orentciz

red moon

Imgur Taeyong mendorong pintu menuju rooftop. Di ujung sana, Jeffrey telah berdiri menatapnya penuh rasa benci.

Melihat itu Taeyong hanya tertawa sinis. Rasanya sudah lama sekali mantan sahabatnya menatap dirinya seperti itu. Selama ini Jeffrey selalu memberikan tatapan sendu dari balik lensa kacamatanya tiap kali pandangan mereka bertemu.

Dengan langkah santai sambil bersiul nyaring, Taeyong berjalan ke arah Jeffrey.

Salah sudut bibirnya terangkat, seringai sinis ia tunjukan saat langkahnya berhenti beberapa centi dari Jeffrey.

“Lo mau ngomong apa, hm?” tanya Taeyong.

“Daridulu sampai sekarang, kamu masih juga nggak mau berubah. Sibuk menyalahkan orang lain dan akhirnya menyakiti mereka. Manipulatif”

Seringai Taeyong lenyap berganti dengan tatapan tajam ketika mendengar ucapan Jeffrey barusan. Ia mengepalkan kuat jarinya saat tau kemana Jeffrey hendak membawa percakapan ini pergi.

“Saya udah bilang, saya gak ada niat sama sekali buat nusuk kamu dari belakang kayak apa yang kamu pikir, tapi-”

bugh

Jeffrey tersungkur ketika pukulan keras dilayangkan Taeyong pada pipinya secara tiba-tiba.

“Kalo lo gak berniat nusuk gue dari belakang terus apaan? Lo bilang lo sahabat gue, anjing!”

“Karena saya sahabat kamu makanya saya tau itu salah” sanggah jeffrey

Taeyong hanya tertawa geli. Entah kenapa ucapan Jeffrey barusan terasa begitu lucu baginya.

sahabat dia bilang

Flashback “Taeyong” panggilan dari Jeffrey membuat Taeyong yang tengah menatap langit dari balkon kamarnya menoleh. Senyum tipis terukir pada wajah laki-laki itu ketika melihat siapa yang datang

“Barang teman-teman kita yang hilang di sekolah, itu kamu, kan?”

Pertanyaan Jeffrey barusan melunturkan senyum Taeyong. “A-apaandah lo jeff? Maksud lo gue nyuri? Gila apa lo?” elaknya sambil tertawa canggung

Jeffrey menahan Taeyong yang hendak pergi, kemudian merogoh sesuatu dari kantong celana yang ia kenakan

Tangannya terangkat, menunjukan sebuah benda tepat di depan wajah Taeyong yang reflek menegang ketika melihatnya

“ini punya kamu! Ada nama kamu!” Jeffrey setengah berteriak.

Taeyong dengan susah payah meneguk ludahnya, sama sekali nggak bisa mengelak lagi. “Jeff, gue-”

“Taeyong, kamu klepto, Ayah kamu harus tau, yong! Kalo kamu gak bisa bilang sama ayah kamu, biar saya yang bantu kamu bilang”

Jeffrey berbalik, namun dengan cepat ditahan oleh Taeyong. Laki-laki itu tiba-tiba berlutut pada Jeffrey kemudian meraih tangan Jeffrey dan menangis.

“Jeff, please jangan. Lo tau ayah gue bisa ngebunuh gue kalo tau gue begini, Jeff” nada bicara Taeyong bergetar. Ia benar-benar menangis merasakan ketakutan akan bayangan yang mungkin ia terima saat sang ayah tau jika anak tunggalnya mengidap gangguan seperti itu.

“Gue janji itu yang terakhir, jeff” Taeyong mengangguk dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap Jeffrey penuh harap.

Jeffrey memejamkan matanya, berusaha menetralkan pikirannya yang terasa sangat memusingkan. Perlahan, ia melepas tangan Taeyong, kemudian berbalik pergi tanpa mengucapkan barang sepatah kata.

Maafin saya Taeyong, ini demi kebaikan kamu. Kleptomania gak bisa sembuh semudah itu. Saya cuman gak mau kamu terjerumus ke dalam masalah yang lebih besar. Flashback end

“Lo tau jeff setelah lo berhasil ngadu ke ayah gue?” Taeyong berjalan ke tepi rooftop. Kemudian menatap langit malam yang hari ini sangat kosong.

Tanpa bulan atau bintang. Tetapi, bulan terlihat sangat merah, seolah malam ini langit tengan berdarah.

“Gue benar-benar nyaris mati, Jeff. Lo pikir gue juga mau punya penyakit ini? Apa waktu itu lo bilang? Psikolog? Lo sendiri tau Ayah gue bakal lebih senang nyebut gue gila karena pergi ke tempat kayak gitu”

“Psikolog bukan tempat orang gila!”

Taeyong tersenyum pahit. “Rasanya bener-bener memalukan saat ada yang tau kalo gue klepto. Gue muak setiap malem mikir apa yang bakal orang bilang kalo tau gue klepto. Dihina? dibully? dijauhin?” dia menggeleng miris.

Taeyong berbalik, menatap balik Jeffrey di belakang sana “Makanya saat tau lo pindah ke sini, gue selangkah lebih maju. Gue gak boleh jadi orang yang diinjak. Gue harus nginjak lo lebih dulu, karena gak ada jaminan lo gak bakal nyebarin aib gue ini. Dengan bikin lo kayak sampah, orang-orang gak akan mau dengerin satupun kata-kata lo”

Jeffrey hanya diam.

Dia sendiri tau kenapa Taeyong memperlakukan dirinya seperti itu selama ini. Alasan kenapa Jeffrey tak sekalipun melawan bukan karena dirinya takut, tapi Taeyong lah yang ketakutan.

Jeffrey paham waktu itu dia telah melakukan pilihan yang salah dan mungkin bagi Taeyong maaf sama sekali nggak ada artinya, maka Jeffrey membiarkan Taeyong melampiaskan semua pada dirinya. Setidaknya itu akan membuat rasa bersalah Jeffrey sedikit berkurang.

“Saya minta kamu sendiri yang jelasin ke Risa tentang masalah kita. Saya gak bisa cerita sama dia karena saya nggak mau penebusan dosa sama ke kamu sia-sia” tukas Jeffrey dengan nada dingin.

Taeyong tertawa keras mendengar ucapan Jeffrey, “Kenapa gue harus jelasin? Biar kalian damai? Justru bikin lo gak punya siapapun sama sekali bikin gue makin puas, Jeff”

“Risa atau siapapun itu namanya, gue udah sering ingatin dia buat gak dekat-dekat sama lo, tapi dia selalu ngebantah. Cewek tolol” Taeyong menjeda ucapannya, pikirannya kembali melayang saat dia beberapa kali mengancam Risa agar menjauhi Jeffrey. Namun, bukannya menuruti kata-kata Taeyong, mereka berdua justru menjadi semakin dekat. Taeyong benci itu.

“cuman anak pungut donatur sekolah aja belagu” Taeyong berdecak miris.

Melihat Jeffrey yang balik menatapnya dingin, Taeyong hanya tersenyum mengejek. “Kenapa? Marah gue bilang dia anak pungut? Emang dia-”

Bugh

“Jaga omongan kamu, Taeyong!”

“Pftt... Dia emang anak pungut-”

Bugh

“Diam!”

Taeyong merasakan sudut bibirnya sobek. Melihat darah yang menggores tanganya ketika ia menyentuh sudut bibirnya membuat Taeyong mengeram kesal. Dengan cepat ia membalik posisi mereka, menindih Jeffrey dibawahnya kemudian balas memberi pukulan bertubi pada Jeffrey.

“Jangan jadi sok jagoan, Jeff. Selamatin diri lo sendiri sebelum ngurusin orang lain!”

Jeffrey mendorong Taeyong dari atasnya, kemudian membawa badan Taeyong hingga terhimpit pada pembatas dinding.

Jeffrey menatap lurus mata Taeyong yang juga menatapnya sengit, “Dia bukan orang lain buat saya, dia berarti!” ucap Jeffrey penuh penekanan.

“Selera lo rendah-”

“Saya bilang diam!” deru nafas Jeffrey memburu. Perasaannya sangat tak karuan menahan emosi saat Taeyong menyebut Risa seperti itu.

Jeffrey menghempas badan Taeyong dengan kasar, kemudian ia berbalik melangkah pergi.

Tepat ketika Jeffrey hendak membuka pintu keluar, ia mendengar suara tawa Taeyong di belakang sana.

Mata Jeffrey membelalak ketika melihat Taeyong yang telah berdiri di ujung.

“KALO LO KESINI, GUE AKAN LONCAT!” ancam Taeyong berhasil menghentikan langkah Jeffrey yang hendak kembali mendekat.

“Taeyong! Jangan gila!” teriak Jeffrey

“Gue emang udah gila! Gue mati juga gak akan ada yang peduli anjing. HAHAHA!”

Jeffrey menggeleng kuat, berusaha memberi tahu jika ucapan Taeyong tadi sama sekali tidak benar. Dengan langkah was was, ia perlahan kembali berjalan mendekati Taeyong yang tengah menunduk menangis.

“Seenggaknya kalo gue mati, gue gak akan pusing ribut sama pikiran jahat gue sendiri” ucapnya, ia kembali mendongak, menatap Jeffrey yang tinggal selangkah lagi. “Selamat tinggal, Jeffrey”

“TAEYONG!!”

Jeffrey hanya bisa menangis kencang ketika dirinya gagal meraih Taeyong. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Jeffrey dengan cepat berbalik hendak turun menolong Taeyong yang sudah berdarah-darah di bawah sana. Namun, langkahnya berhenti saat netra menangkap sosok yang mematung menatap Jeffrey ketakutan sambil menutup mulut dengan kedua tangan.

“Risa, Taeyong-”

“Pembunuh!”

orentciz

red moon

Taeyong mendorong pintu menuju rooftop. Di ujung sana, Jeffrey telah berdiri menatapnya penuh rasa benci.

Melihat itu Taeyong hanya tertawa sinis. Rasanya sudah lama sekali mantan sahabatnya menatap dirinya seperti itu. Selama ini Jeffrey selalu memberikan tatapan sendu dari balik lensa kacamatanya tiap kali pandangan mereka bertemu.

Dengan langkah santai sambil bersiul nyaring, Taeyong berjalan ke arah Jeffrey.

Salah sudut bibirnya terangkat, seringai sinis ia tunjukan saat langkahnya berhenti beberapa centi dari Jeffrey.

“Lo mau ngomong apa, hm?” tanya Taeyong.

“Daridulu sampai sekarang, kamu masih juga nggak mau berubah. Sibuk menyalahkan orang lain dan akhirnya menyakiti mereka. Manipulatif”

Seringai Taeyong lenyap berganti dengan tatapan tajam ketika mendengar ucapan Jeffrey barusan. Ia mengepalkan kuat jarinya saat tau kemana Jeffrey hendak membawa percakapan ini pergi.

