OLAHRAGA; Berenang


Kedatangan angin pagi secara tiba-tiba sukses membuat bulu tangannya berdiri. Perempuan dengan pemilik rambut di atas bahu mengusap pelan kedua lengan secara bergantian, berupaya menyamarkan dinginnya cuaca yang tengah ia rasakan.

Ia menatap kosong ke arah air yang sedang terdiam tenang seolah-olah tak memiliki tenaga untuk bergerak barang sejenak. Ia hanya bisa bergidik ngeri ketika menyadari bahwa dalam hitungan beberapa detik, badannya akan ikut diselimuti oleh air tersebut.

Entahlah siapa yang telah mengusulkan bahwa kelasnya mendapatkan jadwal olahraga pada pelajaran jam kedua, waktu yang teramat pagi untuk melaksanakan olahraga—berenang.

Tak mau menjadi salah satu murid yang bergerak lamban, sehingga ia bergegas untuk mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian berenang—kaos berwarna ungu dan celana tranning hitam panjang.

“Bayangin kelas sebelumnya yang renang, masa baru mandi langsung berenang?! Sia-sia dong?!” ucap Aira, menoleh dan menatap satu per satu ketiga temannya.

Syifa tertawa kecil sembari kedua tangan sibuk melipat seragam sekolah. “Emang kalian kalau renang suka mandi dulu?” tanya Syifa berhasil menghentikan aktivitas beberapa orang di sana. “Kalau Syifa, sih, nggak pernah mandi dulu kalau mau olahraga renang.”

“ANJIR, JANGAN BILANG MANEH SEKARANG NGGAK MANDI, NCIP?!” cecar Frisilla, berharap bahwa temannya itu akan menggelengkan kepala atas pertanyaan yang ia lontarkan.

Namun, alih-alih menolaknya Syifa justru mengangguk riang—menyetujui tuturan dari Frisilla tanpa rasa malu.

Jawaban dari Syifa berhasil membuat Frisilla dan Nashella menggeser tubuhnya, memberi jarak dengan Syifa yang masih asyik melipat baju dengan cengiran yang terpatri jelas pada wajah perempuan itu. “JIJIK ANJIR, SYIFA!” Akan tetapi yang diteriaki hanya bisa membalasnya dengan cengengesan tanpa dosa.

Lagipula mengapa ia harus susah payah membilas badannya terlebih dahulu ketika sudah jelas bahwa nantinya ia akan membilasnya kembali?

“Nih, ya, Syifa udah bener tau nggak mandi dulu. Soalnya Syifa pernah baca katanya orang dewasa normalnya mandi 1-2 kali sehari! Kalau misalnya Syifa mandi dulu sebelum berangkat sekolah, nanti pas sama pulang sekolah jadi tiga kali sehari dong mandinya?!”

Nashella memejamkan mata sejenak diiringi dengan mengembuskan napas pelan. “Syifa, itu, tuh, kalau misalnya maneh nggak lagi ngelakuin aktivitas berat! Kalau abis sekolah, olahraga, ya, maneh langsung mandi biar nggak ada kuman nempel!” balas Nashella terengah-engah, sebab sedang berusaha menahan emosinya agar tak meledak saat itu juga.


Bunyi peluit telah dibunyikan oleh seorang pria yang berdiri di tengah-tengah tepi kolam renang. Setelah merasa bahwa anak didiknya mulai berjalan ke arahnya, peluit tersebut ia lepas dan membiarkan menggantung begitu saja di leher.

“Pemanasan dulu dibagi dua kubu; kubu cewek sama kubu cowok. Kalau udah beres pemanasan nanti langsung lari keliling kolam sebanyak lima kali, kalau udah selesai baris lagi di sini.”

Titahan tersebut segera dilaksanakan oleh masing-masing anak didik yang saling mengeluarkan energi paling semangat, sebab tak ingin apabila sewaktu-waktu nanti akan merasakan keram pada kedua kakinya.

Kemudian tak lama satu per satu murid yang telah selesai meregangkan otot mulai mengambil langkah; berlari dengan penuh hati-hati dan tidak terburu-buru, sebab lantai yang tengah mereka pijak benar-benar licin yang ditakutkan akan membuatnya jatuh kapan saja.

