Synchronicity (Changlix)

“Terima kasih Tuan.”

“Terima kasih banyak Tuan.” “Terima kasih. Tolong beri kami keselamatan.” Sosok semampai dengan keranjang rotan itu hanya tersenyum kecil. Tenda kumuh yang ia singgahi seukuran masjid dan terisi nyaris 80 orang. 80 manusia dengan berbagai usia, bahkan ia sempat mendengar tangis bayi tadi. Manusia-manusia itu kini hanya bisa terus berucap terima kasih sembari memakan rakus roti yang ia beri. “Air didepan. Jangan kalian buang. Gunakan untuk minum. Kalian bisa mandi disungai.” Nasihat si sosok berkerudung itu bagaikan perintah mutlak bagi mereka. Hidup didaerah perang yang dikuasai organisasi psikopat saja sudah menjadi petaka bagi mereka. Selama 2 tahun hidup sambil membayangkan kematian didepan mata, kini mereka telah tunduk dan menyerahkan diri. “Ingat. Diamlah. Jangan melawan.” Sosok itu keluar dari tenda tanpa berkata lebih panjang. Badan semampainya langsung diterpa angin kering khas dari padang pasir. Sengatan sinar matahari membuatnya mau tak mau mengencangkan kain selendang guna melindungi kepala dan wajah rupawan. Langkah kakinya pelan, terlihat santai dan mantap. Hingga ia berhenti didepan sebuah gedung berbata putih khas yang memiliki patung phoenix besar didepan pintu utama. Ada 9 serdadu bersenjata berada didepan gedung itu, pula banyak mobil besar terparkir. “Tuan. Selamat Datang. Saya akan antarkan anda masuk.” Salah satu serdadu itu segera menghampirinya. Memberi hormat dan menunduk terlampau sopan. “Tidak, aku hanya lewat. Apa sedang ada rapat didalam?” Langkahnya mendekati satu mobil yang familiar. Aroma yang tercium dari kursi didalam pun membuatnya mengingat hal. Serdadu tadi menggeleng,”Korporal Seo dan tim nya tiba. Saya dengar beliau akan memegang kendali kawasan ini.” Ah, benar. Pantas aroma ini familiar. Pikir si sosok semampai. Ia mengambil satu bungkus roti dan ia letakkan disalah satu kursi. Si Serdadu yang melihatnya langsung membungkuk sopan, “Apakah saya perlu memanggil Korp—“ Si sosok berkerudung memotong cepat, “Tidak perlu. Aku harus segera kembali. Sampai jumpa.”. Langkah kakinya ditahan, “Ada apa?” “Tuan. Saya bisa mengantar anda menggunakan mobil.” “Tidak perlu. Aku masih memiliki urusan lain.” Si Serdadu akhirnya kembali mundur dan memberi hormat kala si sosok berkeranjang rotan itu keluar dari gerbang utama. Ada sedikit rasa berdebar yang nyaman, seolah beban ditubuhnya terangkat dan bebas. Belum lama ia beranjak dari kawasan markas itu, ujung kain kerudungnya ditarik pelan. “Tuan beri aku makanan Tuan ku mohon. Aku lapar.” Seorang anak lelaki berusia kisaran 8 tahun berlutut diatas panasnya jalan. Mengatupkan tangan memohon belaskasih. “air saja tidak apa-apa. Sedikit saja kumohon Tuan.” Sosok itu meraih satu tas kecil didalam rotan. Berisi sebotol air dan 2 potong roti. “Ini. Makanlah.” Bukannya segera dilahap namun si bocah malah berdiri dan berlari, sontak tangannya kembali ditarik setelah larian kaki kecilnya dapat diikuti. “Mau kemana kau !?” “Adikku. Biar adik-adik ku saja yang makan roti lezat ini. Mereka pasti suka.” “Kau memiliki banyak saudara?” Bocah itu mengangguk cepat, “Ya. Mereka tidak cukup untuk tinggal dalam tenda jadi aku membangun gubuk di pinggiran sungai.” “Baiklah. Aku akan ikut kesana. Kalian harus segera dipindah ke tenda.”Ujar si sosok. Bocah itu hanya mengangguk dan menggandeng tangannya. Belum sampai sepuluh langkah mereka berjalan bersama, lengan si sosok berkerudung ditarik keras hingga badannya oleng kebelakang. Wajah rupawannya langsung ditarik untuk berhadapan dengan bahu tegap. “Yeonjun, antarkan anak itu kembali kerumahnya.” Suara tegas yang sudah tak mampir ketelinganya selama 2 tahun belakangan kini kembali. Nada dingin dan mutlaknya membuat seorang prajurit dengan bintang dibahunya maju. “Tidak!” Bruk! Badan kecil si bocah tak bisa bergerak lebih cepat daripada refleks si prajurit andalan. Sret! “Ahk!” Sosok berkerudung itu menutup mata erat menahan sakit saat ia dipaksa berbalik dan dijambak keras. Selendang penutup kepalanya turun ke bahu, membuat sinar matahari langsung menghujam kulit lembut wajahnya. “Lihatlah Bokie. Si berandal itu langsung berlari saat ku suruh Yeonjun mengantarnya.” Bisik si tegap pelan. Nafas panas itu seperti listrik ditelinga si rupawan. “Korporal lihat ini.” Suara Yeonjun mengalihkan fokus keduanya. Si rupawan yang masih dalam kekuasaan badan sang Korporal hanya memicing mencoba melihat apa yang Yeonjun tunjukan dibawah teriknya matahari. “Yongbokie lihatlah.Kau bisa lihat itu apa?” Si rupawan—Yongbok , didorong kedepan. Perutnya kini dilingkari sebuah tangan kekar, menahannya dari jatuh terjerembab meski kepalanya didorong keras kedepan. Dan yang terlihat dimatanya adalah sebuah tato bergambar laba-laba dipaha atas si bocah. Yeonjun memang tidak pernah diragukan instingnya. Yongbok ingat bagaimana si Junior bisa melewati empat tes dalam waktu satu hari. Menemukan satu tato bukan hal sulit bagi Yeonjun. “Lihat dengan matamu Yongbokie. Kau dengan mudahnya dibawa oleh berandal kecil sepertinya. Mau sampai kapan kau sebodoh ini Yongbokie?” Geram sang Korporal tepat disamping telinga Yongbok. Yongbok sediri masihlah dalam keadaan terkejut. Kelompok pemberontak ini sudah dimusnahkan berminggu-minggu lalu. Bagaimana bisa masih ada yang tersisa? “Habisi sampah itu Yeonjun.” Perintah telak sang Korporal. Yeonjun tanpa membantah langsung menarik senapannya. “no Yeonj—“ DOR! “—YEONJUN JANGAN!!!!” Sang Korporal melepaskan ikatan lengannya di perut Yongbok, membiarkan badan yang lebih mungil itu berlutut ditanah panas. Pandangan horor pembunuhan barusan membuat tubuh si mungil bergetar hebat. “Yeonjun, bawa pasukan Beta menyisir daerah sungai. Habisi semua yang tidak memiliki tato kita.” Sang Korporal kembali memerintah. Saat itu juga ia merasa ada yang menarik ujung celana yang ia gunakan. “Anak-anak. JANGAN BAWA ANAK-ANAKNYA!!” Yongbok membentak tanpa takut. Keberaniannya dihadiahi satu tamparan keras oleh sang Korporal hingga ia tersungkur dengan bibir sobek. Tak cukup, sang Korporal menahan badan mungilnya diatas tanah, lalu melayangkan kembali tamparan kewajahnya. Yeonjun memilih membalikan badan, enggan melihat perlakuan sang Korporal. Sudah bukan hal yang aneh melihat ledakan amarah sang Korporal karena Yongbok. Menjadi salah sau Junior kesayangan Yongbok-dulunya- ia jelas tahu satu dua hal tentang dua atasannya itu. “ahk! Su—uhk!” Mendengar suara batuk tertahan Yongbok, Yeonjun otomatis berbalik. Dan jantungnya terasa jatuh saat melihat Yongbok bersimbah darah dimulut. Ia ingin menolong namun itu hal yang dilarang. “Mau sampai kapan kau bodoh Yongbokie? Ha?” Pukulan lain turun ke wajah Yongbok yang sudah lebam. “Kau masih merasa hebat hm? Kau kira kau masih memiliki kebanggan ? Apa? Kau kira kau masih menjadi kelemahanku?” Geraman itu tak lagi Yongbok pikirkan. Ia hanya merasa terlampau pusing dan merasa diambang kesadaran. Yeonjun menahan nafas, lalu mencoba peruntungannya. “Korporal. Waktu anda tidak banyak.” Itu satu-satunya hal yang bisa Yeonjun katakan. Berhasil. Setidaknya badan tegap dan kekar itu beranjak dari atas Yongbok. Nafas Yeonjun kembali normal. Tak terbayangkan bgaimana remuknya badan mungil Yongbok, bahkan Yeonjun yang sudah sering terlatih pun masih meringis saat mendapat pukulan dari Korporal. “Dasar beban. Lebih baik kau enyah Yongbok. Kau tak lagi dibutuhkan disini.” Kalimat penutup itu membawa langkah si Korporal pergi diikuti Yeonjun. Meninggalkan Yongbok terbaring dengan perasaan tak terdeskripsikan. .