“Saya udah bilang, saya gak ada niat sama sekali buat nusuk kamu dari belakang kayak apa yang kamu pikir, tapi-”

bugh

Jeffrey tersungkur ketika pukulan keras dilayangkan Taeyong pada pipinya secara tiba-tiba.

“Kalo lo gak berniat nusuk gue dari belakang terus apaan? Lo bilang lo sahabat gue, anjing!”

“Karena saya sahabat kamu makanya saya tau itu salah” sanggah jeffrey

Taeyong hanya tertawa geli. Entah kenapa ucapan Jeffrey barusan terasa begitu lucu baginya.

sahabat dia bilang

Flashback “Taeyong” panggilan dari Jeffrey membuat Taeyong yang tengah menatap langit dari balkon kamarnya menoleh. Senyum tipis terukir pada wajah laki-laki itu ketika melihat siapa yang datang

“Barang teman-teman kita yang hilang di sekolah, itu kamu, kan?”

Pertanyaan Jeffrey barusan melunturkan senyum Taeyong. “A-apaandah lo jeff? Maksud lo gue nyuri? Gila apa lo?” elaknya sambil tertawa canggung

Jeffrey menahan Taeyong yang hendak pergi, kemudian merogoh sesuatu dari kantong celana yang ia kenakan

Tangannya terangkat, menunjukan sebuah benda tepat di depan wajah Taeyong yang reflek menegang ketika melihatnya

“ini punya kamu! Ada nama kamu!” Jeffrey setengah berteriak.

Taeyong dengan susah payah meneguk ludahnya, sama sekali nggak bisa mengelak lagi. “Jeff, gue-”

“Taeyong, kamu klepto, Ayah kamu harus tau, yong! Kalo kamu gak bisa bilang sama ayah kamu, biar saya yang bantu kamu bilang”

Jeffrey berbalik, namun dengan cepat ditahan oleh Taeyong. Laki-laki itu tiba-tiba berlutut pada Jeffrey kemudian meraih tangan Jeffrey dan menangis.

“Jeff, please jangan. Lo tau ayah gue bisa ngebunuh gue kalo tau gue begini, Jeff” nada bicara Taeyong bergetar. Ia benar-benar menangis merasakan ketakutan akan bayangan yang mungkin ia terima saat sang ayah tau jika anak tunggalnya mengidap gangguan seperti itu.

“Gue janji itu yang terakhir, jeff” Taeyong mengangguk dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap Jeffrey penuh harap.

Jeffrey memejamkan matanya, berusaha menetralkan pikirannya yang terasa sangat memusingkan. Perlahan, ia melepas tangan Taeyong, kemudian berbalik pergi tanpa mengucapkan barang sepatah kata.

Maafin saya Taeyong, ini demi kebaikan kamu. Kleptomania gak bisa sembuh semudah itu. Saya cuman gak mau kamu terjerumus ke dalam masalah yang lebih besar. Flashback end

“Lo tau jeff setelah lo berhasil ngadu ke ayah gue?” Taeyong berjalan ke tepi rooftop. Kemudian menatap langit malam yang hari ini sangat kosong.

Tanpa bulan atau bintang.

“Gue benar-benar nyaris mati, Jeff. Lo pikir gue juga mau punya penyakit ini? Apa waktu itu lo bilang? Psikolog? Lo sendiri tau Ayah gue bakal lebih senang nyebut gue gila karena pergi ke tempat kayak gitu”

“Psikolog bukan tempat orang gila!”

Taeyong tersenyum pahit. “Rasanya bener-bener memalukan saat ada yang tau kalo gue klepto. Gue muak setiap malem mikir apa yang bakal orang bilang kalo tau gue klepto. Dihina? dibully? dijauhin?” dia menggeleng miris.

Taeyong berbalik, menatap balik Jeffrey di belakang sana “Makanya saat tau lo pindah ke sini, gue selangkah lebih maju. Gue gak boleh jadi orang yang diinjak. Gue harus nginjak lo lebih dulu, karena gak ada jaminan lo gak bakal nyebarin aib gue ini. Dengan bikin lo kayak sampah, orang-orang gak akan mau dengerin satupun kata-kata lo”

Jeffrey hanya diam.

Dia sendiri tau kenapa Taeyong memperlakukan dirinya seperti itu selama ini. Alasan kenapa Jeffrey tak sekalipun melawan bukan karena dirinya takut, tapi Taeyong lah yang ketakutan.

Jeffrey paham waktu itu dia telah melakukan pilihan yang salah dan mungkin bagi Taeyong maaf sama sekali nggak ada artinya, maka Jeffrey membiarkan Taeyong melampiaskan semua pada dirinya. Setidaknya itu akan membuat rasa bersalah Jeffrey sedikit berkurang.

“Saya minta kamu sendiri yang jelasin ke Risa tentang masalah kita. Saya gak bisa cerita sama dia karena saya nggak mau penebusan dosa sama ke kamu sia-sia” tukas Jeffrey dengan nada dingin.

Taeyong tertawa keras mendengar ucapan Jeffrey, “Kenapa gue harus jelasin? Biar kalian damai? Justru bikin lo gak punya siapapun sama sekali bikin gue makin puas, Jeff”

“Risa atau siapapun itu namanya, gue udah sering ingatin dia buat gak dekat-dekat sama lo, tapi dia selalu ngebantah. Cewek tolol” Taeyong menjeda ucapannya, pikirannya kembali melayang saat dia beberapa kali mengancam Risa agar menjauhi Jeffrey. Namun, bukannya menuruti kata-kata Taeyong, mereka berdua justru menjadi semakin dekat. Taeyong benci itu.

“cuman anak pungut donatur sekolah aja belagu” Taeyong berdecak miris.

Melihat Jeffrey yang balik menatapnya dingin, Taeyong hanya tersenyum mengejek. “Kenapa? Marah gue bilang dia anak pungut? Emang dia-”

Bugh

“Jaga omongan kamu, Taeyong!”

“Pftt... Dia emang anak pungut-”

Bugh

“Diam!”

Taeyong merasakan sudut bibirnya sobek. Melihat darah yang menggores tanganya ketika ia menyentuh sudut bibirnya membuat Taeyong mengeram kesal. Dengan cepat ia membalik posisi mereka, menindih Jeffrey dibawahnya kemudian balas memberi pukulan bertubi pada Jeffrey.

“Jangan jadi sok jagoan, Jeff. Selamatin diri lo sendiri sebelum ngurusin orang lain!”

Jeffrey mendorong Taeyong dari atasnya, kemudian membawa badan Taeyong hingga terhimpit pada pembatas dinding.

Jeffrey menatap lurus mata Taeyong yang juga menatapnya sengit, “Dia bukan orang lain buat saya, dia berarti!” ucap Jeffrey penuh penekanan.

“Selera lo rendah-”

“Saya bilang diam!” deru nafas Jeffrey memburu. Perasaannya sangat tak karuan menahan emosi saat Taeyong menyebut Risa seperti itu.

Jeffrey menghempas badan Taeyong dengan kasar, kemudian ia berbalik melangkah pergi.

Tepat ketika Jeffrey hendak membuka pintu keluar, ia mendengar suara tawa Taeyong di belakang sana.

Mata Jeffrey membelalak ketika melihat Taeyong yang telah berdiri di ujung.

“KALO LO KESINI, GUE AKAN LONCAT!” ancam Taeyong berhasil menghentikan langkah Jeffrey yang hendak kembali mendekat.

“Taeyong! Jangan gila!” teriak Jeffrey

“Gue emang udah gila! Gue mati juga gak akan ada yang peduli anjing. HAHAHA!”

Jeffrey menggeleng kuat, berusaha memberi tahu jika ucapan Taeyong tadi sama sekali tidak benar. Dengan langkah was was, ia perlahan kembali berjalan mendekati Taeyong yang tengah menunduk menangis.

“Seenggaknya kalo gue mati, gue gak akan pusing ribut sama pikiran jahat gue sendiri” ucapnya, ia kembali mendongak, menatap Jeffrey yang tinggal selangkah lagi. “Selamat tinggal, Jeffrey”

“TAEYONG!!”

Jeffrey hanya bisa menangis kencang ketika dirinya gagal meraih Taeyong. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Jeffrey dengan cepat berbalik hendak turun menolong Taeyong yang sudah berdarah-darah di bawah sana. Namun, langkahnya berhenti saat netra menangkap sosok yang mematung menatap Jeffrey ketakutan sambil menutup mulut dengan kedua tangan.

“Risa, Taeyong-”

“Pembunuh!”

orentciz

red moon

Taeyong mendorong pintu menuju rooftop. Di ujung sana, Jeffrey telah berdiri menatapnya penuh rasa benci.

Melihat itu Taeyong hanya tertawa sinis. Rasanya sudah lama sekali mantan sahabatnya menatap dirinya seperti itu. Selama ini Jeffrey selalu memberikan tatapan sendu dari balik lensa kacamatanya tiap kali pandangan mereka bertemu.

Dengan langkah santai sambil bersiul nyaring, Taeyong berjalan ke arah Jeffrey.

Salah sudut bibirnya terangkat, seringai sinis ia tunjukan saat langkahnya berhenti beberapa centi dari Jeffrey.

“Lo mau ngomong apa, hm?” tanya Taeyong.

“Daridulu sampai sekarang, kamu masih juga nggak mau berubah. Sibuk menyalahkan orang lain dan akhirnya menyakiti mereka. Manipulatif”

Seringai Taeyong lenyap berganti dengan tatapan tajam ketika mendengar ucapan Jeffrey barusan. Ia mengepalkan kuat jarinya saat tau kemana Jeffrey hendak membawa percakapan ini pergi.

“Saya udah bilang, saya gak ada niat sama sekali buat nusuk kamu dari belakang kayak apa yang kamu pikir, tapi-”

bugh

Jeffrey tersungkur ketika pukulan keras dilayangkan Taeyong pada pipinya secara tiba-tiba.

“Kalo lo gak berniat nusuk gue dari belakang terus apaan? Lo bilang lo sahabat gue, anjing!”

“Karena saya sahabat kamu makanya saya tau itu salah” sanggah jeffrey

Taeyong hanya tertawa geli. Entah kenapa ucapan Jeffrey barusan terasa begitu lucu baginya.

sahabat dia bilang

Flashback “Taeyong” panggilan dari Jeffrey membuat Taeyong yang tengah menatap langit dari balkon kamarnya menoleh. Senyum tipis terukir pada wajah laki-laki itu ketika melihat siapa yang datang

“Barang teman-teman kita yang hilang di sekolah, itu kamu, kan?”

