A little too not over you – Part 2.

content warning :

harsh words, misunderstanding.


Seoul, 13 bulan yang lalu

Plak !

Changbin mengaduh saat tunangannya tiba-tiba muncul dan menamparnya keras.

“Tunggu aku bisa—“

“Brengsek ! Kau brengsek Seo !!”

Changbin mencoba menahan tangan sang tunangan, ayolah mereka sedang menunggu hari bahagia—Changbin tak ingin ada kesalah pahaman seperti ini.

“Aku hanya membantu Chanhee—“

“KAU MENCIUMNYA BRENGSEK !! KAU PIKIR AKU TAK PUNYA MATA ?!”

Chanhee yang terdorong disisi lain mendekat, takut membuat perpecahan pada pasangan itu.

“Maaf, tapi serius Tuan Seo tidak menciu—“

“Tutup mulutmu sialan” desis si tunangan. Changbin mencoba menarik sang tercinta ke ruangannya—namun tanganya dihempaskan begitu saja.

Cling !

Satu cincin tergelinding hingga melewati kaki Changbin—membuat si Pria tampan kaku.

Cincin itu...

“Selesai... kita selesai Seo ! Aku tak tahan lagi ! Kau terus-terusan bilang jika lembur dengan obat wabah sialan itu dan nyatanya ?!?! KAU ASIK BERCUMBU DENGAN BAWAHAN MU !! Cukup aku tak sudi melihat wajah mu lagi.”

Tubuh semampai itu pergi begitu saja, Changbin masih mematung—berusaha mencari jalan keluar dari semua masalah namun otaknya benar-benar tak bisa bekerja dengan benar. Separuh jiwanya baru saja bilang jika tak sudi melihat wajah Changbin—

No.

Ini kematian bagi Changbin.

Orang itu bagaikan oksigennya,darahnya, hidupnya.

Orang itu sudah seperti nyawanya—Changbin tak akan bisa melanjutkan hidup tanpa orang itu.

Ia segera memungut cincin itu dan berlari mengejar sang kekasih—berharap bisa meminta kesempatan kedua.

“CHANGBIN BAHAYA !! JANGAN KELUAR KANTOR !!”

Satu sosok menghalanginya,

“Wooyoung sialan minggir. Aku harus mengejar—“

“Wabah sudah mulai memasuki wilayah ini. Daerah Apartement 89 sudah hampir 80% terkena. Tim kita akan segera bergabung dengan Tim Penyelamat dari pemerintah—“

GREP !

Wooyoung diam saat Changbin menyengkeram kerah kemejanya, “Apartement 89 kau bilang ?”

Satu anggukan dan Changbin langsung menyambar tas hitam dipinggang Wooyoung—menyambar 2 ampule benda cair berwarna biru bening.

“Aku pergi... handle yang lain selama aku pergi...”

Wooyoung dan beberapa rekannya memekik melihat Changbin dengan cepat menuju salah satu mobil dipelataran parkir dan pergi dari sana.

Yang ada dipikiran Changbin hanya satu.

Kekasihnya.

Apartement itu Apartement dimana ia dan kekasihnya tinggal.

Jarak tempuh biasanya hanya sekitar 7 menit, namun Changbin merasa ia sudah berjam-jam berkendara.

Ia menarik nafas panjang—bersyukur kemarin malam Chanhee dan Wooyoung memaksanya untuk mendapatkan suntikan anti-virus itu. Kini ia tak perlu ketakutan berlari diluar sana.

Hall apartement itu panik. Changbin sekali lagi mengedarkan pandangan—berjaga jika menemukan sang kekasih.

Tak lama suara muntahan dan pekikan terdengar disana-sini, Changbin berlari ke lift dan menuju lantai dimana apartementnya berada.

Ia terus berdoa, memohon pada Tuhan agar diberi kesempatan untuk menyelamatkan sang kekasih.

Pintu apartementnya tertutup rapi—Changbin bersyukur karena ini meningkatkan kemungkinan sang kekasih belum terkena paparan udara bervirus.

“Sayang—“

Changbin merasa kakinya beku saat mendapati sang kekasih terduduk dilantai ruang tamu—darah mengucur deras dari hidungnya, kulitnya sudah memerah disana-sini seperti ruam.

Ini gejala awal.

Changbin menangis, ia segera memeluk sang kekasih. Ia memindahkan tubuh ringkih itu, tangannya bergetar hebat saat berusaha mencari suntikan di kotak p3knya.

Ampule berisi cairan bening sudah kosong.

“Aku mohon bertahan sayang ~ aku mohon ~” Changbin merasa tatapannya memburam.

Jarum itu sudah menembus kulit sang kekasih, cairan sudah memasuki tubuh yang mulai dingin.

Changbin melempar sembarangan suntikan itu dan menyelimuti tubuh bergetar sang kekasih dengan jas putih miliknya.

Mata indah itu sudah tertutup namun nafasnya masih tersengal, darah masih mengalir sehingga Changbin melepas dasinya guna membersihkan wajah indah itu.

Sekali lagi Changbin berlari, kini dengan sang kekasih didekapannya. Ia terus memohon—memohon pada Tuhan dan kekasih.

Ia berharap sang kekasih kuat dan bertahan.

“Aku mohon...”

.

.

.

.

.

“Aku mohon bertahanlah Yongbok...”

FIN