A Little Too Not Over You

a changlix Fanfiction

Warning :

Sci-fi

italic = yongbok's inside head.

CW // first POV, tragedy, post-apocalypse setting, future time setting, pendiskripsian detail tentang suatu penyakit, menyebutkan darah dan luka.

TW // Virus, Apocalypse.


Dimana ?

Ini dimana ?

Kenapa semua putih ?

Kenapa komputer itu terus berbunyi ?

Sialan, kepalaku pening, tanganku tidak bisa bergerak

Siapapun tolong !!

Kenapa semuanya dikelilingi kaca ?

Ini bukan apartement ku !

Dimana ?

Kenapa aku tidak bisa bergerak ?

Tanganku nyeri.

Kenapa tengkukku kaku ?

Berapa lama aku disini ?

Apa yang mereka lakukan padaku ?

“Hey tenang... jangan bergerak dulu. Ototmu masih kaku... tarik nafas pelan...”

Siapa kau ?

Sialan ! dimana suaraku ?!

“Hey hey tenang !! Jangan panik, tenggorokanmu mungkin sedikit bermasalah. Kubilang ambil nafas pelan dulu...pelan-pelan...”

Tangannya mengusap rambutku pelan, suaranya lembut namun tegas.

“Yongbok-ssi, tenanglah...kau aman disini. Bernafaslah pelan-pelan dan jangan bergerak tiba-tiba...”

Bibirnya melengkung—tersenyum padaku.

Ia sekali lagi mengusap kepalaku lalu sedikit menjauh. Ia tampak menekan sesuatu dibawah ranjang tempatku berbaring, dan tiba-tiba ranjangku menaik.

Aku ingin memekik—tapi sekali lagi suaraku tak bisa keluar. Jariku menarik ujung kemeja lengannya refleks. Mungkin ia tahu bagaimana paniknya aku karena pergerakan barusan. Karena itu ia kembali menyondong kearahku dan berucap pelan,

“Tenanglah... semua baik-baik saja”

Suaranya seperti madu

“Akan kuambilkan minum. Cobalah untuk menggerakan tanganmu dulu...”

Ia berbalik dan keluar ruangan. Aku mencoba menolehkan kepala, leherku terasa kaku—berapa lama aku tidur ?

“Ugh—“

Aku mengambil nafas panjang saat merasa suaraku masih tercekat. Aku mencoba menggerakan tanganku seperti kata pria tadi.

Jariku sudah mulai lemas tapi tidak dengan lenganku.

Rasanya nyeri saat aku berusaha bersendekap, bahuku seperti tertarik.

“Akh!”

Tenggorokanku terasa perih saat aku memekik karena tanganku tertahan kabel-kabel yang menyambung ketubuhku.

“Astaga ! Yongbok-ah! Kau baik-baik saja ?”

Pria itu kembali dengan panik, aku menggangguk pelan untuk memberitahunya jika aku hanya terkejut—tapi lagi-lagi aku tak bisa mengeluarkan suara yang jelas meski mulutku bisa bergerak bebas.

“Ok, tenanglah... coba minum dulu...”

Ia membantuku menelan air berwarna birumuda—sejak kapan air berwarna seperti ini ?

Meskipun pria itu bilang ini air, tapi ditenggorokanku tak ada rasa apapun—seperti tak menelan apapun.

“Tenanglah, kau bisa menyesuaikan diri pelan-pelan...”

Aku mengabaikan air tak berasa itu dan menatap pria yang kini memunggungiku.

Posturnya lebih pendek dariku—sepertinya—karena aku bahkan tak ingat seberapa besar tubuhku.

Surainya hitam legam—sehitam matanya, wajahnya tampan dan...familiar.

Namun aku tetap tak bisa mengingat siapa dia.

Ia kembali duduk disamping ranjang rawatku dan tersenyum—lagi.

“Aku senang kau sadar. Dokter Jung sudah frustasi menunggumu bangun hingga aku menawarkan diri untuk menggantikannya. Kenalkan, aku...Seo Changbin...”

Ia mengucapkan namanya ragu, matanya menatapku lekat—seakan mengharapkan sesuatu.

Aku mengangguk pelan, ia masih tersenyum dan aku merasakan jemarinya mengusap punggung tanganku pelan. Rasanya menenangkan dan sekali lagi...familiar.