Pertanyaan Jeffrey barusan melunturkan senyum Taeyong. “A-apaandah lo jeff? Maksud lo gue nyuri? Gila apa lo?” elaknya sambil tertawa canggung

Jeffrey menahan Taeyong yang hendak pergi, kemudian merogoh sesuatu dari kantong celana yang ia kenakan

Tangannya terangkat, menunjukan sebuah benda tepat di depan wajah Taeyong yang reflek menegang ketika melihatnya

“ini punya kamu! Ada nama kamu!” Jeffrey setengah berteriak.

Taeyong dengan susah payah meneguk ludahnya, sama sekali nggak bisa mengelak lagi. “Jeff, gue-”

“Taeyong, kamu klepto, Ayah kamu harus tau, yong! Kalo kamu gak bisa bilang sama ayah kamu, biar saya yang bantu kamu bilang”

Jeffrey berbalik, namun dengan cepat ditahan oleh Taeyong. Laki-laki itu tiba-tiba berlutut pada Jeffrey kemudian meraih tangan Jeffrey dan menangis.

“Jeff, please jangan. Lo tau ayah gue bisa ngebunuh gue kalo tau gue begini, Jeff” nada bicara Taeyong bergetar. Ia benar-benar menangis merasakan ketakutan akan bayangan yang mungkin ia terima saat sang ayah tau jika anak tunggalnya mengidap gangguan seperti itu.

“Gue janji itu yang terakhir, jeff” Taeyong mengangguk dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap Jeffrey penuh harap.

Jeffrey memejamkan matanya, berusaha menetralkan pikirannya yang terasa sangat memusingkan. Perlahan, ia melepas tangan Taeyong, kemudian berbalik pergi tanpa mengucapkan barang sepatah kata.

Maafin saya Taeyong, ini demi kebaikan kamu. Kleptomania gak bisa sembuh semudah itu. Saya cuman gak mau kamu terjerumus ke dalam masalah yang lebih besar. Flashback end

“Lo tau jeff setelah lo berhasil ngadu ke ayah gue?” Taeyong berjalan ke tepi rooftop. Kemudian menatap langit malam yang hari ini sangat kosong.

Tanpa bulan atau bintang.

“Gue benar-benar nyaris mati, Jeff. Lo pikir gue juga mau punya penyakit ini? Apa waktu itu lo bilang? Psikolog? Lo sendiri tau Ayah gue bakal lebih senang nyebut gue gila karena pergi ke tempat kayak gitu”

“Psikolog bukan tempat orang gila!”

Taeyong tersenyum pahit. “Rasanya bener-bener memalukan saat ada yang tau kalo gue klepto. Gue muak setiap malem mikir apa yang bakal orang bilang kalo tau gue klepto. Dihina? dibully? dijauhin?” dia menggeleng miris.

Taeyong berbalik, menatap balik Jeffrey di belakang sana “Makanya saat tau lo pindah ke sini, gue selangkah lebih maju. Gue gak boleh jadi orang yang diinjak. Gue harus nginjak lo lebih dulu, karena gak ada jaminan lo gak bakal nyebarin aib gue ini. Dengan bikin lo kayak sampah, orang-orang gak akan mau dengerin satupun kata-kata lo”

Jeffrey hanya diam.

Dia sendiri tau kenapa Taeyong memperlakukan dirinya seperti itu selama ini. Alasan kenapa Jeffrey tak sekalipun melawan bukan karena dirinya takut, tapi Taeyong lah yang ketakutan.

Jeffrey paham waktu itu dia telah melakukan pilihan yang salah dan mungkin bagi Taeyong maaf sama sekali nggak ada artinya, maka Jeffrey membiarkan Taeyong melampiaskan semua pada dirinya. Setidaknya itu akan membuat rasa bersalah Jeffrey sedikit berkurang.

“Saya minta kamu sendiri yang jelasin ke Risa tentang masalah kita. Saya gak bisa cerita sama dia karena saya nggak mau penebusan dosa sama ke kamu sia-sia” tukas Jeffrey dengan nada dingin.

Taeyong tertawa keras mendengar ucapan Jeffrey, “Kenapa gue harus jelasin? Biar kalian damai? Justru bikin lo gak punya siapapun sama sekali bikin gue makin puas, Jeff”

“Risa atau siapapun itu namanya, gue udah sering ingatin dia buat gak dekat-dekat sama lo, tapi dia selalu ngebantah. Cewek tolol” Taeyong menjeda ucapannya, pikirannya kembali melayang saat dia beberapa kali mengancam Risa agar menjauhi Jeffrey. Namun, bukannya menuruti kata-kata Taeyong, mereka berdua justru menjadi semakin dekat. Taeyong benci itu.

“cuman anak pungut donatur sekolah aja belagu” Taeyong berdecak miris.

Melihat Jeffrey yang balik menatapnya dingin, Taeyong hanya tersenyum mengejek. “Kenapa? Marah gue bilang dia anak pungut? Emang dia-”

Bugh

“Jaga omongan kamu, Taeyong!”

“Pftt... Dia emang anak pungut-”

Bugh

“Diam!”

Taeyong merasakan sudut bibirnya sobek. Melihat darah yang menggores tanganya ketika ia menyentuh sudut bibirnya membuat Taeyong mengeram kesal. Dengan cepat ia membalik posisi mereka, menindih Jeffrey dibawahnya kemudian balas memberi pukulan bertubi pada Jeffrey.

“Jangan jadi sok jagoan, Jeff. Selamatin diri lo sendiri sebelum ngurusin orang lain!”

Jeffrey mendorong Taeyong dari atasnya, kemudian membawa badan Taeyong hingga terhimpit pada pembatas dinding.

Jeffrey menatap lurus mata Taeyong yang juga menatapnya sengit, “Dia bukan orang lain buat saya, dia berarti!” ucap Jeffrey penuh penekanan.

“Selera lo rendah-”

“Saya bilang diam!” deru nafas Jeffrey memburu. Perasaannya sangat tak karuan menahan emosi saat Taeyong menyebut Risa seperti itu.

Jeffrey menghempas badan Taeyong dengan kasar, kemudian ia berbalik melangkah pergi.

Tepat ketika Jeffrey hendak membuka pintu keluar, ia mendengar suara tawa Taeyong di belakang sana.

Mata Jeffrey membelalak ketika melihat Taeyong yang telah berdiri di ujung.

“KALO LO KESINI, GUE AKAN LONCAT!” ancam Taeyong berhasil menghentikan langkah Jeffrey.

“Taeyong! Jangan gila!”

“Gue emang udah gila! Gue mati juga gak akan ada yang peduli anjing. HAHAHA!”

Jeffrey menggeleng kuat. Dengan langkah was was, ia perlahan kembali berjalan mendekati Taeyong.

“Seenggaknya kalo gue mati, gue gak akan pusing ribut sama pikiran jahat gue sendiri. Selamat tinggal, Jeffrey”

“TAEYONG!!”

Jeffrey hanya bisa menangis kencang ketika dirinya gagal meraih Taeyong. Tepat ketika Jeffrey hendak berbalik turun menolong Taeyong, netranya menangkap sosok yang mematung menatap Jeffrey ketakutan.

“Risa, Taeyong-”

“Pembunuh!”

orentciz

red moon

Taeyong mendorong pintu menuju rooftop. Di ujung sana, Jeffrey telah berdiri menatapnya penuh rasa benci.

Melihat itu Taeyong hanya tertawa sinis. Rasanya sudah lama sekali mantan sahabatnya menatap dirinya seperti itu. Selama ini Jeffrey selalu memberikan tatapan sendu dari balik lensa kacamatanya tiap kali pandangan mereka bertemu.

Dengan langkah santai sambil bersiul nyaring, Taeyong berjalan ke arah Jeffrey.

Salah sudut bibirnya terangkat, seringai sinis ia tunjukan saat langkahnya berhenti beberapa centi dari Jeffrey.

“Lo mau ngomong apa, hm?” tanya Taeyong.

“Daridulu sampai sekarang, kamu masih juga nggak mau berubah. Sibuk menyalahkan orang lain dan akhirnya menyakiti mereka. Manipulatif”

Seringai Taeyong lenyap berganti dengan tatapan tajam ketika mendengar ucapan Jeffrey barusan. Ia mengepalkan kuat jarinya saat tau kemana Jeffrey hendak membawa percakapan ini pergi.

“Saya udah bilang, saya gak ada niat sama sekali buat nusuk kamu dari belakang kayak apa yang kamu pikir, tapi-”

bugh

Jeffrey tersungkur ketika pukulan keras dilayangkan Taeyong pada pipinya secara tiba-tiba.

“Kalo lo gak berniat nusuk gue dari belakang terus apaan? Lo bilang lo sahabat gue, anjing!”

“Karena saya sahabat kamu makanya saya tau itu salah” sanggah jeffrey

Taeyong hanya tertawa geli. Entah kenapa ucapan Jeffrey barusan terasa begitu lucu baginya.

sahabat dia bilang

Flashback “Taeyong” panggilan dari Jeffrey membuat Taeyong yang tengah menatap langit dari balkon kamarnya menoleh. Senyum tipis terukir pada wajah laki-laki itu ketika melihat siapa yang datang

“Barang teman-teman kita yang hilang di sekolah, itu kamu, kan?”

Pertanyaan Jeffrey barusan melunturkan senyum Taeyong. “A-apaandah lo jeff? Maksud lo gue nyuri? Gila apa lo?” elaknya sambil tertawa canggung

Jeffrey menahan Taeyong yang hendak pergi, kemudian merogoh sesuatu dari kantong celana yang ia kenakan

Tangannya terangkat, menunjukan sebuah benda tepat di depan wajah Taeyong yang reflek menegang ketika melihatnya

“ini punya kamu! Ada nama kamu!” Jeffrey setengah berteriak.

Taeyong dengan susah payah meneguk ludahnya, sama sekali nggak bisa mengelak lagi. “Jeff, gue-”

“Taeyong, kamu klepto, Ayah kamu harus tau, yong! Kalo kamu gak bisa bilang sama ayah kamu, biar saya yang bantu kamu bilang”

Jeffrey berbalik, namun dengan cepat ditahan oleh Taeyong. Laki-laki itu tiba-tiba berlutut pada Jeffrey kemudian meraih tangan Jeffrey dan menangis.

“Jeff, please jangan. Lo tau ayah gue bisa ngebunuh gue kalo tau gue begini, Jeff” nada bicara Taeyong bergetar. Ia benar-benar menangis merasakan ketakutan akan bayangan yang mungkin ia terima saat sang ayah tau jika anak tunggalnya mengidap gangguan seperti itu.

“Gue janji itu yang terakhir, jeff” Taeyong mengangguk dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap Jeffrey penuh harap.

Jeffrey memejamkan matanya, berusaha menetralkan pikirannya yang terasa sangat memusingkan. Perlahan, ia melepas tangan Taeyong, kemudian berbalik pergi tanpa mengucapkan barang sepatah kata.

