orentciz

semoga betah

Mikaila muncul dari balik pintu dengan rambut yang dicepol asal dan piyama doraemon. Berbanding terbalik dengan Mikaila yang menyambut Taeyong di hadapannya dengan seulas senyum simpul, Taeyong hanya menatap Mikaila dengan tatapan datar. Seperti biasa.

“Hai” sapa Mikaila kemudian membuka pintu apartementnya lebih lebar, mempersilahkan laki-laki itu masuk.

Kening Mikaila mengernyit heran saat matanya menangkap sebuah koper berukuran sedang yang Taeyong bawa.

“Kenapa lo?” tanya Taeyong berpura-pura nggak mengerti. Padahal ia tau jelas jika Mikaila sedang menatap kearah koper dan dirinya begantian.

“Itu koper buat apa?” tanya Mikaila menunjuk tas yang dibawa oleh Taeyong.

Taeyong berdehem pelan, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus menjelaskan seperti apa.

Nggak mungkin dia mengatakan pada Mikaila jika ternyata ia sama sekali nggak mampu mengurus dirinya. Mau taruh dimana harga diri seorang Taeyong Pradigta? Malu.

“gue...” Taeyong memelankan nada bicaranya. Matanya bergerak gelisah.

“Kamu?”

“Guemaunginapdiapartemenlo!” ucapnya dalam satu tarikan nafas tanpa jeda.

Alis Mikaila terangkat. Namun belum sempat gadis itu meminta penjelasan lebih lanjut, Taeyong lebih dulu mendorong badan Mikaila menyingkir lalu menerobos masuk meninggalkan sang pemilik yang cuman bisa melongo di belakang sana.

Mata Taeyong memindai sekitar begitu ia sampai di ruang tengah. Ada banyak foto yang terpajang menghiasi dinding dari apartemen milik perempuan yang kini telah berdiri di sebelahnya.

Potret kedua orang tua Mikaila bersama Mikaila sendiri yang dipajang dengan bingkai paling besar menarik perhatian Taeyong. Tanpa disadari, sudut bibirnya terangkat melihat ekspresi menggemaskan Mikaila di foto itu.

anjing, apaan? Gemas? Wah, sinting lo nyet! rutuknya dalam hati.

Pandangan Taeyong berhenti pada sebuah foto dua orang yang terasa nggak asing baginya. Taeyong meraih foto itu kemudian mengamati kedua sosok yang tengah tersenyum di dalamnya.

“Ini foto lo sama siapa?” tanya Taeyong menunjukan foto yang ada di tangannya.

Foto Mikaila dan seorang laki-laki dengan background disney.

Mikail menoleh, ikut mengamati benda yang dimaksud oleh Taeyong.

“Oh, itu Jonathan” jawabnya santai.

Taeyong hanya mengangguk, kemudian meletakan foto itu kembali.

Laki-laki itu mendudukan dirinya ke atas sofa. Mengistirahatkan pinggangnya yang terasa sedikit pegal karena terlalu lama duduk di mobil tadi.

Sebenarnya jarak rumah Taeyong dan apartement Mikaila hanya 30 menit. Namun, Taeyong terpaksa menghabiskan waktu dua jam di jalan karena kembali merenungi apa ia harus tetap pergi dan menurunkan gengsinya atau putar balik dan tetap di rumahnya sendiri.

“Kamar gue dimana?”

“Hah?”

“Ck, kamar gue. Dimana?”

“Kamu beneran mau nginap disini sebulan?” tanya Mikaila memastikan.

“Gak liat nih?” Taeyong menendang kopernya ketus.

Melihat ekspresi aneh yang ditunjukan Mikaila, Taeyong menghela nafas gusar. “Lo gak ikhlas? gak mau gue disini? Yaudah-”

“Kamar kamu disana”

Taeyong ikut menoleh ke arah yang Mikaila tunjuk. Kemudian ia mengangguk lalu berdiri dan menggeret kopernya masuk ke dalam kamar.

“Taeyong” panggil Mikaila tepat sebelum Taeyong hendak menutup pintu. Laki-laki itu berbalik, menatap Mikaila dengan sebelah alis terangkat.

“Semoga betah ya”

orentciz

xapek

Pusing capek kaga keluar mulu jib

NANGIS

EOI NGAOA GABISA ANJIB EMOSHHHHHHH

yey tester

tst doanggggghhshshshajajajjajajajajahahahaha

Anjib emosi

semoga betah

Mikaila muncul dari balik pintu dengan rambut yang dicepol asal dan piyama doraemon. Berbanding terbalik dengan Mikaila yang menyambut Taeyong di hadapannya dengan seulas senyum simpul, Taeyong hanya menatap Mikaila dengan tatapan datar. Seperti biasa.