Ia berdiri saat seseorang masuk, aku menatap orang itu dan Changbin bergantian.

“Ah, Wooyoung-ah, kau datang ?” ucap Changbin. Pria baru itu mendekat keranjangku dan aku bisa melihat nama dada bertuliskan Jung Wooyoung

Ah! Apa dia yang merawatku sebelumnya ?

Aku melempar senyum kecil padanya—sungguh aku berharap bisa bicara sekarang, kenapa tenggorokanku harus sesakit ini ?

“Iya—um... a-apa semua baik-baik saja ?” tanyanya pada Changbin namun tatapan matanya terus berpindah dari aku dan Changbin—menatap bergantian berulang kali seolah ia takut aku dan Changbin berkelahi.

“Ya tentu saja. Yongbok-ssi baru sadar dan dia sudah mulai membiasakan diri dengan sekitar. Meski dia belum bisa bicara dan banyak bergerak.” Changbin kembali duduk dan mengusap tanganku lagi.

Aku bersumpah melihat pandangan Wooyoung terkejut melihat tanganku dan Changbin. Aku mencoba menarik tanganku pelan, tak ingin membuat kesalah pahaman—namun Changbin malah menggenggam tanganku.

“Ya, meski ada kesulitan pada koordinasi ingatannya. Tapi semua baik-baik saja.”

Wooyoung terlihat seperti menahan nafas,”Koordinasi ingatan ? O-oh... baiklah...”

Ia mundur selangkah dan berdehem, “Baiklah jika begitu. Aku akan kembali keruanganku. Semoga semua berjalan...lebih baik dari sebelumnya...”

Pandanganku mengikuti tubuh Wooyoung yang keluar ruangan sebelum kembali menatap Changbin yang tetap tersenyum

Astaga, kenapa dia menatapku seperti itu ?

“Ap—a?”

Aku memaksakan suaraku untuk keluar, Changbin terlihat terkejut saat mendengar itu.

“Oh, sepertinya kau sudah mulai bisa bicara ...”

Lagi-lagi ia tersenyum, aku menelan ludah sebelum kembali mencoba.

“K-au...”

Changbin mengikuti gerak bibirku dan menatapku penuh perhatian—menunggu kataku selanjutnya.

“...ke-nap-a..?”

Aku mengambil nafas panjang setelah menyelesaikan 2 kata yang sebenarnya tak panjang.

Changbin tersenyum, mengusap rambutku dan menyodorkan air minum. Aku meminumnya pelan.

“Jika kau bertanya-tanya kenapa aku terus tersenyum padamu sejak tadi, jawabannya sederhana.” Ujarnya sambil meletakan gelas kembali.

Aku menatapnya penuh, ia mengusap pipiku—jemarinya menyentuhku lembut seakan takut melukaiku.

“aku bahagia kau kembali.”

Aku mengernyit, apa kami saling kenal ?

Apa ini ada hubungannya dengan aku yang tertidur lama ?

“Chan—bin..” panggilku. Nama itu terasa ringan dilidahku—seakan aku pernah memanggilnya ratusan kali.

“Ya, Yongbok-ssi ?” sahutnya sambil tetap tersenyum.

Aku mencoba mengangkat tangan—ingin menyentuh pipinya

Terlalu banyak hal yang ingin kutanyakan, tapi ada satu yang paling penting.

“Apa...yang ter—jadi?”

Changbin terlihat diam beberapa saat sebelum menghela nafas. Ia menggenggam tanganku dan menyimpannya dipahaku.

Ia keluar ruangan, apa pertanyaanku tak sopan ?

Apa aku salah ?

Bagaimana jika dia tak kembali kesini ?

Bagaimana jika dia menyuruh orang lain untuk merawatku ?

Bagaimana jika dia marah dan membenciku ?

Bagaimana jika dia berpikir aku tidak tahu terima kasih?

Aku mencoba mengulurkan tangan, menggapai rangkaian kabel yang menyambung ke tubuhku.

Saat aku berhasil duduk, aku merasa semuanya berbeda.

