write.as

“Kak, saya...”

Suara itu menahan langkah Daniel.

Dia tidak berbalik.

Tangannya masih terkepal erat di samping tubuhnya, namun sekarang debaran jantungnya mengalahkan seluruh suara yang hendak masuk ke pendengaran Daniel.

Tau-tau, ada tubuh hangat yang memeluknya.

Wajah Jihoon menempel ke punggung Daniel, ada gumaman yang tenggelam di sana.

“Apa?” bisik pria itu.

“Tugas Akhir saya,” Jihoon ikutan berbisik, “Pak Dongwook bilang karya saya kurang intens.”

Bahu Daniel mengendur. Menghela napas, ia berusaha berbalik badan, namun cengkraman lengan Jihoon terhadap pinggangnya begitu erat. Ia sampai tidak bisa bergerak.

Mengalah pada posisi itu, Daniel mengelus kepalan tangan Jihoon.

“Kurang intens gimana?” ia membalas pelan.

“Katanya..” kalimatnya kembali mengambang, “katanya emosinya masih belum kelihatan secara maksimal. Soalnya di proposal saya tulisnya bener-bener mesti dramatis, terutama di tahap ketiga. Tapi saya baru tahap kedua aja udah dikomentarin katanya nggak intens, jadi saya nggak tau harus gimana pas udah sampe yang ketiga—”

“Jihoon,” potong Daniel, menatap ke kedua tangan mereka yang kini bertautan. “Kamu ini sadar kan, saya sama sekali gak tau apa-apa soal TA kamu? Kamu itu belum pernah cerita loh. Bahkan garis besarnya aja saya nggak tau.”

Wajah Jihoon kembali mengusak ke punggungnya. Dengan suara kecil, ia berkata, “Iya, saya tau.”

“Terus?”

“Maksud saya, saya masih merasa kurang paham soal emosi intens yang Pak Dongwook bilang. Padahal, ehem, saya rasa saya udah punya banyak referensi. Tapi tadi, sewaktu kita.. um..” Jihoon berdeham, “ngelakuin itu, saya ngerasain. Pas dulu juga sama, kak. Yang di lantai.”

Oh. Daniel mulai paham.

“Jadi, intensi kamu adalah untuk edukasi diri? Gitu?”

”...iya.”

Daniel menatap ke jendela, melihat langit sudah berubah warnanya. Ia rasanya setengah ingin tertawa geli (karena harusnya ia tau mana mungkin Jihoon bakal mengatakan suka padanya), dan setengah lagi ingin menjedukkan kepalanya ke meja. Tapi lagi-lagi, ini untuk keperluan Tugas Akhir. Ini untuk Jihoon.

“Oke, valid.”

Daniel mendengar tarikan napas tertahan di belakangnya. Kali ini ia tidak dapat menahan kekehan.

“Bener kak?”

“Bisa lepasin saya dulu nggak?” lalu ia dengan lembut melepaskan pelukan Jihoon yang tidak seerat tadi. Ia berbalik badan, menatap wajah Jihoon yang masih terlihat tidak percaya. Begitu pandangan mereka bertemu, Jihoon langsung menunduk lagi dengan wajah merah.

“Kenapa sih kamu?” tanya Daniel geli.

“Saya tuh.. nggak bisa berhenti mikirin kakak.” ucapnya dalam bisikan.

Sesuatu di dada Daniel menghangat.

“Masa?”

Jihoon mengangguk kecil, kedua tangannya kembali memainkan ujung kemejanya—seperti reaksi default kalau sedang salah tingkah.

Kaki Daniel melangkah maju, dan kedua mata Jihoon yang sedang menatap lantai membesar. Secara refleks, ia mundur.

“Tau nggak,” Daniel berkata rendah, “alesan kamu itu belum cukup meyakinkan untuk saya,”

Mundur.

Jihoon tidak berani mengangkat kepala, “M-maksudnya?” dalam hati ia mengumpat karena kata-katanya keluar secara terbata-bata.

