red moon
Taeyong mendorong pintu menuju rooftop. Di ujung sana, Jeffrey telah berdiri menatapnya penuh rasa benci.
Melihat itu Taeyong hanya tertawa sinis. Rasanya sudah lama sekali mantan sahabatnya menatap dirinya seperti itu. Selama ini Jeffrey selalu memberikan tatapan sendu dari balik lensa kacamatanya tiap kali pandangan mereka bertemu.
Dengan langkah santai sambil bersiul nyaring, Taeyong berjalan ke arah Jeffrey.
Salah sudut bibirnya terangkat, seringai sinis ia tunjukan saat langkahnya berhenti beberapa centi dari Jeffrey.
“Lo mau ngomong apa, hm?” tanya Taeyong.
“Daridulu sampai sekarang, kamu masih juga nggak mau berubah. Sibuk menyalahkan orang lain dan akhirnya menyakiti mereka. Manipulatif”
Seringai Taeyong lenyap berganti dengan tatapan tajam ketika mendengar ucapan Jeffrey barusan. Ia mengepalkan kuat jarinya saat tau kemana Jeffrey hendak membawa percakapan ini pergi.
“Saya udah bilang, saya gak ada niat sama sekali buat nusuk kamu dari belakang kayak apa yang kamu pikir, tapi-”
bugh
Jeffrey tersungkur ketika pukulan keras dilayangkan Taeyong pada pipinya secara tiba-tiba.
“Kalo lo gak berniat nusuk gue dari belakang terus apaan? Lo bilang lo sahabat gue, anjing!”
“Karena saya sahabat kamu makanya saya tau itu salah” sanggah jeffrey
Taeyong hanya tertawa geli. Entah kenapa ucapan Jeffrey barusan terasa begitu lucu baginya.
sahabat dia bilang
Flashback “Taeyong” panggilan dari Jeffrey membuat Taeyong yang tengah menatap langit dari balkon kamarnya menoleh. Senyum tipis terukir pada wajah laki-laki itu ketika melihat siapa yang datang
“Barang teman-teman kita yang hilang di sekolah, itu kamu, kan?”
Pertanyaan Jeffrey barusan melunturkan senyum Taeyong. “A-apaandah lo jeff? Maksud lo gue nyuri? Gila apa lo?” elaknya sambil tertawa canggung
Jeffrey menahan Taeyong yang hendak pergi, kemudian merogoh sesuatu dari kantong celana yang ia kenakan
Tangannya terangkat, menunjukan sebuah benda tepat di depan wajah Taeyong yang reflek menegang ketika melihatnya
“ini punya kamu! Ada nama kamu!” Jeffrey setengah berteriak.
Taeyong dengan susah payah meneguk ludahnya, sama sekali nggak bisa mengelak lagi. “Jeff, gue-”
“Taeyong, kamu klepto, Ayah kamu harus tau, yong! Kalo kamu gak bisa bilang sama ayah kamu, biar saya yang bantu kamu bilang”
Jeffrey berbalik, namun dengan cepat ditahan oleh Taeyong. Laki-laki itu tiba-tiba berlutut pada Jeffrey kemudian meraih tangan Jeffrey dan menangis.
“Jeff, please jangan. Lo tau ayah gue bisa ngebunuh gue kalo tau gue begini, Jeff” nada bicara Taeyong bergetar. Ia benar-benar menangis merasakan ketakutan akan bayangan yang mungkin ia terima saat sang ayah tau jika anak tunggalnya mengidap gangguan seperti itu.
“Gue janji itu yang terakhir, jeff” Taeyong mengangguk dengan sungguh-sungguh. Matanya menatap Jeffrey penuh harap.
Jeffrey memejamkan matanya, berusaha menetralkan pikirannya yang terasa sangat memusingkan. Perlahan, ia melepas tangan Taeyong, kemudian berbalik pergi tanpa mengucapkan barang sepatah kata.
Maafin saya Taeyong, ini demi kebaikan kamu. Kleptomania gak bisa sembuh semudah itu. Saya cuman gak mau kamu terjerumus ke dalam masalah yang lebih besar. Flashback end
“Lo tau jeff setelah lo berhasil ngadu ke ayah gue?” Taeyong berjalan ke tepi rooftop. Kemudian menatap langit malam yang hari ini sangat kosong.
Tanpa bulan atau bintang. Tetapi, bulan terlihat sangat merah, seolah malam ini langit tengan berdarah.
“Gue benar-benar nyaris mati, Jeff. Lo pikir gue juga mau punya penyakit ini? Apa waktu itu lo bilang? Psikolog? Lo sendiri tau Ayah gue bakal lebih senang nyebut gue gila karena pergi ke tempat kayak gitu”
“Psikolog bukan tempat orang gila!”
Taeyong tersenyum pahit. “Rasanya bener-bener memalukan saat ada yang tau kalo gue klepto. Gue muak setiap malem mikir apa yang bakal orang bilang kalo tau gue klepto. Dihina? dibully? dijauhin?” dia menggeleng miris.
