write.as

The Wedding, The Birthday and The Misfortune. Dari jam 5 subuh gue udah bangun dan siap-siap buat acara pernikahan kembaran gue, Rowoon. Ritualnya memang cukup lama, pake adegan Gore dulu, belah-belah jari terus darah kedua mempelai dimasukkan ke dalam batok kelapa yang udah diisi air suci. Ga deng, ga semenakutkan itu, cuma dibelek sedikit sampe ada satu tetes darah yang bisa dikeluarin dari jari manis. Kenapa pake batok kelapa? Karena dalam keyakinan leluhur kita pohon kelapa punya banyak sekali manfaat namun untuk dapat memperoleh manfaat tersebut banyak proses yang harus dilalui. Jadi ibaratnya ikatan Tali Jiwa kita pun seperti itu. Nice info, Gan! Nah, kalo mau batalin Nabda sama juga harus ngebelek jari tapi batok kelapanya terpisah dan diisi lumpur. Filosofinya untuk mengubur kedua Nabda Tali Jiwa supaya mereka ga bisa menemukan satu sama lain lagi. Ibaratnya kaya menutup akses lah gitu. Tapi gausah bahas pembatalan Nabda ya soalnya gue gedeg banget sama hal itu. Kalian juga pasti tau kenapa. Gue minta Wonwoo untuk datang lebih cepat karena dia termasuk keluarga inti. Acara dimulai jam 9 dan dia udah standby dari 30 menit sebelumnya. Gue cuma nyapa dia dan ngucapin HBD ke Seokmin yang cuma ngedrop Aa-nya doang, abis itu gue entah sibuk atau pura-pura sibuk kesana kemari buat ngehindarin Wonwoo. Canggung banget dari terakhir ketemu pas dia ngamuk karena tau gue mau pergi jauh dan lama. Tapi pas acara dimulai kita mau ga mau harus bersanding sebagai pasangan. Karena keluarga besar pastinya udah tau kalo Wonwoo adalah Tali Jiwa gue. Jadi sebisa mungkin kalau ada acara keluarga besar kita udah sama-sama hadir. Kalo kalian suka risih denger kalimat "kapan nikah", di budaya kita itu lebih parah lagi tekanannya, karena kita udah diyakini 99% berjodoh jadi pertanyaan tersebut udah bukan perkara kepo atau ngurusin urusan orang atau basa basi busuk. Tapi itu memang pertanyaan wajib yang ga bisa kita hindarin lagi. Selama dua jam ritual pengikatan Tali Jiwa ini berlangsung, gue liat Wonwoo cukup santai juga ya berperan sebagai pasangan gue. Mainnya apik banget kaya bukan orang yang abis ini mau minta ijin buat batalin Nabda. Alias merinding coyyy. Sumpah sih gue lebih baik dia nunjukkin sikap dinginnya deh supaya gue ga kaget-kaget banget. Daripada pura-pura alus begini. Kasihan hati gue. Lebih kasian lagi nyokap gue yang udah ngarep banyak sama anak-anaknya. Setelah ritual selesai, para tamu udah bisa keliling bersalaman dengan mempelai atau menyicip hidangan yang udah disajiin. Meskipun begitu, akting gue dan Wonwoo tetep harus lanjut karena banyak mata memandang. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan yang harus kita hadepin satu-satu. "Kapan nyusul?", "Kapan rencananya?", "Jangan kelamaan nanti malah lepas", "udah bisa siap-siap dong kalian berdua", dan segala bentuk pertanyaan dan komentar yang direspon senyum dan anggukan dan "iya doain ya" oleh kami berdua. Sampai akhirnya kita dihampiri mama. Mama hari ini mendampingi Rowoon sendirian. Karena di keluarga gue yang melihat Nabda itu ya Mama, jadi dia yang berkewajiban mendampingi ritual hari ini. Sebagai informasi tambahan, mama dan papa gue bercerai. Kalo kalian tanya "emang Tali Jiwa bisa cerai?", tentu saja tidak. Tapi mama sama papa gue itu Karam dari Tali Jiwanya dan memutuskan menikah bersama. Turns out, it didn't end well. Dan mama menyesal banget udah pernah batalin Nabdanya. Untungnya pasangan gue dan Rowoon Nabdanya masih kuat, jadi mereka bisa menemukan kita di waktu yang tepat. Tadinya Rowoon sempet khawatir kenapa bertahun-tahun