HYUNSUNG FanFiction

It’s 11:11

By Nyonyabang

Disclaimer : Hyunjin dan Jisung saling memiliki, nyonya dan plot cerita juga saling memiliki, tapi 11:11 punya Taeyeon.

CW : MCD , fantasy AU, hurt/comfort. Kalimat italic adalah terjemah dari lirik lagu Taeyeon.

.

.

.

Jisung sadar jika semua hal disekitarnya sudah menemukan tempat kembali, tapi kenyataannya dia tetap disini—berada ditempat yang sama.

.

.

.

March 23th 2021

Warna hitam sudah menyebar dilangit, Felix memakai sepatu sambil menenteng jas putih khas dokternya, “Aku pulang dulu Ji, ingat jangan terlalu banyak makan ramyeon!”

Jisung hanya tersenyum, menyandarkan tubuhnya di dinding disisi Felix. “Kau sudah mengatakan itu 5 kali... Aku bukan pelupa Bokkie ~”

Felix melirik sebentar sebelum akhirnya menghilang dibalik pintu. Jisung menatap sekeliling apartement nya,

“Sepi sekali ...”

Ia melangkah pelan menuju ke meja didekat TV—menyalakan mp3 player disana. Suara petikan gitar lembut terdengar sesaat setelah tombol play ditekan. Ia mulai bergumam menyanyikan lagu yang mulai terputar.

“Its 11:11 oneuri han kani chae an nameun geureon shigan”

its 11:11 when there's not much time left to the day.

Jisung berjalan pelan ke arah kamar mandi, melepas sweater besar yang sejak tadi menutup hingga pahanya. Shower menyala, ia berdiam diri dibawah guyuran air sambil bersenandung kecil.

When we used to make wishes and laugh, everything reminds me of you.

Matanya terpejam, mengingat sosok yang sudah sangat familiar bagi tubuh dan ingatannya. Sosok pria tinggi tampan dengan senyuman cerah.

“Hyunjin...”

Kegiatannya dikamar mandi berjalan pelan, setengah jam kemudian dia baru keluar. Tangan lentik nan cantik meraih gelas bening berleher panjang yang tergantung diatas counter dapur. Tangan yang lain membuka sebuah botol warna hijau dengan leher atas berbalut kertas merah.

Cairan dalam botol dituang pelan ke dalam gelas, riaknya terlihat anggun. Bau khas tersebar diruangan itu, menemani lantunan lagu yang masih sama seperti sebelumnya. Jisung dengan berbalut bathrobe melangkah ke balkon apartement, memainkan cairan merah digelas sambil bersenandung.

The wind is as cold as the edge of your heart, when i open the window, you blow in.

Pada sesapan pertama, Jisung memejamkan mata. Menikmati bagaimana minuman favouritenya ini menuruni kerongkongannya. Suara penyanyi wanita masih mengisi apartementnya, namun ia kini fokus menghadap keluar balkon.

Malam telah tiba. Waktu favouritenya sudah tiba.

Melihat lampu kota sudah semakin berkedip genit memperindah pemandangan. Jisung segera kembali masuk dan berganti pakaian. Sebuah mantel kombinasi warna hitam dan abu-abu membalut tubuh mungilnya, sepasang earphone yang masih melantunkan lagu yang sama sudah rapi ditelinganya.

Bangunan Apartement sudah tertinggal jauh dibelakang, Jisung tersenyum melihat bagaimana ramainya malam ini. Ia berdiri disebuah pesimpangan jalan menunggu lampu pejalan kaki berubah hijau.

Manik beningnya menatap sekeliling, beberapa anak muda tampak tertawa bersama kawannya. Jisung menarik nafas, kapan ia bisa berbincang dan tertawa lepas seperti itu lagi ?

Kapan terakhir kali ia berjalan bersama orang tersayang nya ? Dada Jisung kembali merasakan sesuatu yang pernah ia rasakan, namun tak bisa lagi ia dapatkan. Jam digital besar disisi jalan kini menarik perhatiannya.

11:11 pm

Lagi-lagi Jisung hanya bisa tersenyum, ia berbalik untuk kembali berjalan.

When this time passes will this break up be over ? Will i forget you ?.

Sepanjang sisi jalan Jisung hanya melihat sekeliling, hingga sebuah kedai ice-cream menarik perhatiannya.

“Satu chocholate-mint” ucapnya ke si penjual. Satu cone penuh ice-cream ia dapatkan beberapa menit setelahnya. Ia kembali menyusuri jalanan, hanya melihat kendaraan berlalu-lalang.

