write.as

Dari semua anak-anakku, Arsyal selalu punya lebih banyak pertanyaan.

Dan aku selalu senang menjawabnya.

“Bunda, kenapa kalo pagi bunga-bunga bunda kayak abis nangis?” (yang maksudnya adalah embun)

“Bunda, kalau hujan, kucing-kucing di jalan neduh gak?” (nanyanya sambil merengut sedih)

“Bun, aku kalo ketinggalan di mal kan nyari mas security, kalo ayah yang ketinggalan gimana? Nyari security juga?” (gak tahu kenapa tiba-tiba ngebayangin ayahnya nyasar)

“Kenapa Kak Ica marah kalo aku tarik rambutnya?” (hmmm :))

“Bun, bunda kenapa nyuruh aku mandiiii?” (biar wangiiii)

“Bunda sayang adek gak?” (ini pertanyaan yang sebenarnya dia selalu tahu jawabannya)

Lalu tahu-tahu aku sampai pada masa di mana pertanyaannya berbunyi:

“Bun, bunda pas kapan mulai sayang sama ayah? Bunda langsung tau?”

Anak bungsuku... sudah besar.

“Adek... lagi naksir cewek ya?” Kupingnya memerah kutanya begitu.

“Enggg, enggak. Gak tau.”

Aku tersenyum, mengelus rambutnya, berapapun umurnya, dia masih suka boboan di paha bundanya, membuatku tahu persis kapan rambutnya mulai panjang.

Sekarang ditambah fakta bahwa putra bungsuku sudah mulai naksir-naksiran, yang lebih serius dari cinta monyetnya waktu SMP, atau singkat saja waktu ia SMA.

“Bunda dulu.. sayang sama ayah karena pas bunda liat ayah, bunda pengen sama-sama ayah terus...”

Kepala Arsyal bergerak, ia menatapku.

“Kenapa sama ayah? Bukan orang lain.”

“Because it doesn't work with anyone else, Dek.”

“And you just know?”

“You just know.” Aku tersenyum menenangkan. “Ada cahaya, yang baru bisa 'nyala' kalo bunda sama-sama ayah. Kayak misalnya bunda lagi di tempat gelap, tapi begitu sama ayah, tempat itu tahu-tahu terang. Terus ayah gandeng tangan bunda dan tiba-tiba jadi ada bintang di mana-mana. Jalannya gak gelap lagi. Coba kalo bunda jalan sendirian, jalannya bakal tetep gelap.”

“Jadi.. ada cahayanya?”

“Ada cahayanya.” Aku mengangguk. “Terus abis ituuuu, ada tiga cahaya lain, bikin makin terang, cahaya Mas Aldin, Kak Ica, sama kamu...”

Arsyal mengerjap-ngerjap.

“Tenang aja, Dek. Kamu gak jalan di tempat gelap, kalo misalnya nanti kamu sayang sama seseorang, dia bakal nambah terang, dan kamu gak akan kelewatan cahayanya dia.”

Dari matanya yang mengawang menembus atap, aku tahu dia sedang memikirkan seseorang.

“Udah keliatan ya? Cahayanya?” Aku mengedip. Tahu kalau naluriku benar.

Dan kupingnya memerah lagi, kali ini pipinya juga.

*

Hari Sabtu pagi, Arsyal keluar dari kamarnya, dengan wangi parfum yang merebak lembut dari jaket denimnya. Aku tertegun menatapnya, mengingat Rasyid waktu dulu... waktu kencan pertama...

“Wiiih, adek mau ke mana?” Rasyid ikut bengong melihat anak bungsunya udah ganteng pagi-pagi.

“Mau.. nugas.”

Aku tersenyum penuh arti mendengar jawabannya.

“Sarapan dulu, Dek.” Aku menyodorkan nasi goreng.

Arsyal mendekat padaku dan berbisik, mukanya agak grogi, lucu. “Aku liat.. Bun, pas dia senyum... ada cahayanya.”

Putraku sedang jatuh cinta.

Ketika dia selesai sarapan dan pamit pergi sambil berkata, “Berang-berang bawa berkat, adek berangkaaat!!!”

Aku tahu dia sudah paham benar maksud jawabanku tempo hari, dia pasti ingin melihat senyuman perempuan yang beruntung itu untuk jangka waktu lama, ingin melihat cahaya terang dari matanya berkali-kali, dan ingin melindunginya seperti ia melindungi cahaya-cahaya hidupnya selama ini.

Dan dari pandangan Rasyid yang mengikuti langkahnya sampai ke luar pintu, aku tahu ia seperti melihat dirinya sendiri waktu muda.

Waktu ia menjanjikan hari yang menyenangkan di depan pintu rumahku.

Waktu ia memutuskan ingin menggenggam tanganku bukan hanya hari itu tapi untuk seterusnya.

Adek... Selamat jatuh cinta. Percayalah, dalam gelap sekalipun, kamu akan terus bersama terang. Rayakan semuanya; senyuman lebar, debaran jantung, lirikan salah tingkah, wangi parfum, lagu cinta, dan tawa di antara kemacetan dan terang lampu jalan.

Karena di antara semua itu, ada cahaya yang terus menyala.