.

. Synchronicity A changlix Fanfiction by Nyonyabang “Terkisah ku diantara cinta yng rumit. Bila keyakinan ku datang, kasih bukan sekedar cinta. pengorbanan cinta yang agung ku pertaruhkan.“ .

.

. “Kakak! Lihatlah! Jihan mengambil buku gambarku!” “Jihoon duluan yang merebut crayon ku!!”

Pemuda tinggi dengan sepasang orbs sipit menoleh bingung. Darimana muncul dua anak kecil kembar ini?

“eh? Kakak siapa?”

Yang laki-laki dan bersurai kemerahan menunjuk ke wajah si pemuda. Kemudian yang perempuan mendekat mengendus celananya—karena memang mereka hanya setinggi lututnya.

“Uh bau mesiu. Pasti dia anak buah Corporal yang disuruh memanen hari ini.” Ucap si bocah perempuan sok yakin. Si pemuda makin kebingungan.

“Ah Jihoon-ah, Jihan-ah! Ayo berkenalan dengan kak Mingi. Ucapkan salam dengan sopan.”

Satu sosok semampai bersurai golden blonde keluar dari dapur dengan senampan teh dan roti. Wajahnya dihiasi plester dan tertutup obat merah. Tapi rautnya masih bisa menunjukan ekspresi luar biasa ramah.

“Salam kenal kakak Mingi!” seru si kembar bersaman sebelum akhirnya berlari kembali ke arah mereka datang sambil berseru tidak jelas.

“Mereka tadi...” ucapan si pemuda menggantung. Yang bersurai golden blonde mengangguk paham, “Iya. Mereka dua anak Petinggi yang harus ku rawat. Makan dulu sebelum kau berangkat lagi Mingi.” Sepotong roti digeser mendekati si pemuda.

“Tuan, apa Tuan tidak takut berada dikawasan sipil seperti ini sendirian tanpa pengawal? Saya bisa memberi perintah ke beberapa perwira B untuk menjaga rumah ini. Agar tidak terluka lagi seperti ini. Aku akan mengusahakan untuk meminta ijin Korporal agar anda diberi pengawal.” Raut dingin itu menunjukan kekhawatiran yang lekat. Jemari si golden blonde menyusuri rahang tegas si pemuda. Dalam hati meringis sedih karena harus berbohong pada pemuda yang sudah seperti adik kandungnya ini.

