kaca yang menampilkan jalan pada mobil tumpangannya setelah mematikan ponsel tanpa memiliki niat untuk bercakap-cakap dengan Jeffrey yang baru saja ia temui.
*chapter 15 [ ilustrasi chat dan tweet ]
NAZEN LUNCH
Terbiasa tidur malam membuat Jen memilih waktu santainya untuk bermain dengan ke-tiga teman-nya; Mikel, Han, dan Luke. Empat sekawan itu terlihat asik bermain game seraya bertelfonan sekedar membicarakan hal random atau hanya agar tidak sepi saja.
“Besok si Nazen Nazen itu jualan lagi gak?” Tanya Jen tiba-tiba.
Suara Luke terdengar, “Kalau mau nanya aba-aba kenapa.”
Mulut berbicara, tangan bergerak, menggeser layar dengan mata fokus pada ponsel. Namun, otaknya memikirkan hal lain, itu lah yang tengah Jen lakukan sekarang.
“Setiap hari jualan.” Timpal Mikel.
“Besok gua mau beli. Pokoknya jangan sampe kehabisan lagi. Udah ngiler banget gua.” Ucap Luke serius.
Terdengar suara mendecih—Han, yang mendengar ucapan Luke hanya bisa memutar bola matanya malas di sebrang sana. “Lu mah apa-apa ngiler, nyet! Curiga gua nyokap lu pas ngandung lu mesti ga kesampean ngidamnya.”
“Anjing lu! Ya lu mikir aja, mana gua tau si.”
Kekehan Mikel terdengar renyah, “Hahaha Goblog.” Kemudian berdecak sendiri ketika karakter yang ia mainkan mati untuk ke-tiga kali. “Bangsat! Di kroyok.”
Jen mendengus. “Kalau mesennya dari sekarang, bisa, gak?”
Beberapa detik terjadi keheningan sebelum Han yang menjawab Jen lebih dulu. “Gua kalau mesen mesti pas pagi. Kalau sekarang gak tau bisa apa enggak.”
“Nazen pernah bilang, katanya yang mesen dia balesin DM-nya dari yang paling bawah.” Balas Luke.
Han tertawa sebelum kembali berucap, “Anjing! Hahaha... berasa akun olshop.”
Gurat wajah Jen terlihat datar, kesal karna jawaban konyol yang di lontarkan dua teman-nya itu dan tidak membantu sama sekali.
“Gua punya kontak Nazen nih, lu mau gak, Jen? kalau mau gua kirim ke lu. Soalnya setau gua di DM cuma buat yang pesen pagi.” Beritahu Mikel ke Jen.
Jen tarsenyum, lalu dengan tak sabar berucap, “Kirim gua sekarang, Mik. Buruan.”
“Gua afk dong anjir? Ntar dulu.”
“Tinggal ngirim Mik. Cepetan nanti Nazen keburu tidur.” Paksa Jen.
“Ok, wait.” Segera Mikel mengirim nomor Nazen yang tersimpan di kontak-nya pada Jen yang langsung di terima Alpha pemilik mata sipit itu.
“Thanks, Mik.”
“No need.“
Tanpa memikirkan Han dan Luke yang fokus pada game yang mereka mainkan dibarengi kata umpatan, serta Mikel yang kembali bergabung bersama kedua teman konyol-nya, Jen meninggalkan permainan dan langsung menghubungi Nazen lewat chat.
“JEN ANJING JANGAN AFK WOI!” Kesal Han berteriak.
“Eh, anjir yang bener mainnya tai.” Ucap Luke yang ikut kesal.
Mikel tertawa tidak perduli, ia hanya fokus pada permainan. Masa bodo dengan Jen yang keluar dari permainan.
“Lu main ber-tiga dulu, gua yakin menang. Good luck.” Saut Jen pada sambungan suara.
“JEN BANG—,”
Sambungan suara itu mati sebelum umpatan lengkap Han keluar untuk Jen. Dengan terburu Jen mengechat Nazen yang saat ini sedang online.