“Kamu yakin, nggak ada alasan lain?” suara bariton itu menggelitik pendengarannya. Jaraknya semakin mendekat. Kaki Jihoon terus melangkah mundur. “Another reason, maybe...?

Jihoon tersentak ketika menyadari punggungnya menyentuh dinding.

Ia menelan ludah, “Alasan apa lagi?”

Daniel bergumam main-main, “Hmmm..” lalu dengan santai ia berkata, “mungkin alasan kenapa kamu suka cemburu sama mantan saya?”

Jantung Jihoon rasanya berhenti berdegup.

Jemari Daniel mengangkat dagunya, memaksa pandangan matanya agar menatap lurus ke arahnya. Jihoon tidak sadar jarak mereka sudah sebegitu dekat, dan kenapa juga ia harus berkeringat dingin dan berdebar seperti orang gila padahal, barusan mereka sudah melumat bibir masing-masing?!

“Jihoon.”

Pipi Jihoon memanas, dan menyebar hingga ke leher dan dadanya. Tiba-tiba udara terasa begitu pengap dan menyesakkan, dan ini pasti bukan hanya karena Daniel sudah menundukkan wajah dan napasnya menerpa wajah Jihoon.

“Saya.. saya...”

Yes...?”

“Itu karena, um,” mata Jihoon hampir berair karena frustrasi dan malu, “karena! Saya, uh...”

Daniel terus menunggu dengan sabar. Kini lengannya mengurung tubuh Jihoon, hingga kalau saja ada orang yang masuk ke ruangan itu, mereka bahkan tak akan tahu ada keberadaan laki-laki mungil yang sekarang wajahnya seperti kepiting rebus yang sedang sesak napas.

Melihat Jihoon tak kunjung bisa mengatur kata-katanya (sejujurnya kasihan juga melihat dia bertarung dengan dirinya sendiri untuk mengeluarkan kalimat yang tepat), Daniel akhirnya memutuskan untuk turun tangan.

“Benar kan, kamu cemburu?” tanyanya pelan. Ia melihat Jihoon mengangguk cepat.

“Berarti kamu.. nggak suka kalau saya jalan sama Sejeong?”

Jihoon mengangguk lagi. Ia terlihat berpikir sejenak sebelum mengoreksi, “Saya nggak suka kalau Kak Daniel jalan sama mantan-mantan kakak. Bukan cuma Kak Sejeong.”

“Loh, tau dari mana kamu kalau mantan saya nggak cuma dia?” goda Daniel. Alih-alih menjawab, Jihoon mencibir, “Nggak mungkin Kak Daniel mantannya cuma satu.”

“Ya bener sih.”

Daniel baru mau mengatakan sesuatu lagi, tapi dipotong oleh suara Jihoon yang mengecil,

“Saya nggak suka Kak Daniel sama orang lain kecuali saya.”

Ah.

Ini cukup.

Sebatas ini, cukup.

Paling tidak, untuk saat ini.

Senyum Daniel mengembang. Ratusan kupu-kupu kembali bergejolak di dalam perutnya, dan hatinya melambung tinggi.

Ia melepaskan kungkungannya, membuat Jihoon menarik napas banyak-banyak. Wajah Jihoon terlihat setengah lega dan setengah bingung. Mata beningnya menatap Daniel penuh pertanyaan, apalagi ketika melihat senyum cerah yang membuat kedua mata Daniel menyipit seperti bulan sabit.

“Kak..?”

Tapi kata-katanya hilang bersama angin karena Daniel sudah keburu mengangkat tubuhnya. Jihoon berseru kaget, kedua kakinya lantas melingkari pinggang pria itu, tangannya merengkuh erat punggungnya. Wajah terkejutnya begitu kentara karena Daniel tertawa kencang saat melihatnya.

Yang terakhir Jihoon lihat sebelum bibir Daniel menyentuhnya adalah kedua mata pria itu yang menutup, napasnya yang hangat, dan sebuah bisikan,

You owe me a confession, next time.