ga keliatan Nabdanya. Mama sering banget minta maaf karena dikiranya karena mama Karam dan penglihatan Nabdanya udah mulai kabur. Tapi ternyata emang jodohnya baru berusia 17 tahun beberapa bulan yang lalu. Untungnya Chani (Tali Jiwa-nya Rowoon) setuju untuk langsung menikah, jadilah sekarang dan hari ini mereka mengikat Tali Jiwa mereka. Maaf ya, di budaya kami pernikahan di usia 17 tahun tidak pernah dianggap terlalu muda. Tapi pastinya setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda. Tapi bagi kami, hal ini sangatlah wajar. Karena mereka tetap bisa melanjutkan sekolah dan kuliah meskipun sudah terikat tali pernikahan. Tentunya mama ngobrol banyak basa-basi sama Wonwoo. Ngeliat Wonwoo yang masih santai bikin gue makin merinding. Gue ga tega ngeliat mama harus dapet permintaan ijin Wonwoo untuk ngebatalin Nabda kita. Apalagi mama yang punya masa lalu buruk soal pembatalan Nabda, pasti bakalan patah hati banget. Mungkin beliau akan lebih patah hati dibandingkan gue. "Terus Nonu gimana nanti pas Mingyu pergi?", Tanya mama. Jujur daritadi gue kebanyakan bengong sendiri sampe ga nyimak mereka ngobrolin apa, tau-tau mama bahas hal sensitif yang tentunya beliau gatau kalau ini sensitif banget buat kami berdua. Entah gimana gue merasakan ketegangan dari cara berdiri dan cara bernafasnya Wonwoo. Akhirnya gue beranikan diri untuk meraih tangannya dan menggenggamnya, berharap bisa kasih dia ketenangan. Mudah-mudahan tangan gue ga didamprat lepas kasar begitu ya sama dia. Sumpah Wonwoo kalo marah menakutkan banget. Tapi ternyata gue malah merasakan sambutan dari genggaman tangan kita. Wonwoo genggam erat tangan kita yang lagi berkaitan. Kaya sinyal kalo dia emang butuh itu. Won, semenakutkan itu ya mau gue tinggal pergi? Maaf ya Won. "Masih dibahas, Ma. Soalnya kan banyak yang perlu dipertimbangkan buat kita berdua", kata gue, belagak oke padahal gue yang bodoh main memutuskan sendiri soal penempatan kerja ini. "Wonwoo ikut yang baik buat Mingyu aja Ma", kata Wonwoo mencoba merespon sesantai mungkin walaupun gue bisa denger ada sedikit nafas yang ketarik pas dia ngomong. "Yang baik buat Mingyu berarti ikut sama Mingyu dong, Nu?", Ibu-ibu nih emang kadang suka ga peka ya. "Ya ga juga Ma, Wonwoo kan disini juga punya kerjaan, makanya nanti mau dibahas lagi dulu", kata gue melepaskan genggaman tangan kita untuk merangkulnya dan mengelus lengannya memberikan ketenangan. Gue mencoba untuk ngeliat Wonwoo dan berniat memberikan senyuman tapi dia cuma senyum miris sambil nunduk. Setelah cukup basa-basinya, acara pernikahan Rowoon selesai tepat jam 1 siang. Gue sama Wonwoo milih minggir dulu, berdiri di pinggir sambil menyaksikan para tamu yang sedikit demi sedikit keluar dari area gedung. Tanpa sepatah kata, tanpa sentuhan kulit, tanpa saling menatap kita sibuk sama pikiran masing-masing. Gue gatau apa yang ada di pikiran Wonwoo, tapi kalo pikiran gue daritadi cuma berisi "ini ya view pernikahan gue sama Wonwoo nantinya, kalo aja Wonwoo ga batalin Nabda kita". "Gyu", kayanya ini panggilan pertama dia daritadi kita bareng-bareng. Iya, percaya ga percaya sedingin itu Wonwoo sampe ga nyebut nama gue daritadi. "Hm?" "Gue benci banget sama lo" Liat ini orang terjudes yang gue kenal. Yang manggil nama gue cuma buat terang-terangan bilang benci. Ga pake filter, ga coba diperhalus atau nyari pilihan kata yang lebih sopan. "Iya tau. Tapi sabar dulu, minta ijin ke mamanya nunggu beberapa waktu dulu ya, Won. Bukan ujug-ujug abis acara ini langsung ngerusak suasana" "I hate you even more" "Salah lagi?" "Gue ga sedangkal itu mau ngerusak