[ ilustrasi chat chapter 17 ]
Usai percakapan terakhir yang Jen baca tanpa ia balas lagi, Jen matikan ponselnya. Mata nya memandang kosong pada langit kamar yang polos. Beberapa detik kemudian kedua ujung bibir itu naik, membentuk senyum yang cukup membuat mata bulan sabit itu muncul.
Jen sudah gila sepertinya, ia menutup matanya dengan lengan lalu terkekeh seperti seseorang yang baru saja mendengarkan lelucon.
Ini baru pertama kali Jen menghubungi Nazen lewat nomor langsung dari Beta manis itu. Memikirkan Nazen yang membuat candaan dengan Jen adalah sesuatu yang lucu bagi Alpha itu.
'Nazen itu lucu, ya.' Batin Jen kemudian berucap, “Gua-nya di bercandain.”
Takut menjadi tidak waras, Jen menampar pipi nya pelan. Memikirkan bahwa besok ia akan mendapatkan Lunch dari Nazen dan akan merasakan masakan buatan Beta manis itu lagi membuat Jen langsung turun dari kasurnya untuk menghampiri sang Bunda. Ia harus bilang bahwa dirinya tidak perlu bekal mulai sekarang, karna, tentu saja jualan Nazen yang mulai akan mengisi perutnya setiap hari.
“Bundaaaa...Bun, Bundaaaaa.” Panggil Jen, suaranya menggema di seluruh rumah seraya menuruni tangga.
Fanny, nama Bunda dari Jen itu menyatukan alisnya saat mendengar anak bungsu-nya memanggil. “Bunda di ruang santai, sayang!” Balas Fanny.
Jen tersenyum melihat Bunda-nya yang duduk sembari membaca sebuah majalah. Ia dudukan dirinya di sebelah sang Bunda lalu ia peluk tubuh Omega cantik yang melahirkannya.
“Bun, kenapa belum tidur?”
Fanny merangkul pundak Jen seraya mengusap bahu sang Anak. “Belum ngantuk. Kamu kenapa manggil Bunda?”
Jen terkekeh, ia melaskan wajah-nya seperti memohon agar Bunda-nya tidak akan bisa menolak permohonannya.
“Besok aku gak usah bawa bekel ya, Bun?”
“Kenapa? Masakan Bunda udah gak enak?”
Jen menggeleng. “Enggak, bukan gitu. Cuma di sekolah ada yang jualan.”
Fanny mengernyitkan keningnya. “Jangan terlalu sering makan-makanan kantin, Jen.” Protes Fanny tidak membolehkan.
Mendapat penolakan tidak membuat Jen menurut begitu saja, ia mencoba bernegosiasi lagi untuk permintaannya kali ini.
“Ini bukan makanan kantin, Bun. Tapi, makanan kaya bekel gitu. Isi-nya empat sehat lima sempurna. Home made, Bun.”
“Beneran?”
“Beneran, Bundaaaaa. Besok aku fotoin deh, tapi boleh, ya?”
Jen tau, dengusan pasrah yang di keluarkan Bunda-nya adalah tanda bahwa Omega cantik itu mengiyakan permintaannya.
“Yaudah. Tapi besok fotoin loh ya? Bunda mau liat isi-nya menyehatkan atau enggak buat kamu.”
'Yes!' Batin Jen senang.
Suasana yang hening setelahnya seketika membuat Jen memikirkan Kakak-nya yang belum terlihat sejak ia pulang meski jam sudah menunjukan pukul sembilan malam.
“Kak Jeff udah pulang, Bun?” Tanya Jen penasaran.
Fanny mengangguk. “Udah dari tadi, cuma malah langsung masuk ke ruang kerja.” Helaan nafas khawatir Fanny keluar; gusar melihat Anak sulung-nya yang tidak kunjung keluar dari sana. “Kamu tolong bilangin ya Jen ke Kakak kamu? Suruh tidur, lanjut besok lagi kerja-nya. Bunda khawatir.”
Jen iyakan suruhan itu. “Ok, aku bilangin sekarang.” Lalu bangkit berdiri.