Aku tidak tahu ini dimana—saat aku melihat keluar dari jendela disisi lain tempat itu; yang bisa kupandang sejauh ini hanya beberapa bangunan tinggi dan langit yang berwarna biru sedikit gelap.

Apa sekarang sudah hampir malam ?

Aku mengernyit heran. Aku mencoba untuk menuruni ranjang dan berdiri dengan kakiku—sedikit terkejut karena saat aku menatap ke bawah aku melihat bayanganku sendiri dilantai.

Suraiku terpotong rapi seperti terakhir aku mengingatnya—yang berbeda adalah tubuhku.

Lebih kurus dan pucat, aku juga tak melewatkan beberapa titik kebiruan kecil dibeberapa tempat dilenganku.

“Astaga Yongbok-ah !! Diam ! Jangan bergerak !!”

Aku berjengit kaget mendengar pekikan Changbin, dan juga...

Apa dia memanggilku Yongbok-ah ?

Bukankah tadi dia memanggilku Yongbok-ssi ?

Ah, jika tidak salah dia juga memanggilku Yongbok-ah beberapa saat lalu...

Kenapa dia berubah-ubah seperti itu ?

“Astaga, jangan ceroboh...”

Bisa kulihat Changbin mendorong sebuah kursi roda bersamanya. Ia meraih pinggangku dan menggendongku tanpa aba-aba.

“Ah!”

Aku memegang erat jas putih Changbin dan mengalungkan satu tangan ke lehernya.

“Kau baik-baik saja ?” tanyanya sambil tersenyum kecil.

Ia menggendongku seakan aku terbuat dari kapas, dan juga—

Aroma tubuhnya sangat menenangkan.

Aku tak tahu berapa lama—tapi aku merapatkan tubuhku padanya, memeluknya erat.

Aromanya membuatku semakin tenang, dan aku berpikir untuk tidur lagi saja daripada harus kelelahan belajar menggerakan kaki.

“Yongbok-ssi... kau—baik-baik saja ? Kau mengantuk ?” ucap Changbin pelan ditelingaku.

Baru aku sadar jika dia tak menurunkanku—tapi merubah posisiku hingga tubuh depanku menempel pada tubuh depannya. Ia tetap memelukku sambil sesekali mengusap punggungku.

Ah, aku mengantuk.

Aku mengangguk pelan dibahunya, semakin menyembunyikan wajahku dilehernya.

Bisa kurasakan ia tertawa pelan—getarannya sampai ketubuhku karena tak ada spasi diantara kami.

“Yongbok-ssi, kau sudah tertidur selama 13 bulan. Tidakkah kau penasaran apa yang terjadi selama itu ?” ucapnya sambil mengelus kepalaku.

Ia mendudukanku dikursi roda, aku mengeluarkan suara pelan—protes karena aku harus menjauh dari tubuh nyamannya.

Dan sepertinya dia menyadari protesku, ia tertawa pelan dan berjongkok didepanku. Satu tangannya mengelus lututku, dan yang lain mengusap pipiku pelan.

Apa dia selalu bersikap semanis ini pada semua pasiennya ?

Bukankah ini lumayan berlebihan ?

Ah—ya bukannya aku tak suka, tapi...ini bukan skinship yang biasa dilakukan seorang dokter dan pasiennya.

“Aku akan mengajakmu berkeliling sebelum kau melakukan check-up, setuju ? Setelahnya kau bisa memelukku selama yang kau mau” ucapnya sambil berdiri dan mendorong kursi roda keluar ruangan.

Aku hanya diam mengiyakan—toh aku juga tak tahu tempat ini ataupun apa yang terjadi.

Hal terakhir yang aku ingat adalah aku menangis—entah karena apa, lalu suara tetanggaku berteriak-teriak dan gedoran pintu. Saat itu aku terlalu panik dan takut—

“Lalu...ge-lap...” aku bersuara lirih. Changbin menghentikan kursi rodaku, dan kami menghadap kaca besar yang menjadi dinding bangunan.

Semua terlihat asing bagiku, aku tidak tahu apakah ini masih kota yang sama, aku tidak tahu apakah ini pemandangan nyata atau hanya grafis komputer.

“Kau ingat apa yang terakhir terjadi ?” tanya Changbin sambil berlutut disamping kursi rodaku. Aku mengangguk pelan, lalu menghela nafas.