acara khidmat hari ini dengan minta ijin batalin Nabda. Ga segila itu gue" "I thought you were", akhirnya gue berhasil bikin dia liat ke arah gue. Walaupun untuk ngasih tatapan maut. "Kalo ga gila, coba dipikirin lagi dulu ya, Won. Gue minta maaf karena merencanakan kepergian tanpa melibatkan lo. Gue nyesel banget, gue akui itu kebodohan gue" "Emang, dangkal banget", masih judes. "Iya kan ini lagi menyatakan penyesalan Mingyu-nya. Harus gimana minta maafnya supaya ga jadi dibatalin Nabda-nya?" "Gausah pergi" "Ga bisa, Won" "Yaudah", kata Wonwoo singkat sambil beranjak menjauh, tapi ga jadi karena tangannya keburu gue pegang sebelum dia beranjak. "Nanti kita omongin lagi ya, Won. Kan belum didenger rencana gue" "Yang punya rencana kan ga cuma lo" "Paham kok, mau banget malah denger rencana Wonwoo juga. Nanti dikasih tau ya Mingyu-nya", kata gue sambil senyum karena akhirnya dia ngeliat ke arah gue walaupun masih ngelempar tatapan mautnya. "Boleh jujur ga, Won?" "Apaan?" "Lu kok makin judes malah makin gemesin ya?" "Orang gila! ga jelas! otaknya di dengkul! Kim Mingyu sinting! Gue tuh lagi bener-bener marah sama lo!!!" "Siapa yang anggep becanda dah? Gue kan cuma bilang gemesin bukan berarti ga bikin merinding" "Mana ada yang begitu, gausah aneh-aneh deh lo!" "Ya ini ada. Berarti lo yang aneh" "Jauh-jauh deh lo" "Tadi katanya gausah pergi, sekarang disuruh jauh-jauh, maunya gimana sih" "Atur aja hidup lu" "Kemaren gue ngatur hidup gue, malah bikin lo benci sama gue. Salah mulu" "Emang, soalnya ga pake otak ngaturnya" "Nikah aja yuk, Won. Awww--!!!", Kaki gue diinjek kenceng banget astagahh sakit, mana sepatu baru ini. Ada gila-gilanya ya si Wonwoo itu. Mana langsung pergi kabur. Karena acara Rowoon udah selesai, gue sama Wonwoo pamitan ke mama untuk ke destinasi selanjutnya, acara ulang tahun Seokmin, di rumah Kak Han. Perjalanan agak jauh tapi di mobil gue sama Wonwoo sama-sama menghindari topik soal pembatalan Nabda ataupun kepergian gue. Soal pembatalan Nabda, jelas gue ga mau mancing harimau tidur. Jadi sebisa mungkin sampai nanti-nanti ga akan gue secara sukarela mengangkat topik yang satu ini. Begitupun soal kepergian gue, gue gatau sejauh apa yang Wonwoo tau soal rencana gue tapi gue belum siap buat bahas. Jujur, kenyataan kalo Wonwoo ternyata udah putus dari Seulgi bikin gue seneng bukan main tapi juga ruwet mumet minta ampun. Seneng karena yaa ga perlu dijelasin lagi kenapa. Akhirnya, Wonwoo kembali ke gue tanpa ada yang gawangin dia. Tapi ruwet karena gue udah terlanjur mengiyakan penempatan kerja gue. The idea of me leaving him with Seulgi is not the same as the idea of me leaving him. Alone. Kalo gue tau dia udh putus, gue akan ajak dia diskusi dan hal terakhir yang gue hindari adalah kepisah jarak sama Wonwoo. Yang bener aja selama 3 tahun gue nungguin dia pacaran masa pas udah putus harus kepisah jarak karena keadaan. Mana keadaannya gue yang bikin sendiri. "Eh, sama Mingyu?", Kata Kak Han menyambut kedatangan gue dan Wonwoo. "Iya, kan dari nikahannya Rowoon?", Jawab Wonwoo yang terheran sama pertanyaan kakaknya. "Yaa kan.. kirain ga bareng-bareng lagi" Gue dan Wonwoo beranjak masuk ke rumah tanpa merespon Kak Han. Seokmin udah standby main game sama Ican di ruang tengah. Laptop untuk video call sama Kak Shua juga udah ready. Mas Cheol katanya masih pick up buat cakenya jadi kita semua acara bebas dulu sebelum tiup lilin nantinya. Pas Mas Cheol ngabarin kalo udah mau deket, laptop yang daritadi mejeng di meja makan akhirnya dinyalain dan panggilan disambungkan ke Kak Shua. Ga sampe nunggu lama akhirnya