“Hai” sapa Mikaila kemudian membuka pintu apartementnya lebih lebar, mempersilahkan laki-laki itu masuk.

Kening Mikaila mengernyit heran saat matanya menangkap sebuah koper berukuran sedang yang Taeyong bawa.

“Kenapa lo?” tanya Taeyong berpura-pura nggak mengerti. Padahal ia tau jelas jika Mikaila sedang menatap kearah koper dan dirinya begantian.

“Itu koper buat apa?” tanya Mikaila menunjuk tas yang dibawa oleh Taeyong.

Taeyong berdehem pelan, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus menjelaskan seperti apa.

Nggak mungkin dia mengatakan pada Mikaila jika ternyata ia sama sekali nggak mampu mengurus dirinya. Mau taruh dimana harga diri seorang Taeyong Pradigta? Malu.

“gue...” Taeyong memelankan nada bicaranya. Matanya bergerak gelisah.

“Kamu?”

“Guemaunginapdiapartemenlo!” ucapnya dalam satu tarikan nafas tanpa jeda.

Alis Mikaila terangkat. Namun belum sempat gadis itu meminta penjelasan lebih lanjut, Taeyong lebih dulu mendorong badan Mikaila menyingkir lalu menerobos masuk meninggalkan sang pemilik yang cuman bisa melongo di belakang sana.

Mata Taeyong memindai sekitar begitu ia sampai di ruang tengah. Ada banyak foto yang terpajang menghiasi dinding dari apartemen milik perempuan yang kini telah berdiri di sebelahnya.

Potret kedua orang tua Mikaila bersama Mikaila sendiri yang dipajang dengan bingkai paling besar menarik perhatian Taeyong. Tanpa disadari, sudut bibirnya terangkat melihat ekspresi menggemaskan Mikaila di foto itu.

anjing, apaan? Gemas? Wah, sinting lo nyet! rutuknya dalam hati.

Pandangan Taeyong berhenti pada sebuah foto dua orang yang terasa nggak asing baginya. Taeyong meraih foto itu kemudian mengamati kedua sosok yang tengah tersenyum di dalamnya.

“Ini foto lo sama siapa?” tanya Taeyong menunjukan foto yang ada di tangannya.

Foto Mikaila dan seorang laki-laki dengan background disney.

Mikail menoleh, ikut mengamati benda yang dimaksud oleh Taeyong.

“Oh, itu Jonathan” jawabnya santai.

Taeyong hanya mengangguk, kemudian meletakan foto itu kembali.

Laki-laki itu mendudukan dirinya ke atas sofa. Mengistirahatkan pinggangnya yang terasa sedikit pegal karena terlalu lama duduk di mobil tadi.

Sebenarnya jarak rumah Taeyong dan apartement Mikaila hanya 30 menit. Namun, Taeyong terpaksa menghabiskan waktu dua jam di jalan karena kembali merenungi apa ia harus tetap pergi dan menurunkan gengsinya atau putar balik dan tetap di rumahnya sendiri.

“Kamar gue dimana?”

“Hah?”

“Ck, kamar gue. Dimana?”

“Kamu beneran mau nginap disini sebulan?” tanya Mikaila memastikan.

“Gak liat nih?” Taeyong menendang kopernya ketus.

Melihat ekspresi aneh yang ditunjukan Mikaila, Taeyong menghela nafas gusar. “Lo gak ikhlas? gak mau gue disini? Yaudah-”

“Kamar kamu disana”

Taeyong ikut menoleh ke arah yang Mikaila tunjuk. Kemudian ia mengangguk lalu berdiri dan menggeret kopernya masuk ke dalam kamar.

“Taeyong” panggil Mikaila tepat sebelum Taeyong hendak menutup pintu. Laki-laki itu berbalik, menatap Mikaila dengan sebelah alis terangkat.

“Semoga betah ya”

orentciz

semoga betah

Mikaila muncul dari balik pintu dengan rambut yang dicepol asal dan piyama doraemon. Berbanding terbalik dengan Mikaila yang menyambut Taeyong di hadapannya dengan seulas senyum simpul, Taeyong hanya menatap Mikaila dengan tatapan datar. Seperti biasa.

“Hai” sapa Mikaila kemudian membuka pintu apartementnya lebih lebar, mempersilahkan laki-laki itu masuk.