Aku merasa tak cukup kuat untuk bicara panjang lebar memberitahunya apa yang ku ingat. Aku meraih tangannya pelan, mencoba memberitahunya jika aku sangat ingin bisa bicara seperti biasa.

“Kenapa hm ? Kau takut mengingatnya ?” tanyanya khawatir, aku menggigit bibir, ia kembali bicara,

“A-apa ada ... hal menyedihkan atau melukaimu perasaanmu ? Ka-kau...mengingat sesuatu seperti itu ?” tanyanya dengan suara pelan.

Kenapa ia terlihat khawatir...dan takut ?

Aku mengambil nafas dan menggeleng, “t-tidak...” sahutku. Ia segera menghela nafas lega.

“Baguslah. Jangan terlalu memaksakan diri untuk mengingat hal-hal sebelum kau tertidur... I-itu...tak terlalu penting.”

Aku menyadari ia mengucap 3 kata terakhir dengan cepat dan gugup. Aku mendongak untuk menatap matanya, sayangnya ia membuang muka.

“A-ah ya, kita bisa menuju ke ruang rekreasi jika kau mau. Aku akan menunjukan beberapa hal yang terjadi selama kau tidur.”

Saat ia menatapku lagi, senyumnya kembali muncul. Aku mengangguk, apa lagi yang bisa ku lakukan ?

Setidaknya dia akan menjelaskan semuanya.

Ruang rekreasi yang ia bilang lumayan besar. Dindingnya ramai dengan stiker, rak buku, rak boneka, beberapa set pc games dan beberapa box lego.

Aku menunduk menyadari roda kursi rodaku tertahan karpet tebal yang menutupi hampir seluruh lantai ruangan.

“Nah, ayo kita belajar berjalan sekarang” Changbin berjongkok dihadapanku. Ia mencoba membuatku berjalan—dan sungguh, rasanya pahaku kaku dan nyeri.

“Akh—“ aku memekik pelan dilangkah ketiga. Changbin berada didepanku, tangannya menggenggam tanganku erat. Kaki kananku bergetar hebat—tak kuat menahan beban tubuh. Aku menyerah dan menjatuhkan badan kedepan. Changbin tertawa kecil melihatku menghela nafas panjang dipelukannya.

Aku tahu jika dia akan menangkap tubuhku sebelum aku mengenai lantai—Dokter yang baik.

“Astaga, Yongbok-ssi, kau harus berusaha menghilangkan kemalasanmu itu...” sahutnya sambil menggendongku ke salah satu kursi busa yang mengelilingi meja warna-warni.

“Tempat—b—main...anak” aku lagi-lagi menghela nafas saat suaraku masih tersengal. Changbin mengerjap sebentar sebelum paham apa yang kukatakan.

“Ah, menurutmu tempat ini seperti tempat bermain anak-anak ? ahahaha memang sengaja seperti itu. Dengan begitu semua bisa bersantai disini...” jelas Changbin. Ia tampak mengambilkan beberapa camilan dari booth khusus yang ada disudut ruangan.

Lagi-lagi aku mengantuk—

“Yongbok-ssi... astaga, aku sudah siap bercerita, tapi kau malah mengantuk ?” ujarnya sambil

merengut lucu.

Bagaimana pria sebesar dia bisa bertingkah selucu ini ?

“M-aaf..”

Changbin beralih duduk disamping kiriku, sebelah lengannya melingkari bahuku—mengusap tangan kananku, membuatku refleks menyandar pada badannya dan kembali menutup mata.

Esensi kehadirannya benar-benar menenangkan.

Aku suka.

“14 bulan lalu tiba-tiba sebuah wabah berbahaya menyebar di Rusia, negara kita jadi korban ke 3 setelah Jepang dan Cina. Wabah yang menyebar lewat udara itu merusak sistem imun dan jaringan kulit manusia secara langsung. Objek yang terkena wabah akan mengalami muntah darah dan mimisan hebat. Lalu tinggal menunggu waktu sebelum tewas.”

Changbin memulai ceritanya, aku setia mendengarkan dengan mata tertutup. Menikmati elusan tangan besar dan hangatnya serta mendengar bagaimana suara berat itu kembali bercerita.