“Makasih, sayang.” Ucap Fanny.
Jen tersenyum, menyempatkan untuk mengecup pipi Omega kesayangannya sebagai ucapan selamat malam sebelum melangkah menaiki tangga untuk menghampiri sang Kakak.
[ buat sisi kosong untuk pemberitahuan kata-kata ini “pasangan mate yang telah melakukan knotting akan merasakan mati rasa dan keterpurukan apabila salah satu dari mereka mati.” ]
Sesuai dengan permintaan Bundanya, Jen menghampiri Jeffrey sang Kakak yang masih ada di ruang kerjanya.
Kakak-nya itu beralasan setidaknya walau ia sibuk ia masih bisa mengawasi anaknya di rumah jika tak bisa sekedar pergi ke kantor—jadi dibuatlah ruang kerja khusus.
Pintu ruangan itu Jen buka, menampilkan Jeffrey yang fokus dengan berkas kerjanya sesekali memijat pelipisnya.
“Kak?”
Mendapatkan panggilan itu—Jeffrey mendongak; menatap Jen yang berdiri di depan pintu tengah memandangnya. “Oh? Masuk Jen.”
Jen menggeleng, lalu berjalan kearah bangku di samping pintu dan mendudukan dirinya. “Kerjaannya belum selesai?”
Jeffrey menghela nafasnya pelan. “Belum.”
“Udah malem kak, kerjaannya bisa dikerjain besok. Ga baik terus–terusan bergadang kaya gini.”
Kertas tebal di mejanya Jeffrey tutup pelan. “Kalo kamu ngantuk tidur aja, Jen.” Kopi yang sudah tidak panas itu Jeffrey minum seraya melirik ke arah Jen. “Sayang waktunya, mending di selesaiin sekarang.” Lanjut Jeffrey.
Keheningan menyambut keduanya, melingkupi ruang yang tidak terlalu besar. Detik jam yang pelan sampai terdengar di telinga, bergerak terus menerus menandakan waktu yang semakin larut.
“Bunda khawatir, aku khawatir dan David pasti ga suka liat Daddy nya kaya gini.” Celetuk Jen memecah keheningan.
“David masih kecil—,”
“Justru karna David masih kecil.” Potong Jen. “Bisa–bisa diusianya yang belum dewasa dia harus kehilangan lagi orang penting di hidupnya.”
Tatapan Jeffrey menajam yang dibalas Jen dengan tatapan yang tak kalah tajam. Sekarang ruangan itu di penuhi aura yang gelap dan feromon kekesalan yang pekat.
Dua Alpha yang sama-sama dominan, siapa yang mau mengalah? Jawabannya tidak ada.
Kedua telapak tangannya Jen satukan, membentuk kepalan dengan siku yang bertumpu di atas pahanya. “Niat ngelupain dia yang ga akan pernah bisa dilupain, dengan alesan sibuk kerja?”
“Ngabain kesehatan dan tanpa sadar ngabain anak lo sendiri. Lo jauh dari kata Daddy yang baik, Kak.” Lanjut Jen yang memancing amarah Jeffrey.
Sebagaimana seorang Alpha yang tidak suka diusik, iris Jeffrey berubah menjadi violet menandakan amarah yang muncul karna seseorang yang lancang mengganggu ketenangannya.
Begitupun Jen, dirinya sudah terlampau emosi dengan sang Kakak yang sulit sekali mengerti. Bola mata yang tadinya hitam berganti menjadi biru gelap.
Keduanya sama–sama terpancing emosi membuat ruangan sedang itu memunculkan aura mencekam.
Urat hijau ditangan Jeffrey bermunculan, sudah siap memukul Jen yang berjarak tidak jauh di depannya jika saja ketukan pintu dengan suara Bunda mereka tidak mengganggu.
“Jeff? Jen? Kalian di dalem?”
Jen menghembuskan nafasnya kasar sebelum menyaut. “Iya, Bunda!”
“Jangan tidur malem – malem sayang.”
Kembali Jen menyaut. “Iya!”
