S I R E N – The Dead Melody.

Bagian 2.


TW // selfharm , makhluk fantasy, supernatural.

CW // kata kasar, umpatan, kekerasan, darah, pendiskripsian selfharm, kejadian mistis.

note :

fellie, yerie, enoe, dan yang lainnya adalah siren. mohon baca deskripsi di thread tweet sebelumnya.


Sosok bersurai merah duduk disalah satu batu besar, tatapan matanya yang tak bersahabat meneliti setiap inchi hamparan laut dihadapannya.

“Yerie…”

Sosok bersurai merah terang itu melirik ke arah kanannya, seorang bersurai blonde berkilau muncul.

“Fellie… kenapa kemari?” Tanya si surai merah—Yerie.

“Mencarimu karena Nachieos marah kau menghilang lagi. DIa khawatir…” sahut si surai blonde—fellie.

Yerie memutar mata malas, dia beringsut pelan dari posisi duduknya. “Lihat ini Fellie… serbuk merah muda ini milik Sinelle…”

Fellie bergerak pelan memutari batu besar itu, mengikuti arah tangan Yerie dan melihat banyak gliter merah muda berkilau disisi batu besar itu. Menandakan saudaranya yang hilang itu pernah berada ditempat ini.

“Jadi sekarang kau disini menunggu sesuatu yang mungkin membawa Sinelle?

Yerie menghela nafas, “Beberapa hewan melihat manusia membawa sebuah kantung besar dengan alfabet aneh...”

“Mereka cenayang?”

Yerie menggedikan bahu, “Aku tidak tahu...”

Fellie mengusap surai panjang Yerie, “Apapun itu... jangan pergi jauh seorang diri. Nachieos takut jika mereka membawamu pergi juga...”

Yerie hanya diam—tak mau mengiyakan ucapan saudaranya itu.

“Yerie....”

“FELLIE!! YERIE!!”

Pekikan terdengar, Yerie memicingkan mata , “Enoe.. sedang apa kau disini ?!”

“Sht! Tidak penting!! Sekarang ayo cepat pulang!! Doy dan Taeyios membuat keributan!!”

Fellie menghela nafas, dua saudaranya itu memang sangat anarkis dan sulit dikendalikan.

SRAASHH !!

Ketiganya menoleh. Suara tadi memang berjarak jauh dari tempat mereka—namun pendengaran hebat makhluk itu cukup tajam.

“Sesuatu yang besar masuk ke laut... “ Lirih Fellie. Dia segera menyelam, lalu sejenak kembali kepermukaan.

“Kalian kembalilah ke Nachieos dan bilang jika Doy dan Taeyios harus kembali pulang. Biar aku saja yang mencari Miae dan Sinelle.”

Fellie kembali menyelam—menjauhi dua saudara untuk menjemput seseorang berbau kematian.

.

.

.

“Changbin... kendalikan emosimu.” Minho berlari mengikuti Changbin yang berlari menuju dek.

“Daripada menasehatiku, nasehati saja tunangan gila mu itu.” Sahut Changbin singkat. Ia melompati beberapa besi besar dan mendekati satu glider warna merah berukirkan namanya di salah satu sisi.

“Changbin, atas nama Jisung aku minta maaf. Tapi sungguh, aku bisa menyuruh penyelam lain menyelamatkan Seungmin. Kau harus tetap disini dan memperbaiki dulu suasana hatimu...”

Minho mencoba berbicara pelan—mengingat tempaeramen Changbin yang agak meledak-ledak.

“Tak usah. Kalau kau punya waktu lebih baik awasi tunanganmu.” Tukas Changbin sembari menerima sebuah rompi khusus dari crew disana, ia memakainya dan memastikan kondisi tubuhnya baik-baik saja.

Untung dia tak minum banyak semalam—hanya 2 botol.

“Changb—“

“Changbin-ya...”

Suara pelan Irene menarik atensi Changbin dan Minho. Wanita cantik itu memberi gesture pada yang lain dan Minho untuk menjauh. Agar ia bicara berdua bersama Changbin.

Hening.

Irene hanya diam menatapi Changbin yang mempersiapkan segala keperluannya di dalam glider.

“Changbin... hari ini...” Irene bersuara pelan, jemarinya membantu membenarkan rompi Changbin.

“Hari ini... 24 tahun lalu... Ayahku kembali ke permukaan bersama salah satu bagian tubuh Senior Seo dan Senior Kim.” Suara Irene semakin mengecil.

Jemari itu menggenggam dua tangan Changbin, “Hari ini, 24 tahun lalu, Orang tuamu dilaporkan meninggal.”