Angin bertiup dari sisi kirinya, membuatnya sadar jika ia sedang ada disisi sebuah jembatan. Ia tersenyum melihat bagaimana bias bulan di air beriak bertemu dengan bias cahaya dari lampu warna-warni dijembatan.

Tes !

Tes !

Jisung menunduk kearah mantelnya, beberapa lelehan ice-creamnya mengotori mantelnya dan beberapa lagi turun langsung ke jalan. Untuk beberapa saat Jisung menatap ice-cream yang mulai meleleh di tangannya.

Ia hanya tersenyum dan segera menghabiskannya, sambil kembali bersenandung pelan.

Everything finds its place and leaves, you took all of me and left.

Jisung berhenti disebuah taman untuk mencuci tangannya, ia melihat jika tempat itu sudah sepi. Tentu saja, siapa yang mau berada ditaman saat jarum jam hampir bertemu di angka 12 ?

Dengan pelan ia mendekati sekumpulan bunga warna putih yang ada didekat air mancur, ia berjongkok menatap kagum bunga-bunga tadi. Terlihat cantik dan anggun. Gerakan tangannya mengambil setangkai bunga terhenti saat ia melihat ada beberapa tangkai bunga layu karena sudah tercabut dari tanah.

Jisung menghela nafas, “Pasti ada beberapa anak yang bermain disini tadi...” gumamnya. Ia mengambil 4 tangkai bunga dan segera beranjak dari sana.

Sebuah gerbang warna putih besar berdiri kokoh dihadapan Jisung, tempat yang sekarang ia masuki adalah halaman luas yang sangat sepi. Tempat ini adalah tempat yang tak disukai semua orang, apalagi jika sudah semalam ini.

Jisung berjalan pelan menuju salah satu batu yang tertanam ditanah dilokasi yang sudah lebih dari sekedar ia hafal.

“nae maeumeun shige soge du baneulcheoreomgateun, goseul dugo maemdolgiman hae” gumamnya begitu sampai ditujuannya. Ia berjongkok didepan benda itu, meletakkan 4 tangkai bunga yang tadi ia bawa.

But like the two hands of the clock in my heart , i keep lingering in the same place.

Ia duduk disana, membicarakan apa saja yang sudah terjadi selama setahun belakangan.

“Kau tahu ? Setahun lalu setelah pulang dari sini, aku menemukan seekor anak kucing warna coklat. Sekarang dia sudah besar—Felix memberinya nama hannie. Sungguh, aku merasa tersinggung sekali” rengutnya sambil memainkan kerikil kecil didekatnya.

“Mulai bulan depan aku akan bekerja hingga larut malam dikantor milik Chan-hyung. Aku mungkin akan jarang merawatnya, jadi besok Felix dan Changbin akan datang untuk menjemput kucing itu.” Ucapnya lagi.

Jisung menepuk-nepuk tanah didekat kakinya.

Suara beberapa gagak membuat Jisung mendongak, “astaga, ini jam berapa ? kenapa mereka berisik sekali ...” sungutnya. Ia akhirnya berdiri,

“Jja ! Baiklah, aku pulang sekarang ... Jaga dirimu, ok ?”

Jisung menunduk hanya untuk mengecup batu dingin itu, jemari lentiknya mengusap ukiran nama disitu.

“Aku mencintaimu Jinnie ~”

Langkah Jisung terlihat lebih ringan, ia kembali menyusuri jalanan yang mulai sepi. Lantunan lagu yang masih sama menemaninya karena sisi jalan mulai longgar. Ia berjalan sendirian sambil menghitung langkah.

Ia terkadang melihat sekeliling, hanya untuk mendapati hal-hal berubah seiring waktu. Ia ingat beberapa tahun lalu, jalanan ini masih belum semulus sekarang, kendaraan belum seramai ini, lampu belum sebanyak ini.

Jisung tersenyum kecut.

Everything finds its place and leaves, you took all of me and left, but like the two hands of the clock in my heart , i keep lingering in the same place.

Ya ...

Jisung tahu semua ini benar.

Segalanya akan kembali dan menemukan tempat mereka yang seharusnya.

Seperti Hyunjin.

Pria itu datang ke kehidupan Jisung, mengambil hati dan segala yang Jisung punya—lalu pria itu pergi.

Semua sudah pergi menemukan tempat asal mereka, tapi Jisung seperti jarum jam yang terus berputar ditempat yang sama.

Jisung menatap keujung lain sungai, ia menumpukan tubuhnya disisi jembatan tanpa takut terpeleset jatuh. Ia bergumam pelan , menyenandungkan lagu yang masih sama seperti semalam.