Kedua Alpha itu membuang arah pandangan mereka, tak ingin menatap satu sama lain. Jeffrey merutuki dirinya yang hampir menerjang adiknya sendiri karna amarahnya, sedangkan Jen sedikit menyesal karna ucapannya berhasil memancing amarah sang Kakak.
“Maaf..” Ucap Jen melirik Jeffrey.
Alpha yang lebih tua menggeleng. “David..—,” Gumam Jeffrey pelan.
“Ga beruntung punya Daddy yang mati rasa kaya gua, Jen.”
Rahang Jen mengeras, ia tidak berniat membalas ucapan Jeffrey ketika apa yang Kakak-nya itu katakan adalah sesuatu yang tidak pernah ingin ia dengar. Jen terlalu marah, terlalu kesal karna nyatanya ia tidak bisa melakukan sesuatu untuk Jeffrey.
Lantas Jen keluar dari ruang kerja itu dengan membanting pintu. Mengusap wajah-nya kasar kala sadar bahwa ia terlalu keras kepada sang Kakak padahal ia pun tau, meski ia disini, keluarga-nya disini, pelukan dan perhatian yang berusaha di lebihkan tidak bisa menutup lubang pada hati Jeffrey.
“Shit! You cross the line, Jen.”
Jen hanya tidak bisa mengubah situasi ketegangan yang tercipta antara ia dan Jeffrey. Maka, postingan yang menuliskan kata 'sorry' berharap di baca oleh Kakak-nya adalah yang bisa Jen lakukan. Meski ia sudah minta maaf sebelumnya, tapi belum cukup untuk menghilangkan rasa bersalahnya.
Sayangnya bukan Jeffrey yang berkomentar, teman-nya—Han, Mikel dan Luke. Sedikitnya berhasil membuat ia tersenyum kecil. Konyol, bagaimana bisa ia berteman dengan mereka yang memiliki perilaku random? Tapi, Jen berterima kasih, karna Jen butuh mereka untuk sedih dan senang-nya.
[ ilustrasi tweet chapter 20 ]
Pagi ini—Jen tidak diantar oleh Jeffrey. Sebenarnya bukan karna masih bersitegang, tetapi rasa canggung lah yang mendominasi suasana. Bahkan, sejak di meja makan Jen atau bahkan Jeffrey tidak melirik sama sekali dan hanya fokus pada sarapan mereka.
Saat Jen baru saja menginjakan kaki di sekolah setelah berbaur dengan beberapa orang lain di dalam Bus yang sangat padat, ia mendapat pesan dari sang Kakak—berhasil membuat Jen tersenyum kecil dan terburu membalas chat dari Jeffrey.
[Ilustrasi chat chapter 21 ]
Apa maksudnya? Nazen? Seketika kening Jen mengernyit, bertanya-tanya siapa sosok 'Nazen' yang Kakak-nya antar, apa sosok Nazen yang ia kenal atau Nazen yang lain. Jen menggeleng, berfikir mungkin hanya sebuah kebetulan saja berhubung di dunia tidak hanya ada satu nama 'Nazen', lalu kembali melanjutkan langkahnya memasuki gedung sekolah.
...
Nazen berkaca pada cermin berukuran sedang pada dinding kamarnya. Usai merapihkan rambut, ia mendengus, dalam hati berucap, 'Sekolah dengan semangat mau meninggal.' Wajah manis itu datar, tetapi beberapa detik kemudian memaksakan tersenyum kecil dengan tangan mengepal di udara seperti membentuk kata semangat. 'Semangat Nazen. Lo benci miskin. Jadi, ayo cari uang yang banyak.' Batinnya lagi. Nazen menipiskan bibirnya sebelum kemudian meraba bagian tengkuk-nya.
“Tebelin scent bloker udah.” Lalu mengendus baju di sekitaran lengan dan pundak. “Pake parfum udah.” Dan kembali berkaca. “Semoga nih feromon sialan gak keluar lagi.” Lanjut Nazen.