Kening Mikaila mengernyit heran saat matanya menangkap sebuah koper berukuran sedang yang Taeyong bawa.

“Kenapa lo?” tanya Taeyong berpura-pura nggak mengerti. Padahal ia tau jelas jika Mikaila sedang menatap kearah koper dan dirinya begantian.

“Itu koper buat apa?” tanya Mikaila menunjuk tas yang dibawa oleh Taeyong.

Taeyong berdehem pelan, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus menjelaskan seperti apa.

Nggak mungkin dia mengatakan pada Mikaila jika ternyata ia sama sekali nggak mampu mengurus dirinya. Mau taruh dimana harga diri seorang Taeyong Pradigta? Malu.

“gue...” Taeyong memelankan nada bicaranya. Matanya bergerak gelisah.

“Kamu?”

“Guemaunginapdiapartemenlo!” ucapnya dalam satu tarikan nafas tanpa jeda.

Alis Mikaila terangkat. Namun belum sempat gadis itu meminta penjelasan lebih lanjut, Taeyong lebih dulu mendorong badan Mikaila menyingkir lalu menerobos masuk meninggalkan sang pemilik yang cuman bisa melongo di belakang sana.

Mata Taeyong memindai sekitar begitu ia sampai di ruang tengah. Ada banyak foto yang terpajang menghiasi dinding dari apartemen milik perempuan yang kini telah berdiri di sebelahnya.

Potret kedua orang tua Mikaila bersama Mikaila sendiri yang dipajang dengan bingkai paling besar menarik perhatian Taeyong. Tanpa disadari, sudut bibirnya terangkat melihat ekspresi menggemaskan Mikaila di foto itu.

anjing, apaan? Gemas? Wah, sinting lo nyet! rutuknya dalam hati.

Pandangan Taeyong berhenti pada sebuah foto dua orang yang terasa nggak asing baginya. Taeyong meraih foto itu kemudian mengamati kedua sosok yang tengah tersenyum di dalamnya.

“Ini foto lo sama siapa?” tanya Taeyong menunjukan foto yang ada di tangannya.

Foto Mikaila dan seorang laki-laki dengan background disney.

Mikail menoleh, ikut mengamati benda yang dimaksud oleh Taeyong.

“Oh, itu Jonathan” jawabnya santai.

Taeyong hanya mengangguk, kemudian meletakan foto itu kembali.

Laki-laki itu mendudukan dirinya ke atas sofa. Mengistirahatkan pinggangnya yang terasa sedikit pegal karena terlalu lama duduk di mobil tadi.

Sebenarnya jarak rumah Taeyong dan apartement Mikaila hanya 30 menit. Namun, Taeyong terpaksa menghabiskan waktu dua jam di jalan karena kembali merenungi apa ia harus tetap pergi dan menurunkan gengsinya atau putar balik dan tetap di rumahnya sendiri.

“Kamar gue dimana?”

“Hah?”

“Ck, kamar gue. Dimana?”

“Kamu beneran mau nginap disini sebulan?” tanya Mikaila memastikan.

“Gak liat nih?” Taeyong menendang kopernya ketus.

Melihat ekspresi aneh yang ditunjukan Mikaila, Taeyong menghela nafas gusar. “Lo gak ikhlas? gak mau gue disini? Yaudah-”

“Kamar kamu disana”

Taeyong ikut menoleh ke arah yang Mikaila tunjuk. Kemudian ia mengangguk lalu berdiri dan menggeret kopernya masuk ke dalam kamar.

“Taeyong” panggil Mikaila tepat sebelum Taeyong hendak menutup pintu. Laki-laki itu berbalik, menatap Mikaila dengan sebelah alis terangkat.

“Semoga betah ya”

orentciz

Yang bener aja, mih?

“Kan udah mamih bilang, kalo mabok jangan bawa mobil sendirian!” kalimat itu telah seratus kali Taeyong dengar dari mulut Mamihnya sejak sang ibu datang ke rumah sakit beberapa jam kemudian setelah Taeyong memberi kabar bahwa dirinya habis kecelakaan.

Terlalu mabuk, tetapi maksa nekat pulang. Akibatnya mobil kesayangan Taeyong terpaksa harus mencium pohon yang nggak bersalah karena Taeyong kira itu adalah orang lewat.

Laki-laki itu mengangguk jengah, “Iya mih, iya. Kan udah lewat juga kecelakaannya” jawabnya mengalah.