Like a strange flower that blooms between seasons.

Hyunjin adalah orang yang dingin, namun dihadapan Jisung pria itu lebih hangat daripada Matahari, dia lebih lembut daripada kapas, dan lebih rapuh daripada setangkai bunga.

Like the morning star that hangs between days.

Jisung memejamkan mata mengingat dimana hari ia dan Hyunjin diikrarkan sebagai pasangan sehidup-semati—dimana itu membuat Jisung merasa sebagai pembohong karena ia tahu ... ia tak sama seperti Hyunjin yang bersungguh-sungguh dengan ikrar itu.

“...apa kau bersedia menjadi pasangan Han Jisung ? dalam keadaan sehat maupun sakit , dalam...”

Suara khas Hyunjin yang dengan tegas menyanggupi janji itu membuat Jisung menghangat ditengah semilir angin. Hyunjin adalah satu-satunya yang membuatnya merasa hidup.

Hyunjin bisa membuatnya sama seperti orang lain, Hyunjin selalu membuatnya merasa berharga dan aman.

Satu.

Hanya satu.

Hanya Hyunjin.

Hyunjin adalah satu-satunya yang benar-benar ia cintai selama ia hidup.

Hyunjin.

Hanya Hyunjin dan akan tetap seperti itu.

Bintang pagi berkedip menatap Jisung dari langit yang mulai berwarna biru muda, mengingatkan akan waktu Jisung yang mulai menipis.

Jisung menyisipkan beberapa helai rambutnya yang mulai panjang ke belakang telinga, ia tersenyum manis menatap langit yang mulai cerah.

All of this, someday, will pass.

Ya , semuanya akan berjalan seperti biasa dan pada akhirnya Jisung mungkin akan terbiasa untuk hidup sendirian lagi—sama seperti saat Hyunjin belum datang ke kehidupannya.

Ia berjalan pelan kembali ke apartement, ia bersenandung sedikit lebih keras,

Everything finds its place and returns , if i finally smile as if nothing happened.

Jisung berputar kecil, menikmati angin pagi membelai pipinya. Ia berharap bisa tetap seperti ini saat Matahari muncul—ia rindu akan hangatnya bintang terbesar itu.

Sama seperti bagaimana rindunya pada Hyunjin.

Tapi ia tahu, semua harus kembali ketempat yang sesuai, dan Hyunjin sudah melakukannya. Ia kembali ke tempat asalnya dan seharusnya Jisung bahagia karena Hyunjin pasti senang bisa pulang.

Jika ia bisa kembali tersenyum cerah seakan tak terjadi apapun, mungkin menyebut nama Hyunjin tak akan lagi terasa menyakitkan.

Ya , suatu saat Jisung pasti bisa mengenang Hyunjin sebagai hal terindah dikehidupan panjangnya.

Namanya akan jadi hal terindah yang bisa Jisung ucapkan dikemudian hari.

Dipintu apartement ia disambut pria dengan mulut penuh makanan, “Phagi hannih”

Jisung tersenyum, “Pagi Changbin. Telan makananmu sebelum itu menyembur keseluruh lantai apartement ku”

Changbin merengut, ia mengikuti Jisung yang menuju dapur dan menjawil dagu Felix, “Pagi Bokkie, kau membuat bekal untukku ?”

Felix yang berbalut apron menoleh, rautnya tampak tak suka, “Kau tahu ini hampir pagi kan ? kenapa kau baru pulang ?”

Changbin tersenyum kecil, “Bokkie, Jisung bukan anak kecil. Dia tahu apa yang baik dan buruk untuknya. Berhenti memarahinya seperti itu. Dia hidup lebih lama daripada kau ~”

Jisung mengerling setuju kearah Changbin, lalu meraih gelas berleher panjang berisi cairan kemerahan, “Maaf bokkie, tak akan kuulangi ~ Aku akan mandi dan segera bersiap.”

Gelas kosong ia letakkan, ia merasa sedikit semangat sekarang.

Pintu kamar ia tutup, korden besarnya masih setia melindungi ruang privatnya itu dari cahaya matahari. Jisung bersyukur ia memiliki Felix dan Changbin disisinya, mereka tahu bagaimana dirinya dan bagaimana sulitnya Jisung.

Mantel , kemeja , celana tergeletak dilantai, tubuh pucat itu mendekati pigura besar yang tergantung didinding. Jisung menatap bagaimana tubuhnya dulu saat bersanding dengan Hyunjin dengan sepasang tuxedo putih cantik. Ia terlihat pendek karena Hyunjin sangatlah tinggi.