Changbin menatap Irene datar, “Lalu?”

“Tak bisakah kau diam saja diatas sini? jangan pergi kebawah sana.” Irene menepuk dada pria itu beberapa kali.

“Maaf tapi anak emas Menteri Korea itu memaksaku turun. Aku mungkin bisa membiarkannya dicabik hiu, tapi aku tak rela jika Seungmin yang diumpankan ke hiu atau apapun yang berbahaya dibawah sana.” Sahut Changbin tegas.

“Seungmin akan diselamatkan oleh tim Beta. Aku sudah menyuruh tim Johnny bersiap, kau bisa menunggu disini.”

“Aku tak akan tenang jika bukan tanganku sendiri yang membawanya kembali.”

Irene menghela nafas pasrah, dia memang sudah menyangka jika usahanya membujuk Changbin tak akan berhasil.

“Baiklah... lakukan apapun keinginanmu. Hanya saja,aku ingin kau berjanji satu hal.”

Changbin menatap Irene bingung, “Janji?”

Irene mengangguk.

“Berjanjilah kau dan Seungmin kembali kesini hidup-hidup.”

Changbin menyeringai, “Itu hal mudah.”

Dengan cekatan ia memasuki glider dan memakai sabuk pengamannya. Kedua tangannya sudah mencengkeram pengendali.

Lalu sekelebat ingatan muncul.

Changbin-ya, hari ini papa dan mama akan menyelamatkan hiu.

Benarkah ? kenapa hiunya diselamatkan ? mereka besar dan makan ikan lainnya pa...

Sekarang ada orang-orang yang menangkap lalu mengiris hiu dilaut hingga hiunya saling memakan, ada juga yang menangkap hiu dan dijual ke manusia lain untuk dijadikan sup.

Ha? Itu jahat!! Kasian hiunya!!

Karena itu sayang, hari ini Changbin diam dirumah bersama Irene noona dan Bibi Kim ya ? papa dan mama akan pulang besok. Papa dan mama harus segera menyelamatkan hiunya.

Ya !! Changbin akan diam dan tidak nakal hari ini. Besok ayo kita makan bersama!

Pasti sayang , pasti. Dah Changbin, papa dan mama menyayangimu—

Changbin... maaf ya sayang~ maaf

Paman Kim kenapa menangis ? Paman Bae ? Kenapa paman juga menangis ?

Shht~ kemari Changbin, kemari, biar bibi peluk.

Bibi kim ?? kenapa ?! kenapa semua menangis ? mana papa dan mama?!

Changbin sayang~ tenang~

Changbin mau papa dan mama!! Changbin mau papaaa !!!

Changbin menarik nafas panjang. Ia memejamkan mata erat.

Bayangan sebuah kandang hiu dibawah laut yang sudah kosong lalu bekas peluru bius disalah satu ganggang laut, dan sobekan baju selam ibunya.

Changbin yang dulu mungkin diam dan percaya. Tapi Changbin yang sekarang bukan anak kecil naif yang bisa dibohongi.

Orang tuanya dibunuh oleh sekelompok orang pedagang hiu ilegal itu.

Semua hiu itu berhasil diselamatkan—dan nyawa orang tuanya diambil sebagai ganti.

Potongan tangan dan betis sang Ayah dulu bukanlah gigitan—lebih ke potongan benda tajam seperti gergaji.

Changbin mencoba menahan emosi yang kembali muncul.

“Changbin ? sedang apa ? Glidermu sudah siap meluncur!” suara Lucy terdengar keheranan—membuat Changbin kembali sadar.

“Ha? Oh baik...a-aku meluncur sekarang.”

Glidernya menuruni cage dengan pelan dan memecah permukaan laut. Guncangan kuat membuatnya memejamkan mata sejenak.

Berjanjilah kau dan Seungmin kembali kesini hidup-hidup.

Changbin membuka mata.

Gelapnya lautan membuat Changbin mulai tak yakin jika ia bisa memenuhi janjinya pada Irene.

Jemarinya mencengkeram erat kemudi, matanya menajam kearah depan.

Seungmin adalah prioritasnya sekarang. Tidak perduli jika dia harus membahayakan nyawanya—yang terpenting Seungmin baik-baik saja.

Ya.

Seungm—

Slap!

Changbin menoleh cepat kearah kanannya. Diantara gelap dia bisa melihat sekelebat gerakan.

‘Hallo V? Kau bisa mendengarku?” Changbin menekan earsetnya, di memutuskan berbelok kearah kanan—menerangi jalur itu dengan lampu glidernya.