“Sejak awal wabah itu muncul, banyak ilmuwan dunia berkumpul untuk membuat sebuah obat dan sistem imun buatan. Pada minggu ke 5 obat itu sampai di negara kita—dimana hampir 35% negara sudah terjangkit.”

Aku membuka mata, mendongak mencoba menatap raut Changbin.

“Kau salah satu yang beruntung ditemukan sebelum terkena lebih parah. Kau pingsan di apartement mu—jika aku tak salah ingat hampir 80% penghuni apartement sudah terkena wabah. Beruntung salah satu tim penyelamat yang menyisir daerah itu menemukanmu masih

cukup sehat meski virusnya sudah memasuki tubuhmu.”

Aku bergetar dan merapatkan diri ke Changbin, secara natural badan besarnya memelukku—seakan ingin menyembunyikanku.

“Dr. Hwang dan Dr. Kim adalah Dokter terbaik disini. Karena kau 3 dari jutaan orang yang selamat, kami benar-benar bekerja keras untuk menyembuhkanmu. Sayangnya 2 pasien lain menyerah ditengah pengobatan. Kau satu-satunya sisa kenangan menyeramkan dari Wabah itu.”

Changbin semakin memelukku erat, dia mengusap punggungku pelan.

“Semua aktifitas vitalmu menunjukan sebuah kenormalan, sayangnya kau tertidur selama ini. Dr. Hwang dan Dr. Kim menyerah untuk membuatmu bangun. Aku adalah bagian psikologi, biasanya aku akan menemui orang-orang yang kehilangan anggota keluarga mereka oleh Wabah untuk berkonsultasi sebelum mereka menemukan Keluarga baru. Tapi aku dipindahkan untuk merangsangmu secara psikologi—karena Dr. Hwang bilang aktivitas otakmu normal. Artinya ada kemungkinan kau mendengar apa yang ada disekitarmu.”

Changbin mengusap pipi ku, membuatku mendongak dan menampakan raut bingung.

Astaga andaikan aku bisa bicara lancar sekarang, aku akan mencercanya dengan ratusan pertanyaan.

“Apa kau merasa mendengar sesuatu saat itu ?”

Aku menjawab pertanyaan Changbin dengan gelengan, yang ku ingat aku pingsan lalu saat terbangun aku sudah ada disini.

Aku ingin menceritakan semua pada Changbin—semua yang aku ingat, tapi rasanya tenggorokanku tidak bisa diajak bekerja sama.

Changbin tertawa, badannya bergetar—aku merasa suhu tubuhku menghangat.

“Dr. Seo—oh ! Yongbok-ssi juga disini ternyata”

Kami menoleh saat suara seorang pria mendekat, aku memicing melihat tag-namenya.

Choi Chanhee.

“Dr. Choi ? Apa ada masalah ?” tanya Changbin sembari melepas pelukannya—aku menggerung pelan.

Tampaknya ia mendengar itu, suara tawanya membuatku menunduk malu—kami baru bertemu dan berinteraksi , kenapa aku seposesif ini ?

Aku tidak bisa menahan senyum saat Changbin kembali merengkuhku ke dadanya.

Dr. Choi terdengar terkikik pelan sebelum bicara, “Dr. Hwang bilang aku harus memberitahumu jika persiapan untuk check-up Yongbok-ssi sudah siap.”

Changbin menunduk untuk menatapku, “Kau siap ?” tanyanya, aku hanya bisa mengangguk pelan. Jemariku meremat ujung jas putihnya—panik.

“Aku akan menemanimu sampai selesai, ok? Jangan khawatir...”

Changbin kembali menggendongku, mendudukanku ke kursi roda yang sudah siap didorong oleh Choi Chanhee.

Dokter dengan mata yang cantik itu tak absen senyum kepadaku, “Hallo, Yongbok-ssi, kenalkan aku Choi Chanhee. Salam kenal yaa ~~” ucapnya. Aku tersenyum kecil dan mengangguk seadanya.

*Changbin berjalan disisiku, tangannya tak absen mengusap kepala atau pundakku—ia tahu

benar jika aku takut.*

“Oh, kalian sudah datang. Yongbok-ssi, nyamankan dirimu diatas brankar ok ?” aku tersenyum pada Dr. Hwang. Mataku kemudian fokus ke Changbin yang bersandar dipintu masuk—ia terus tersenyum padaku.