Taeyong berbalik, menatap balik Jeffrey di belakang sana “Makanya saat tau lo pindah ke sini, gue selangkah lebih maju. Gue gak boleh jadi orang yang diinjak. Gue harus nginjak lo lebih dulu, karena gak ada jaminan lo gak bakal nyebarin aib gue ini. Dengan bikin lo kayak sampah, orang-orang gak akan mau dengerin satupun kata-kata lo”
Jeffrey hanya diam.
Dia sendiri tau kenapa Taeyong memperlakukan dirinya seperti itu selama ini. Alasan kenapa Jeffrey tak sekalipun melawan bukan karena dirinya takut, tapi Taeyong lah yang ketakutan.
Jeffrey paham waktu itu dia telah melakukan pilihan yang salah dan mungkin bagi Taeyong maaf sama sekali nggak ada artinya, maka Jeffrey membiarkan Taeyong melampiaskan semua pada dirinya. Setidaknya itu akan membuat rasa bersalah Jeffrey sedikit berkurang.
“Saya minta kamu sendiri yang jelasin ke Risa tentang masalah kita. Saya gak bisa cerita sama dia karena saya nggak mau penebusan dosa sama ke kamu sia-sia” tukas Jeffrey dengan nada dingin.
Taeyong tertawa keras mendengar ucapan Jeffrey, “Kenapa gue harus jelasin? Biar kalian damai? Justru bikin lo gak punya siapapun sama sekali bikin gue makin puas, Jeff”
“Risa atau siapapun itu namanya, gue udah sering ingatin dia buat gak dekat-dekat sama lo, tapi dia selalu ngebantah. Cewek tolol” Taeyong menjeda ucapannya, pikirannya kembali melayang saat dia beberapa kali mengancam Risa agar menjauhi Jeffrey. Namun, bukannya menuruti kata-kata Taeyong, mereka berdua justru menjadi semakin dekat. Taeyong benci itu.
“cuman anak pungut donatur sekolah aja belagu” Taeyong berdecak miris.
Melihat Jeffrey yang balik menatapnya dingin, Taeyong hanya tersenyum mengejek. “Kenapa? Marah gue bilang dia anak pungut? Emang dia-”
Bugh
“Jaga omongan kamu, Taeyong!”
“Pftt... Dia emang anak pungut-”
Bugh
“Diam!”
Taeyong merasakan sudut bibirnya sobek. Melihat darah yang menggores tanganya ketika ia menyentuh sudut bibirnya membuat Taeyong mengeram kesal. Dengan cepat ia membalik posisi mereka, menindih Jeffrey dibawahnya kemudian balas memberi pukulan bertubi pada Jeffrey.
“Jangan jadi sok jagoan, Jeff. Selamatin diri lo sendiri sebelum ngurusin orang lain!”
Jeffrey mendorong Taeyong dari atasnya, kemudian membawa badan Taeyong hingga terhimpit pada pembatas dinding.
Jeffrey menatap lurus mata Taeyong yang juga menatapnya sengit, “Dia bukan orang lain buat saya, dia berarti!” ucap Jeffrey penuh penekanan.
“Selera lo rendah-”
“Saya bilang diam!” deru nafas Jeffrey memburu. Perasaannya sangat tak karuan menahan emosi saat Taeyong menyebut Risa seperti itu.
Jeffrey menghempas badan Taeyong dengan kasar, kemudian ia berbalik melangkah pergi.
Tepat ketika Jeffrey hendak membuka pintu keluar, ia mendengar suara tawa Taeyong di belakang sana.
Mata Jeffrey membelalak ketika melihat Taeyong yang telah berdiri di ujung.
“KALO LO KESINI, GUE AKAN LONCAT!” ancam Taeyong berhasil menghentikan langkah Jeffrey yang hendak kembali mendekat.
“Taeyong! Jangan gila!” teriak Jeffrey
“Gue emang udah gila! Gue mati juga gak akan ada yang peduli anjing. HAHAHA!”
Jeffrey menggeleng kuat, berusaha memberi tahu jika ucapan Taeyong tadi sama sekali tidak benar. Dengan langkah was was, ia perlahan kembali berjalan mendekati Taeyong yang tengah menunduk menangis.
“Seenggaknya kalo gue mati, gue gak akan pusing ribut sama pikiran jahat gue sendiri” ucapnya, ia kembali mendongak, menatap Jeffrey yang tinggal selangkah lagi. “Selamat tinggal, Jeffrey”
“TAEYONG!!”
Jeffrey hanya bisa menangis kencang ketika dirinya gagal meraih Taeyong. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Jeffrey dengan cepat berbalik hendak turun menolong Taeyong yang sudah berdarah-darah di bawah sana. Namun, langkahnya berhenti saat netra menangkap sosok yang mematung menatap Jeffrey ketakutan sambil menutup mulut dengan kedua tangan.
“Risa, Taeyong-”
“Pembunuh!”
orentciz