“Ya Changbin. Kami disini mendengarmu dengan jelas. Laporkan keadaan disana.” V menyahuti melalu earset.

Changbin mengernyit merasa ada yang aneh—

Duk!

“Sialan!”

Changbin mengumpat, menarik tuas kemudi cepat sebelum glidernya oleng. Dia membelokan glider kearah kiri dimana benturan barusan berasal.

“V, apa kau tahu—“

“Ah begitu ya. Baiklah , aku akan menscan area sekitar untuk menemukan kapal Seungmin dan juga rookie.”

Changbin mengernyit mendengar ucapan V.

“Hah ? sedang bicara apa kau ?!” hardik Changbin. Dia menghentikan glidernya sebentar untuk menyadari situasi yang sedang terjadi.

“Iya Changbin aku paham. Minho akan segera melaporkan jika melihat objek aneh berada dalam radius 300m darimu.”

Changbin diam mendengar setiap nada ucapan V yang terdengar natural dan seolah memang berbicara dengannya.

Jemarinya mencengkeram erat kemudi, ia mengambil nafas panjang lalu memejamkan mata.

Seluruh indranya ia fokuskan ke sekitar. Merasakan guncangan pelan air, bunyi pelan mesin glidernya, gemerisin earset—

Di kiri arah angka 10.

Dengan cepat Changbin membanting haluan ke kiri dan guncangan keras kembali ia rasakan.

“Makhluk sialan!!”

Changbin mengaktifan sensor panas—hanya untuk mendapati jika tak ada objek besar disekitarnya yang mampu memberi guncangan kuat pada glidernya.

Ia menggerakan glider ke jalur dimana ia merasakan sebuah energi menarik fokusnya.

“Sialan. Akan kudapatkan kau—“

Shhh~

Changbin mendesis merasakan tangan kanannya kram—dia bahkan tak bisa menggerakan ujung jarinya. Tengkuknya merinding, dan untuk sejenak Changbin merasakan dinginnya bawah laut.

“Argh! Sialan sialan sialan!!” Changbin memaksa tangan kanannya untuk bergerak, jemari tangan kirinya terpaksa memegang kendali sendirian—mencoba menahan glider yang secara aneh turun secara vertikal.

Changbin merasa hawa dingin itu memasuki tubuhnya, membekukan jantung dan aliran darahnya.

Untuk sekelebat dia hanya melihat hitam...

Dan senyuman Seungmin.

Seungmin...

Changbin melepaskan tangan kirinya dari kendali untuk mengambil belati kecil disaku kirinya. Ia merasa setiap gerakan yang ia buat semakin membuat jentungnya ditusuk ratusan jarum es.

Ia mengumpat—

Changbin menatap sekelilingnya panik.

Suara.

Ia tak bisa mendengar apapun.

Tangan kirinya semakin bergetar saat meraih belati kecil dari saku—Changbin merasa jika ini jalan satu-satunya.

Hanya ini.

Dengan semua kekuatan tersisa, dia tusukan belati itu ke lengan kanannya.

Crash!!

“ARGHHH !!!” Telinganya secara tiba-tiba kembali berfungsi. Suara peringatan dari komputer kendali bahwa glidernya jatuh secara vertikal langsung memekakan telinga.

“MAKHLUK BRENGSEK!!” teriaknya sekuat tenaga sebelum menarik tuas kendali agar glidernya kembali naik.

Namun percuma.

Kecepatan turun glidernya semakin cepat.

Hal mustahil ini membuatnya murka luar biasa—seolah ada benda besar diatas glidernya yang membuat tekanan langsung kebawah.

“Akan kubunuh kau dengan tanganku sendiri jika tertangkap. Makhluk sialan.” Desis Changbin sembari membanting haluan kekanan secara spontan.

Hal itu membuat glidernya kehilangan keseimbangan dan berputar seolah kelereng yang digulirkan diatas tanah.

Kepala Changbin langsung menghantam kerasnya kaca pelindung—ditambah bonus belatinya tergelincir dan kini menancap dipaha kirinya.

Mati...

Matilah...

Kau harus mati...

Changbin menahan nafas saat suara seorang...pria? anak laki-laki? Atau gadis ? atau...

Ugh—

Changbin tiba-tiba kehilangan kemampuan untuk membedakan suara.

Dia merasa kepalanya berdenyut keras, lalu rasa basah menuruni mulut dan dagunya.

Mimisan.

Ya. Kau harus mati...

Changbin merasa jika dia benar-benar akan mati.