“Aku akan melakukan beberapa pengecekan, aku akan melepaskan baju mu ok ?”

Kini diruangan serba putih itu hanya ada aku dan Dr. Hwang, Dokter itu terlihat tenang—aku mencoba bicara.

“Do-kter..Hwang...” panggilku, ia menatapku antusias,

“Ya, Yongbok-ssi ?”

Aku meraba titik-titik kebiruan diatas kulitku, “I-ni. ..ap-a ?” tanyaku pelan. Dia tersenyum, lalu kembali berkutat dialat-alatnya,

“Dr. Seo yang melakukan—“

Aku mengernyit, “Di-a..ps-ikolog...”

Dr. Hwang menatapku sebentar sebelum memasang ekspresi seakan baru mengingat sesuatu,

“Ah iya, dia memang psikolog. Tapi dia kerap membantu untuk memantau dan mengobati pasien. Titik biru itu bekas tusukan alat suntik berisi imun dan beberapa obat. Apa bekasnya terasa nyeri ?” tanya Dr. Hwang khawatir.

Aku menggeleng, Dr. Hwang tersenyum dan melanjutkan prosedur check-up. Dia terdengar menggumam puas dan beberapa kali tersenyum.

Aku perlahan merasa mengantuk lagi, brankarnya nyaman—bau ruangan ini menenangkan.

“Sudah selesai ?”

Aku langsung membuka mata mendengar suara Changbin, aku mendudukan diri dan tersenyum lebar.

“Dia tid—astaga, lihatlah Yongbok-ssi langsung bangun mendengar suaramu” aku tersenyum kecil mendengar gerutuan Dr. Hwang.

Changbin mengabaikan dokter itu dan mendekatiku, ia mengulurkan tangan dan entah kenapa badanku secara natural menyamankan diri didada bidang itu.

“Yongbok-ssi sudah mengantuk lagi ? tidur selama 13 bulan masih kurang ?” tanyanya dengan nada bercanda, aku merengut—sekali lagi secara natural mengusapkan pipi didada yang berdetak cepat itu.

“Yongbok-ssi sebaiknya istirahat atau belajar untuk melemaskan beberapa sendi dikamar rawat. Dr. Seo bisa menemani anda seharian ini.” Beritahu Dr. Hwang padaku. Aku mengangguk, mengeratkan tangan dipunggung Changbin.

“Kursi rodanya sudah siaap ~” Aku mendengar Dr. Choi berbicara sambil melambaikan tangan dari luar ruangan—terima kasih pada kaca besar disalah satu ruangan aku bisa melihat Dokter tampan itu darimana aku duduk.

“Mau digendong hm ?” Changbin berbisik pelan ditelingaku, pertama kalinya setelah aku bangun aku merasa pipiku memanas hingga ujung telinga. Dr. Hwang terbatuk kecil dan keluar ruangan lebih dulu. Tak lama aku juga melihat senyum jenaka Dr. Choi sembari berlalu dengan kursi roda kosong—menjauhi ruangan dimana aku dan Changbin masih saling memeluk.

“Baiklah Yongbok-ssi, karena kau pasien spesial disini. Aku mau menggendongmu—hap !”

Aku mencengkeram erat bahu Changbin, ia menggendongku dengan bridal style tanpa malu dan berjalan santai sepanjang koridor menuju ruangan awal dimana aku terbangun.

Sepanjang jalan aku hanya bisa menyembunyikan muka malu karena sapaan semua orang padaku dan Changbin.

Apa aku seterkenal ini ?

Apa benar aku kenangan dari Wabah menakutkan itu ?

Apa aku harus bersyukur karena masih hidup meski nyatanya tak bisa mengingat apapun ?

“Selamat siang Dr. Seo dan Yongbok-ssi, kami senang anda sudah siuman dan membaik.”

Pria yang sudah bisa dibilang tua itu menghentikan langkah Changbin, aku mengangguk pelan dari gendongan Changbin. Bisa kudengar Changbin hanya berdeham,

“Terima Kasih Prof. Noh. Permisi, aku harus membawa Yongbok-ssi beristirahat.”