“Mingi kecilku sudah begitu dewasa dan pemberani. Aku sangat bangga saat melihat kau bisa percaya diri dan melindungi orang lain seperti ini.” Ucapan lirih itu membawa badan tinggi tegap Mingi berdiri dan memeluk sosok yng lebih mungil. Menyembunyikan dalam dekapan erat seperti apa yang dulu sosok itu lakukan pada Mingi kecil.

“Aku akan lakukan apapun untuk kak Yongbok.” Mingi bersuara tak kalah lirih. Seolah takut jika dunia mendengar ucapannya. Si surai golden blonde atau Yongbok, hanya mengangguk pelan.

Geraman mesin mobil terdengar bersahutan diluar sana membuat keduanya melepaskan diri. Mingi menatap heran, “Siapa? Ini bukan waktunya panen.”

Yongbok hnya diam. Dia mengusap bahu Mingi, “Temani anak-anak dibelakang.” Suruhnya pelan. Dia sendiri segera beranjak keluar rumah.

Pemandangan pria tegap bersendekap menatapnya membuat tubuh Yongbok sedikit merinding. Rasa sakit diwajahnya belum hilang, kenapa orang ini ada didepan rumahnya ?.

“Selamat malam Korporal Seo—“

Dak!

Sebuah kantung kecil dilempar mengenai bahunya. Entah apa isinya namun cukup keras seperti kerikil-kerikil atau batu. Yongbok sontak meringis pelan, dia menatap tak mengerti pada pria didepannya.

Badan tegap itu dilindungi mantel tebal yang terlihat mahal. Jemarinya menoyor dahi Yongbok keras, “Berhenti meletakan makanan anjing dimobilku. Kau pikir aku akan memakannya?” Hardikan itu membuat Yongbok menunduk.

“Maaf Korporal.”

Decihan keras bergema dimalam sunyi, “Dasar tidak berguna. Aku heran kenapa Pemimpin masih mempertahankanmu di kelompok ini. Kau bahkan tidak bisa membunuh orang. Kau cuma daging tidak berguna.”

Mobil itu menggerum keras dan beranjak pergi membawa sang Korporal menjauh. Yongbok mengambil nafas dalam, ia menunduk untuk mengambil kantung kuenya. Langkah kakinya dibawa cepat ke dalam rumah sebelum Mingi khawatir.

“Bukankah itu Korporal? Apa ada masalah kak?” Mingi nyatanya menunggu dibalik pintu rumah. Yongbok hanya tersenyum kecil,”Ah Mingi, lekaslah berkemas dan kembali ke markas. Kakak harus mengganti perban.”

Yongbok mengecup bahu Mingi sayang, “Hati-hati Mingi.”

Yang lebih tinggi sebenarnya belum rela meninggalkan sang kakak sendirian, namun sorot mata tegas itu seolah memaksanya. Dengan berat hati ia memenuhi perintah sang Kakak, meski disetiap dua langkah dia akan berbalik dan menatap lekat rumah sederhana itu.

“Semoga Korporal segera sadar dan kembali waras.” Lirih Mingi mengingat luka diwajah sang Kakak.

. .

.

“kak Yongbok beli berlian?”

Yongbok menoleh cepat, dia segera bergegas menuju dapur dimana suara si kecil Jihan terdengar. Bisa ia lihat si cantik berkuncir dua itu menenteng kantung roti yang biasanya Yongbok gunakan.

“Jihan, apa yang kau mainkan?”

“Kak Yongbok, ini berlian asli seperti milik mama.”

Jihan mengulurkan kantung kearah Yongbok, si pria itu langsung melihat isinya.

Benar saja.

Isinya benar-benar berlian.

“Jihan, kau ambil ini dari mana?”

Si Tuan Putri merengut, ia menunjuk ke tempat sampah didekat pintu dapur.

“Kak Yongbok membuangnya disitu. Aku kira itu kue sisa.”

Dahi Yongbok mengernyit, satu-satunya kantung yang ia buang adalah kantung dari Korporal. Tidak mungkin pria itu memberinya berlian.

Ya kan?

Kriinng!

Kriiing!

“Koran pagi!!”

Teriakan dari luar pintu rumah sontak membuat Jihan kecil ketakutan. Yongbok pun segera memeluknya erat.

“KORAN PAGI~!!!!”

Dakk! Ddak!

Pintu rumah mereka ditendang berkali-kali. Koran sampah. Mana ada orang berjualan koran diatas tanah sengketa perang.

Itu hanya tipuan preman lama yang tak punya rasa takut pada prajurit penjaga. Setelah pintu terbuka maka mereka akan menjarah seisi rumah.

“AMBIL KORANMU!! CEPAT!!”

“Kak, jihan takut...” rintihan Jihan membuat Yongbok tak tega. Biasanya dia akan membiarkan para orang bodoh itu membuat ulah. Tapi sepertinya pagi ini dia harus sedikit bertindak.

“Jihan, masuklah ke kamar. Minta peluk Jihoon, mengerti?” titah Yongbok sembari mengantar si cantik kembali memasuki kamarnya.

Setelah memastikan pintu kamar si kembar terkunci, Yongbok menghela nafas lelah. Dia dengan pelan mendekati pintu utama rumah yang terus ditendangi.

Kriet!

Buk!

Kontan ia mendapat satu pukulan keras. Yongbok terhuyung kebelakang. Dia melihat ada 3 pria besar masuk dan menutup pintu.

“Ha. Kecil sekali kau. Apa benar kau mantan prajurit ? hahahah”

Yongbok memutar mata jengah,ia tak ingin moodnya semakin rusak. Ia meraba saku celana yang ia gunakan.