Maafin saya Taeyong, ini demi kebaikan kamu. Kleptomania gak bisa sembuh semudah itu. Saya cuman gak mau kamu terjerumus ke dalam masalah yang lebih besar. Flashback end

“Lo tau jeff setelah lo berhasil ngadu ke ayah gue?” Taeyong berjalan ke tepi rooftop. Kemudian menatap langit malam yang hari ini sangat kosong.

Tanpa bulan atau bintang.

“Gue benar-benar nyaris mati, Jeff. Lo pikir gue juga mau punya penyakit ini? Apa waktu itu lo bilang? Psikolog? Lo sendiri tau Ayah gue bakal lebih senang nyebut gue gila karena pergi ke tempat kayak gitu”

“Psikolog bukan tempat orang gila!”

Taeyong tersenyum pahit. “Rasanya bener-bener memalukan saat ada yang tau kalo gue klepto. Gue muak setiap malem mikir apa yang bakal orang bilang kalo tau gue klepto. Dihina? dibully? dijauhin?” dia menggeleng miris.

Taeyong berbalik, menatap balik Jeffrey di belakang sana “Makanya saat tau lo pindah ke sini, gue selangkah lebih maju. Gue gak boleh jadi orang yang diinjak. Gue harus nginjak lo lebih dulu, karena gak ada jaminan lo gak bakal nyebarin aib gue ini. Dengan bikin lo kayak sampah, orang-orang gak akan mau dengerin satupun kata-kata lo”

Jeffrey hanya diam.

Dia sendiri tau kenapa Taeyong memperlakukan dirinya seperti itu selama ini. Alasan kenapa Jeffrey tak sekalipun melawan bukan karena dirinya takut, tapi Taeyong lah yang ketakutan.

Jeffrey paham waktu itu dia telah melakukan pilihan yang salah dan mungkin bagi Taeyong maaf sama sekali nggak ada artinya, maka Jeffrey membiarkan Taeyong melampiaskan semua pada dirinya. Setidaknya itu akan membuat rasa bersalah Jeffrey sedikit berkurang.

“Saya minta kamu sendiri yang jelasin ke Risa tentang masalah kita. Saya gak bisa cerita sama dia karena saya nggak mau penebusan dosa sama ke kamu sia-sia” tukas Jeffrey dengan nada dingin.

Taeyong tertawa keras mendengar ucapan Jeffrey, “Kenapa gue harus jelasin? Biar kalian damai? Justru bikin lo gak punya siapapun sama sekali bikin gue makin puas, Jeff”

“Risa atau siapapun itu namanya, gue udah sering ingatin dia buat gak dekat-dekat sama lo, tapi dia selalu ngebantah. Cewek tolol” Taeyong menjeda ucapannya, pikirannya kembali melayang saat dia beberapa kali mengancam Risa agar menjauhi Jeffrey namun, bukannya menuruti kata-kata Taeyong, mereka berdua justru menjadi semakin dekat. Taeyong benci itu.

“cuman anak pungut donatur sekolah aja belagu” Taeyong berdecak miris.

Melihat Jeffrey yang balik menatapnya dingin, Taeyong hanya tersenyum mengejek. “Kenapa? Marah gue bilang dia anak pungut? Emang dia-”

Bugh

“Jaga omongan kamu, Taeyong!”

“Pftt... Dia emang anak pungut-”

Bugh

“Diam!”

Taeyong merasakan sudut bibirnya sobek. Melihat darah yang menggores tanganya ketika ia menyentuh sudut bibirnya membuat Taeyong mengeram kesal. Dengan cepat ia membalik posisi mereka, menindih Jeffrey dibawahnya kemudian balas memberi pukulan bertubi pada Jeffrey.

“Jangan jadi sok jagoan, Jeff. Selamatin diri lo sendiri sebelum ngurusin orang lain!”

Jeffrey mendorong Taeyong dari atasnya, kemudian mendorong badan Taeyong hingga terhimpit pada pembatas dinding.

Jeffrey menatap lurus mata Taeyong yang juga menatapnya sengit, “Dia bukan orang lain buat saya, dia berarti!” ucap Jeffrey penuh penekanan.

“Selera lo rendah-”

“Saya bilang diam!” deru nafas Jeffrey memburu. Perasaannya sangat tak karuan menahan emosi saat Taeyong menyebut Risa seperti itu.

Jeffrey menghempas badan Taeyong dengan kasar, kemudian ia berbalik melangkah pergi.

Tepat ketika Jeffrey hendak membuka pintu keluar, ia mendengar suara tawa Taeyong di belakang sana.

Mata Jeffrey membelalak ketika melihat Taeyong yang telah berdiri di ujung.

“KALO LO KESINI, GUE AKAN LONCAT!” ancam Taeyong berhasil menghentikan langkah Jeffrey.

“Taeyong! Jangan gila!”

“Gue emang udah gila! Gue mati juga gak akan ada yang peduli anjing. HAHAHA!”

Jeffrey menggeleng kuat. Dengan langkah was was, ia perlahan kembali berjalan mendekati Taeyong.

“Seenggaknya kalo gue mati, gue gak akan pusing ribut sama pikiran jahat gue sendiri. Selamat tinggal, Jeffrey”

“TAEYONG!!”

Jeffrey hanya bisa menangis kencang ketika dirinya gagal meraih Taeyong. Tepat ketika Jeffrey hendak berbalik turun menolong Taeyong, netranya menangkap sosok yang mematung menatap Jeffrey ketakutan.

“Risa, Taeyong-”

“Pembunuh!”

orentciz

red moon

Taeyong mendorong pintu menuju rooftop. Di ujung sana, Jeffrey telah berdiri menatapnya penuh rasa benci.

Melihat itu Taeyong hanya tertawa sinis. Rasanya sudah lama sekali mantan sahabatnya menatap dirinya seperti itu. Selama ini Jeffrey selalu memberikan tatapan sendu dari balik lensa kacamatanya tiap kali pandangan mereka bertemu.

Dengan langkah santai sambil bersiul nyaring, Taeyong berjalan ke arah Jeffrey.

Salah sudut bibirnya terangkat, seringai sinis ia tunjukan saat langkahnya berhenti beberapa centi dari Jeffrey.

“Lo mau ngomong apa, hm?” tanya Taeyong.

“Daridulu sampai sekarang, kamu masih juga nggak mau berubah. Sibuk menyalahkan orang lain dan akhirnya menyakiti mereka. Manipulatif”

Seringai Taeyong lenyap berganti dengan tatapan tajam ketika mendengar ucapan Jeffrey barusan. Ia mengepalkan kuat jarinya saat tau kemana Jeffrey hendak membawa percakapan ini pergi.

“Saya udah bilang, saya gak ada niat sama sekali buat nusuk kamu dari belakang kayak apa yang kamu pikir, tapi-”

bugh

Jeffrey tersungkur ketika pukulan keras dilayangkan Taeyong pada pipinya secara tiba-tiba.

“Kalo lo gak berniat nusuk gue dari belakang terus apaan? Lo bilang lo sahabat gue, anjing!”

“Karena saya sahabat kamu makanya saya tau itu salah” sanggah jeffrey

Taeyong hanya tertawa geli. Entah kenapa ucapan Jeffrey barusan terasa begitu lucu baginya.

sahabat dia bilang

Flashback “Taeyong” panggilan dari Jeffrey membuat Taeyong yang tengah menatap langit dari balkon kamarnya menoleh. Senyum tipis terukir pada wajah laki-laki itu ketika melihat siapa yang datang

“Barang teman-teman kita yang hilang di sekolah, itu kamu, kan?”

Pertanyaan Jeffrey barusan melunturkan senyum Taeyong. “A-apaandah lo jeff? Maksud lo gue nyuri? Gila apa lo?” elaknya sambil tertawa canggung

Jeffrey menahan Taeyong yang hendak pergi, kemudian merogoh sesuatu dari kantong celana yang ia kenakan

Tangannya terangkat, menunjukan sebuah benda tepat di depan wajah Taeyong yang reflek menegang ketika melihatnya

“ini punya kamu! Ada nama kamu!” Jeffrey setengah berteriak.

Taeyong dengan susah payah meneguk ludahnya, sama sekali nggak bisa mengelak lagi. “Jeff, gue-”

“Taeyong, kamu klepto, Ayah kamu harus tau, yong! Kalo kamu gak bisa bilang sama ayah kamu, biar saya yang bantu kamu bilang”

Jeffrey berbalik, namun dengan cepat ditahan oleh Taeyong. Laki-laki itu tiba-tiba berlutut pada Jeffrey kemudian meraih tangan Jeffrey dan menangis.

“Jeff, please jangan. Lo tau ayah gue bisa ngebunuh gue kalo tau gue begini, Jeff” nada bicara Taeyong bergetar. Ia benar-benar menangis merasakan ketakutan akan bayangan yang mungkin ia terima saat sang ayah tau jika anak tunggalnya mengidap gangguan seperti itu.

“Gue janji itu yang terakhir, jeff” Taeyong mengangguk dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap Jeffrey penuh harap.

Jeffrey memejamkan matanya, berusaha menetralkan pikirannya yang terasa sangat memusingkan. Perlahan, ia melepas tangan Taeyong, kemudian berbalik pergi tanpa mengucapkan barang sepatah kata.

Maafin saya Taeyong, ini demi kebaikan kamu. Kleptomania gak bisa sembuh semudah itu. Saya cuman gak mau kamu terjerumus ke dalam masalah yang lebih besar. Flashback end

“Lo tau jeff setelah lo berhasil ngadu ke ayah gue?” Taeyong berjalan ke tepi rooftop. Kemudian menatap langit malam yang hari ini sangat kosong.

Tanpa bulan atau bintang.

“Gue benar-benar nyaris mati, Jeff. Lo pikir gue juga mau punya penyakit ini? Apa waktu itu lo bilang? Psikolog? Lo sendiri tau Ayah gue bakal lebih senang nyebut gue gila karena pergi ke tempat kayak gitu”

“Psikolog bukan tempat orang gila!”

Taeyong tersenyum pahit. “Rasanya bener-bener memalukan saat ada yang tau kalo gue klepto. Gue muak setiap malem mikir apa yang bakal orang bilang kalo tau gue klepto. Dihina? dibully? dijauhin?” dia menggeleng miris.

Taeyong berbalik, menatap balik Jeffrey di belakang sana “Makanya saat tau lo pindah ke sini, gue selangkah lebih maju. Gue gak boleh jadi orang yang diinjak. Gue harus nginjak lo lebih dulu, karena gak ada jaminan lo gak bakal nyebarin aib gue ini. Dengan bikin lo kayak sampah, orang-orang gak akan mau dengerin satupun kata-kata lo”

Jeffrey hanya diam.

Dia sendiri tau kenapa Taeyong memperlakukan dirinya seperti itu selama ini. Alasan kenapa Jeffrey tak sekalipun melawan bukan karena dirinya takut, tapi Taeyong lah yang ketakutan.