Namun, baru saja ia akan menyusul teman-teman kelas yang lebih dulu telah berlari, tiba-tiba saja suara gaduh; obrolan, langkah kaki, pun tawa itu datang dan berhasil mengurungkan niatnya. Bagaimana tidak, ketika suasana kolam renang yang semula sunyi tak begitu meriah seketika langsung berubah seratus delapan puluh derajat.

Syifa menengadah, mencuri pandang ke arah di depan sana yang memperlihatkan satu per satu siswa—memakai seragam yang sama dengannya—mulai muncul dan berdiam tak jauh dari posisi tempat kelasnya berada. Seketika kedua matanya melebar begitu saja kala dapati sosok seseorang yang teramat dikenalnya, orang yang tadi malam berhasil membuat dirinya dimabuk asmara oleh sebuah kalimat singkat yang diberikan laki-laki itu.

“Pa… kita renangnya bareng sama kelas… sebelas?” Semoga enggak, semoga enggak, batin Syifa. Kemudian harapan itu dipatahkan begitu saja oleh anggukkan pria tersebut.

“Iya, bareng kelas 11 MIPA 4.”

Sial. Jadi nanti ia bakalan satu kolam dengan kakak kelas yang diincarnya?

Aduh, gimana, dong, mana Syifa nggak bisa renang… kalau nanti Kak Jaya liat Syifa cuman diem pake gaya batu, Syifa harus ngapain?!

Tepat ketika ia menggelengkan kepala, sebuah tepukan pada pundaknya berhasil menyadarkannya dari sebuah lamunan tak berujung. “Woi! Lari jangan bengong!” ucap salah satu teman laki-laki satu kelasnya.

Maka, dengan debaran jantung setia berdegup tak berangsur mereda, Syifa mulai membawa kedua kakinya untuk berlari. Jelas, sebab ia tak mau merasa keram nantinya. Apalagi setelah mengetahui bahwa ada seseorang yang berhasil mencuri perhatiannya, ia tidak akan membiarkan hal-hal bodoh akan dilakukan olehnya nanti.


“Arah jam tujuh,” bisik Harri pada teman di sampinganya. “Tolol! Jangan langsung dilirik, bego!” hardik Harri setelah mengetahui bahwa temannya itu tak dapat menangkap sinyal dari ucapannya.

“Apaan, sih?”

“Adik kelas freak itu lagi renang juga di sini, aing baru tau deh setelah lama kita olahraga, kenapa aing baru sadar kalau jadwal kelas kita barengan sama jadwal kelas itu anak.” Harri menunjuk sembarang ke arah kumpulan adik kelasnya yang telah memasuki kolam satu per satu. Sontak gerak-gerik itu berhasil menyita perhatian Jaya untuk sekadar melirik sekilas ke arah yang dimaksud Harri.

“Oh, dia.”

Heeh, kan, aing udah bilang adik kelas freak anying!”

Jaya berhasil melantunkan tawa kecil ketika mendengar kelakar yang diucapkan Harri dengan spontan. Sementara kedua tangannya sibuk memastikan bahwa anggota tubuhnya telah mendapatkan peregangan otot yang cukup untuk melaksanakan olahraga nanti.


Kecipak suara air lantaran dimainkan oleh setiap orang dengan kedua kaki menganyun di permukaan air membuat suasana tempat di sana menjadi sangat ramai. Tak ada lagi suasana sunyi yang menyelimuti tempat tersebut.

Dinginnya udara semula yang menusuk permukaan kulitnya tak sebanding dengan dinginnya air yang telah membasahi tubuhnya. Di antara semua orang yang sibuk berhilir mudik; memamerkan keahlian dalam berenang, Syifa hanya berdiam diri di pojok kolam dengan kedua tangan melingkari besi di setiap pinggir kolam untuk menahan beban tubuhnya agar tak sewaktu-waktu lengah dan tenggelam.

Seharusnya ia memperhatikan Bapa guru di depan sana yang menjelaskan gaya berenang apa yang akan dilakukan nanti. Seharusnya kedua telinganya ia buka lebar-lebar untuk mendengar tips dari pria itu untuk sesi olahraganya nanti. Seharusnya dan seharusnya. Namun entah mengapa, tatapannya justru ia pusatkan secara penuh pada segerombol orang di depan sana yang satu per satu mulai memasuki kolam renang seperti dirinya.