“Kecil dan mungil. Kau malah mirip pelacur yang dijual oleh bar dipinggir kota. Hahaha”

Surai blondenya dijambak keras, sedikit pening menghantamnya karena luka pukulan Korporal kemarin belum terlalu pulih.

“Mungkin dia sudah tidak berada dibawah pengawasan Korporal brengsek itu karena sudah tidak menggairahkan ahahahaha!!!”

Yongbok mengambil nafas panjang, jambakan dan omongan kasar terus dilempar padanya. Tanpa banyak membalas dia menarik satu cutter kecil yang selalu ia bawa disaku.

Lempengan tipis nan tajam itu sukses mengiris lengan yang menjambaknya. Yongbok memastikan luka itu cukup dalam hingga ia bisa memiliki waktu untuk berdiri menjauh.

“Bajingan kecil!!”

Yongbok dengan cepat menghindar saat pisau lipat diarahkan ke wajahnya. Tangannya menyambar vas bunga dimeja dan menghantamkannya ke kepala si pria. Ia merampas pisau lipat yang sebelumnya dan menendang keras perut pria itu. Dua orang bisa ia pukul mundur namun sisanya langsung mengacungkan pistol kearahnya.

“Berlutut keparat. Kalau bukan karena kami diperintah untuk membawamu hidup-hidup, sudah ku pecahkan kepalamu sejak tadi.” Geraman itu tak membuat Yongbok ketakutan. Dengan cepat dia melemparkan pisau tadi, sedikit memberi waktu untuk menghindar dari tembakan untuk dapat mundur ke sudut buffet tinggi dimana satu walther ppk nya ia simpan.

“SIAL—“

Dor!

Dor!

Hening.

Yongbok mendengus kesal bukan main.

“Kenapa aku harus salah ambil pistol sih ?!” Ia menggeram kesal saat melihat pistol cantik berukiran huruf CY yang baru saja ia gunakan untuk menembak.

“Siapa juga yang memindah barang ini kesini. Duh.”

Ia semakin kesal saat melihat salah satu dari tiga pria tadi ada yang masih sanggup merangkak keluar. Dengan sedikit marah Yongbok menghampiri dan menginjak keras punggung pria itu.

Dor!

Dengan tenang Yongbok kembali melubangi kepala musuhnya. Membuat genangan darah mulai menghiasi lantai bersih rumahnya.

“DAMN !! AKU BARU SAJA MENGEPEL LANTAI !!” Yongbok mengajak rambutnya kesal bukan main.

Baginya membersihkan rumah jelas lebih melelahkan daripada harus kesana kemari membunuh orang. Dia pun semakin marah mengingat ini kali pertamanya bisa mengepel lantai sejak dua minggu belakangan karena kedatangan si kembar jihoon-jihan.

BRAAK!

Dor!

Dor!

Yongbok dengan sembarangan menembaki apapun yang mendobrak pintunya barusan.

“APALAGI !?!”

Mingi dan Yeonjun yang berhasil menghindar dengan tiarap itupun mengangkat tangan ketakutan.

“T-Tuan. Kami datang karena mendapat laporan... anda diserang.” Jelas Yeonjun pelan. Matanya tak melewatkan adanya tiga mayat bersimbah darah dibawah kaki Yongbok.

“Hah. Dasar. Kalau begitu bereskan sampah-sampah ini. Lalu pel ulang lantainya, jangan lupa ganti karpet dibawah meja. Aku sudah lelah.”

Mingi dengan cekatan berdiri menangkap lemparan walther ppk milik Yongbok.

“Tuan—“

“Cepat selesaikan agar kalian bisa sarapan bersama ku. Sebagai bayarannya nanti ku buatkan kalian bekal makan siang.” Yongbok tersenyum lebar kearah dua prjurit itu seolah badannya sedang tak berlumuran darah.

“Baik Tuan.”

“Good boy! Aku akan mandi dulu bersama Jihoon dan Jihan. Pastikan kalian mengepel lantainya dengan bersih. Jihan tidak suka bau darah.” Pesannya dibumbui satu kerlingan.

Seperginya Yongbok, dua prajurit tampan itu mengambil nafas dalam.

“Karena terlalu lama tidak melihatnya bersama Korporal. Aku hampir lupa kalau sebenarnya mereka berdua sama sadisnya.” Bisik Yeonjun.

.

.

.

.

“Tim Delta yang dibawa Jongho mendapatkan sekita 20 orang dewasa, 10 lansia, dan hampir 15 anak-anak. Kebanyakan mereka kelaparan, malnutrisi , bahkan beberapa dalam pengaruh narkoba.” Seonghwa memberikan map hitam ke Changbin, Korporal Seo Changbin.

“15 anak-anak itu sudah dibersihkan dan dirawat. Kemungkinan mereka siap dikirim ke Tuan Lee Know akhir minggu ini.” Lanjutnya dengan tenang. Changbin membaca dengan teliti laporan dan foto tempat-tempat yang telah mereka sisir.

“Mereka sepertinya memproduksi sesuatu?” Changbin menunjuk sebuah foto ruangan berwarna hitam dan keabu-abuan. Seonghwa mengangguk pelan, “Sepertinya mereka berusaha membuat obat yang menyerupai narkoba. Karena sulit mendapatkan narkoba asli disini, beberapa remaja mereka menculik seorang dokter sipil dan memaksanya membuatkan hal serupa narkoba untuk memenuhi kecanduan mereka.”

“Sekarang Dokter itu ada dipihak kita?”

“Ya. Dia adalah junior Dokter Han dulunya. Itu memudahkan kita untuk merekrutnya. Dia bersedia meracik narkoba untuk Organisasi. Bergabungnya dia akan memudahkan rencana anda tahun depan. Selagi kita harus membereskan urusan di black market manusia, kita bisa segera mengedarkan narkoba.” Seonghwa terlihat membuka catatan kecil. Changbin mengangguk puas.