Memang siapa yang bisa membantah ucapan mamihnya? Mamihnya selalu benar dalam hal apapun dan kapanpun. Jadi Taeyong lebih baik mengalah daripada seluruh kartunya harus ditarik dari dompet.

Satu pukulan kecil mendarat pada bahu Taeyong. “Jawabbbb terus kalo dikasih tau mamihnya” ujar Mamih gemas.

Taeyong nggak menjawab lagi. Ia lebih memilih memainkan ponselnya daripada harus terkena omelan mamihnya lagi. Ia tau diri dan cukup sadar kalau disini dirinya memang salah.

“Halo, sayang”

Taeyong melirik kearah mamihnya yang tengah berbicara dengan seseorang di telepon.

“Oh udah sampai? Kamarnya nomor 127 ya sayang. Iya langsung masuk aja nanti. Oke, mamih tunggu”

“Siapa mih?” tanya Taeyong penasaran setelah mamih menutup telepon barusan. Siapa yang akan datang menjenguk dirinya memang?

Papihnya?

Sepertinya bukan. Taeyong ingat jelas lusa lalu papihnya baru berangkat untuk perjalanan bisnis ke Kalimantan. Rasanya terlalu mustahil jika papihnya mau repot-repot kembali ke Jakarta hanya karena anak laki-laki satu-satunya ini baru saja kecelakaan ringan.

“Mikaila”

Taeyong membelalak. “Hah? Ngapain mamih nyuruh itu cewek kesini, sih??” protes Taeyong.

Apa iya cewek itu harus melihat Taeyong yang saat ini sama sekali nggak ada keren-kerennya karena dahi yang diperban dan leher yang harus menggunakan neck belt ?

“Itu cewek itu cewek” Mamih melotot galak. “Mami pukul ya mulut kamu manggil Mikaila kayak gitu”

Taeyong baru hendak membuka kembali mulutnya mengajukan protes, namun pintu lebih dulu terbuka, menampilkan orang yang barusan jadi topik pembicaraan masuk dan tersenyum canggung.

“Hai cantik. Udah dateng yah?”

“Orang anaknya udah disini, ya pasti udah dateng lah mih” sela Taeyong memutar matanya.

Mamih nggak menanggapi, wanita itu lebih memilih untuk memberi pelukan hangat pada Mikaila.

“Susah tadi cari kamarnya?”

Mikaila menggeleng pelan. “Nggak kok mih, langsung ketemu tadi”

Taeyong memandangi keduanya datar. Padahal baru bertemu beberapa hari lalu, tetapi mamihnya bertindak seolah mereka udah berbulan-bulan nggak ketemu. Lebay.

Mikaila berjalan mendekat pada Taeyong, “Kamu gapapa?” tanyanya.

Taeyong mendelik, “Galiat lo?” ujarnya galak sambil menunjuk area wajahnya.

“Taeyong!” tegur mamih sambil melirik tajam pada Taeyong.

“Ya lagian, udah tau kayak gini malah nanya gapapa atau nggak. Kan ga penting banget”

Mikaila hanya tersenyum karena nggak tau harus menanggapi apa. Tujuannya bertanya memang hanya untuk basa-basi karena tanpa perlu diberi tau, dia juga udah tau jika laki-laki yang kini tengah bermain games di ponselnya itu sedang gak baik-baik aja.

Mamih meletakkan sepiring buah-buahan yang tadi dibawa oleh Mikaila ke atas meja makan pada kasur Taeyong.

“Taroh dulu hp nya, nih buah”

Taeyong melirik sebentar, kemudian menuruti mamihnya.

“Mih, apelnya kupasin dong. Taeyong gak suka pake kulit” pinta Taeyong ketika melihat buah favoritnya ada di hadapannya.

Mikaila yang berada lebih dekat pada Taeyong berinisiatif langsung meraih pisau buah kemudian mengupaskan kulit apel sesuai permintaan dari orang yang sedang terduduk manja itu.

“Thanks” kata Taeyong singkat lalu memakannya.

Mamih hanya tersenyum penuh arti menatap kedua anaknya itu bergantian.

Taeyong yang tengah makan apel dan mikaila di sebelahnya yang masih sibuk mengupas kulit buah dengan sabar.

“Makin dilihat, kalian makin cocok ya”

uhukk... Uhukk...

Mikaila reflek meraih gelas berisi air kemudian menjulurkannya pada Taeyong yang mendadak terbatuk setelah mendengar ucapan dari mamihnya barusan.