Aku sedikit mengernyit saat para rombongan orang itu menunduk dalam pada Changbin.

Sebentar,

Changbin ini jabatannya apa ?

Jika dibilang psikolog biasa, kenapa rombongan orang tadi malah membungkuk padanya ?

“Kau ingin membawa beberapa camilan ? kita bisa mampir ke Ruang Rekreasi lebih dulu...” tanya Changbin, aku mendongak menatapnya lalu menggeleng.

Kasihan jika dia harus menggendongku kesana-kemari.

Aku melihat pintu ruangan dimana aku bangun, Changbin dengan pelan kembali membaringkanku. Aku menyadari ruangan ini sudah ditata ulang, tak lagi banyak komputer untuk memantau kondisiku dan...sprei ditempat tidur juga diganti.

Aku melihat Changbin yang menutup pintu sembari menekan beberapa tombol disisi pintu.

Sret !

Aku berjengit kaget saat nyaris separuh dinding kaca tadi tertutup tirai biru gelap.

Pemandangan langit masih sama seperti saat aku bangun—sedikit gelap, semakin gelap saat aku menyadari jika lampu-lampu terang diruangan ini berubah temaram.

“Sesuai janjiku tadi Yongbok-ssi, setelah check-up kau bisa memelukku sesukamu.”

Aku menoleh dari pemandangan diluar ke arah Changbin.

Jas putih khas dokter itu sudah tergantung rapi disudut ruangan, Changbin kini terlihat menggulung kemeja biru lautnya hingga ke siku. Aku sedikit merona melihat penampilannya sekarang.

Beruntung sekali aku dirawat Dokter semenawan dan seperhatian Changbin.

Changbin melepas sepatunya santai lalu bergabung denganku diranjang—ya bukan brankar karena mereka tampaknya tak tega melihatku tertidur 13 bulan diatas brankar.

Queen Size ini sepertinya memang tak terlalu nyaman ditiduri dua pria, tapi aku hanya tersenyum saat Changbin menarikku mendekat—menyelipkan lengannya dibawah kepalaku.

“Hmm, semua orang senang kau berhasil melewati masa kritis dan wabah itu. Selamat

Yongbok-ssi. Kau hebat...” ucap Changbin sembari tersenyum.

Aku hanya tersenyum, menyamankan kepalaku didadanya. Sejenak hening datang—aku sendiri tak terpikirkan untuk memulai percakapan, aku menyukai keheningan ini.

Tapi aku tiba-tiba terpikirkan sesuatu.

“Changbin…” panggilku, Changbin langsung menatapku dan mengusap pipiku pelan.

“Ya ? Kau butuh sesuatu Yongbok-ssi ?”

Aku menggeleng, menarik nafas sebelum mulai bicara.

“Kau..ter—lalu..baik..ak-u pasi-en” ucapku terbata, tenggorokanku masih terasa perih saat kugunakan untuk berbicara.

Changbin tertawa, hingga aku menyebik dan menepuk dadanya yang bergetar.

“Kau spesial Yongbok-ssi, kau itu semacam... emm, keajaiban ?” ucap Changbin sambil tersenyum lebar. Aku menatapnya,

“L-lalu..?” tanyaku tak paham

Lalu jika aku spesial, maka seorang dokter harus melekat padaku sepanjang hari ?

Menggendongku ?

Menina-bobokan hingga memelukku sepanjang hari ?

“Kau spesial Yongbok-ssi, kau berharga...” ucapnya serius.

Lagi-lagi rona merah mewarnai pipiku, astaga.

Aku memutar badan pelan—ingin memunggunginya agar dia tak melihat pipiku yang memerah. Changbin terdengar tertawa setelahnya.

Ah ... dia hanya menggodaku.

Aku menelan hembusan nafas kecewa dan mencoba menyamankan diri.

Hingga satu kecupan terasa dibahuku.

“Aku serius Yongbok, kau spesial... kau berharga—paling berharga dihidupku..” ucap Changbin lalu memeluk ku erat dari belakang.

Aku bisa merasakan dadanya berdegup keras—begitu pula denganku.

Ah... perasaan ini

Aku tahu apa ini.

Aku

Menyukainya

Aku menyukai Changbin.

.

.

.

END