“Baiklah. Terima kasih Seonghwa. Jangan lupa sterilkan semua wanita atau anak perempuannya.”

Seonghwa akan undur diri tepat saat satu sosok mungil berjas laboratorium masuk.

“Mooooning binnn~!”

Seonghwa memberi hormat, “Selamat pagi Dokter.”

“Ah, pagi hwa~ jangan lupa ambil vitamin untuk tim mu di Kyulkyung. Dia tidak mau ke markasmu karena changkyun yang meledek warna rambutnya.” Dokter mungil itu melambaikan tangan sambil memberi pesan panjang lebar.

“Kau berisik sekali ji.” Changbin mengolok datar. Ia dan si dokter ini sudah berteman sejak kecil, jadi rasanya tidak enak jika dia tidak mengolokbarang sebentar saja.

“Eww kau lah yang berisik. Kau kira aku tidak dengar tadi kau meneriaki Yeonjun untuk menemui Yongbok?” Dokter manis itu meletakan sebuah kantung putih di meja Changbin.

“Apa ini?”

“Obat yang sebenarnya ingin ku titipkan ke Yeonjun, tapi dia tidak berani mampir ke ruanganku karena kau meneriakinya untuk cepat-cepat ke rumah Yongbok. Dasar pengecut! Kau harusnya kesana sendiri hah!” Jisung mengomel luar biasa kesal, lalu menghempaskan diri kesalah satu sofa disana.

Ia mengernyit melihat sebuah teropong yang berdiri kokoh didekat jendela. Mengingat changbin tidak sudi pusing-pusing memikirkan bintang dan angkasa luar, Jisung meragukan kegunaan benda itu.

“Berarti kau tidak menemuinya kemarin? Bukankah aku sudah menyuruhmu ke rumahnya dengan alasan berkunjung ?” Changbin menerca si Dokter kesal.

“Heh bodoh! Aku langsung kesana dan mengobatinya kemarin. Tapi karena ada keterbatasan obat di tasku. Aku hanya memberinya penghilang nyeri biasa. Obat di kantung itu punya dosis lebih besar dan bisa membuatnya lebih cepat sembuh.” Jisung tak mau kalah dalam mengomel. Dia menunjuk-nunjuk wajah datar Changbin.

“Dasar pria gila! Kau memukulinya sungguhan kemarin !! bodoh! Dia sangat kesakitan saat ku obati kemarin! Bahkan mimisannya terus mengalir sampai wajahnyapucat!”

Jisung mengambil nafas banyak setelah mencerca Changbin yang masih santai menatap kearah teropongnya. Malah terkesan sangat santai seolah Jisung tak mengatainya apapun.

“Dasar pengecut sinting!” Jisung memukul sandaran tangan sofa kesal. Changbin selalu menganggap marahnya tak menakutkan. Menyebalkan tapi memang sebenarnya dia tak sungguh marah, dia tahu benar jalan pikiran Changbin.

“Tapi kau sudah mengobatinya dengan benar kan? Maka tidak ada masalah.” Sahutan terlampau santai itu membuat Jisung memutar mata lelah.

“Dengar ya, gara-gara kau menyuruhku pergi ke rumah Yongbok kemarin Minho marah. Kau mengganggu telpon kami.” Jisung menatap lekat changbin, “Katanya kau bodoh.” Lanjut Jisung santai.

“Hmm.”

Jisung menghela nafas, “Lagipula kenapa tiba-tiba kau marah-marah menyuruh Yeonjun ke rumah Yongbok?”

Changbin berdeham, dia mengalihkan pandangan dari teropongnya ke Jisung yang terlentang di sofa.

“Ada sisa preman yang mendatanginya. Kemarin aku menyuruh Tim Delta menyisir daerah sungai dan membersihkan semua yang ada disana. Yag bisa kabur sepertinya menyerang Yongbok sebagai balas dendam.”

Jisung bangun dari rebahannya, menatap changbin bingung. “Darimana kau tahu didatangi preman itu? Kau tidak menempatkan mata-mata disekitarnya.”

Changbin alih-alih menjawab , hanya berdehem dan kembali fokus pada kertas-kertas dimejanya. Jisung yang masih keheranan mengernyit, “Chang—OH!”

Jisung menunjuk heboh ke arah teropong didekat jendela Changbin.

“AAA DASAR PENGUNTIT SINTING!! JADI INI ALASANMU MEMINTA RUMAH BERTINGKAT TIGA SEBAGAI KANTOR HAH!?!? AGAR KAU BISA MENGAWASI RUMAHNYA—AAA DASAR MENYEDIHKAN!!!” Jisung melemparkan sebuah kotak tisu di meja kearah Changbin yang bisa ditangkis dengan mudah.

“Berisik Han. Lebih baik segera beritahu suamimu kalau akhir pekan ini aku bisa mengirim beberapa manusia.” Jisung merengut saat changbin mengalihkan pembicaraan. Karenannya dia hanya diam. Mengabaikan ucapan Changbin barusan.

“Ji…?”

Diam.

Changbin menghela nafas, “Kau tahukan kalau ini semua sudah jadi keputusan kami berdua? Ini demi aku dan yongbok juga. Demi kehidupan kami masing-masing.” Jelas changbin pelan.

“Tapi kau berubah Changbin. Kau sudah tidak mencintainya lagi. Dan kau kejam.” Changbin tertawa kecil mendengar ucapan Jisung barusan.

“Apa kau peramal Ji?”

“Ha?”

“Aku—“

Tok!

“Korporal, ini saya Seunghee.”

Changbin mengernyit,”Masuklah. Ada masalah apa?”

Seunghee terlihat pucat dan gugup saat menyerahkan sebuah map hitam.