“Gak usah salah tingkah kamu yong. Nggak berkharisma banget” ujar mamih meledek

“YA MAMIH NGGAK JELAS SIH” pekik Taeyong setelah batuknya terasa sedikit lega.

Mamih nggak menanggapi Taeyong, ia justru beralih menatap Mikaila yang baru saja kembali dari membuang sampah sisa kulit buah yang ia kupas.

“Mika, kamu di apartemen sendirian?”

Mika mengangguk bingung dengan pertanyaan yang barusan ditanyakan padanya, “Kenapa mih?”

“Anak mamih yang manja ini,” Mamih melirik Taeyong, kemudian menggeleng pelan melihat anaknya itu tengah mengunyah apel berantakan persis seperti anak kecil. “Yang kalo malem masih suka teriak minta dibuatin almond milk dan roti bakar, boleh mamih titip di apartemen kamu nggak sebulan?”

Taeyong tersedak lagi.

orentciz

Kilas Balik 4

“Kalo gak kamu cari dulu pake rumus tekanan, gak akan ketemu sampe tahun depan”

Risa dengan raut wajah frustrasi menoleh kaget ketika sebuah suara menginterupsi dirinya dari belakang.

Masih dengan kening terlipat heran, Risa memandangi Jeffrey yang sekarang justru duduk di kursi kosong yang ada di depannya.

Tangan jeffrey tanpa izin meraih buku Risa, kemudian membacanya singkat.

“Ini massa nya kamu cari dulu baru bisa ketemu” sambungnya sambil menunjuk yang ia maksud.

Risa menekuk bibirnya. Mencoba memahami apa yang baru saja diterangkan oleh laki-laki berkacamata dihadapannya saat ini.

Setelah mengikuti kata-kata Jeffrey tadi, Risa tersenyum puas mendapati jawaban yang dari semalam ia pusingkan karena gak kunjung ketemu padahal dia sudah yakin dengan caranya.

“Lo ngapain kesini?” tanya Risa penasaran.

Jeffrey mengangkat wajahnya yang tengah membaca buku berjudul Ensiklopedia itu.

“Diary sa-” ia menggeleng, “-aku” ralatnya.

Mendengar itu Risa langsung teringat buku diary milik Jeffrey yang masih ada padanya karena beber hari lalu Jeffrey sempat gak masuk sekolah.

Ia membuka tas, mencari buku bersampul hitam polos dengan ukiran nama Jeffrey disana. Setelah itu menjulurkan pada sang pemilik dalam keadaan masih sama seperti terakhir kali.

“Lo kenapa suka nulis diary, Jeff?” tanya Risa penasaran.

Jeffrey diam sejenak. Memandang lurus buku yang kini sudah berada dalam tangannya itu sambil menyunggingkan senyum tipis.

“Self healing”

Alis Risa terangkat. Baru berniat membuka mulut untuk bertanya lebih lanjut apa maksud jawaban Jeffrey, namun laki-laki itu lebih dulu memotongnya

“Kadang gak semua hal bisa diceritakan sama orang lain, risa. Bahkan orang terdekat sekalipun” ucapan Jeffrey terhenti, namun senyum masih terlihat pada wajahnya.

“Tapi, gimana kalo disaat yang bersamaan kamu perlu sesuatu yang bisa kamu jadikan tempat berkeluh kesah?”

“Memang keliatannya kuno. Tapi sejauh yang aku pernah coba, nulis dalam diary itu pilihan paling tepat. Kamu bisa tumpahin semua pikiran kamu dalam diam, tau-tau hati kamu terasa lebih lega”

Risa masih setia mendengarkan Jeffrey. Tak sedetik pun pandangannya ia alihkan ke tempat lain selain kedua mata hitam yang terlihat menawan itu.

“Tapi lo kan bisa nulis di notes aja jeff?” tanya Risa lagi, masih merasa gak puas dengan jawaban Jeffrey.

“Rasanya beda” jeffrey menjawab, tiba-tiba ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.

Risa memperhatikan Jeffrey, penasaran dengan apa yang tengah dicarinya sampai harus mengeluarkan beberapa isi dari dalam tasnya.

“Nih, kamu coba deh” ujarnya lalu menyodorkan sebuah buku serupa dengan miliknya, bahkan ada ukiran namanya pada bagian depan sampul.

Ragu-ragu Risa meraih benda itu, membuka isinya yang masih kosong dan bersih. Baru rupanya.

“kalo udah tau beda yang aku maksud, kasih tau aku ya!”

orentciz

Cosmic radiation