Dia tak bisa mendengar suara lain.

Dia tak bisa merasakan apapun.

Terlalu sunyi dan dingin.

Changbin memejamkan mata—ingin mengurangi pening dikepalanya.

Namun ia merasa seperti melayang. Dia tak bisa menggendalikan tubuh atau bahkan gerakannya.

Berhentilah jadi keras kepala...

Cepat mati...

Suara itu berbisik padanya—dan sepasang tangan seolah mencengkeram pundaknya.

Sepasang mata Changbin kembali terbuka. Sekelilingnya masih gelap, hanya ada penerangan dari lampu depan glidernya.

Dan sepasang tangan dengan kulit pucat namun memantulkan warna gemerlap hijau kebiruan.

Changbin akan berbalik namun tangan itu lebih cepat—mencekik Changbin dengan kuat.

Rasa dingin dari tangan itu sudah sanggup membuat pingsan, jangan bicarakan soal kekuatannya.

Changbin mengais udara, tangan kiri berusaha menarik tangan pucat itu—sementara tangan kanannya tak bisa membantu karena luka tusukan dilengannya masih mengucurkan darah segar.

Pandangannya memburam.

Badannya terasa semakin ringan.

Changbin memejamkan matanya—sekujur tubuhnya berhenti memberontak.

Irene maaf... aku tidak bisa memenuhi janjiku.

.

.

.

Irene memasang konsentrasi penuh pada layar milik Minho yang berfungsi sebagai penampil radar.

Sepasang mata cantiknya mengerjap sekali duakali. Menatap Minho lalu ke layar.

Namun apa yang tersaji di layar itu masih sama.

“Ini aneh Irene...” bisik Minho , mata tajamnya melirik ke kursi Jisung—tunangannya itu tampak fokus pada V yang berbincang dengan Changbin melalui earset.

“Bagaimana bisa ...? Apa radar ini rusak?” bisik Irene balik.

Minho menggeleng. “Itu mustahil.”

Irene berbalik dan menatap kearah komando kontrol. V disana sedang bicara dengan Changbin.

Ya... V menghubungkan sinyal dimarkas dengan Kapal Changbin.

Kapal Changbin yang tidak terdeteksi di radar laut.

“Satu-satunya yang bisa membuat kapal tidak terdeteksi adalah meledak hingga berkeping-keping dan juga memaikan semua mesin yang ada didalam glider atau kapal.” Ucap Minho. Irene menahan nafas.

Minho berlalu meninggalkan Irene sendirian. Mendekati V yang masih mengobrol bersama Changbin.

Dimana hal itu terlihat aneh dimata Minho.

Changbin berangkat menyelam dalam keadaan hati yang tidak baik. Lalu sekarang tiba-tiba dia mengobrol santai dengan V.

Bahkan saat moodnya baik, Changbin tak pernah mau bicara banyak di jam kerja.

Tak ada alasan jika dia sekarang menjadi betah bicara pada V.

“V, pinjamkan aku headphone mu. aku ingin bicara dengan Changbin.” pinta Minho.

“Ha ? apa Minho?”

Semua menoleh pada respon V barusan.

Dengan volume suaranya saat meminta, Minho yakin V bisa mendengarnya dengan jelas.

Bahkan Minho berdiri tepat disampingnya.

“V...” panggil Minho , tangannya dengan pelan melepas headphone itu dari kepala V

Tiba-tiba telinga V berdarah, namun pemuda itu tak bereaksi apapun. Dia diam menatap yang lain dengan raut santai.

“MINHO !! AKU DAPAT SINYAL DARURAT DARI GLIDER CHANGBIN!!” pekik Lucy. Ia segera menjernihkan suara panggilan itu.

“Hallo Chang—”

Ngiiinggggg ~~

Suara feedback nyaring memenuhi telinga. Disela suara itu, ada satu suara yang familiar.

”...ku tid...bali...beso....agi...perg...”

Lucy menatap bingung kesemua orang yang ada diruang kendali itu.

“Nona Irene... apa anda paham maksudnya?” Lucy menatap Irene yang mendekat ke meja kontrol dengan raut khawatir.

“Coba perdengarkan rekamannya Lucy.” pinta irene sembari mendekat ke meja si gadis tinggi.

”...ku tid...bali...beso....agi...perg...ah”

Semua diam.

Keheningan mengisi ruang kontrol.

Jisung berdiri pelan dengan tatapan takut, ia menoleh menatap Irene yang sama takutnya.

Keduanya berucap bersamaan.

“Jika aku tidak kembali besok pagi. pergilah...”

***

F I N