“Maaf. Saya benar-benar minta maaf…”

“Ada masalah apa di ruang brankas?” Changbin bertanya sambil mulai membuka laporan yang diberi Seunghee.

“K—kami baru memeriksa brankas lagi hari ini. Dan…saya baru mengetahui jika 6 biji berlian anda hilang Korporal.” Seunghee menunduk ketakutan.

“HAH ?! ADA PENCURI !? DIGEDUNG INI ?!?!”Jisung berdiri cepat menghampiri Seunghee.

“Sepuluh tahun aku bekerja di Organisasi , baru kali ini aku mendengar hal bodoh seperti ini. Kau yakin bukan anggotatim mu sendiri yang mengambilnya ?!” Bentakan Jisung membuat Seunghee mundur selangkah sambil terus meminta maaf.

“maaf Dokter Han. Tapi sungguh,tim kami tidak mengambil apapun. Sungguh Dokter Han, Korporal.”

“Mana mungkin—“

“Sudah-sudah. Jisung tenanglah.”

“Tapi Bin—“

“Aku yang mengambil berlian itu.” Jawaban terlampau santai Changbin membuat Seunghee dan Jisung terkejut.

“HAH ?!” “KORPORAL ?!”

“Ya, aku mengambil berliannya kemarin sore. Aku juga punya keluarga untuk dinafkahi. Jangan kaget begitu.”

Jisung berlari ke meja Changbin, menarik kerah si Korporal tanpa takut.

“SIAPA ?! KELUARGA YANG MANA ?!”

Changbin menampar tangan Jisung dikerah bajunya. Kesal bukan main karena sikap si teman kurang ajar.

“Apapun itu Korporal saya sangat senang.” Seunghee membungkuk sopan, “Saya senang setelah sepuluh tahun anda bergabung dalam tim, akhirnya anda sudi menggunakan gaji dari organisasi.”

Ucapan Seunghee barusan membuat Jisung mengernyit heran. Bahkan setelah perempuan itu undur diri, ia masih terdiam seolah memikirkan sesuatu.

“Kenapa kau masih disini? Keluar sana! Kau tidak punya pekerjaan ha?” Hardik Changbin sat melihat Jisung masih didepannya. Jisung pun mendengus kesal, “Diamlah, aku masih—“

BRAK!

“KORPORAL!” “KETUK PINTUNYA KEPARAT! DIMANA SOPAN SANTUNMU!?!”

Hyunjin dan Doyeon sebagai pemimpin tim beta pun menunduk dalam meminta maaf dengan alasan terburu. Changbin menurunkan pandangan kearah tangan Doyeon yang menarik sebuah tali.

“Apalagi ulah kalian?” Changbin menarik nafas panjang. Paling tahu jika dua anak ini memiliki sifat usil luarbiasa.

Doyeon mengangkat tali yang ada ditangannya, “Boleh kami bawa dia masuk?”

Jisung mundur untuk berdiri disisi Changbin, sedikit banyak takut.

Setelah Changbin menyetujui, Doyeon menarik keras tali itu hingga bunyi bedebum dan beberapa suara pukulan terdengar. Kemudian seorang pria yang terlihat mengenaskan diseret masuk.

“Dia adalah salah satu perusuh yang bisa kami tanggap. Terjadi penyerangan tiba-tiba didaerah sungai dan juga pinggiran kota. Tim Charlie sudah mengamankan tower utama di pesisir dan segera mengabari kantor pusat.”

Changbin terkejut, “Siapa dia?”

Doyeon mengehela nafas lalu menunjukan tengkuk si pria yang berhias tato laba-laba, “Mereka masih ada. Menurut pengakuan pria ini tadi. Mereka sesumbar bisa meruntuhkan wilayah kita hari ini.”

Changbin tertawa kecil, “Bukankah bagus untuk memiliki mimpi dan tujuan yang besar?” ejeknya. Namun belum selesai ia tertawa, Seonghwa berlari masuk dengan wajah luar biasa panik.

“TERJADI PENYERANGAN DI TENGAH KOTA. WILAYAH SEBELAH BARAT KITA SUDAH JATUH KETANGAN MUSUH!”

Jantung Changbin jatuh. Wilayah barat katanya?

Itu hanya berjarak 10 menit dari tempatnya berdiri sekarang.

Dengan isi kepala menggelap ia menekan tombol di telepon mejanya.

“Tim Delta. Kwon Soon—“

“KIRIM 2 ORANG TIM DELTA DAN 2 ORANG TIM BETA KE RUMAH YONGBOK SEKARANG!! INI PERINTAH EVAKUASI!! TUJUAN UTAMA MISI UNTUK MEMBAWA YONGBOK HIDUP-HIDUP KE GEDUNG KU!!”

Jisung bergidik melihat kilat gelap dimata sang teman, karenanya dia segera menelpon Yeonjun.

“Ah Yeonjun!! Tetaplah di rumah Yongbok!! HA APA!? KAU SUDAH KEMBALI KE GEDUNG !?!?”

Ponsel Jisung direbut oleh Changbin yang masih terbawa emosi, “YEONJUN! KEMBALI KE RUMAH YONGBOK! AKU SUDAH MENYURUH 4 ORANG UNTUK MENEMANIMU MENJAGANYA. SEGERA BAWA YONGBOK KESINI JIKA KEADAAN MEMUNGKINKAN! BIARKAN MINGI KEMBALI KESINI KARENA AKU PUNYA TUGAS LAIN UNTUKNYA!”

Jisung menjadi panik pula melihat kelakuan Changbin. Dia bahkan harus menyodorkan segelas air agar Changbin segera meminumnya dan lebih tenang.