Tidak ingin terlambat karna bersiap terlalu lama, segera Nazen beranjak dari kamarnya. Ia sampirkan tas di pundak, lalu mengangkat dua box berisi makanan yang akan ia jual dan mulai pergi dari rumah setelah mengunci pintu menuju ke halte guna menaiki bus yang akan mengantarkannya ke sekolah.
[ ilustrasi tweet chapter 23 ]
Nazen tersenyum melihat banyaknya pesanan masuk pada DM-nya yang kebanyakan meminta untuk segera ia baca. Setiap hari ketika baru saja kakinya menginjak ruang kelas, beberapa dari teman kelasnya langsung menghampirinya untuk membeli. Tetapi, Nazen hanya ingin menerima pesanan bagi yang sudah memesan duluan. Memang, tentu saja ia sudah menyiapkan cadangan jika sebagian ingin membeli langsung tanpa harus memesan online. Hanya saja tidak banyak, jadi kerap kali Nazen akan memberi tahukan lewat postingannya berapa kotak Lunch yang ia bawa.
Kelas belum di mulai, Nazen yang sibuk pada ponselnya terperanjat ketika sebuah pelukan kencang ia dapatkan dari temannya—Hema, yang baru saja datang dan langsung duduk di sebelah bangkunya.
“Na, kaya biasa ya.”
“Bayar.”
“Kapan gua gak pernah bayar anjir. Gua selalu bayar, anti sama utang-utangan.” Dumel Hema menatap Nazen setelah melepaskan pelukannya.
Nazen tersenyum, mencubit pipi Hema yang membuat temannya itu semakin kesal. “Gak usah lo cubit-cubit gua. Serem banget nanti dikira homo sama lo.” Ucap Hema dibalas kerutan pada kening Nazen. “Gua kan Beta. Lagian gak mau juga gua sama lo.” Nazen merinding main-main, mengejek Hema yang menatap kearahnya, lalu tertawa saat Omega tan itu memutar bola matanya malas. “Masalahnya lo tuh gak ada Beta-Betanya anjir, muka lo cantik, Na. Lo lebih cocok jadi Omega.”
Seketika Nazen terdiam, ucapan Hema membuat tubuhnya menegang beberapa detik sebelum tertawa hambar.
“Haha... sayangnya gua Beta.”
“Iya. Kalau misalnya lo Omega, gua mau jadi Alpha lo.”
Ucapan Hema mendapat hadiah jitakan pada kepalanya dari Nazen. Penjual Lunch itu menatap sinis Hema yang tengah mengusap kepalanya. “Gua-nya yang gak mau.”
Hema melotot. “Bercanda sialan.”
Selalu seperti ini, Nazen yang menatap Hema sendu karna harus membohongi temannya sendiri. Bukan karna Nazen tidak mau bilang, hanya saja ia belum siap. Sejak awal perkenalan mereka, Nazen yang belum percaya memperkenalkan dirinya sebagai Beta kepada Hema. Menutupi feromon miliknya dengan scent bloker, serta alasan sakit jika masa Heat mulai ia rasakan. Nazen kira, waktu itu ia tidak akan berteman lama dengan Hema. Namun, pada tiap hari yang keduanya lewati justru ia dan Hema semakin akrab. Nazen mempercayai Hema tapi tidak mau bergantung. Nazen selalu membatasi pertemanannya dengan Hema hingga kini.
Karna menurut Nazen, ia yang hidup sendiri kerap kali sangat membutuhkan topangan. Maka ketika seseorang memerikan kesempatan untuk ia agar mempercayai orang itu, jika Nazen tidak menahannya, rasa kepercayaan yang ia beri bisa menjadi suatu ketergantungan yang mungkin nantinya akan sangat menyusahkan.
Karna Nazen tidak mau menyusahkan, ia harus mandiri. Ia harus bisa membiasakan hidup sendiri karna Nazen sudah berfikir akan hidup seperti ini terus. Sendirian, tanpa seorang Alpha. Hanya teman yang ia percaya namun tetapi ia batasi hubungan pertemanannya.