Tak sadar ia ikut tertawa saat melihat kakak kelas yang pernah membuatnya menangis dulu justru tengah dijahili oleh ketiga temannya untuk dilemparkan ke dalam kolam renang. Ia tak tahu masing-masing pemilik nama dari orang tersebut, yang pasti ia hanya mengetahui satu pemilik nama di antara tiga orang tersebut, yaitu Kak Jaya.

Ia makin mengembangkan senyuman kala melihat laki-laki itu memamerkan melakukan hal yang sama dengan dirinya—tersenyum riang—setelah menerima sumpah serapah yang dikeluarkan oleh orang yang berhasil telah dijahilinya. Kerasnya bunyi kecipak air, pun suara dari teman-teman sekelasnya tak menjadikan ia sulit mendengar obrolan dari seberang sana, bahkan untuk mengalihkan pandangan barang sedetik pun ia tak melakukannya.

Di tengah-tengah mulai ikut terbuai dengan pemandangan di depan sana, sialnya ia justru tertangkap basah sedang memandang ke arah mereka. Terbukti dari orang yang sedang beredam diri di air menunjuk ke arahnya kemudian tak lama sepasang mata yang dia hindari justru beradu dengan tatapan dirinya. Terlampau panik, ia sampai lupa bahwa dirinya sedang tak berada di daratan. Genggaman pada besi yang membentang seketika terlepas dan membuat dirinya hilang keseimbangan. Beruntungnya sepasang tangan dengan gesit membantu meraih tubuhnya hingga ia terbebas dari dalamnya kolam renang ini.

Satu detik… dua detik… tiga detik… ia menghirup udara dalam-dalam, menetralkan pernapasannya pun berupaya menghalau kepanikan dari kejadian buruk beberapa saat lalu.

Syifa menoleh kembali ke arah sebelumnya, ingin memastikan apakah mereka masih memandang ke arahnya atau tidak. Beruntung mereka kini sudah terfokus dengan guru olahraga di depan yang tengah menjelaskan materi pelajaran dengan telaten.

“Anjir, maneh gapapa, kan, Cip?!” panik Nashella ketika melihat temannya hampir tenggelam.

Syifa menggeleng. “Nggak, tadi Syifa kaget aja. Kirain lagi nggak di kolam renang hehehe.” Syifa melepaskan salah satu tangan dari penyokong besi tersebut untuk sekadar mengangkat kedua jari ke hadapan temannya.

Gara-gara Kak Jaya, sih!


Syifa terburu-buru merapikan seragam sekolah pun pakaian basah bekas berenang tadi. Rambutnya masih setengah basah, namun mau bagaimana lagi? Apabila ia tetap bersikukuh mengeringkan rambutnya, yang ada ia bisa ditinggal oleh teman satu kelasnya. Apalagi melihat kondisi kolam renang sudah mulai sepi, membuat dirinya ingin segera bergegas keluar dan menuju parkiran.

Maneh yang nyetir, ah, gantian.”

“Nggak mau, anying! Aing masih kesel sama sia udah ngasih ide jeburin aing ke kolam tadi! Telinga air kemasukan air, mana mata aing pedih gara-gara kaporit air!”

Untaian kalimat tersebut membuat Syifa ragu, apakah ia harus bertanya kepada kakak kelasnya yang masih berada di parkiran perihal keberadaan teman-teman satu kelasnya?

Jagat menaikkan salah satu alis saat menyadari terdapat sosok orang lain yang tengah menaruh perhatian ke arah mereka berempat. “Maaf, ada keperluan sama kita?” tanya Jagat pada seorang perempuan yang terlihat sangat kebingungan.

Hal itu berhasil membungkam Harri dan Jaya yang masih sibuk bergulat untuk menentukan siapa yang akan membawa kendaraan menuju sekolah nanti. Mereka berdua dengan kompak turut menoleh ke arah samping kirinya, penasaran dengan sosok yang sedang diajak bicara oleh Jagat.

“Kak maaf ganggu, sebelumnya Kakak-kakak semua liat temen-temen Syifa nggak, ya?”