Jeffrey paham waktu itu dia telah melakukan pilihan yang salah dan mungkin bagi Taeyong maaf sama sekali nggak ada artinya, maka Jeffrey membiarkan Taeyong melampiaskan semua pada dirinya. Setidaknya itu akan membuat rasa bersalah Jeffrey sedikit berkurang.

“Saya minta kamu sendiri yang jelasin ke Risa tentang masalah dia. Saya gak bisa cerita sama dia karena saya nggak mau penebusan dosa sama ke kamu sia-sia” tukas Jeffrey dengan nada dingin.

Taeyong tertawa keras mendengar ucapan Jeffrey, “Kenapa gue harus jelasin? Biar kalian damai? Justru bikin lo gak punya siapapun sama sekali bikin gue makin puas, Jeff”

“Risa atau siapapun itu namanya, gue udah sering ingatin dia buat gak dekat-dekat sama lo, tapi dia selalu ngebantah. Cewek tolol” Taeyong menjeda ucapannya, pikirannya kembali melayang saat dia beberapa kali mengancam Risa agar menjauhi Jeffrey namun, bukannya menuruti kata-kata Taeyong, mereka berdua justru menjadi semakin dekat. Taeyong benci itu.

“cuman anak pungut donatur sekolah aja belagu” Taeyong berdecak miris.

Melihat Jeffrey yang balik menatapnya dingin, Taeyong hanya tersenyum mengejek. “Kenapa? Marah gue bilang dia anak pungut? Emang dia-”

Bugh

“Jaga omongan kamu, Taeyong!”

“Pftt... Dia emang anak pungut-”

Bugh

“Diam!”

Taeyong merasakan sudut bibirnya sobek. Melihat darah yang menggores tanganya ketika ia menyentuh sudut bibirnya membuat Taeyong mengeram kesal. Dengan cepat ia membalik posisi mereka, menindih Jeffrey dibawahnya kemudian balas memberi pukulan bertubi pada Jeffrey.

“Jangan jadi sok jagoan, Jeff. Selamatin diri lo sendiri sebelum ngurusin orang lain!”

Jeffrey mendorong Taeyong dari atasnya, kemudian mendorong badan Taeyong hingga terhimpit pada pembatas dinding.

Jeffrey menatap lurus mata Taeyong yang juga menatapnya sengit, “Dia bukan orang lain buat saya, dia berarti!” ucap Jeffrey penuh penekanan.

“Selera lo rendah-”

“Saya bilang diam!” deru nafas Jeffrey memburu. Perasaannya sangat tak karuan menahan emosi saat Taeyong menyebut Risa seperti itu.

Jeffrey menghempas badan Taeyong dengan kasar, kemudian ia berbalik melangkah pergi.

Tepat ketika Jeffrey hendak membuka pintu keluar, ia mendengar suara tawa Taeyong di belakang sana.

Mata Jeffrey membelalak ketika melihat Taeyong yang telah berdiri di ujung.

“KALO LO KESINI, GUE AKAN LONCAT!” ancam Taeyong berhasil menghentikan langkah Jeffrey.

“Taeyong! Jangan gila!”

“Gue emang udah gila! Gue mati juga gak akan ada yang peduli anjing. HAHAHA!”

Jeffrey menggeleng kuat. Dengan langkah was was, ia perlahan kembali berjalan mendekati Taeyong.

“Seenggaknya kalo gue mati, gue gak akan pusing ribut sama pikiran jahat gue sendiri. Selamat tinggal, Jeffrey”

“TAEYONG!!”

Jeffrey hanya bisa menangis kencang ketika dirinya gagal meraih Taeyong. Tepat ketika Jeffrey hendak berbalik turun menolong Taeyong, netranya menangkap sosok yang mematung menatap Jeffrey ketakutan.

“Risa, Taeyong-”

“Pembunuh!”

orentciz

red moon

Taeyong mendorong pintu menuju rooftop. Di ujung sana, Jeffrey telah berdiri menatapnya penuh rasa benci.

Melihat itu Taeyong hanya tertawa sinis. Rasanya sudah lama sekali mantan sahabatnya menatap dirinya seperti itu. Selama ini Jeffrey selalu memberikan tatapan sendu dari balik lensa kacamatanya tiap kali pandangan mereka bertemu.

Dengan langkah santai sambil bersiul nyaring, Taeyong berjalan ke arah Jeffrey.

Salah sudut bibirnya terangkat, seringai sinis ia tunjukan saat langkahnya berhenti beberapa centi dari Jeffrey.

“Lo mau ngomong apa, hm?” tanya Taeyong.

“Daridulu sampai sekarang, kamu masih juga nggak mau berubah. Sibuk menyalahkan orang lain dan akhirnya menyakiti mereka. Manipulatif”

Seringai Taeyong lenyap berganti dengan tatapan tajam ketika mendengar ucapan Jeffrey barusan. Ia mengepalkan kuat jarinya saat tau kemana Jeffrey hendak membawa percakapan ini pergi.

“Saya udah bilang, saya gak ada niat sama sekali buat nusuk kamu dari belakang kayak apa yang kamu pikir, tapi-”

bugh

Jeffrey tersungkur ketika pukulan keras dilayangkan Taeyong pada pipinya secara tiba-tiba.

“Kalo lo gak berniat nusuk gue dari belakang terus apaan? Lo bilang lo sahabat gue, anjing!”

“Karena saya sahabat kamu makanya saya tau itu salah” sanggah jeffrey

Taeyong hanya tertawa geli. Entah kenapa ucapan Jeffrey barusan terasa begitu lucu baginya.

sahabat dia bilang

Flashback “Taeyong” panggilan dari Jeffrey membuat Taeyong yang tengah menatap langit dari balkon kamarnya menoleh. Senyum tipis terukir pada wajah laki-laki itu ketika melihat siapa yang datang

“Barang teman-teman kita yang hilang di sekolah, itu kamu, kan?”

Pertanyaan Jeffrey barusan melunturkan senyum Taeyong. “A-apaandah lo jeff? Maksud lo gue nyuri? Gila apa lo?” elaknya sambil tertawa canggung

Jeffrey menahan Taeyong yang hendak pergi, kemudian merogoh sesuatu dari kantong celana yang ia kenakan

Tangannya terangkat, menunjukan sebuah benda tepat di depan wajah Taeyong yang reflek menegang ketika melihatnya

“ini punya kamu! Ada nama kamu!” Jeffrey setengah berteriak.

Taeyong dengan susah payah meneguk ludahnya, sama sekali nggak bisa mengelak lagi. “Jeff, gue-”

“Taeyong, kamu klepto, Ayah kamu harus tau, yong! Kalo kamu gak bisa bilang sama ayah kamu, biar saya yang bantu kamu bilang”

Jeffrey berbalik, namun dengan cepat ditahan oleh Taeyong. Laki-laki itu tiba-tiba berlutut pada Jeffrey kemudian meraih tangan Jeffrey dan menangis.

“Jeff, please jangan. Lo tau ayah gue bisa ngebunuh gue kalo tau gue begini, Jeff” nada bicara Taeyong bergetar. Ia benar-benar menangis merasakan ketakutan akan bayangan yang mungkin ia terima saat sang ayah tau jika anak tunggalnya mengidap gangguan seperti itu.

“Gue janji itu yang terakhir, jeff” Taeyong mengangguk dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap Jeffrey penuh harap.

Jeffrey memejamkan matanya, berusaha menetralkan pikirannya yang terasa sangat memusingkan. Perlahan, ia melepas tangan Taeyong, kemudian berbalik pergi tanpa mengucapkan barang sepatah kata.

Maafin saya Taeyong, ini demi kebaikan kamu. Kleptomania gak bisa sembuh semudah itu. Saya cuman gak mau kamu terjerumus ke dalam masalah yang lebih besar. Flashback end

“Lo tau jeff setelah lo berhasil ngadu ke ayah gue?” Taeyong berjalan ke tepi rooftop. Kemudian menatap langit malam yang hari ini sangat kosong.

Tanpa bulan atau bintang.

“Gue benar-benar nyaris mati, Jeff. Lo pikir gue juga mau punya penyakit ini? Apa waktu itu lo bilang? Psikolog? Lo sendiri tau Ayah gue bakal lebih senang nyebut gue gila karena pergi ke tempat kayak gitu”

“Psikolog bukan tempat orang gila!”

Taeyong tersenyum pahit. “Rasanya bener-bener memalukan saat ada yang tau kalo gue klepto. Gue muak setiap malem mikir apa yang bakal orang bilang kalo tau gue klepto. Dihina? dibully? dijauhin?” dia menggeleng miris.

Taeyong berbalik, menatap balik Jeffrey di belakang sana “Makanya saat tau lo pindah ke sini, gue selangkah lebih maju. Gue gak boleh jadi orang yang diinjak. Gue harus nginjak lo lebih dulu, karena gak ada jaminan lo gak bakal nyebarin aib gue ini. Dengan bikin lo kayak sampah, orang-orang gak akan mau dengerin satupun kata-kata lo”

Jeffrey hanya diam.

Dia sendiri tau kenapa Taeyong memperlakukan dirinya seperti itu selama ini. Alasan kenapa Jeffrey tak sekalipun melawan bukan karena dirinya takut, tapi Taeyong lah yang ketakutan.

Jeffrey paham waktu itu dia telah melakukan pilihan yang salah dan mungkin bagi Taeyong maaf sama sekali nggak ada artinya, maka Jeffrey membiarkan Taeyong melampiaskan semua pada dirinya. Setidaknya itu akan membuat rasa bersalah Jeffrey sedikit berkurang.

“Saya minta kamu sendiri yang jelasin ke Risa tentang masalah dia. Saya gak bisa cerita sama dia karena saya nggak mau penebusan dosa sama ke kamu sia-sia” tukas Jeffrey dengan nada dingin.

Taeyong tertawa keras mendengar ucapan Jeffrey, “Kenapa gue harus jelasin? Biar kalian damai? Justru bikin lo gak punya siapapun sama sekali bikin gue makin puas, Jeff”

“Risa atau siapapun itu namanya, gue udah sering ingatin dia buat gak dekat-dekat sama lo, tapi dia selalu ngebantah. Cewek tolol” Taeyong menjeda ucapannya, pikirannya kembali melayang saat dia beberapa kali mengancam Risa agar menjauhi Jeffrey namun, bukannya menuruti kata-kata Taeyong, mereka berdua justru menjadi semakin dekat. Taeyong benci itu.

“cuman anak pungut donatur sekolah aja belagu” Taeyong berdecak miris.

Melihat Jeffrey yang balik menatapnya dingin, Taeyong hanya tersenyum mengejek. “Kenapa? Marah gue bilang dia anak pungut? Emang dia-”

Bugh

“Jaga omongan kamu, Taeyong!”

“Pftt... Dia emang anak pungut-”

Bugh

“Diam!”