Meski photo sepia itu membuat Jisung merasa amat tua, namun ia bisa merasakan gairah muda yang menguar.

Ia ingat bagaimana egoisnya dia memilih Hyunjin sebagai pendamping hidup disaat tak ada satupun yang ada dipihaknya. Tak ada keluarganya yang setuju soal itu, tapi Jisung tak perduli, dia hanya butuh kesanggupan Hyunjin untuk hidup bersamanya seumur hidupnya.

Disamping pigura photo pernikahan itu, ada photo lain yang memperihatkan bagaimana tampannya sang Matahari bagi Jisung. Photo sepia Closeup itu memperlihatkan bagaimana tajamnya figur wajah seorang Hwang Hyunjin.

Rahang tegas yang membuat Jisung meleleh setiap menyentuhnya. Sepasang mata rubah yang selalu menatapnya lembut, juga plum manis yang memberinya kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama hidup.

Menatap photo Hyunjin membuat Jisung kembali merasakan kehangatan yang tak pernah ia rasakan, kehangatan dimana Hyunjin memeluknya, kehangatan yang kontras dengan suhu rendah tubuhnya.

Jisung melangkah kekamar mandinya, cahaya hangat matahari tampak berhasil masuk dari sela-sela jendela atas. Jisung melangkah disisi cahaya itu, seingin apapun ia merasakan hangatnya matahari, ia tak bisa dan tak diijinkan.

Tubuh kecilnya tenggelam dibathtub yang besar, merilekskan seluruh ototnya. Jisung menggumamkan lagu yang masih setia terlantun diapartement nya—bahkan sepertinya Felix dan Changbin terlalu sibuk untuk mempause lagu itu.

Suara indah yang pernah mengisi hari-hari dikehidupan singkat Hwang Hyunjin itu kembali terdengar.

In the calendar, the date that we planned out long ago, if you forgot about it all.

Banyak hal masih ingin Jisung lakukan dengan Hyunjin, meski pria itu lupa. Ini bukanlah apa-apa.

I guess i have to erase it, after a while , it wont be a big deal.

Matahari semakin tinggi, cahayanya bisa menyusup masuk memberi sedikit cahaya hangat dikamar Jisung. Pemilik kamar yang sudah terlihat rapi dengan jas putih khas kedokteran berbalik untuk menatap photo sang terkasih yang ditimpa sinar matahari.

Lihatlah, bahkan Hyunjin tak perlu bersembunyi dari bintang besar itu—tak seperti dirinya.

Jisung menyandang tasnya, ia menatap photo itu sekali lagi,

“Selamat pagi Hyunjin, semoga harimu menyenangkan ~”

Ia tersenyum manis, senyum yang lama sekali tak ia berikan pada siapapun—hanya untuk Hyunjinnya.

Ia merasa perasaannya menghangat.

Kapan terakhir kali ia merasa sangat hidup seperti ini ?

Panggilan Felix membuatnya sadar dan bergegas keluar, ia harus segera memulai aktifitasnya juga.

Mobil yang dikendarai Changbin dengan cepat menerobos jalanan pagi yang mulai padat. Jisung terdiam menatap keluar.

Kapan kiranya ia bisa bertemu Hyunjin ?

Menit berlalu dan kini ia sudah berdiri didepan ruangan yang menjadi tempatnya bekerja—Ruang Operasi.

“Han-uisanim, pasien pertama anda akan segera dipindahkan ke ruang operasi. Dia mengalami kecelakaan dini hari tadi dan terjadi pendarahan dikepala serta perutnya.”

Jisung mengangguk, menaikan maskernya. Telinganya mendengar suara tangisan dari keluarga pasien. Ia menoleh, sepasang suami istri menangisi putra mereka yang terbaring dengan alat bantu diatas brankar.

Jisung menatap si istri yang memegangi dadanya, terlihat jika wanita itu berusaha menenangkan dirinya agar tak terlalu kalut. Jisung memasuki ruang operasi, ia meraba dadanya sendiri

Kapan ia terakhir kali merasa berdebar ?

Kapan ia terakhir kali merasa dadanya bergetar ?

Tremor didadanya tak terasa, ah! Jisung sudah tidak memiliki itu lagi...

Ia tak pernah tahu lagi bagaimana rasanya bergetar takut atau berdebar khawatir.

Mungkin saat melihat Hyunjin terbaring damai—itu terakhir kalinya Jisung merasa dadanya kembali berdetak takut dan khawatir.

.

.

.

Hwang Hyunjin March 11th 1892 – March 23th 1964

.

.

.

FIN