Dahi Jagat mengerut selaras dengan ucapan perempuan itu yang baru saja didengarnya. “Ciri-ciri temen kamu kayak gimana? Kita mana tau temen kamu itu siapa aja,” balas Jagat dihadiahi kekehan dari Rakha di sebelahnya.

“Maksudnya temen-temen kelas Syifa, Kak. Carteran angkot kelas Syifa. Kakak liat nggak, ya?” Jagat menyipitkan mata, seperti sedang berusaha mengingat sesuatu. “Oalah, angkutan umum itu udah pergi dari beberapa menit lalu. Kamu ketinggalan?” tanya Jagat dibalas anggukkan oleh Syifa.

“Cip, mau bareng si Ajay aja nggak? Motor si Ajay kosong, tuh!” ceplos Harri secara tiba-tiba menimbulkan raut penuh tanya dari ketiga temannya. Terlebih bagi sang empu yang namanya dijual begitu saja.

“Nggak, kan, aing bocengin maneh,” timpal Jaya cepat, menolak secara halus.

Harri berjalan mendekati Jagat dan Rakha yang masih terdiam di tempat. “Aing naik angkut aja pulangnya sama si Rakha, soalnya setelah dipikir-pikir aing takut masuk angin abis renang langsung motor-motoran.” Harri mengedipkan mata kanannya pada Rakha, memberikan sebuah isyarat agar laki-laki itu dapat membantu menyelesaikan misi terselubung.

“Ah, iya, bener. Sama aing pulangnya naik angkot carteran kelas! Bener, maneh, Hag!” balas Rakha, meraih pundak Harri lalu memukulnya pelan. “Bangsat, sia nggak briefing dulu!” bisik Rakha sekilas.

Harri menatap Syifa dengan senyuman terlihat jelas pada wajahnya.

“Iya, sama saya juga.”

Ucapan dari Jagat secara tiba-tiba itu seketika sukses melunturkan sebuah senyuman pada wajah Harri. “Maneh, kan, bawa motor, Gat!” ucap Rakha, membantu menyadarkan temannya itu.

Jagat menjentikkan jemarinya. “Oh iya bener juga, saya sampai lupa. Nggak jadi berarti saya naik angkutan umumnya kalau gitu.” Jagat menggaruk kepala, merasa malu akan ucapannya beberapa saat lalu.

Harri melepas rangkulan pada pundak Rakha, lalu berjalan ke arah adik kelas itu untuk menyerahkan sesuatu. “Pake helm Aa, tapi jangan dibawa sampe ke kelas,” ucapnya seperti terdapat nada jahil.

“Nggak, ah, Syifa naik angkot aja. Nggak enak.”

Harri menggeleng, mengibaskan tangan di udara. “Gapapa, daripada Syifa telat. Mending sekalian bareng Ajay, iya nggak, Jay?” Harri menoleh, menatap harap—menunggu jawaban yang akan diberikan temannya itu. Please bilang iya, Jay. Kasian anak orang, batin Harri penuh harap.

Jaya mengangguk.

Harri diam-diam menyunggingkan sebuah senyuman. “Nah, kan, mau! Sok atuh garagas, Cip! Itu tas jinjingannya mau Aa bawain nggak sekalian, takut susah di motor mah?”

Syifa menggeleng. “Nggak usah, A Harri. Syifa bisa, kok, ini bawanya.”

Harri melangkah mundur, memberi ruang kepada adik kelasnya untuk segera berjalan menuju kendaraan milik Jaya. Sedangkan Jaya yang melihat perempuan itu berjalan ke arahnya, perlahan mengeluarkan motor dari tempat parkir. Kemudian tak lama tangannya bergerak untuk menyalakan mesin motor, pun memasang helm setelahnya.

“Bukain dong pijakan kakinya, nggak peka banget kamu, Jay,” sindir Jagat dibalas jari tengah oleh Jaya.

Tanpa melepaskan pandangan dari depan, Jaya perlahan membuka pijakan kaki menggunakan kakinya yang terbebas secara bergantian. Kemudian tak lama sorak riang dan bunyi siul sengaja diberikan ketiga temannya lengkap dengan wajah penuh arti dalam pandangannya.

“Bisa nggak naiknya?”