Taeyong merasakan sudut bibirnya sobek. Melihat darah yang menggores tanganya ketika ia menyentuh sudut bibirnya membuat Taeyong mengeram kesal. Dengan cepat ia membalik posisi mereka, menindih Jeffrey dibawahnya kemudian balas memberi pukulan bertubi pada Jeffrey.

“Jangan jadi sok jagoan, Jeff. Selamatin diri lo sendiri sebelum ngurusin orang lain!”

Jeffrey mendorong Taeyong dari atasnya, kemudian mendorong badan Taeyong hingga terhimpit pada pembatas dinding.

Jeffrey menatap lurus mata Taeyong yang juga menatapnya sengit, “Dia bukan orang lain buat saya, dia berarti!” ucap Jeffrey penuh penekanan.

“Selera lo rendah-”

“Saya bilang diam!” deru nafas Jeffrey memburu. Perasaannya sangat tak karuan menahan emosi saat Taeyong menyebut Risa seperti itu.

Jeffrey menghempas badan Taeyong dengan kasar, kemudian ia berbalik melangkah pergi.

Tepat ketika Jeffrey hendak membuka pintu keluar, ia mendengar suara tawa Taeyong di belakang sana.

Mata Jeffrey membelalak ketika melihat Taeyong yang telah berdiri di ujung.

“KALO LO KESINI, GUE AKAN LONCAT!” ancam Taeyong berhasil menghentikan langkah Jeffrey.

“Taeyong! Jangan gila!”

“Gue emang udah gila! Gue mati juga gak akan ada yang peduli anjing. HAHAHA!”

Jeffrey menggeleng kuat. Dengan langkah was was, ia perlahan kembali berjalan mendekati Taeyong.

“Seenggaknya kalo gue mati, gue gak akan pusing ribut sama pikiran jahat gue sendiri. Selamat tinggal, Jeffrey”

“TAEYONG!!”

Jeffrey hanya bisa menangis kencang ketika dirinya gagal meraih Taeyong. Tepat ketika Jeffrey hendak berbalik turun menolong Taeyong, netranya menangkap sosok yang mematung menatap Jeffrey ketakutan.

“Risa, Taeyong-”

“Pembunuh!”

orentciz

red moon

Taeyong mendorong pintu menuju rooftop. Di ujung sana, Jeffrey telah berdiri menatapnya penuh rasa benci.

Melihat itu Taeyong hanya tertawa sinis. Rasanya sudah lama sekali mantan sahabatnya menatap dirinya seperti itu. Selama ini Jeffrey selalu memberikan tatapan sendu dari balik lensa kacamatanya tiap kali pandangan mereka bertemu.

Dengan langkah santai sambil bersiul nyaring, Taeyong berjalan ke arah Jeffrey.

Salah sudut bibirnya terangkat, seringai sinis ia tunjukan saat langkahnya berhenti beberapa centi dari Jeffrey.

“Lo mau ngomong apa, hm?” tanya Taeyong.

“Daridulu sampai sekarang, kamu masih juga nggak mau berubah. Sibuk menyalahkan orang lain dan akhirnya menyakiti mereka. Manipulatif”

Seringai Taeyong lenyap berganti dengan tatapan tajam ketika mendengar ucapan Jeffrey barusan. Ia mengepalkan kuat jarinya saat tau kemana Jeffrey hendak membawa percakapan ini pergi.

“Saya udah bilang, saya gak ada niat sama sekali buat nusuk kamu dari belakang kayak apa yang kamu pikir, tapi-”

bugh

Jeffrey tersungkur ketika pukulan keras dilayangkan Taeyong pada pipinya secara tiba-tiba.

“Kalo lo gak berniat nusuk gue dari belakang terus apaan? Lo bilang lo sahabat gue, anjing!”

“Karena saya sahabat kamu makanya saya tau itu salah” sanggah jeffrey

Taeyong hanya tertawa geli. Entah kenapa ucapan Jeffrey barusan terasa begitu lucu baginya.

sahabat dia bilang

Flashback “Taeyong” panggilan dari Jeffrey membuat Taeyong yang tengah menatap langit dari balkon kamarnya menoleh. Senyum tipis terukir pada wajah laki-laki itu ketika melihat siapa yang datang

“Barang teman-teman kita yang hilang di sekolah, itu kamu, kan?”

Pertanyaan Jeffrey barusan melunturkan senyum Taeyong. “A-apaandah lo jeff? Maksud lo gue nyuri? Gila apa lo?” elaknya sambil tertawa canggung

Jeffrey menahan Taeyong yang hendak pergi, kemudian merogoh sesuatu dari kantong celana yang ia kenakan

Tangannya terangkat, menunjukan sebuah benda tepat di depan wajah Taeyong yang reflek menegang ketika melihatnya

“ini punya kamu! Ada nama kamu!” Jeffrey setengah berteriak.

![] (https://imgur.com/undefined.jpg)

Taeyong dengan susah payah meneguk ludahnya, sama sekali nggak bisa mengelak lagi. “Jeff, gue-”

“Taeyong, kamu klepto, Ayah kamu harus tau, yong! Kalo kamu gak bisa bilang sama ayah kamu, biar saya yang bantu kamu bilang”

Jeffrey berbalik, namun dengan cepat ditahan oleh Taeyong. Laki-laki itu tiba-tiba berlutut pada Jeffrey kemudian meraih tangan Jeffrey dan menangis.

“Jeff, please jangan. Lo tau ayah gue bisa ngebunuh gue kalo tau gue begini, Jeff” nada bicara Taeyong bergetar. Ia benar-benar menangis merasakan ketakutan akan bayangan yang mungkin ia terima saat sang ayah tau jika anak tunggalnya mengidap gangguan seperti itu.

“Gue janji itu yang terakhir, jeff” Taeyong mengangguk dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap Jeffrey penuh harap.

Jeffrey memejamkan matanya, berusaha menetralkan pikirannya yang terasa sangat memusingkan. Perlahan, ia melepas tangan Taeyong, kemudian berbalik pergi tanpa mengucapkan barang sepatah kata.

Maafin saya Taeyong, ini demi kebaikan kamu. Kleptomania gak bisa sembuh semudah itu. Saya cuman gak mau kamu terjerumus ke dalam masalah yang lebih besar. Flashback end

“Lo tau jeff setelah lo berhasil ngadu ke ayah gue?” Taeyong berjalan ke tepi rooftop. Kemudian menatap langit malam yang hari ini sangat kosong.

Tanpa bulan atau bintang.

“Gue benar-benar nyaris mati, Jeff. Lo pikir gue juga mau punya penyakit ini? Apa waktu itu lo bilang? Psikolog? Lo sendiri tau Ayah gue bakal lebih senang nyebut gue gila karena pergi ke tempat kayak gitu”

“Psikolog bukan tempat orang gila!”

Taeyong tersenyum pahit. “Rasanya bener-bener memalukan saat ada yang tau kalo gue klepto. Gue muak setiap malem mikir apa yang bakal orang bilang kalo tau gue klepto. Dihina? dibully? dijauhin?” dia menggeleng miris.

Taeyong berbalik, menatap balik Jeffrey di belakang sana “Makanya saat tau lo pindah ke sini, gue selangkah lebih maju. Gue gak boleh jadi orang yang diinjak. Gue harus nginjak lo lebih dulu, karena gak ada jaminan lo gak bakal nyebarin aib gue ini. Dengan bikin lo kayak sampah, orang-orang gak akan mau dengerin satupun kata-kata lo”

Jeffrey hanya diam.

Dia sendiri tau kenapa Taeyong memperlakukan dirinya seperti itu selama ini. Alasan kenapa Jeffrey tak sekalipun melawan bukan karena dirinya takut, tapi Taeyong lah yang ketakutan.

Jeffrey paham waktu itu dia telah melakukan pilihan yang salah dan mungkin bagi Taeyong maaf sama sekali nggak ada artinya, maka Jeffrey membiarkan Taeyong melampiaskan semua pada dirinya. Setidaknya itu akan membuat rasa bersalah Jeffrey sedikit berkurang.

“Saya minta kamu sendiri yang jelasin ke Risa tentang masalah dia. Saya gak bisa cerita sama dia karena saya nggak mau penebusan dosa sama ke kamu sia-sia” tukas Jeffrey dengan nada dingin.

Taeyong tertawa keras mendengar ucapan Jeffrey, “Kenapa gue harus jelasin? Biar kalian damai? Justru bikin lo gak punya siapapun sama sekali bikin gue makin puas, Jeff”

“Risa atau siapapun itu namanya, gue udah sering ingatin dia buat gak dekat-dekat sama lo, tapi dia selalu ngebantah. Cewek tolol” Taeyong menjeda ucapannya, pikirannya kembali melayang saat dia beberapa kali mengancam Risa agar menjauhi Jeffrey namun, bukannya menuruti kata-kata Taeyong, mereka berdua justru menjadi semakin dekat. Taeyong benci itu.

“cuman anak pungut donatur sekolah aja belagu” Taeyong berdecak miris.

Melihat Jeffrey yang balik menatapnya dingin, Taeyong hanya tersenyum mengejek. “Kenapa? Marah gue bilang dia anak pungut? Emang dia-”

Bugh

“Jaga omongan kamu, Taeyong!”

“Pftt... Dia emang anak pungut-”

Bugh

“Diam!”

Taeyong merasakan sudut bibirnya sobek. Melihat darah yang menggores tanganya ketika ia menyentuh sudut bibirnya membuat Taeyong mengeram kesal. Dengan cepat ia membalik posisi mereka, menindih Jeffrey dibawahnya kemudian balas memberi pukulan bertubi pada Jeffrey.

“Jangan jadi sok jagoan, Jeff. Selamatin diri lo sendiri sebelum ngurusin orang lain!”

Jeffrey mendorong Taeyong dari atasnya, kemudian mendorong badan Taeyong hingga terhimpit pada pembatas dinding.

Jeffrey menatap lurus mata Taeyong yang juga menatapnya sengit, “Dia bukan orang lain buat saya, dia berarti!” ucap Jeffrey penuh penekanan.

“Selera lo rendah-”

“Saya bilang diam!” deru nafas Jeffrey memburu. Perasaannya sangat tak karuan menahan emosi saat Taeyong menyebut Risa seperti itu.

Jeffrey menghempas badan Taeyong dengan kasar, kemudian ia berbalik melangkah pergi.

Tepat ketika Jeffrey hendak membuka pintu keluar, ia mendengar suara tawa Taeyong di belakang sana.

Mata Jeffrey membelalak ketika melihat Taeyong yang telah berdiri di ujung.

“KALO LO KESINI, GUE AKAN LONCAT!” ancam Taeyong berhasil menghentikan langkah Jeffrey.

“Taeyong! Jangan gila!”

“Gue emang udah gila! Gue mati juga gak akan ada yang peduli anjing. HAHAHA!”