“Hyunjin, kau untuk sementara mengambil alih jabatan Yeonjun. Perintahkan apayang menurutmu perlu dilakukan. Doyeon, kau bertugas atas gedung ini. Pastikan tak tersentuh.” Perintah changbin segera dipatuhi, Hyunjin menyusul Seonghwa dan Doyeon segera menyiapkan pasukan.

“Changbin tenang. Yongbok kuat. Dia akan baik-baik saja.” Ucap Jisung.

.

.

. “Yeonjun? Benarkan ada sesuatu yang tidak beres.” Yongbok menyambut Yeonjun yang terengah dengan raut curiga. Yeonjun memasuki rumah itu dan mendapati ada 4 prajurit yang tadi disebutkan Changbin.

“Kenapa kalian semua kesini dan bilang aku harus dievakuasi?” tanya Yongbok sambil duduk dihadapan kelimanya. 4 prajurit itu menatap Yeonjun, seolah meminta Yeonjun untuk menjawabnya.

“Eum, pertama-tama bisakah anda dan dua putra Tuan Besar bersiap lebih dulu? Kita tidak punya banyak waktu lagi.” Ucap Yeonjun.

Yongbok pun diam untuk beberapa saat. Kemudian dengan cepat segera menyuruh Jihoon dan Jihan bersiap. Dua putra petinggi organisasi itu harus ia prioritaskan diatas nyawanya sendiri.

Yeonjun berdiri melihat Jihoon dan Jihan memakai mantel tebal dan barret khas berbadge phoenix.

“Yeonjun, antarkan mereka ke kantor pusat. Sekarang.” Yongbok memerintah datar. Yeonjun yang mengenali tatapan khas itu tahu jika dia tidak diberi kesempatan menolak. Karenanya dia mengangguk dan membawa Jihoon dan Jihan kesisinya.

“Kak...”Jihan menarik ujung baju Yongbok, “Kakak ikut kami saja.”

Yongbok merubah rautnya dalam sekejap. Dia berjongkok didepan si kembar sembari tersenyum manis.

“Jihoon dan Jihan ingat apa yang kakak ajarkan setiap akhir pekan?” tanya Yongbok pelan. Anak kembar itu mengangguk pelan. Jihoon mengulurkan tangan kedepan, ia menyebik menahan tangis.

“Hiks—kita harus melukai dibagian tangan.” Lalu kepalan tangan kecil Jihoon berpindah ke mata, “Atau mata.” Kemudian turun.

“Atau paha. Usahakan lukanya cukup dalam. Kita bisa gunakan badge dan cutter.”

Jihan membalik pelan mantel lucu warna hijaunya, menampakan 3 cutter merah.

“Ah pintarnya anak-anak manis ini.” Yongbok tersenyum puas. Ia berikan ciuman sayang ke wajah si kembar, “Kalian akan aman bersama kak Yeonjun. Tapi ingat. Jangan mengikuti siapapun kecuali kakak kalian dan orang tua kalian.”

Yeonjun menunduk sopan, “Saya pastikan mereka sampai dengan selamat.”

Kepergian keduanya membuat Yongbok segera melepas kaus yang sejak tadi dia pakai dan melemparnya ke dekatgerbang rumahnya. Ia berlari kedalam rumah dan menunjuk ke empat prajurit yang masih setia menunggu perintahnya.

“Kalian kebelakang.” Yongbok melemparkan sebuah kunci berwarna merah.

“Didekat gudang pupuk, ada gubuk kecil. Masuklah dan ada ruangan bawah tanah disana. Evakuasi semua yang ada disana dan bawa itu ke gedung korporal. Mereka semua sudah kupilih dan yang terbaik dari semua yang ada.”

Ke empatnya kebingungan, “Maaf Tuan, tapi perintah kami adalah untuk membawa anda kesana. Bukan yang lain.”

Yongbok yang tengah memakai anti peluru pun jengah, “CEPAT EVAKUASI MEREKA DAN KEMBALI KESINI!! JARAK GEDUNG KE SINI TAK LEBIH DARI 3 KILOMETER!! JANGAN LAMBAN SEPERTI ITU SIALAN!”

Setelah berdebat hebat, akhirnya Yongbok bisa menghela nafas tenang saat melihat 15 anak yang ia rawat sudah diamankan. Kini dia hanya harus melindungi dirinya sendiri. Satu ledakan terdengar dari jarak yang tak begitu jauh. Yongbok segera bergegas menuju kamarnya. Sesaat setelah masuk , ia kunci kamar itu lalu membongkar kardus-kardus dibawah ranjang. Lapisan pertama berisi selimut-selimut usang. Namun tepat dibawahnya beberapa amunisi serta granat tersimpan rapi. Raut tenang masih terpasang lekat diwajah nya, namun sedikit tremor terlihat ditangannya kala permukaan kulit jarinya menyentuh sebuah peti hitam berhias phoenix warna silver. “Apa aku harus … menggunakan ini …lagi.” entah pertanyaan itu untuk siapa atau untuk apa, sosok paruh baya itu hanya menatap peti itu dalam diam dengan pelan ia membukanya Peti terbuka dan sebilah katana dan 2 pistol cantik terdiam rapi menunggu digunakan, dibawahnya sebuah seragam warna hitam merah terlipat amat rapi seolah sudah seperti barang kenangan yang tak akan lagi digunakan Ledakan demi ledakan bercampur pekikan semakin terdengar mendekat. Sosok itu tak ingin membuang waktu lebih banyak dan segera memakai dengan seragam itu. Tubuhnya berdiri melihat bias nya sendiri didepan cermin besar, Kapan sejak terakhir kali ia terlihat segagah ini ? Kapan sejak terakhir kali ia terlihat sekuat ini ? Ledakan terdengar didepan rumah yang ia tempati, namun ia tak panik sedikitpun. Suara pria-pria mulai mengisi rumahnya. Lalu menyusul beberapa tembakan dan hardikan kasar. Sosok itu menggenggam liontin kalungnya yang berbentuk Alfabet ketiga, matanya memejam khidmat, “Changbin, ijinkan aku menggunakan kekuatan ini sekali lagi.” bisiknya bak doa, satu tarikan nafas dan pintu kamarnya didobrak kasar. Sosok itu berbalik berbarengan dengan suara letusan senjata api sebanyak 3 kali. Ia menghela nafas, “Setidaknya tunggu aku selesai berdoa pada Changbin. Dasar makhluk tak sopan.” bisiknya pada dua mayat didepan pintu kamarnya. Satu tangan membawa ransel dan dengan langkah ringan melewati tubuh berbalut darah. “Changbin, tolong lindungi aku ~” .