Baru saja Jaya melemparkan pertanyaan itu, namun ia merasakan sebuah cengkeraman pada bahunya menandakan bahwa perempuan itu cukup kesulitan untuk menaiki kendarannya. “Maaf, Kak!” Syifa bergegas melepaskan cengkeraman itu dan lebih memilih memeluk tas jinjingan berada dalam dekapannya.

Jay melirik sekilas lewat spion motor, pun ia sudah tak merasakan pergerakan apapun menandakan bahwa adik kelasnya sudah berada di posisi nyaman. Lantas, tanpa menunggu lama ia perlahan melajukan motornya. Melewati tiga orang temannya yang masih berdiri di tempat semula.

Aing duluan.”

Heg, heg. Hati-hati, Jay!”

Satu kata yang bisa menggambarkan suasana saat ini adalah canggung. Mereka benar-benar merasa canggung, sebab salah satu dari mereka tak ada yang berani membuka obrolan satu patah kata. Hanya ada suara klakson dan bising dari pengendara lain yang menemani perjalanan mereka.

Syifa sedari tadi susah payah menelan salivanya, seperti tengah berusaha sadar apakah ia benar-benar berada dalam satu kendaraan yang sama dengan kakak kelasnya?

Ekspresi demi ekspresi yang diperlihatkan perempuan di jok belakang lagi-lagi berhasil mencuri perhatian Jaya melalui spionnya. Bukan ia sengaja menatapnya, hanya saja ketika ingin melihat kendaraan lain di belakang tiba-tiba wajah perempuan itu terlihat jelas. Diam-diam Jaya tertawa pelan, sangat pelan hingga tak ada satu orang pun yang menyadarinya, termasuk oleh perempuan itu sendiri.

“Kak Jaya, makasih banyak, ya, udah mau nebengin Syifa. Maaf Syifa jadi ngerepotin.”

Akhirnya setelah saling membungkam mulut, satu kalimat pun terlontar dari bibir manis perempuan itu.

“Nggak ngerepotin, santai.”

Aneh rasanya ketika biasanya ia paling pandai menyajikan berbagai topik bincangan, namun setelah berhadapan dengan laki-laki itu justru semua keahliannya sirna begitu saja. Bahkan, untuk sekadar berdeham pun ia terlalu enggan melakukannya.

Kernyitan pada dahinya terlihat jelas ketika motor tengah ditumpanginya berhenti di tepi jalan secara tiba-tiba. Alis Syifa menukik, memiringkan kepala agar lebih memudahkan untuk lelaki itu mampu mendengar ucapannya.

“Kenapa berhenti, Kak Jaya?” Syifa melirik ke arah kanan dan kiri secara bergantian. “Kita ditilang bukan, Kak? Ada polisi? Ini Syifa harus turun dulu nanti naik lagi, atau Syifa lanjutin naik angkot aja ke sekolahnya?”

Runtutan kalimat yang dilontarkan perempuan itu membuat Jaya diam-diam mengembuskan napasnya teramat pelan. Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Jaya justru mengulurkan tangannya, menengadah persis di samping tubuh Syifa.

“Sini barang bawaannya taro di depan aja, Jaya kaitin di stang motor.”

Syifa melirik sekilas lengan kakak kelasnya, kemudian membalas ucapan itu dengan menggelengkan kepala cepat. “Nggak usah, Kak. Syifa pegang aja, soalnya ini isinya baju basah Syifa.” Ia tak berniat menolak permintaan lelaki itu, namun Syifa sendiri cukup mengerti bahwa baju bekas berenangnya tadi benar-benar berat. Takut akan membuat lelaki itu kesusahan dalam menjalankan motor nanti.

“Kalau gitu jangan taro di samping, seragam Jaya ikutan jadi basah.”

Bagai disambar petir di pagi hari, ucapan dari kakak kelasnya itu mampu membuat dirinya terdiam untuk beberapa saat. Sementara sang empu tak absen untuk mengusap-ngusap pinggang kiri, berupaya mengurangi air yang telah membuat seragamnya basah.

Kesadarannya mulai kembali setelah merasakan aktivitas kakak kelas itu dalam mengusap seragam sekolahnya secara berulang. “Kak, maaf! Syifa nggak tau kalau baju bekas renang tadi bakalan basahin seragam Kak Jaya!” Syifa terburu memindahkan barang tersebut untuk ia simpan dalam dekapannya.