Mas Cheol dateng bawa cake dan langsung nyanyiin lagu Happy Birthday diikuti Kak Shua di layar laptop. Ga lupa gue nyoel sedikit cream cake buat gue oles ke hidung mancungnya Seokmin. HPBD DEH LO BESTIE GUA. Setelah itu, kue dipotong-potong dan masing-masing sibuk mengobrol dan mengunyah. Ican yang antusias cerita kemenangannya tadi ngalahin Abang Mancungnya. Seokmin nimpalin dengan ragam alibi kekalahan, ga terima harga dirinya jatuh di depan Shua. Dari layar laptop Kak Shua cuma senyum template aja. "Jadi lo rencananya kapan Gyu perginya?", Itu yang nanya Mas Cheol. Mau marah juga ga enak. Padahal yang lain daritadi udah ngehindarin topik tersebut. "April, Mas", jawab singkat sambil ngelirik Wonwoo yang sibuk sama cakenya sendiri. Gatau deh ini anak nyimak apa ga. "Offeringnya pasti bagus banget ya?", Paham banget emas bos muda kita yang satu ini. Iya, mas Cheol ini selain emang kaya karena turunan juga kaya karena kepintaran alias CEO muda. Kalo udah ngomongin bisnis sama dia langsung berapi-api banget karena pengetahuannya yang luas soal bisnis tapi juga tetep nekenin attitude di atas segalanya. Jadi suka dikasih wejangan bukan cuma untuk meraup uang sebanyak-banyaknya tapi juga mengumpulkan kepercayaan dari attitude kita di pekerjaan. Role model dah pokoknya. "Bukan main sih, Mas. Susah juga buat nolaknya, belum lagi ngumpulin pengalaman selama disana" "Hemmm pantes ga perlu pertimbangan adek gue ya, Gyu?", Kata Kak Han dengan tatapan sinis campur jail. Sambil menyuap sesendok kue sambil melemparkan senyuman pula. Senyum tapi kaya senyuman seorang pembunuh alias ini adeknya lagi kalem dia malah mancing-mancing. "Kali ini gue ga bisa bela apa-apa ya", kata Wonwoo yang bahkan ga melihat ke arah kita bertiga. Masih fokus sama kuenya dan layar handphonenya. "Gausah dibela, gue kalo mati juga ngubur diri sendiri palingan nasipnya" "Bagus tuh Ming, mandiri tiada akhir", kata Seokmin yang dapet dipelototin kak Shua dari layar laptop. "Tenang aja bang Mingyu, kalo di dunia ini tersisa Ican, Ican yang bakal ngubur bang Mingyu. Gausah sedih", kata Ican yang ngintilin Seokmin dari belakang. Belakangan ini emang lagi CS banget gue sama si bontot. Ya namanya bocil masih ketebak dan kebaca banget modusnya dia perkara apa. Berupaya untuk membatalkan rencana pembatalan Nabda Aa-nya. Kalo dipikir-pikir ni anak teguh juga sih perkara begini sampe bener-bener ngejalin komunikasi yang intens sama gue. Gue inget Wonwoo cerita pas Seokmin ngambek, dia teguh banget ngehubungin Seokmin supaya mau pulang. Sekarang dia lagi effort juga nih bikin gue sama Wonwoo berdamai. Masalahnya kan yang marah si Wonwoo ya kenapa ini yang dibaik-baikin malah gue. Padahal ga perlu karena marahan juga kalo Ican mau main sama gue mulu mah gue seneng. Gemes anaknya, dan karena dia juga lagi di usia mau nyoba banyak hal. Jadi gue kalo lagi mau nyoba sesuatu enak ngajak dia. "Sejak kapan jadi supir pribadi Ican?", Tanya Wonwoo ketika akhirnya acara ultah Seokmin selesai dan kita udah di jalan menuju rumah Wonwoo. Selama di mobil gue masih menghindari banget bahasan sensitif soal pembatalan Nabda sama penempatan kerja gue. "Yaaa, seminggu terakhir ini lah", gue jawab. "Dibayar berapa itu? Sama gue aja ga pernah serajin itu" "Pertama, lu ga pernah mau, lagian dulu lu punya pacar ya, sibuk. Kedua, ga perlu dibayar juga gue mah anaknya hayok aja kalo diminta. Kalo Ican minta dari dulu juga udah jadi rutinitas ini", kata gue memperjelas situasi. "Dih, jangan dibiasain lah nanti keenakan si Ican" "Ya baiklah.." "Kok, gampang amat nurutnya?", Kata Wonwoo