Jeffrey menggeleng kuat. Dengan langkah was was, ia perlahan kembali berjalan mendekati Taeyong.

“Seenggaknya kalo gue mati, gue gak akan pusing ribut sama pikiran jahat gue sendiri. Selamat tinggal, Jeffrey”

“TAEYONG!!”

Jeffrey hanya bisa menangis kencang ketika dirinya gagal meraih Taeyong. Tepat ketika Jeffrey hendak berbalik turun menolong Taeyong, netranya menangkap sosok yang mematung menatap Jeffrey ketakutan.

“Risa, Taeyong-”

“Pembunuh!”

orentciz

red moon

Taeyong mendorong pintu menuju rooftop. Di ujung sana, Jeffrey telah berdiri menatapnya penuh rasa benci.

Melihat itu Taeyong hanya tertawa sinis. Rasanya sudah lama sekali mantan sahabatnya menatap dirinya seperti itu. Selama ini Jeffrey selalu memberikan tatapan sendu dari balik lensa kacamatanya tiap kali pandangan mereka bertemu.

Dengan langkah santai sambil bersiul nyaring, Taeyong berjalan ke arah Jeffrey.

Salah sudut bibirnya terangkat, seringai sinis ia tunjukan saat langkahnya berhenti beberapa centi dari Jeffrey.

“Lo mau ngomong apa, hm?” tanya Taeyong.

“Daridulu sampai sekarang, kamu masih juga nggak mau berubah. Sibuk menyalahkan orang lain dan akhirnya menyakiti mereka. Manipulatif”

Seringai Taeyong lenyap berganti dengan tatapan tajam ketika mendengar ucapan Jeffrey barusan. Ia mengepalkan kuat jarinya saat tau kemana Jeffrey hendak membawa percakapan ini pergi.

“Saya udah bilang, saya gak ada niat sama sekali buat nusuk kamu dari belakang kayak apa yang kamu pikir, tapi-”

bugh

Jeffrey tersungkur ketika pukulan keras dilayangkan Taeyong pada pipinya secara tiba-tiba.

“Kalo lo gak berniat nusuk gue dari belakang terus apaan? Lo bilang lo sahabat gue, anjing!”

“Karena saya sahabat kamu makanya saya tau itu salah” sanggah jeffrey

Taeyong hanya tertawa geli. Entah kenapa ucapan Jeffrey barusan terasa begitu lucu baginya.

sahabat dia bilang

Flashback “Taeyong” panggilan dari Jeffrey membuat Taeyong yang tengah menatap langit dari balkon kamarnya menoleh. Senyum tipis terukir pada wajah laki-laki itu ketika melihat siapa yang datang

“Barang teman-teman kita yang hilang di sekolah, itu kamu, kan?”

Pertanyaan Jeffrey barusan melunturkan senyum Taeyong. “A-apaandah lo jeff? Maksud lo gue nyuri? Gila apa lo?” elaknya sambil tertawa canggung

Jeffrey menahan Taeyong yang hendak pergi, kemudian merogoh sesuatu dari kantong celana yang ia kenakan

Tangannya terangkat, menunjukan sebuah benda tepat di depan wajah Taeyong yang reflek menegang ketika melihatnya

“ini punya kamu! Ada nama kamu!” Jeffrey setengah berteriak.

Taeyong dengan susah payah meneguk ludahnya, dia sama sekali nggak bisa mengelak lagi. “Jeff, gue-”

“Taeyong, kamu klepto, Ayah kamu harus tau, yong! Kalo kamu gak bisa bilang sama ayah kamu, biar saya yang bantu kamu bilang”

Jeffrey berbalik, namun dengan cepat ditahan oleh Taeyong. Laki-laki itu tiba-tiba berlutut pada Jeffrey kemudian meraih tangan Jeffrey dan menangis.

“Jeff, please jangan. Lo tau ayah gue bisa ngebunuh gue kalo tau gue begini, Jeff” nada bicara Taeyong bergetar. Ia benar-benar menangis merasakan ketakutan akan bayangan yang mungkin ia terima saat sang ayah tau jika anak tunggalnya mengidap gangguan seperti itu.

“Gue janji itu yang terakhir, jeff” Taeyong mengangguk dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap Jeffrey penuh harap.

Jeffrey memejamkan matanya, berusaha menetralkan pikirannya yang terasa sangat memusingkan. Perlahan, ia melepas tangan Taeyong, kemudian berbalik pergi tanpa mengucapkan barang sepatah kata.

Maafin saya Taeyong, ini demi kebaikan kamu. Kleptomania gak bisa sembuh semudah itu. Saya cuman gak mau kamu terjerumus ke dalam masalah yang lebih besar. Flashback end

“Lo tau jeff setelah lo berhasil ngadu ke ayah gue?” Taeyong berjalan ke tepi rooftop. Kemudian menatap langit malam yang hari ini sangat kosong.

Tanpa bulan atau bintang.

“Gue benar-benar nyaris mati, Jeff. Lo pikir gue juga mau punya penyakit ini? Apa waktu itu lo bilang? Psikolog? Lo sendiri tau Ayah gue bakal lebih senang nyebut gue gila karena pergi ke tempat kayak gitu”

“Psikolog bukan tempat orang gila!”

Taeyong tersenyum pahit. “Rasanya bener-bener memalukan saat ada yang tau kalo gue klepto. Gue muak setiap malem mikir apa yang bakal orang bilang kalo tau gue klepto. Dihina? dibully? dijauhin?” dia menggeleng miris.

Taeyong berbalik, menatap balik Jeffrey di belakang sana “Makanya saat tau lo pindah ke sini, gue selangkah lebih maju. Gue gak boleh jadi orang yang diinjak. Gue harus nginjak lo lebih dulu, karena gak ada jaminan lo gak bakal nyebarin aib gue ini. Dengan bikin lo kayak sampah, orang-orang gak akan mau dengerin satupun kata-kata lo”

Jeffrey hanya diam.

Dia sendiri tau kenapa Taeyong memperlakukan dirinya seperti itu selama ini. Alasan kenapa Jeffrey tak sekalipun melawan bukan karena dirinya takut, tapi Taeyong lah yang ketakutan.

Jeffrey paham waktu itu dia telah melakukan pilihan yang salah dan mungkin bagi Taeyong maaf sama sekali nggak ada artinya, maka Jeffrey membiarkan Taeyong melampiaskan semua pada dirinya. Setidaknya itu akan membuat rasa bersalah Jeffrey sedikit berkurang.

“Saya minta kamu sendiri yang jelasin ke Risa tentang masalah dia. Saya gak bisa cerita sama dia karena saya nggak mau penebusan dosa sama ke kamu sia-sia” tukas Jeffrey dengan nada dingin.

Taeyong tertawa keras mendengar ucapan Jeffrey, “Kenapa gue harus jelasin? Biar kalian damai? Justru bikin lo gak punya siapapun sama sekali bikin gue makin puas, Jeff”

“Risa atau siapapun itu namanya, gue udah sering ingatin dia buat gak dekat-dekat sama lo, tapi dia selalu ngebantah. Cewek tolol” Taeyong menjeda ucapannya, pikirannya kembali melayang saat dia beberapa kali mengancam Risa agar menjauhi Jeffrey namun, bukannya menuruti kata-kata Taeyong, mereka berdua justru menjadi semakin dekat. Taeyong benci itu.

“cuman anak pungut donatur sekolah aja belagu” Taeyong berdecak miris.

Melihat Jeffrey yang balik menatapnya dingin, Taeyong hanya tersenyum mengejek. “Kenapa? Marah gue bilang dia anak pungut? Emang dia-”

Bugh

“Jaga omongan kamu, Taeyong!”

“Pftt... Dia emang anak pungut-”

Bugh

“Diam!”

Taeyong merasakan sudut bibirnya sobek. Melihat darah yang menggores tanganya ketika ia menyentuh sudut bibirnya membuat Taeyong mengeram kesal. Dengan cepat ia membalik posisi mereka, menindih Jeffrey dibawahnya kemudian balas memberi pukulan bertubi pada Jeffrey.

“Jangan jadi sok jagoan, Jeff. Selamatin diri lo sendiri sebelum ngurusin orang lain!”

Jeffrey mendorong Taeyong dari atasnya, kemudian mendorong badan Taeyong hingga terhimpit pada pembatas dinding.

Jeffrey menatap lurus mata Taeyong yang juga menatapnya sengit, “Dia bukan orang lain buat saya, dia berarti!” ucap Jeffrey penuh penekanan.

“Selera lo rendah-”

“Saya bilang diam!” deru nafas Jeffrey memburu. Perasaannya sangat tak karuan menahan emosi saat Taeyong menyebut Risa seperti itu.

Jeffrey menghempas badan Taeyong dengan kasar, kemudian ia berbalik melangkah pergi.

Tepat ketika Jeffrey hendak membuka pintu keluar, ia mendengar suara tawa Taeyong di belakang sana.

Mata Jeffrey membelalak ketika melihat Taeyong yang telah berdiri di ujung.

“KALO LO KESINI, GUE AKAN LONCAT!” ancam Taeyong berhasil menghentikan langkah Jeffrey.

“Taeyong! Jangan gila!”

“Gue emang udah gila! Gue mati juga gak akan ada yang peduli anjing. HAHAHA!”

Jeffrey menggeleng kuat. Dengan langkah was was, ia perlahan kembali berjalan mendekati Taeyong.

“Seenggaknya kalo gue mati, gue gak akan pusing ribut sama pikiran jahat gue sendiri. Selamat tinggal, Jeffrey”

“TAEYONG!!”

Jeffrey hanya bisa menangis kencang ketika dirinya gagal meraih Taeyong. Tepat ketika Jeffrey hendak berbalik turun menolong Taeyong, netranya menangkap sosok yang mematung menatap Jeffrey ketakutan.

“Risa, Taeyong-”

“Pembunuh!”

orentciz

kamera untuk Nana

⚠️ Trigger warning for abusive, toxic, harmful parents ⚠️

“Senang bekerja sama dengan anda” senyum penuh wibawa Jaehyun ia tunjukan ketika tangannya menjabat milik seorang yang akan menjadi salah satu investor besar pada perusahaannya.

Acara makan siang akhirnya selesai setelah nyaris 2 jam karena dibalut dengan obrolan bisnis panjang kedua belah pihak.

Risa ikut menjulurkan tangannya, sebagai seorang sekretaris dari bos yang memiliki nama terpandang dalam bidang ini, tentu saja Risa harus bisa menjaga sikapnya terutama ketika berurusan dengan orang penting Jaehyun.

Risa dan Jaehyun berjalan beriringan keluar dari tempat makan yang ada di kawasan mewah Jakarta Selatan itu.

Aura pangera bosnya yang kuat, membuat Risa sedikit risih tiap kali orang-orang memberikan tatapan memuja pada Jaehyun yang terlihat kelewat penuh karisma.