Jaya berdeham kecil untuk membalas permintaan maaf dari Syifa.

Selepas itu, rasa penasaran Syifa mulai menggebu-gebu saat menyadari bahwa kakak kelasnya itu tak membawa tas tambahan seperti dirinya.

“Ngomong-ngomong, baju bekas renang Kak Jaya disimpen di mana?”

Akui Syifa terlalu bodoh untuk melontarkan pertanyaan tak penting itu. Diam-diam ia mencubit salah satu lengannya sebagai bentuk hukuman karena ia tak mampu menahan keinginannya dalam mengetahui suatu hal.

“Ada di tas.”

“Terus buku Kak Jaya gimana? Nggak kebasahan?” tanya Syifa kembali.

Jaya menggeleng. “Nggak, bukunya disimpen di kolong meja.”

Syifa sontak terbelalak mendengar jawaban yang sama sekali tak pernah terbesit dalam benaknya. “Iya, ya, bener juga. Kenapa Syifa nggak kepikiran buat taro buku-bukunya di kelas!” gumam Syifa, beniat berbicara pada dirinya sendiri namun ucapan itu justru dapat terdengar oleh laki-laki di depannya.

“Emang buku Syifa dibawa semua?”

Syifa mengangguk. “Iya dibawa, Kak!” Syifa berdecak, memutar bola mata sembarangan dengan penuh kesal. “Tapi, gapapa. Sekarang Syifa udah dapet ilmu baru dari Kak Jaya buat simpen bukunya di kelas!”

Jaya mengulas senyuman hanya untuk beberapa detik saja sebelum akhirnya ia kembali melajukan motor untuk membelah jalanan. Seiring dengan kendaraan yang sedang asyik melaju, Syifa mencuri momen untuk menarik dan meremas ujung tali tas laki-laki itu, menjadikan barang tersebut untuk pegangan selama di atas motor.

Syifa sebelumnya tak pernah berpikiran untuk bisa berada dalam satu kendaraan yang sama dengan kakak kelas itu, apalagi membuat sebuah konservasi kecil secara langsung.

Padahal ini sudah menjadi tiga tahun setelah kejadian ia dengan laki-laki itu berada dalam satu meja yang sama—ketika ia masih duduk di bangku kelas satu SMP. Namun, anehnya perasaan itu masih sama saja. Degup jantungnya, salah tingkahnya, semburat merah mudanya, pun semua hal tentang laki-laki itu terasa masih sama saja.

Ketika sedang asyik berkelana dengan isi pikirannya, sekonyong-konyong laki-laki itu menginterupsinya tanpa permisi dengan sebuah kalimat yang anehnya ucapan tersebut justru membuatnya dihantui oleh berbagai pertanyaan.

“Tadi Jaya nggak sengaja liat Syifa tenggelem,” ujar Jaya menjeda sejenak ucapannya untuk menyalakan sein motor, lalu tak lama motornya belok ke arah kiri. “Gapapa?” lanjutnya.

Garis-garis halus yang semula tercetak dan menghiasi dahinya perlahan hilang bersamaan dengan laki-laki itu telah menyelesaikan ucapannya.

“Gapapa, Kak Jaya. Itu Syifa tadi cuman kaget aja jadi nggak sengaja lepasin pegangan ke besi pinggiran kolamnya!” Kaget gara-gara Kak Jaya liatin Syifa tau!

Jaya mengangguk, kemudian kembali hening untuk beberapa saat. Menciptakan kecanggungan di antara mereka berdua.

“Lain kali lebih hati-hati, ya.”

Ia mengulum senyuman, menyembunyikan dengan menundukkan kepala. Satu kalimat itu sukses menghasilkan semburat merah pada kedua pipinya. Ucapan cukup pelan akan tetapi masih dapat terdengar olehnya. Singkat namun penuh makna. Hal itu memberikan dampak mengejutkan pada perutnya yang entah mengapa seolah tengah tergelitik oleh sesuatu yang ia sendiri tak mengetahui asal usulnya.


Puspas Niskala.

by NAAMER1CAN0