heran. "Yaa, mau nurut aja sekarang daripada salah lagi" "Bener yaa!! Nurut sama gue bener??", Kata Wonwoo menantang. "Kok jadi semangat banget begitu. Ya kalo ga aneh-aneh juga gampang diturutinya" "Yaudah gausah pergi kalo gitu", kata Wonwoo. Gue ga bisa jawab apa-apa tapi pas gue liat ke samping, mukanya beneran lagi serius. "Nanti lagi kita obrolin ya, Meng. Seminggu terakhir padet banget jadi capek, takut obrolannya ga masuk nanti malah berantem lagi" "Lagi?" "Yaiya lagi, kan kemaren berantem tuh didiemin Mingyu-nya" "Ya ga lagi lah, kata siapa juga udah baikan?" "Gustiii nu aguuungggg" Tobat gue mah tobaattt. Emang bener cuma Tuhan yang maha pengampun, kalo manusia apalagi yang namanya Wonwoo ya maha menyiksa bisanya. Jangan bilang-bilang ke Wonwoo tapi ya kalian. "Jadi, kenapa ga cerita-cerita udah putus dari Nayeon?", Tanya Wonwoo akhirnya memulai sebuah pembahasan serius soal kita berdua. Kalo topiknya masih ini kayanya masih aman. Yaa seenggaknya pelan-pelan meluruskan pikiran yang berbelok-belok. "Alasan yang sama kenapa lo ga bilang udah putus dari Seulgi" "Which is?" "Ga mau ngerecokin hubungan lu berdua" "Kan gue bilang, Gu, berkali-kali. Bilang aja, gue akan nyelesaiin urusan gue sama Seulgi" "Exactly", kata gue menjawab singkat sambil mengelus pelan dagunya Wonwoo, mudah-mudahan bisa meredam emosinya sedikit. Dan berhasil. Ga jadi berapi-api anaknya. "Gu," wah si meng udah mulai manggil "Gu" lagi.. "Hmm" "Lain kali jangan gitu ya" "Ya ga bakal ada lain kali juga. Gue sih ga ada rencana mau pacaran lagi. Lu ya masih mau pacaran lagi??" "Ih! Bukan itu. Maksudnya tuh jangan mendem-mendem sendirian lagi hanya karena lo berfikir gue lebih tenang ketika gue gatau apa-apa" Gue cuma diem, pura-pura fokus sama jalanan padahal isi kepala udah Wonwoo, Wonwoo, Wonwooo, Meng, Wonwoo lagi. Kaya dia tuh udah ngebaikin tapi masih mendem amarah gitu lho si Wonwoo ini. Tau sih soal apa tapi ga berani mancing juga. "Denger ga?" "Denger" "Apaan emang?" "Cerita-cerita kalo ada apa-apa" "Paham?" "Ya diri sendiri aja dulu lakuin, Won" "Gu, Seokmin cerita kalian putus karena Nayeon selingkuh. Seulgi pergi baik-baik. Gue melepas dia baik-baik. Sedangkan lo pasti waktu itu hancur banget kan? Mana sendirian ga cerita ke siapa-siapa. Gue yang harusnya ada malah sibuk sama urusan sendiri. Jangan gitu lagi, Gu" "Gue gapapa deh kayanya. Itu bukan sesuatu yang mengagetkan banget sebenernya. Dan gimanapun kan gue bakal balik ke lo, jadi waktu itu sedih secukupnya aja. Malah lebih ngagetin pas lo minta buat batalin Nabda. 1000x lipat pusingnya dibandingkan diselingkuhin" Anjir.. keceplosan dah gue ngungkit-ngungkit. Surprisingly Wonwoo juga cuma terdiam. Ga mungkin ga denger tapi setidaknya yang bikin gue lega adalah malam ini dia juga sepakat untuk ga dulu dibahas perkara Nabda. "Gu, handphonenya kayanya dari tadi geter deh, minggir dulu coba takut ada yang penting", kata Wonwoo dan gue meminggirkan mobil untuk mengecek handphone sebentar. "23 missed call from Ma Twin". Gue langsung coba telpon Rowoon dan untungnya ga sesulit dia yang mencoba menghubungi gue sejak 30 menit yang lalu. Dan, malem itu gue ga lagi bisa berfikir jernih. Keringet dingin, kepanikan yang bahkan bikin gue gatau harus gimana. Tangan gue gemeter dan berkeringat. Wonwoo langsung mengambil alih kursi kemudi dan sekuat tenaga menyadarkan gue untuk seenggaknya gerak dan pindah ke kursi penumpang. "Gu, mama kritis, jatoh dari tangga dan kepalanya kebentur keras. Sekarang kondisinya lagi kritis" Setelah kalimat itu gue ga bisa merespon apapun yang dibilang Rowoon selanjutnya.