Langkah Risa terhenti ketika netra gadis itu menangkap sebuah toko kamera.

Risa ingat pesan sang adik beberapa jam lalu.

Tanpa Risa sadar, kedua sudutnya terangkat penuh, mengukir senyum lebar membayangkan ekspresi kelewat bahagia adiknya saat ini.

Risa sangat menyayangi Nana.

Nana adik kecilnya yang sekarang telah tumbuh dewasa.

Jeremian Nando , namanya.

Meskipun, Nana bukanlah adik kandungnya, namun Risa menyayangi adiknya yang satu itu dengan sangat tulus.

Wajah Nana sangat mirip dengan laki-laki yang resmi ia panggil papa sejak berusia 14 tahun itu membuat Risa semakin merasa harus balas budi atas semua kebaikan yang telah diberikan padanya.

Papa nya telah menyelamatkan Risa dari mimpi buruk dirinya yang menjadi korban kekerasan dari kekerasan rumah tangga ayah dan ibu kandungnya sendiri.

Risa kecil hanya korban. Gadis malang yang setiap malam selalu menjadi pelampiasan amarah ibu nya yang setiap hari menjadi sasaran amarah dan rasa kesal sang ayah karena tengah dilanda rasa khawatir dan terancam bangkrut karena hutang perusahaan kian membengkak.

Empat tahun lamanya. Bangun tidur dengan rasa memar di sekujur tubuh selalu menjadi ucapan selamat pagi untuk Risa.

Puncaknya saat ibunya nekat mengajak Risa ikut bunuh diri bersama dengan cara menyayat kedua lengannya hingga mengeluarkan banyak darah lalu meminum obat tidur. Namun, rencana tersebut terpaksa gagal karena kehadiran seorang laki-laki.

Dengan cepat, orang itu membawa ibu Risa dan Risa sendiri yang setengah sekarat ke rumah sakit.

Depresi.

Risa kecil yang saat itu berusia 13 tahun, perlahan mulai menunjukkan gejala gangguan psikis akut.

Takut dengan dunia luar hingga selalu gemetar hanya dengan memikirkan bertemu banyak orang, menggigit badannya hingga berdarah, bahkan bukan sekali duakali mencoba meniru perbuatan ibu nya untuk mengakhiri hidup sekali lagi.

Jiwa gadis itu seolah telah mati.

Namun, sekali lagi. Seolah diberitahu jika ini bukanlah akhir bagi Risa, orang itu kembali datang. Memeluk Risa penuh kasih sayang. Setelah sekian lama, akhirnya Risa bisa merasakan rasa aman yang lama ia rindukan.

“Kamu mau tinggal sama paman?” tanya laki-laki itu

Risa mengangguk

Kalau gitu, panggil saya papa. Mulai sekarang, kamu adalah anak saya, ya?

Keluarga baru, hidup baru, dunia baru.

Perlahan Risa seolah kembali dihidupkan lagi. Kasing sayang, kehangatan, dan kebersamaan yang telah lama pergi kembali ia rasa sejak Risa menjadi bagian dari keluarga barunya.

Walaupun masih sering menunjukan gejala depresinya, namun berkat dukungan dari papa dan mamanya, Risa pelan-pelan mencoba yakin dengan dirinya sendiri dan akhirnya setuju pergi ke psikolog.

Setelah 3 tahun berlalu, Risa dan seluruh sakitnya telah bebas. Ia kembali menjadi dirinya yang normal.

Hingga akhirnya mama memberi berita bahagia jika Risa akan memiliki adik pertamanya.

Nana.

Dunia Risa kembali hancur ketika ia harus mendapat kabar jika papa dan mamanya tewas dalam kecelakaan pesawat.

Bayangan tentang senyum bahagia penuh rasa bangga karena Risa berhasil lulus tes masuk perguruan tinggi impiannya langsung sirna.

Umur nana saat itu masih 3 tahun. Masih sangat kecil.

Risa sadar, bersedih karena takdir pahit yang baru saja ia alami tak akan membuat perubahan berarti. Ia masih memiliki nana.

Hari itu, setelah kedua orang tuanya dimakamkan, Risa berjanji pada dirinya. Ia akan merawat adiknya, bertanggung jawab penuh atas Nana sebagaimana bentuk balas budi dan terima kasihnya pada orang tua angkatnya.

Risa masuk ke dalam toko. Ia memandangi deretan kamera yang terpajanv dengan penuh rasa bingung karena semua terlihat sama untuknya.

“Ada yang bisa saya bantu, kak?” ucap seorang karyawan

Risa tersenyum, “kamera yang bagus apa ya mbak? Saya mau belikan untuk adik saya”

Karyawan itu mengajak Risa ke rak selanjutnya, kemudian memgambil sebuah kamera lalu menjelaskan keunggulan kamera tersebut.

Mendengar penjelasan panjang itu, Risa kemudian tersenyum mantap. “Saya ambil yang ini ya mbak”

orentciz

messed up breakfast

“Pagi banget dah lo bangun”

Suara serak khas orang bangun tidur milik Taeyong terdengar, membuat Mikaila yang tengah merapikan stock makanan yang barusan sampai ke apartemennya menoleh. Laki-laki yang masih bermuka bantal itu duduk di meja makan, kemudian menuang segelas air putih segelas penuh lalu meneguknya habis.

Mikaila tersenyum, “Udah bangun? ” tanya perempuan itu lalu menghampiri meja makan.

“Gak liat mata gue udah semelek ini?” Taeyong menunjuk matanya sendiri.

Tawa garing Mikaila pecah, “Masih belekan tuh” ujarnya membuat Taeyong buru-buru mengucek kedua matanya.

Mikaila menopang dagu dengan kedua tangannya, menatap Taeyong dengan mata berbinar karena ia tak bisa bohong jika paras bangun tidur laki-laki itu benar-benar menggemaskan.

“Ng-ngapain sih lo?” tanya Taeyong bingung. Sedikit salah tingkah ketika ia sadar Mikaila masih menatapnya dengan senyuman kecil.

“Gemes” ujar perempuan itu.

Tangan Mikaila terulur, menyentuh wajah Taeyong kemudian menyeka sesuatu yang jatuh pada pelupuk mata Taeyong.

Badan Taeyong menegap. Ia bahkan menahan nafasnya sendiri ketika kulitnya merasakan sentuhan halus Mikaila pada wajahnya.

“Bulu mata” jelas Mikaila kemudian menunjukan sehelai kecil bulu mata tadi lalu mengembusnya.

Taeyong berdehem. Berusaha menyembunyikan sedikit rasa salah tingkahnya.

“Sengaja banget lo anjir” gumamnya pelan nyaris tak terdengar.

“Hmm?”

“Enggak, tadi ada sapi terbang” jawab Taeyong asal tanpa menghiraukan pandangan bingung Mikaila.

Keduanya kembali hening. Baik Mikaila maupun Taeyong sama-sama nggak tahu harus ngobrol apa hingga akhirnya Mikaila memutuskan untuk kembali ke meja dapur.

“Kamu mau jus mangga?” tanya Mikaila setengah berteriak.

“Boleh”

ting...nong...

Keduanya reflek menoleh bersamaan ke ujung pintu yang tertutup ketika mendengar suara bel apartemen milik Mikaila berbunyi, tanda seseorang di luar sana tengah menunggu untuk dibukakan pintu.

Dengan sedikit berlari kecil, Mikaila membuka pintu.

Di hadapannya, Jonathan tersenyum lebar sambil mengangkat paper bag dengan logo toko pancake favorit Mikaila.

Rupanya pria itu benar-benar menepati ucapannya tadi.

“Cepet banget nyampe nya?” tanya Mikaila begitu Jonathan masuk dan melepas sepatu yang ia kenakan.

“Gak sabar mau ketemu lo” ujarnya sambil tersenyum usil yang kemudian hanya dibalas tatapan kesal oleh Mikaila.

Begitu masuk ke dalam, Jonathan menatap datar sosok laki-laki yang mengenakan kaos putih dan celana tidur longgar tengah bermain ponsel sambil mengangkat sebelah kakinya ke atas kursi. Tanpa perlu melihat lebih jelas lagi parasnya, Jonathan jelas sudah tau jika itu adalah Taeyong, tunangan dari gadis pemilik apartemen ini.

Merasa diperhatikan, Taeyong ikut menoleh. Pandangan penuh rasa heran tergambar jelas pada matanya saat mendapati kehadiran orang yang seingatnya adalah teman Mikaila.

Keduanya sibuk melempar tatapan datar satu sama lain, hingga akhirnya Taeyong membuang wajahnya.

“Ngapain sih dia kesini?” tanya Taeyong setengah berbisik ketika Mikaila menghampiri dirinya untuk memberikan sepiring pancake.

“Gue denger” sahut Jonathan sinis.

Taeyong hanya memutar matanya malas. Ia menyendok pancake miliknya sendiri, berusaha mengabaikan Jonathan yang kini ikut duduk bersama di meja makan.

“Ca, minggu depan daddy gue balik dari LA”

“Oh ya?”

Jonathan berdehem mengiyakan, “Ulang tahun pernikahan sama mommy. Dateng ya ca?”

“Ingatin aja”

“Kebiasaan lupa lo tuh gak ilang-ilang dari dulu!” Jonathan mengacak rambut Mikaila gemas. Membuat Taeyong di depannya menatap ngeri.

“Apa lo?” sewot Jonathan

“Paansi” jawab Taeyong acuh.

Mikaila yang merasakan atmosfer nggak mengenakan dari dua laki-laki yang duduk berhadapan itu hanya bisa terdiam menatap keduanya bergantian.

“Ada yang mau madu?” tanya Mikaila

“Gue-”

“Dih ngikutin aja lo!” ketus Jonathan

“Elo, jing” balas Taeyong gak terima.

Mikaila termangu. Buru-buru ia menutup kembali mulutnya, lalu berdiri mengambil madu dari kulkas.

Baru saja perempuan itu duduk, namun Jonathan dan Taeyong langsung berebut menyodorkan piring masing-masing pada Mikaila.

“Gue duluan”

“Lah gue yang duduk di sebelah dia, berarti gue duluan”

“Yang nyodorin piring gue duluan”

“Yang lebih deket gue”

“Apa hubungannya anjing”

“Pokoknya gue duluan-”

prangg

Gelas doraemon kesayangan Mikaila tersenggol jatuh. Melihat benda itu pecah, mata Mikaila membelalak terkejut bukan main.

“APAANSIH KALIAN BERDUA?!”

Mikaila menatap galak Taeyong dan Jonathan bergantian. Membuat kedua laki-laki itu langsung terdiam kemudian menarik pelan piring masing-masing.

“Jonathan, lo kenapa, sih? Taeyong, kamu juga kenapa, sih?”

“Kamu?” Jonathan mengernyit

“Lo?” begitu juga Taeyong.

orentciz