.

. “APA KAU DUNGU HAH!? AKU MENYURUHKALIAN MENGEVAKUASI YONGBOK!! BUKAN ANJING-ANJING TIDAK BERGUNA INI!!”

Changbin menendang salah satu pot didekatnya. Ia sedang bersiaga bersama Seonghwa dan Hyunjin saat melihat 4 prajurit yang sebelumnya ia perintahkan mengevakuasi Yongbok malah kembali membawa selusin anak-anak.

“Dasar bajingan!”

Ia melemparkan peta wilayahnya ke arah Hyunjin dan Seonghwa.

“Gantikan aku.” Ucap Changbin dingin. Jisung yang memang berjaga disana pun berdiri menahan langkah Changbin.

“Jangan bilang kau akan kesana !”

“TENTU SAJA !! TENTU AKU SENDIRI YANG AKAN KESANA! AKU AKAN MEMBUNUH SIAPAPUN YANG AKAN MENGHALANGIKU!! ”

Jisung hanya bisa melihat kepergian Changbin yang sudah gelap mata. Dia segera menyuruh seorang prajurit memanggil Mingi dan memintanya mengikuti Changbin.

Tak ada perjalanan mulus jika kita berangkat dengan perasaan keruh.

Dan itu benar adanya.

Ckiit!!

Rem ditarik keras namun bagaimanapun juga gaya gesek roda motor yang Changbin tumpangi tak cukup untuk menahan kendaraan itu menabrak bagian depan sebuah truk pengangkut yang tiba-tiba ada didepannya,

“Sialan ! !”

Tak ingin membuang waktu dan tenaga untuk bertarung ia segera melempar granat dan memacu lari menjauhi tempat itu. Ia tak ppeduli jika yang diangkut mobil musuh barusan adalah warga sipil atau orang pemerintahan.

Bukan kah dia sudah bilang akan membunuh siapa saja yang menghalanginya ?

Sebuah gedung bercat coklat yang terlihat bekas dibom membuatnya menarik sedikit nafas lega, “Tinggal satu belokan , dan aku sampai di rumah Yong—“

Tenggorokannya tercekat, kakinya berhenti bergerak. Orbs nya terpaku pada bangunan diujung jalan … yang hanya berjarak 200 meter dari tempatnya berdiri….

Bangunan yang membuatnya meninggalkan markas pasukannya, yang membuatnya meledakan sebuah mobil pengangkut, bangunan yang membuatnya berlari ditengah medan pertempuran. Kini tinggal puing. Beberapa kobaran api bahkan masih menyala-nyala memberitahukan keangkuhannya berhasil menghancurkan bangunan kokoh yang sudah 2 tahun belakangan melindungi seorang yang ia cintai. “Yong bok—Yong bokie …” langkahnya pelan dan terasa berat Bayangan orang yang paling berharga untuknya membuat dadanya sakit, apa orang itu bisa menyelamatkan diri ? Apa orang itu masih hidup sekarang ? Apa orang itu terluka ? Apa orang itu tertangkap musuh ? Ap— Sialan ! Kenapa pandangannya buram ?! Sialan ! Pemimpin pasukan itu bertekuk lutut, lengan berbalut mantel hitam menutup mata yang sudah pecah kacanya, menyembunyikan aliran bening yang terasa semakin deras. Cling ~ Bunyi liontin kalungnya beradu dengan badge keprajuritan mengalihkan kesedihannya Silver Phoenix Secepat kilat ia segera berdiri dan berlari, mengabaikan beberapa mayat yang ia injak—larian nya semakin cepat Berlari beberapa blok bertujuan ke sebuah gedung khas Victorian di ujung perbatasan. Larinya terhenti saat se-grup musuh sudah menunggunya dengan senjata lengkap. “Selamat Siang, Korporal Seo yang terhormat ~ Apa anda keberatan untuk berhenti sebentar ?” Satu lirikan sinis dan dengusan. “Minggirlah, aku tidak punya waktu meladeni tikus seperti kalian.” Dan seperti yang sudah ia katakan sebelumnya … “Aku akan membunuh siapapun yang menghalangiku” . . .

.

.

.

//yb tiba di markas dan bingung mencari dimana cb, hyunjin memberi ahu jika cb mencoba menyelamatkannya. Dia marah karena rumahnya sudah menjadi kawasan musuh.

//yb marah, dia membawa hynjin, doyeon, & mingi untuk menyerbu balik. Dia memberi arahan untuk melawan. Tugas mereka hanya 1. Membunuh musuh.

//dimobil yb berdoa sambil menangis. Yeonjun menelpon, bilang akan menyusul dengan pasukan dari pusat.

//mereka sampai dan dihadang. Yb melihat cb diseret memasuki rumahnya.dia marha besar.

//==masukan scene akhir akakuro—

//yb melawan dan bisa menyudutkan musuh, namun bahu kanannya ditusuk. Musuh mati

//musuh lain melemparkan granat (cari waktu meledak granat)

//cb sekarat, dia menyuruh yb lari namun yb menolak. Menangis (lirik dari synchronicity).

END